02.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


~ Sama-sama perempuan akan saling memahami. Sama-sama perempuan takkan menyakiti. Dan sama-sama perempuan, takkan bisa tinggal di satu hati.~

----------

Ketika Hoshi tengah sibuk dengan pertunangannya, beberapa hari aku tak melakukan kontak sama sekali dengannya. Selain karena ia telah mengatakan padaku bahwa ia sibuk, aku juga sengaja mematikan ponselku. Entah kenapa, ada rasa lelah luar biasa dengan semua kondisi ini. Sempat terpikir olehku untuk menyerah.

Tapi, aku mencintainya....

°°°

Aku baru saja pulang dari tempat kerjaku, tepat pukul 8 malam, ketika kulihat seorang perempuan cantik tinggi semampai tengah berdiri dengan canggung di depan pintu kostku. Dan sosok itu tak asing buatku. Liz, tunangan Hoshi.
Aku tahu dari foto-foto yang ada di ponselnya.

“Rena?” Ia menyapa dengan pertanyaan ketika melihat kedatanganku. Aku tersenyum kaku lalu mengangguk. Sepertinya aku tahu maksud kedatangannya kemari. Insting wanita. Dan sepertinya insting kami sama.

“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucapnya langsung, tanpa basa-basi. Aku kembali tersenyum kaku, lalu mengangguk.

Setelah membuka pintu, aku segera menyilakan perempuan itu masuk. Membuatkannya segelas teh hangat, lalu duduk di kursi kayu yang berseberangan dengannya. Seolah siap dengan pembicaraan kami yang mungkin sepertinya takkan berlangsung lama.

Urusan perempuan, kami menyebutnya begitu.

“Sebenarnya aku sudah tahu perihal hubungan kalian sejak beberapa bulan yang lalu,” ia membuka suara setelah sempat hening sesaat. Ah, lagi-lagi insting wanita.

Aku menatapnya, siap menunggu deretan kalimat yang keluar dari mulutnya.

“Tanpa sepengatahuan Hoshi, aku mengecek ponselnya. Dan dari situlah aku tahu tentang dirimu. Secara diam-diam aku mencari tahu tentangmu dan ....” kalimatnya terhenti.
Perempuan itu terlihat begitu bijak dan kalem. Ada kilat amarah di matanya, tapi ia pintar menahan bahkan mengendalikannya.

Aku memahami perasaannya. Karena itulah yang juga kurasakan saat ini.

Dan di sinilah kami, dua wanita yang mencintai orang yang sama, sama-sama terluka, sama-sama meratap, sama-sama menyimpan amarah. Amarah yang ingin kami luapkan, tapi entah pada siapa.

“Aku ke sini tanpa sepengetahuan Hoshi. Agar kita bisa bicara dari hati ke hati karena kita ... sama-sama perempuan.”

Sama-sama perempuan ...

Kalimat itu pelan, tapi begitu menusuk hati. Menimbulkan rasa nyeri yang hebat.

Karena aku tahu, sama-sama perempuan akan saling memahami. Sama-sama perempuan takkan menyakiti. Dan sama-sama perempuan .... takkan bisa tinggal di satu hati.

“Kau tahu, hal pertama yang ingin kulakukan padamu sebenarnya adalah menamparmu.” Suara Liz bergetar, rahangnya kaku. “Aku ingin menamparmu setelah apa yang kau lakukan padaku ...”

“Aku tidak merebutnya darimu,” potongku, pelan. “Kau tidak tahu detail yang sebenarnya terjadi dan ...”

“Aku tak ingin tahu bagaimana awal ceritanya kalian bersama!” Kali ini ia berteriak.

“Aku mengerti. Hoshi pasti tidak akan menceritakan padamu, aku juga tidak. Tapi yang perlu kau ketahui adalah, aku.tidak.merebutnya.darimu,” ucapku dengan gigi terkatub.

Kedua mata kami berkaca-kaca. Air mata Liz nyaris tumpah, begitupula dengan air mataku.

Aku bangkit, berjalan menuju depan jendela, sekedar untuk mengambil nafas. Setelah agak tenang, aku berbalik dan menatap kembali ke arah Liz yang diam dengan tubuh kaku.

“Liz, aku tahu ada yang tidak benar di sini. Tapi bukan aku yang menginginkan situasi seperti ini. Bukan aku yang sengaja masuk ke kehidupan kalian dan menjadi perempuan kedua!” Aku menjerit. “Tidak hanya kau yang terluka, aku juga...” kali ini aku meratap, dan air mataku tak bisa kubendung lagi.

Liz balik menatapku, dan ia juga menangis.

“Kapal itu tak bisa dihuni oleh 3 orang, Rena. Tidak akan bisa,” air matanya berderaian.
“Harus ada yang mengambil keputusan. Harus ada yang pergi. Atau kita akan sama-sama tenggelam,” lanjutnya.

“Hoshi mungkin telah melukai kita berdua, menempatkan kita pada posisi yang tidak seharusnya. Tapi kita sama tahu bahwa ia takkan pernah bisa mengambil keputusan. Ia mencintai kita berdua, dengan porsi yang sama rata. Jadi ...” ia menelan ludah. “Pilihannya hanya ... kau? Atau aku yang pergi?”

Aku lunglai. Bahuku terguncang dan aku terisak. Liz juga.

Malam itu, kami sama-sama menangis.

Menangisi orang yang sama...

°°°

Hoshi datang ke tempat kostku keesokan malamnya, membawakanku seikat bunga mawar putih, bunga kesukaanku.

“Aku merindukanmu,” ia memelukku erat sembari mencium keningku dengan lembut. Aku tersenyum lesu, mengambil bunga dari tangannya lalu menaruhnya di vas yang berada di atas meja bundar dekat jendela.

“Maaf kalau aku meninggalkanmu terlalu lama,” ia melangkah ke arahku dan kembali merengkuh tubuhku dengan erat. Kali ini sambil mengecup puncak kepalaku dengan suara keras.
Aku kembali tersenyum. Tanpa bersuara.

“Ayo kita jalan-jalan. Aku sudah memesan tempat khusus untuk makan malam. Bersiap-siaplah,” ia berbisik.
“Hoshi...” aku menjawab lirih lalu menarik diriku dari pelukannya. “Duduklah, ada yang ingin kubicarakan.” Aku mendorong tubuhnya agar ia mau duduk di sofa. Kening Hoshi mengernyit, menatapku bingung.

“Ada masalah?”

Aku mondar-mondar dengan gusar. Meremas-remas jemariku yang gemetar.

“Rena...”

“Aku tak sanggup lagi,” jawabku. “Ayo kita akhiri semua ini.”

Hoshi ternganga.

“Let’s break up,” lanjutku.

Dan kalimat itu membuat raut muka Hoshi pucat seketika.
“Rena, ada apa denganmu?” serta merta lelaki itu bangkit, meremas kedua bahuku.
Aku menghalau lembut lalu bergeser mundur.

“Hubungan kita tidak bisa diteruskan lagi. Kau sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah. Jadi, aku tak bisa bersamamu lagi.”
“Kita sudah membahasnya, kan?”
“Iya, dan aku ingin mengakhirinya,” cetusku.

“Rena, aku memang tidak bisa menjanjikan apa-apa padamu. Tapi kita saling mencintai kan?” Pemuda itu mulai terlihat frustrasi.
“Tapi cinta saja tidak cukup!” suaraku meninggi.
Hoshi menyisir rambutnya dengan jemari. Menarik nafas bingung.

“Kau sudah bertunangan, dan sebentar lagi menikah. Lalu aku? Bagaimana denganku? Apa kau akan selalu memperlakukanku sebagai bayangan? Selama ini kita selalu menyembunyikan hubungan kita. Kita bahkan melakukan acara kencan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan untuk sekedar berjalan-jalan di taman dan berpegangan tangan saja kita tak mampu melakukannya. Apa kita akan begini terus? Kita memang saling mencintai, tapi cinta saja tidak cukup.” Aku bersuara pilu.  “Aku tak mau berbagi. Dan aku yakin Liz juga takkan mau. Dan aku memilih untuk merelakanmu ...” Air  mataku berjatuhan.

Lelaki pucat di hadapanku itu menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Kumohon, jangan lakukan ini Rena.”

Kami berpandangan.

“Selamat tinggal.”
“Rena...”
“Pergilah. Tinggalkan aku sendiri,” pintaku.

Hoshi tak beranjak dari tempatnya berdiri. Air matanya menitik. Aku menghampirinya, tapi tidak untuk memeluknya. Aku hanya menghapus air matanya lalu menggamit lengannya, untuk selanjutnya mendorongnya lembut ke arah pintu.

Aku tidak ingin ia kembali, mendobrak pintu, lalu meluluhkan hatiku lagi. Seperti yang sudah-sudah. Jadi aku yang memilih untuk mengantarkannya keluar, lalu mengunci pintu dari dalam. Tanpa memberi kesempatan padanya untuk masuk atau bahkan sekedar mengetuk pintu, lagi.

Cukup.
Semua cukup sampai di sini.

Berkali-kali lelaki itu menggedor pintu dan meneriakkan namaku. Tapi aku mengabaikannya.
Aku terisak, hancur berkeping-keping, dan aku benar-benar mengabaikannya....

Biar saja seperti ini. Aku takkan menemuinya. Karena aku tahu hatiku lemah. Jika sampai aku melihatnya lagi, aku pasti goyah dan tergerak untuk menerimanya lagi.

***

Pagi-pagi sekali, sehari sebelum Hoshi melangsungkan pernikahannya, dan setelah menghabiskan waktu semalaman suntuk untuk menangis, meratapi diri sendiri, aku memutuskan untuk mengepak barang-barangku.
Beberapa baju, peralatan pribadi beserta dokumen-dokumen penting kutata secara sembarangan di koper.
Aku sudah memutuskan, aku akan pergi.

Ke mana saja, ke rumah teman di luar kota mungkin, atau pulang kampung, asal tidak di sini.
Berada satu kota dengan Hoshi hanya akan memperburuk luka di hatiku. Terlebih lagi jika sampai aku bertemu lagi dengannya, karena sudah bisa dipastikan aku pasti akan kembali jatuh ke pelukannya. Begitulah. Aku lemah jika berhadapan dengannya.

Seperti kata Liz, kapal itu hanya bisa dihuni oleh dua orang saja. Dan aku yang memutuskan untuk pergi.
Ia tak bisa berbagi, begitu pula denganku.
Dan aku terlalu berharga untuk sekedar menjadi perempuan kedua. Aku berhak mencari kebahagiaan diriku sendiri.

Menyakitkan, tentu saja.
Aku bahkan tak yakin bisa melewati hari-hari setelah ini, setelah jauh dari Hoshi.
Bisa saja aku terluka parah. Bisa saja lukaku makin memburuk. Bisa saja lukaku tak bisa sembuhkan.
Entah.

Tapi setidaknya aku ingin memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk mencari jalan lain.

***

Sesaat sebelum aku memanggil taksi, aku sempat mengirimi Hoshi pesan singkat.

::::: Terima kasih atas semua momen indah yang pernah kita ukir bersama. Anggap saja itu secuil kisah di antara kita yang tak seharusnya ada. Aku pergi. Hiduplah bahagia dengan Liz dan jangan mencoba mencariku. Aku merelakanmu. :::::

Dan setelah pesan itu terkirim, aku mematikan ponselku, mengeluarkan kartu di dalamnya, lalu membuangnya ke tempat sampah.

Selamat tinggal .....

***

Bersambung...

^^ Semoga Hoshi nggak ngintilin Rena lagi, huh, ikut sebel eike.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro