BAB 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

BAB 8

      Deru kendaraan bermesin milik Arion menjadi satu-satunya suara bising di tengah keheningan yang melanda siang itu di perumahan tempat Gesa tinggal. Seharusnya mereka belanja keperluan kelompok sepulang sekolah, tapi karena Gesa meninggalkan catatan keperluan kelompoknya di ruang tamu, ia terpaksa pulang dulu.

      “Tunggu sebentar, ya, entar aku bawain susu kesukaan kamu.” Ia enggan melepas helm-nya.

      “Masih nyetok?” Gesa mengangguk dan tersenyum. Hal yang jarang dilakukannya.

      Sewaktu membuka gerbang, ia melihat adanya flatshoes yang bukan bagian dari koleksiannya terparkir di depan pintu. Warnanya terlalu mencolok sementara ia menyukai warna navy atau gelap. Alis Gesa bertautan. Papanya memang sedang libur hari ini, tapi ia tidak melihat mobil di garasi atau motor papanya, ia merasa was-was dan sesekali menengok ke arah Arion yang paham akan gelagat dirinya. Arion pun sudah turun dari motor dan bersiap-siap untuk kemungkinan terburuk.

      Seorang wanita berpakaian kantor lengkap duduk di ruang tamu memainkan HP. Ia merokok, Gesa tidak menyukai itu. Ia tidak suka rumah yang sudah dijaganya dipenuhi asap rokok. Tanpa salam, Gesa masuk dan mengambil buku catatan kecil yang diletakkannya di rak-rak penyimpanan helm.

      “Kamu pasti Gesa?” Tanya wanita itu.

      “Anda siapa?” Tidak ada keramahan dalam tutur katanya.

      “Kenalin, saya Mayang, klien Papa kamu,” Wanita itu berdiri mengulurkan tangan. Gesa hanya melirik telapak tangan yang sudah di pastikan berbau rokok tanpa membalasnya. “Saya mengerti, kamu nggak usah khawatir, Papa kamu lagi jemput teman-temannya untuk rapat di sini. Hari ini kami akan numpang rapat di rumah kamu. Nggak akan berantakan kok, nanti saya yang beresin.”

      “Tumben.”

      “Papamu yang mengusulkan, hemat budget katanya.”

      Gesa tak menggubrisnya lagi, dia keluar karena tak sanggup menahan lama-lama asap rokok yang dihirupnya. Ia tidak mau merusak paru-paru dan jantungnya yang sudah dijaga begitu ketat. Di dekat motor Arion, barulah dia menghirup sebanyak mungkin oksigen yang bisa ia hirup. Gesa benar-benar membenci asap rokok. Tubuhnya sudah ia sugestikan sendiri untuk alergi terhadap asap rokok. Baru juga Arion hendak berbicara, Gesa kembali ke dalam rumah, setengah berlari ke dapur dan mengambil dua kaleng minuman bergambar beruang putih. Satu kaleng ia serahkan pada Arion, sesuai janji.

      “Ada siapa di dalam?” Tanya Arion selepas membiarkan Gesa menelan seluruh isi minumannya.

      “Klien Papa. Tapi ngerokok.” Seluruh wajah Arion bergerak, menandakan ia tahu penyebab wajah Gesa agak memerah.

      “Ya udah, jalan sekarang aja.”

      Selama di perjalanan, Gesa merasakan sesuatu yang tidak enak, sesuatu yang memintanya untuk pulang sesegera mungkin, berdiam diri di rumah dan menemani papanya rapat dari ruang yang berbeda. Ia selalu berpikiran negatif bila ada seorang wanita di rumahnya yang bukan bagian dari silsilah keluarga.

      “Kalau kamu aja yang beli, gimana? Aku nggak enak badan.” Ia berharap kebohongannya tidak terendus Arion.

      “Gara-gara asap rokok tadi, ya?” Gesa berdeham, ia tidak ingin membohongi kekasihnya lebih banyak lagi. “Ya udah, nanti aku aja yang beli. Tapi, kerja kelompoknya tetap di rumah kamu, kan?” Sekali lagi, Gesa berdeham. Hatinya terlalu gundah.

      Belum sampai ia masuk rumah, dengan sangat jelas di jendela, pemandangan yang selalu di wanti-wantinya agar tidak terjadi pada keluarganya, mesti ia telan bulat-bulat kenyataannya. Wanita itu, lebih dari sekedar klien. Gesa tetap melangkah masuk dengan berat hati, ia berdeham, bukan mengucapkan salam untuk memberitahukan keberadaannya di rumah itu.

      Tiada yang lebih mengejutkan baginya, selain puntung rokok yang mengapit di sela jari papanya. Ia menatap tak percaya benda yang masih mengepulkan asap itu, papanya bukan seorang perokok, karena papanya sangat tahu ia benci rokok, lalu sejak kapan?

»»»»»

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro