Bab 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hiro mengetukkan jarinya di dagu. Kepalanya berasap hingga tercium bau terbakar. Tentu saja hanya rubah kesayangannya yang melihat. Vale hanya merasakan panas saja jika berada di dekat Hiro. Makanya, gadis itu menjaga jarah hingga dua bangku di kedai es krim ini.

Kesal, Vale melempar vas bunga yang berada di depannya ke arah Hiro. Melebarkan mata karena cowok itu menangkapnya dengan mudah dengan tangan kanan. Tidak menoleh atau bagaimana. Seolah lemparan Vale tadi bisa diprediksi.

"Heh! Kuping lo kehilangan baterai apa gimana? Dari tadi gue nyerocos lho, pangeran," ujarnya menekan status Hiro. Biasanya cowok itu akan mesam-mesen sendiri jika dipanggil demikian. Kali ini tidak biasanya. Hiro meletakkan vas bunga itu hingga menimbulkan aura keras.

"Akhhh!" teriak Hiro tiba-tiba. Bibir bawahnya maju. Meraih mangkok super besar berisi es krim. Vale yang mentraktir karena Hiro mau mengantarnya ke tempat Paman Clon.

Ngomong-ngomong soal paman Clon, "Kenapa tadi nggak masuk?" tanyanya entah ke berapa. Soalnya paman Clon tadi sempat bertanya. Sayangnya waktu Vale mengecek ke luar, cowok itu tidak ada.

"Gue masuk tapi nggak bisa," adunya kesal. Pikirannya tidak sampai pada kesimpulan kenapa tadi bisa terjadi seperti itu.

"Hilih, bilang aja ngelayap," cibir Vale kemudian memasukkan suapan besar ke mulut. Hiro memang suka ngelayap ke mana-mana. Apalagi kalau melihat benda yang baru ditemui. Berubah jadi orang norak seketika.

"Bentar, deh Vale," intrupsi Hiro. Dia memutar badannya ke arah Vale. "Masa tadi lo nggak lihat gue di depan rumah reyot itu?" tanyanya menggebu.

Padahal, Hiro sampai teriak-teriak dengan tangan melambai. Persis seperti orang gila yang selalu muncul di televisi itu. Sadar usahanya belum cukup, Hiro sampai menyusun Ruby ikut andil. Tapi rubah itu malah lari duluan sebelum Hiro memberi perintah. Bukankah aneh?
Vale mencibir. "Bilang aja ngelayap," putusnya final.

"Nggak percaya banget lo jadi manusia," gerutu Hiro kesal.
Meskipun enggan mengalah, tetapi Vale sepertinya berbicara jujur. Bagaimana mungkin Hiro bisa tidak terlihat?

Vale menggelengkan kepala. Matanya berfokus kepada gawai yang sedari tadi bergetar. "Ini jam berapa?" tanyanya setelah mengetikkan balasan kepada tunangannya. Tunangan yang menyebalkan itu mengirim pesan beruntun. Tentang di mana Vale berada. Tumben sekali dia bertanya seperti itu. Vale sampai mengecek nama Arnold berkali-kali. Siapa tahu ini pesan nyasar saja.

"Tau. Emang gue tukang jam," jawab Hiro ketus. Dia mengambil mangkok kedua yang aslinya punya Vale. Bodo amat kalau gadis itu nanti marah. Salah sendiri bikin kesal.

"Ngambek aja lo kayak—" buru-buru dia menutup mulut. Takut keceplosan. "Udah, ah. Ayo balik!" ajaknya seraya merapihkan barang-barang secara terburu-buru.

"Nggak mau!" jawab Hiro cepat. Dia celingak-celinguk mencari keberadaan rubah kesayangannya. Bulu-bulu apinya tidak terlihat sedari tadi. Bukannya Hiro khawatir, tetapi dia takut kalau bakalan ditinggal sendirian.

"Ya, udah. Gue tinggal," ujar Vale santai.

Nah, kan. Vale itu tidak ada hormat sama sekali dengan Hiro.

"Pulang aja sana. Emang gue peduli," jawab Hiro dengan gaya congkak. Wajahnya sangat menyebalkan di mata Vale. Kalau tidak ingat bahwa Mama mengomel sampai menghubungi tunanagannya, Vale tidak akan sepanik ini. Bagaimana tidak, ini sudah hampir jam sembilan malam.

"Oke," jawab Vale. Disambut jeritan kesal dari belakang. Vale tidak peduli karena dia terburu-buru. Karena sepertinya Arnold marah besar kepadanya.

***

Pagi hari. Vale tidak tahu kenapa Arnold tiba-tiba menjemputnya ke rumah. Dia muak melihat sopan-santunnya kepada bunda, hingga membuat ibunya itu bersemu. Sikapnya sangat berbeda sekarang. Wajah datarnya seolah enggan hilang jika bersama Vale. Hanya menatap sekeliling tanpa minta yang Vale lakukan. Sekejab, dia teringat Hiro yang ketinggalan di rumah. Cowok itu pasti mengomel tidak jelas karena ditinggal.

"Kita harus cari tahu Vale!" Hiro memutuskan. Tekadnya menggebu-gebu. Dilihat dari kedua matanya yang bersinar-sinar.
Malam itu Hiro tiba-tiba datang setelah mama memarahinya sekejap. Omelan panjang tentang jam malam yang dianutnya selama ini.

"Liat aja sendiri. Gue aja belum pernah ke sana," gumamnya mengutarakan isi hati. Vale bahkan belum pernah menginjakkan kaki ke kamar Mama. Mama melarang dengan tegas. Vale pun tidak ada niat membuatnya marah.

"Nah! Itu!" teriak Hiro lagi. Tangannya menunjuk wajah Vale yang muram.

"Apaan?" tanya Vale tidak niat. Menenggelamkan diri ke dalam selimut hingga rambutnya saja yang terlihat.

"Masa lo nggak curiga kenapa Mama ngelarang," ujar Hiro dengan senyum kemenangan. Dia berhasil mempengaruhi Vale. "Atau ini ada hubungannya dengan Paman Clon dan ... kacamata lo," tambahannya.

Jika saja Hiro tidak teringat bahwa raja selalu marah kalau barang-barangnya disentuh tanpa ijin, dia sudah menerobos masuk ke kamar Mama Vale. Lagipula calon raja, kan harus mencontoh hal baik, bukan? Perihal kamar Mama Vale, Hiro baru teringat bahwa suasana di sana sama persis seperti ke tempat Paman Clon. Hiro pernah sekali melintas karena ingin tahu tempat-tempat di rumah Vale.

"Kecuali kalau lo mau kehabisan darah duluan sebelum tahu asal-usul keanehan lo."

"Kurang aja emang," ujarnya tanpa sadar ketika teringat perkataan Hiro sebelum Mama menyuruhnya bergegas turun. Itu sama saj cowok itu menyumpahinya mati duluan, ya.
Arnold mengernyitkan dahi. "Kenapa?" tanyanya.

Vale turun dari mobil Arnold dengan malas-malasan. "Itu, si Hiro. Kalo ngomong asal nyeblak aja," jawabnya tanpa minat. Dia bahkan tidak sadar kalau Arnold mengikuti dari belakang.

Arnold, cowok itu lagi-lagi dibuat terkejut. Mendengar satu nama yang akhir ini selalu disebut Vale, baik sengaja atau tidak.

"Hiro," ulang Arnold.
Vale mengangguk. Lantas tersadar telah membut kesalahan. "Eh, maksudnya—"

"Nggak perlu jelasin. Lagian gue nggak tanya," potong Arnold datar.
Vale lupa. Dirinya tidak lebih penting dari gadis yang melambaikan tangan dari kejauhan. "Oh, iya lupa. Tuh disamperin gebetan," sindirnya keras.

Sanggup menghentikan langkah Arnold. Cowok itu berbalik kembali. "Apa maksudnya?" tanyanya.

Vale tersenyum kecut. "Halah nggak usah sok-sokan lupa deh, Kak. Basi tau nggak."

"Apa sih maksud lo? Jangan ngambil kesimpulan sendiri," gertak Arnold telah mengenggam pergelangan tangan Vale. Sedikit banyak membuat mereka jadi atensi murid lain yang lewat.

"Ngambil kesimpulan sendiri? Sadar nggak, Kak. Apa yang lo bicarain setiap hari nggak pernah jauh-jauh dari Vanya. Vanya, Vanya, Vanya. Muak gue dengernya." Vale mencoba melepaskan cengkraman itu. Terlalu kuat. Tanda bahwa Arnold benar-benar marah.

"Gue sama dia cuma temenan. Lo tau itu?" tanya Arnold. Dia menarik Vale ke tempat yang lebih sepi.

Vale terkekeh kecil. "Iya, cuma teman. Sampe-sampe bicarain tiap hari, ya. Bahkan waktu kita jalan pun nggak jauh-jauh dari dia."

"Jangan childis," Arnold membuang muka ketika melihat Vale berkaca-kaca.

Vale mengangguk. "Gue emang childis, cengeng, sok cantik, pemarah. Tiap hari gue berusaha supaya lo lihat gue, Kak. Tapi apa? Bener kata Hiro, rasanya sia-sia aja."

Mata Arnold menajam ketika nama itu kembali disebut. "Apa mau lo?"

"Gue tunangan lo, bukan Vanya! Kalau lo emang nggak sanggup ngejalanin perjodohan ini. Mending kita bubar. Gue bakalan bilang sama mama. Mudah, kan?" tanyanya mudah. Bahkan ketika Vale berlatih berkali-kali di cermin, dia kesulitan. Mungkin karena dia berada di titik jenuh dan lelah pada keadaan.

"Tenang aja. Setelah masalah ini selesai, gue nggak bakalan ganggu lo lagi."

Arnold tergugu. Tidak menyangka kata-kata itu bisa keluar dari Vale. Rasanya aneh menangani Vale yang tidak peduli padanya. Vale yang berani menentang seperti ini. Mengembuskan napas kasar. Mengingat sifat Vale yang begitu menyukainya, dia yakin kalau ini cuma gertakan belaka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro