Bagian 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Antara percaya diri dan nggak. Pertama kali aku coba pakai baju seperti ini. Aku takut dapat respon buruk dari lingkungan. Baju ini aku beli lewat daring beberapa hari yang lalu. Menurutku, ini bagus dan nggak kolot banget, apalagi warnanya kalem. Lagian cuma ganti baju kayak gini saja masa bakal dapat respon buruk? Apa cuma aku saja yang terlalu takut?

Sebelum keluar kamar, aku kembalu memaatikan baju yang kupakai. Sumpah. Aku takut dikritik Mama. Setelah cukup percaya diri, aku memberanikan diri untuk keluar. Berharap orang rumah nggak kaget dengan baju yang aku pakai. Aku mengampiri Mama yang sedang menonton televisi di ruang tamu.

"Ma, gimana penampilan Sarah?" tanyaku pada Mama ketika tiba di ruang keluarga.

Mama menatap aku dari ujung bawah sampai atas. Aku hanya tersenyum lebar, berharap Mama kasih respon positif.

"Cantik. Mama suka." Mama memuji.

Napas lega kuhela. Sebelumnya, aku memang sudah bilang sama Mama kalau mau hijrah. Mama mendukung jika itu buat kebaikan. Aku senang dapat dukungan dari keluarga. Beberapa hari ini aku juga banyak lihat kajian online. Pada akhirnya aku mantap untuk berubah dari hari ini.

"Sarah ke distro, ya. Mau ada yang Alma omongin." Aku pamit.

"Iya. Hati-hati bawa motornya." Mama mengingatkan.

Tangan Mama segera kuraih, lalu mencium punggung tangannya. Setelah melmbaikan tangan, aku berlalu dari ruang keluarga. Sebenarnya, aku kasihan dan berat hati kalau ninggalin Mama sendirian di rumah, tapi Alma minta aku buat datang ke distro karena ada yang mau diomongin mengenai pernikahannya. Mau nggak mau aku harus ke sana.

Aku menghela napas ketika tiba di tempat kerja. Ribet. Biasa pakai celana panjang, sekarang pakai gamis, bikin nggak bebas gerak. Tapi semua ini demi berubah. Harus ada pengorbanan untuk menjadi lebih baik. 

"Mbak Sarah."

Panggilan itu membuat aku segera menoleh ke sumber suara. Senyum kuukir ketika melihat Jasmin berdiri di depan pintu masuk. "Alma sudah datang?" tanyaku padanya.

Dia mengangguk dan tersenyum, sedangkan aku masuk ke dalam setelah meraih tas yang tergantung di motor. Sekarang aku jadi hati-hati kalau jalan, nggak bisa pecicilan lagi. Aku bisa kesrimpet kalau pecicilan.

Pintu ruang kerja segera kubuka. "Rese lo, Al. Hari ini gue rencana nggak ke sini, malah lo suruh ke sini." Aku langsung membuka suara.

"Masyaallah! Ini lo, Sar?!" tanya Alma dengan nada kaget.

Tas kuletakkan di atas meja, mendaratkan tubuh di atas kursi, lalu membuka laptop. "Ya kali manusia jadi-jadian," balasku santai tanpa menatapnya.

"Sumpah. Lo cantik banget. Mimpi apa lo pakai gamis?" pujinya sekaligus meledek.

"Apaan, sih, lo. Lebay banget, deh. Lo kan yang minta gue berubah. Giliran gue berubah lo malah bilang gitu." Aku membalas kesal.

"Gue nggak nyangka saja lo bakal berubah secepat ini." Alma masih nggak percaya sama perubahan aku.

Alma nggak percaya, aku lebih nggak percaya kalau mau berubah sekarang.

"Gue nggak mau terlambat saja, Al. Lagian niat baik kan kudu segera sebelum kesempatan itu hilang. Betul nggak?" tanyaku meminta pendapat.

"Setuju. Gue dukung niat baik lo." Alma terlihat senang.

"Jadi gimana? Apa yang lo butuhin dari gue buat acara nikahan lo?" tanyaku mengubah topik obrolan menjadi serius.

"Gini, Sar. Gue mau minta lo jadi pagar ayu di pernikahan gue. Gue juga mau undang Bara buat jadi pembuka pengajian di nikahan gue nanti. Gue mau ajak lo ke rumah Bara sekaligus antar undangan. Mau nggak?" ajaknya.

"Jadi pagar ayu? Nggak, ah. Gue malu. Yang lain saja, deh." Aku menolak.

"Yah, kok lo nggak mau, sih? Padahal gue pinginnya tuh elo." Alma terdengar kecewa.

"Gue malu, Al. Gue nggak biasa begituan." Aku masih kukuh.

"Please, demi gue. Gue mau elo jadi salah satu pagar ayu gue." Alma masih tak mau kalah.

No! Sekali nggak ya tetap nggak. Aku tetap menolak keras buat jadi lagar ayu di pernikahan dia. Biarlah dia kecewa kali ini saja asal nggak bikin aku malu. Walaupun merasa serba salah, tapi aku benar-benar nggak bisa. Jujur, aku memang nggak pernah jadi pagar ayu dan nggak mau sampai kapanpun. Alasannya ya karena itu. Malu. Sekarang aku mengalahkan Alma dalam hal membujuk. Aku menang dalam bertahan dari bujukannya.

"Ya sudah, tapi lo harus datang saat prosesi siraman dan pernikahan gue lebih awal. Gue nggak mau tau." Alma merajuk.

"Siap, Bos. Yang penting gue nggak didandanin kayak lenong," candaku.

"Tinggal bujuk Bara, semoga dia mau jadi pembuka di acara siraman dan pernikahan gue. Cuma dia yang bisa gue harapkan mau menerima permintaan gue," lanjutnya.

Senyum lebar kusungging. "Maaf ya, Al. Gue beneran nggak biasa digituin."

"Ya sudah, mau gimana lagi." Alma pasrah.

Serius, sebenarnya aku beneran nggak enak sama Alma. Mau gimana lagi. Lagian dia punya banyak saudara, kenapa nggak minta mereka saja yang jadi pagar ayu dan malah suruh aku yang jadi pagar ayu dia. Takutnya nanti dia kalah saing karena aku lebih cantik dari dia. PD banget aku.

Kami segera meninggalkan distro untuk ke rumah Bara. Perasaan nggak ada habisnya urusan dengan Bara. Aku kira, setelah urusan mengenai galang dana itu, aku nggak bakal ketemu lagi sama dia, tapi sekarang ada saja yang bikin aku ketemu sama dia. Bikin aku galau saja kalau lihat dia.

Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, aku dan Alma tiba di rumah tujuan. Alma turun dari motor ketika tiba di depan pintu gerbang rumah Bara, lalu membuka tas untuk mengambil HO. Seperti biasa, aku selalu tersenyum kalau sudah lihat halaman rumah orang tua Bara. Adem. Jadi pingin punya rumah seperti ini.

"Lo sudah kasih tau Bara kalau kita mau ke sini?" tanyaku pada Alma.

"Sudah. Ini lagi gue WA kalau kita sudah sampai," balasnya sambil sibuk ngetik pesan.

"Siapa?!"

Seruan itu membuatku menatap ke sumber suara. Terlihat seorang lelaki berumur sekitar lima puluh tahun berdiri di halaman rumah ini. Sepertinya itu ayah tiri Bara.

"Assalamu'alaikum, Om. Saya Alma, teman SMA-nya Bara." Alma mengenalkan diri.

Benar dugaanku. Beliau ayah tiri Bara sesuai panggilan Alma. Bara terlihat mengampiri sang ayah, lalu berbicara pada beliau. Tak lama, Bara dan ayahnya mengampiri kami.

"Alma, Sarah," sapa Bara pada kami.

Senyum kusungging saat mereka tiba di hadapan kami.

"Ini Alma dan Sarah, Bi. Mereka yang bantu Bara mengenai donasi kemarin." Bara mengenalkan kami pada ayahnya, lalu membuka pintu gerbang untuk kami.

Beliau hanya mengangguk sambil tersenyum ramah. Aku dan Alma pun membalas beliau dengan hal yang sama. Kami masuk ke dalam setelah mendapat izin. Seperti biasa, kami langsung digiring ke pendopo, lalu duduk di sana.

"Hasan mana, Bar?" tanya Alma ketika kami sudah duduk di pendopo.

"Sudah berangkat dua hari yang lalu," balas Bara.

Seperti biasa, aku hanya menjadi pendengar setia obrolan mereka. Entah kenapa rasanya canggung kalau sudah di depan Bara. Lagian, aku mau ngomong apa sama Bara? Di sini,  yang punya kepentingan dengan Bara adalah  Alma. Aku cuma jadi obat nyamuk mereka.

Suara salam seorang wanita membuat aku terkesiap, menatap ke sumber di belakang tubuh aku. Ternyata ibunya Bara yang mengucapkan salam. Beliau mengampiri kami sambil membawa nampan berisi minuman dan makanan.

"Wa alaikumussalam," lirihku.

Alma langsung mengulurkan tangan, meminta untuk berjabat tangan dengan beliau setelah meletakkan nampan tersebut di hadapan kami. Aku pun melakukan hal yang sama.

"Tante apa kabar? Sehat?" Alma menyapa beliau.

Tugas menyajikan minuma yang dibawa oleh beliau dilakukan oleh Bara. Hanya bisa menatap gerakan Bara yang selalu bikin aku kagum dan nggak bosan buat natap dia.

Ya Allah, siapa sih yang nggak mau punya suami seperti dia? Tampan, baik, pintar, hafal Quran. Sempurna banget dia.

"Jadi gini, Tante. Maksud kedatangan Alma ke sini mau kasih undangan ke Bara dan keluarga di acara pernikahan Alma. Insya Allah acaranya Minggu depan. Semoga Tante bisa hadir di acara pernikahan Alma. Sekaligus mau minta tolong Bara buat jadi pembuka acara saat siraman dan saat hari ijab kobul Alma. Semoga Bara mau karena acaranya pas hari libur." Alma mengungkapkan.

Dah, aku benar-benar jadi pendengar setia mereka tanpa komentar. Alma sibuk ngobrol dengan Bara dan ibunya, sedangkan aku hanya jadi patung. Mau pura-pura nggak dengar, tapi suara mereka terdengar. Lebih baik aku cari pengalihan biar nggak bosen. Apalagi kalau nggak main HP?

"Insyaallah, akan aku usahakan. Jam berapa acaranya?"

Suara itu membuat aku mengalihkan pandangan. Ternyata Bara menerima permintaan Alma. Aku meletakkan ponsel di atas meja, lalu menyimak obrolan mereka. Sesekali Alma mengeluarkan candaan, membuat Bara tersenyum lebar.  Tanpa sadar aku ikut tersenyum karena terbawa suasan.

Duh, aku kenapa, ya. Kok sampai segininya sama dia.

"Ayo, silakan diminum Nak Alma dan Nak Sarah."

Instruksi dari ibunya Bara membuat aku terkesiap, meraih salah satu minuman yang tersaji, lalu meneguknya perlahan. Bagaimanapun aku harus terlihat kalem di depan mereka.

"Sebelumnya, Ibu mau terima kasih pada kalian karena mau membantu Bara mengenai donasi untuk negara kelahiran Bara. Ibu hanya bisa mendoakan, semoga Allah selalu merahmati kalian dan memberkahi usaha kalian. Ibu juga bersyukur karena Bara bisa bersahabat dengan teman sebaik kalian." Tante Maryam mengungkapkan.

Yups. Nama ibunya Bara adalah Maryam. Beliau wanita kuat yang  telah melahirkan Bara. Beliau wanita yang telah kehilangan suami dan anaknya karena kekejaman Israel. Sumpah. Aku nangis waktu tahu kalau Bara pernah punya adik kandung, tapi meninggal karena jadi korban kekejaman Israel. Aku nggak bisa bayangin kehidupan mencekam di sana. Nggak salah kalau ayah tiri Bara memboyong mereka ke sini supaya aman. Sebenarnya, Bara ingin tinggal di sana, tapi Tante Maryam menolak. Cukup ayah dan adiknya yang menjadi korban. Masih banyak orang yang hidupnya dirundung ketakutan di sana. Mau bagaimana lagi? Mereka sedang mempertahankan negara tempat kelahirannya sekaligus mempertahankan kiblat kedua umat Islam setelah Kabah.

Tepukan pelan di paha membuat aku menoleh ke arah Alma. Dia bikin bubar pikiranku saja. Kedua dahiku terangkat meminta jawaban dari apa yang dia lakukan.

"Aku mau mengungkapkan sesuatu sama kamu," bisik Alma.

Posisi duduk segera kubetulkan. Siap mendengarkan ungkapan Alma.

"Sar, Bara mau minta tolong lagi, tapi nanti setelah dia pulang dari Palestina." Alma menyampaikan.

Minta tolong lagi? Setelah pulang dari Palestina? Apa Bara mau ke sana? Serius? Kapan?

"Sar."

"I-ya. Boleh. Nanti aku bantu." Aku tersenyum lebar.

"Terima kasih." Bara membalas.

Obrolan singkat tadi bikin aku kepikiran. Jadi beneran Bara mau minta tolong lagi? Dia mau ke Palestina? Dia bakal ketemu aku lagi di distro? Kok aku jadi penasaran seperti ini?

☆☆☆

Setelah dari rumah Bara, aku dan Alma tiba di distro. Kami sudah duduk di kursi kerja masing-masing. Tugas negara juga masih numpuk karena Alma mau cuti.

"Al, Kapan Bara mau ke Palestina? Bukannya dia mau datang di acara pernikahan Lo?" tanyaku.

"Setelah dari acara pernikahan gue, katanya. Lagian dia ke sana sudah direncanakan jauh-jauh hari. Dia ke sana kan pakai uang sendiri,"jelas Alma.

Dia ke sana pakai uang sendiri? Sampai segitunya?

Suara pesan masuk bikin pikiranku buyar. Aku segera meraih HP yang tergeletak di atas meja. Nama pengirim pesan membuat mataku melotot seketika. Panjang umur.

From: Bara Hameed
Aku lupa.
Tadi malam Hasan kirim foto.
Katanya disuruh sampaikan ke kamu.

Pesan dari Bara bikin aku tersenyum. Apalagi ada foto atas nama aku. Dapat salam dari Turki. Semoga suatu saat nanti bisa ke sana bersama suami. Walaupun entah kapan punya suaminya.

To: Bara Hameed
Ya Allah, aku senang banget.
Salam terima kasih buat Hasan, ya.
Terima kasih karena sudah ingat aku.

Setelah membalas peaan Bara, aku menatap Alma. "Al, gue dapat kiriman foto dari Hasan lewat Bara." Aku menunjukkan foto yang dikirim Bara ke Alma.

"Kok gue nggak dapat? Hasan curang, ih." Alma iri.

"Sana minta sama Hasan," balasku.

"Nggak, ah, malu." Alma menimpali.

Aku kembali menatap foto dari Hasan, lalu menjadikannya foto profil di WhatsAap. Nggak nyangka kalau cuma aku yang dikasih foto ini sama Hasan, sampai bikin Alma iri. Sudah aku suruh minta sama Hasan langsung malah nggak mau. Ya sudah. Kesempatan biasanya nggak datang dua kali.

♡♡♡

Aku juga senang di bab ini. 😅
Nggak sabar kan nunggu gimana uwwuw nya Bara.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro