II. Shall We?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tante Dian is calling...

Mama Lithani.

Mata Stevan menyipit melihat nama yang berkedip di layar handphone-nya. Tidak biasanya nama itu meneleponnya, apalagi masih saat jam kerja seperti ini.

Pikiran Stevan langsung ke mana-mana. Apakah ada sesuatu di Bandung yang terjadi sehingga Dian menghubunginya? Mengapa Dian tidak menghubungi Lithani saja? Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi pada Lithani!

Dengan waswas, Stevan menekan tombol hijau di layar handphone-nya untuk menjawab panggilan itu.

"Halo, Tante!" sapa Stevan. Dia memaksakan senyum untuk menyembunyikan kegugupannya.

"Hai, Stevan! Gimana kabar kamu?" Suara Dian terdengar sangat ceria. Stevan menghembuskan napas lega mendengar suara Diana yang jauh dari kesan menyampaikan kabar buruk.

"Aku baik, Tan," jawab Stevan. "Tante dan Om baik juga, 'kan? Maaf ya, belakangan ini jarang ke Bandung sama Lithani." Dian tertawa di seberang sana.

"Ah, nggak apa-apa, Stev. Malah Tante dan Om mau ke sana," kata Dian.

"Oh, ya? Kapan?" tanya Stevan.

"Pas hari ulang tahunnya Lithani, Stev. Tapi kamu jangan bilang-bilang sama Lithani dulunya, biar surprise gitu," kata Dian.

Ah ya, bentar lagi Lita ultah. Belum cari hadiah buat dia.

"Beres, Tante! Nanti perlu aku jemput?" tawar Stevan.

"Nggak usah, Stev. Bian yang nyetir," jawab Dian.

"Bian? Bian siapa?" tanya Stevan bingung.

"Fabian, temen dari kecilnya Lithani. Minggu lalu dia baru balik dari Hongkong. Makanya dia mau ikut ke Jakarta. Kangen sama Lithani, katanya. Eh, kamu jangan marah, loh, kalo Bian kangen sama Lithani. Dari kecil mereka deket banget," jelas Dian. Stevan mengangguk-angguk pelan. Lalu dia tersadar bahwa Tante Dian tidak bisa melihatnya.

"Ah, Fabian maksudnya. Aku nggak apa-apa kok, Tan. Lithani juga sering cerita tentang Bian," jawab Stevan.

"Baguslah, kalo gitu. Tante minta tolong ya, Stev, kamu atur kejutannya buat Lithani," kata Dian. "Jangan bilang-bilang Lithani kalo Fabian dan keluarganya mau dateng juga."

"Sip, beres, Tan," kata Stevan. "Lithani pasti suka kejutan seperti ini."

"Oke, kalau gitu Tante tutup dulu teleponnya, ya," kata Dian. "Kalian saling jaga satu sama lain ya, Stev. Kalo kalian butuh sesuatu, jangan ragu kasih tahu Tante, ya."

"Iya, Tante. Makasih, ya. Salam buat Om," balas Stevan.

"Sampai ketemu, Stev."

Tut... tut... tut...

Stevan meletakkan handphone-nya di atas meja. Senyum menggantung di wajahnya. Stevan bersyukur bahwa kedua orangtua Lithani menyukai dan mempercayainya sebagai kekasih putri tunggal mereka. Dia suka meluangkan waktu denga keluarga Lithani yang sudah menganggapnya sebagai anak sendiri.

Ah, ada Fabian.

Kadang Stevan gemas ketika mengingat sosok pria yang belum pernah ditemuinya itu. Stevan sudah mendengar banyak tentang Fabian dari Lithani. Pertama kali mendengar nama Fabian, Stevan cukup shock mendapati luapan rasa sayang pada nada bicara Lithani. Dia sempat tidak percaya diri untuk mendekati Lithani karena merasa tidak ada ruang lagi dalam hidup Lithani.

Namun, takdir sepertinya berpihak pada rasa sukanya pada Lithani. Dibantu dengan kenyataan bahwa Fabian berada jauh dari Lithani, Stevan bisa dekat dengan Lithani. Di hari wisuda Lithani, Stevan membawakan bunga dan menyatakan perasaannya pada Lithani. Lithani menerima perasaannya itu seakan dia sudah menunggu Stevan untuk menyatakan perasaannya.

Selama berpacaran, Lithani cukup bisa menahan diri untuk tidak terlalu sering membicarakan Fabian. Namun, Stevan selalu tidak suka ketika Fabian menelepon Lithani dan ngobrol tentang apa saja yang melintas di pikiran mereka. Pembicaraan yang setidaknya memakan waktu setengah jam tersebut bisa membuat darah Stevan mendidih karena cemburu. Biasanya setelah Lithani selesai menelepon, Stevan akan memberinya ciuman-ciuman panas dengan pelukan posesif. Dia ingin menegaskan bahwa Lithani adalah miliknya. Lithani boleh menelepon Fabian sepuasnya, tetapi hanya dia yang bisa menyentuhnya seperti itu.

Stevan mengusap rambutnya ke belakang. Daripada terus menerus memikirkan Fabian, dia harus fokus pada apa yang akan dia berikan untuk Lithani sebagai hadiah ulang tahunnya. Stevan membuka browser di laptopnya dan mulai mencari ide hadiah ulang tahun untuk Lithani.

***

Hari ulang tahun Lithani jatuh pada hari Sabtu. Stevan sudah memesan sebuah ruangan VIP di salah satu restoran Chinese food untuk makan siang. Stevan juga sudah memberitahukan hal ini kepada Dian. Rencananya seluruh keluarga akan berkumpul di sana. Stevan akan membawa Lithani ke sana.

Pagi harinya, Stevan sudah datang ke rumah Lithani dengan membawakannya bunga mawar pink dan merah sejumlah dengan usianya. Kedatangannya disambut dengan muka yang masih mengantuk walaupun Lithani tersenyum gembira melihat bunga yang dibawa oleh Stevan.

"Bae, kamu mandi dulu sana! Payah banget sih, di hari ulang tahun malah bangun siang-siang. Masa aku disambut sama bau iler?" kata Stevan sambil menggandeng tangan Lithani. Lithani tertawa pelan sambil mengendus harumnya bunga mawar dari Stevan.

"Salah kamu sendiri datangnya kepagian," kata Lithani. "Semalem aku teleponan sama Abi. Dia ngucapin selamat ulang tahun, terus ya ngobrol sana sini." Stevan mendengus pelan. Memangnya apa lagi yang bisa terjadi? Setiap ulang tahun Lithani, pasti Fabian yang pertama mengucapkannya. Sepertinya mustahil bisa menjadi orang pertama untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada Lithani, karena Fabian selalu menjadi yang pertama.

"Anyway, happy birthday ya, Lithani Sayang! Aku sayang kamu," kata Stevan, lalu mengecup kening Lithani. Lithani menengadah memandang wajah Stevan. Pacarnya itu sudah ganteng maksimal, dengan wajah yang bersih dari facial hair yang Lithani yakin baru pagi itu dicukur Stevan.

"Kamu nggak mau cium bibir aku?" goda Lithani sambil memonyongkan bibirnya.

"Sikat gigi dulu, sana! Kamu tuh ketauan banget fresh from the bed, tau nggak!" ledek Stevan sambil mendorong-dorong Lithani masuk ke kamar mandi. Lithani tertawa-tawa lalu menutup pintu kamar mandi.

"Bae, bunganya masukin ke vas dong," teriak Lithani dari dalam kamar mandi.

"Iya, Sayang, ini aku lagi cari vas," sahut Stevan.

Lithani cukup lama berada di kamar mandi karena dia memutuskan untuk sekalian mandi saja. Dia tidak mau kalah dengan penampilan Stevan yang sudah rapi dan wangi.

Ketika keluar dari kamar mandi, Lithani bisa mencium wangi kopi memenuhi rumah mungilnya. Lithani memejamkan mata dan menghirup dalam wangi kopi. Dia bukan penikmat kopi seperti Stevan, tetapi dia suka dengan wanginya.

Setelah menukar bajunya, Lithani mendekati Stevan yang sedang mempersiapkan sesuatu di dapur.

"Bae, kamu bikin apa?" tanya Lithani sambil memeluk Stevan dari belakang. Stevan menoleh dan tersenyum pada Lithani.

"Aku bikin sandwiches dan teh buat kamu," jawab Stevan. "Maaf ya, skill aku di dapur cuma segini." Lithani terkekeh.

"Nggak apa-apa kok, Bae!" kata Lithani, lalu dia mengecup pipi Stevan.

Tak lama kemudian, Stevan menaruh piring sandwiches-nya di atas meja makan. Lithani membantu untuk memindahkan cangkir teh dan kopi mereka.

"Nggak usah terlalu kenyang makan paginya ya, Cantik. Siang nanti aku ajak kamu makan di luar," kata Stevan.

"Tumben kamu ajak makan siang? Biasanya selalu dinner," kata Lithani. Stevan tersenyum.

"Sekali-kali yang anti mainstream dong, Lit!" kata Stevan.

"Iya, deh. Terserah kamu."

***

Lithani nyaris melompat ketika dia melihat Fabian muncul dan membawakan kue ulang tahun untuknya. Dian dan Heru ikut tersenyum senang melihat reaksi Lithani. Sudah pasti ini kejutan yang sangat menyenangkan bagi putri semata wayang mereka.

"Astaga! Abi!" seru Lithani sambil menutup mulutnya. Dia melirik ke arah Stevan yang sedang tersenyum simpul padanya. Stevan lalu mengangguk pada Lithani. Lithani berdiri dan menghampiri Fabian.

"Hai, Lit! Happy birthday." Fabian memajukan kue ulang tahun yang dibawanya sehingga lebih dekat dengan Lithani. Lithani tersenyum lebar. Matanya berkaca-kaca. Dia terlalu senang melihat Fabian hari ini setelah sekian lama mereka hanya bertukar pesan tanpa berjumpa.

"Make a wish before you blow the candle!" Lithani mengangguk patuh. Dia memejamkan matanya dan memanjatkan doa sebentar, lalu dia meniup lilinnya.

Fabian menaruh kue di atas meja, lalu dia merentangkan tangannya pada Lithani. Lithani langsung menghambur ke pelukan Fabian. Fabian membalas pelukan Lithani dengan erat. Rasa rindu pada teman kecilnya ini terbayar sudah.

"Ehem!" Stevan bersuara untuk menyudahi adegan yang membuat matanya perih. Dia berjalan mendekat ke arah mereka.

Fabian terlebih dulu melepaskan pelukannya, disusul oleh Lithani yang terlihat enggan.

"Hai, Fabian. Gue Stevan." Stevan mengulurkan tangannya pada Fabian. Fabian langsung menyambutnya.

"Please, Bian aja," kata Fabian. "Nice to meet you."

Stevan hanya mengangguk.

"Mama, Papa sama Lili juga di sini." Fabian memberitahu Lithani sambil membuka pintu ruang VIP mereka. Roy dan Juliana – orangtua Fabian – dan Filia, panggilannya Lili – adik Fabian – masuk ke dalam ruangan. Lithani langsung menghambur memeluk anggota keluarga Fabian. Stevan menatap nanar.

"Sorry, Stev. Kita memang sedekat ini. No offense, lho!" Fabian menepuk pundak Stevan sambil mengatakan itu. Stevan tersenyum mendengarnya.

Stevan sudah pernah dengar mengenai betapa dekatnya keluarga Lithani dan Fabian. Namun, entah mengapa, ketika dia melihat adegan demi adegan keakraban dua keluarga itu, dadanya merasa sesak. Dia merasa menjadi orang asing.

Lithani menoleh pada Stevan lalu dia mengamit lengan Stevan. Ah, meluap sudah rasa minder yang dirasakan Stevan. Selama Lithani masih menyadari keadaannya di tengah temu kangen ini, itu sudah cukup untuk Stevan.

"Tante, Om, kenalin, ini Stevan, pacar aku," kata Lithani. Stevan mengangguk dan menyalami keluarga Fabian.

"Akhirnya ketemu juga sama keluarga kalian. Lithani cerita banyak," kata Stevan dengan sopan.

Makan siang keluarga mereka berjalan dengan baik. Awalnya, Stevan merasa asing berada di tengah-tengah mereka. Namun, lama kelamaan, dia bisa membaur.

"Kalian sudah berapa lama pacarannya?" tanya Juliana pada Lithani.

"Ini tahun ke ... uhm, berapa, Bae?" jawab Lithani, sambil menoleh pada Stevan untuk meminta bantuan.

"Empat," jawab Stevan santai.

"Anjir, lama juga lo pacarannya," seru Fabian. "Tahan juga sama si Manja ini."

"Abi!" seru Lithani. Stevan tertawa.

"Kebetulan gue addicted sama manjanya," jawab Stevan.

"Sudah waktunya kalian menikah, Stev," celetuk Dian. Stevan tersedak ludahnya sendiri.

What? Nikah? Gue diminta nikah sama Lithani? Demi apa?

Ada gemuruh yang asing menjalar di dada Stevan mendengar permintaan Dian. Dia tidak menyangka permintaan itu datang secepat ini. Dia tahu bahwa empat tahun bukan waktu yang singkat, tetapi menurutnya Lithani masih terlalu muda untuk menikah.

"Y-ya, Tan?" Stevan menoleh pada Dian, meminta Dian mengulang kata-katanya. Bisa saja Stevan salah dengar. Bukan, dia pasti salah dengar. Tidak mungkin orangtua Lithani memintanya untuk menikahi putri mereka.

"Kalian kan sudah pacaran cukup lama. Mungkin sudah saatnya kalian pikirkan soal pernikahan," jelas Dian. Stevan masih terdiam sambil mencerna kata-kata itu. "Apa kalian masih meragukan satu sama lain sehingga belum membicarakan tentang itu?"

"Ah, bukan begitu, Tan," kata Stevan. Dia melirik Lithani. Lithani balas melirik, mengisyaratkan supaya Stevan saja yang angkat bicara. "Uh..." Stevan tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak punya persiapan sama sekali untuk menjawab pertanyaan dadakan yang bertema serius ini.

"Wah, Tan, masalah seperti ini, jangan tanya Stevan di forum terbuka seperti ini," ujar Fabian. Dia iba melihat Stevan tiba-tiba seperti ditodong. "Lebih baik dibicarakan baik-baik dalam keluarga."

"Kalian juga bagian dari keluarga, Bi," tukas Dian. Di sebelahnya, Heru menghela napas setelah membenarkan kata-kata Fabian dalam hati.

"Ma, sudahlah. Kita bisa bicarakan ini baik-baik, lain kali," kata Heru. "kalau mereka ke Bandung." Heru menoleh ke Stevan yang pucat. "Begitu lebih baik 'kan, Stev?" Stevan tidak menjawab. Dia malah terlihat sama sekali tidak mendengarkan apa yang baru saja Heru katanya.

Lithani menyentuh tangan Stevan.

"Bae?" panggil Lithani. Stevan menoleh pada Lithani dengan pandangan kosong. "Kamu ditanya Papa." Stevan mengerjapkan matanya, bersyukur Lithani membuka suaranya. Dan, tentu saja, dia mendengar kata-kata Heru barusan.  

"Oh ya, aku tahu. Maksudku, masalah ini, lebih baik aku bicarakan berdua dulu sama Lithani," kata Stevan. "Ya, Bae?" Stevan meremas tangan Lithani. Lithani bisa merasakan keringat dingin membahasi tangan Stevan. Lithani mengangguk pada Stevan untuk menenangkannya.

"Iya, kita omongin ini berdua dulu. Nikah itu serius, Ma. Mana bisa langsung ditanya begini?" kata Lithani. Ada sedikit nada kecewa dalam kata-kata Lithani walaupun dia menjawabnya dengan senyum.

Hanya Fabian yang menyadari sebersit kekecewaan dalam jawaban Lithani. Dia langsung menatap Lithani untuk memastikan hal itu. Matanya bertemu dengan mata Lithani yang sesaat melihatnya. Lithani langsung membuang pandangannya dan fokus pada Stevan. Seketika itu juga Fabian yakin, Lithani tidak setulus senyumnya.

Bahagiakah Lithani bersama Stevan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro