Special Part - Lithani's Happiness

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Stevan! Stev! Pa!" Lithani membuka pintu rumahnya sambil celingukan. Ruang tengah terlihat lengang. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Stevan, begitu juga Pedro, anak mereka yang berumur empat tahun. Bahkan suara tangis Patricia, putri kedua mereka yang baru menginjak delapan bulan juga absen.

Lithani berjalan ke arah kamarnya. Dingin yang menyusup dari celah pintu menyakinkan wanita itu atas keberadaan keluarga kecilnya. Pintu membuka sebelum sempat Lithani menyentuhnya.

"Mama!" Pedro memeluk lututnya. Lithani berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Pedro. Anak lelaki itu langsung menghujaninya dengan kecupan. Lithani terkikik senang. Walaupun wajah Pedro nyaris sama dengan wajahnya, kegemarannya mencium Lithani jelas menurut dari Stevan.

"Papa mana, Sayang?" tanya Lithani setelah mengecup kedua pipi bulat Pedro.

Pedro terkikik pelan sebelum menjawab dan mengulurkan jemari mungilnya mengarah ke kamar mandi di dalam kamar.

"Tuh, dedek pup!" ujar Pedro.

Lithani tersenyum tipis mendengar jawaban Pedro. Dia tahu benar Stevan paling tidak suka mengurus hal itu. Suaminya itu lebih rela dikejar-kejar Pedro sepanjang hari ketimbang mengganti popok. Bukannya dia tidak bisa, hanya saja dia lebih memilih untuk mengurus yang lain.

Lithani melepaskan Pedro dan berjalan ke arah kamar mandi. Dia melihat Stevan mendudukkan Cia di atas meja wastafel, sementara suaminya itu sedang mencuci tangannya dengan sabun. Lithani mendekat.

"Biar aku aja yang terusin," ucap Lithani. Stevan menoleh dengan binar mata penuh kelegaan. Dia mengeringkan tangan dengan handuk. Lalu menyentuh kepala Lithani dan mengecup pelipisnya.

"Thanks, Cantik," bisik Stevan. Lithani hanya tersenyum tipis.

"Tolong bawain belanjaanku masuk ya, Stev," pinta Lithani. "Masih di mobil."

"Beres, Sayang," balas Stevan.

"Papa, ikut!" rengek Pedro.

"Oke, kita balapan ya ke depan rumah!" Terdengar balasan Stevan.

"Mau!" sorak Pedro. "Papa di sini. Edo di situ."

"Kok papa suruh duduk di tempat tidur dan kamu yang buka pintu? Itu namanya curang," ujar Stevan.

Lithani hanya tersenyum mendengar interaksi ayah anak itu sambil membersihkan Cia dan mengenakannya popok yang baru.

"Kaki papa panjang-panjang," protes Edo. "Papa di sini!"

"Iya, iya. Perhitungan banget sih kamu," ujar Stevan.

"Apa perhitungan, Pa?" tanya Pedro.

"Ah, nggak penting. Jadi nggak nih, balapan sama papa? Nanti kena omel mama lho barangnya belum diturunin," elak Stevan. Dia harus lebih berhati-hati menggunakan kata-kata. Pedro, yang memang sudah bawel dari sananya, akan semakin bawel untuk mencecar hal-hal baru yang didapatkannya. Pilihannya hanya dua, pintar-pintar menjawab atau pintar-pintar mengelak. Dan Stevan lebih senang mengelak.

"Kunci mobilnya di atas meja ya, Stev," seru Lithani dari dalam kamar mandi.

"Iya, Cantik!" balas Pedro yang langsung kena omelan Stevan. Lithani hanya geleng-geleng saja mendengar interaksi mereka berdua.

Ini bukan pertama kalinya dia mendengar Pedro memanggilnya 'cantik'. Pernah suatu hari, ketika menjemput Pedro dari sekolah, anaknya itu berlari ke arahnya sambil berseru kencang, "Hai, Cantik!" padanya. Rona merah wajah Lithani tidak bisa disembunyikan. Ditambah lagi senyum ibu-ibu lain dan guru sekolah Pedro. Benar-benar malu.

Ketika dinasehati, anak lelakinya itu hanya merengut. "Curang, Papa selalu begitu, nggak diomelin. Edo kena omel." Lithani langsung speechless. Saat itu, dia hanya tersenyum canggung sambil menggandeng Pedro pulang. Wanita itu memutuskan untuk membicarakan hal ini pada Stevan saja.

Sejak saat itu, tidak ada lagi panggilan-panggilan manis. 'Bae' berubah jadi Stevan atau papa. Dan 'Sayang' dan 'Cantik' berubah menjadi Lita atau mama. Hanya di saat-saat tertentu saja panggilan-panggilan itu terucap lagi. Tentunya di luar sepengetahuan anak-anak mereka.

***

Malam itu, Lithani sudah selesai menidurkan Pedro dan Patricia, dia kembali ke kamarnya. Mendapati Stevan sudah tertidur dengan posisi setengah badan masih bersandar di kepala ranjang. Remote TV masih ada di atas perutnya dan giliran TV yang menonton suaminya. Stevan pasti kelelahan. Sepanjang sore, Pedro menempel padanya dan mengajak main kuda-kudaan. Setelah puas, Stevan masih harus mengejar Pedro ke sana kemari untuk menyuapi anak itu makan malamnya sementara Lithani menyusui Cia.

Lithani mengambil remote dan mematikan TV. Dia membangunkan Stevan supaya lelaki itu bisa mengubah posisi tidurnya menjadi lebih nyaman. Suaminya itu membuka mata dan melihat Lithani yang tersenyum padanya.

"Kamu cape ya, abis dikerjain Pedro?" ujar Lithani. Stevan mengangguk sambil juga tersenyum. Dia senang Lithani memutuskan untuk membiasakan anak-anak mereka tidur di kamar terpisah sejak kecil, sehingga mereka masih punya waktu untuk berduaan.

"Sini, Sayang," ujar Stevan sambil menarik tangan Lithani. Dengan senang hati istrinya itu menjatuhkan diri di samping Stevan. "Aku sih nggak keberatan kalau sekarang dikerjain kamu juga."

Stevan mulai menggoda Lithani.

"Apaan sih, emangnya aku Pedro, suka kerjain kamu," elak Lithani. Dia capai, ingin istirahat. Namun, dia sebenarnya juga mau bermesraan dengan suaminya itu. Dan kalimat yang keluar dari Stevan adalah undangan tersirat.

"Ya udah, kalau kamu nggak mau kerjain aku. Aku aja yang kerjain kamu, gimana?" todong Stevan. Lelaki itu berbalik cepat dan mengurung Lithani dalam kunkungan lengannya. Dikecupnya bibir wanita itu berkali-kali sampai Lithani pasrah dan membalas ciumannya. Mudah sekali membuat istrinya ini mengikuti keinginannya.

Tangan Stevan sudah terlebih dulu menyelinap di balik piyama istrinya dan menyentuh kulit hangat Lithani. Dengan cepat dia menyentuh celana pendek yang dipakai Lithani, hendak melucutinya. Namun, gerakan itu gagal karena Lithani terlebih dahulu menahannya.

"Pi-pintunya, aku belum kunci," bisik Lithani. Stevan mendengkus. Dikecupnya kening Lithani lalu menjauh dari tubuh istrinya.

"Kamu buka bajumu, dan aku yang akan kunci pintu. Udah harus siap pas aku balik ke sini," perintah Stevan. Lithani tertawa pelan.

"Siap Papa Stevan!" balas Lithani sambil mengedipkan mata.

Stevan langsung melesat keluar kamar dan memeriksa semua akses rumah mereka. Begitu dia kembali ke dalam kamar, dia melihat Lithani sudah berbaring di balik selimut tebal mereka. Sekilas dia bisa melihat kulit Lithani yang bersih menyembul dari balik selimut, memberikan sedikit petunjuk bahwa istrinya itu sudah siap menyambut gairah mereka. Stevan memutar kunci kamar lalu segera bergabung dengan Lithani.

"Masih ada sisa kondom nggak? Aku belum mau hamil lagi," ujar Lithani sambil mengamati Stevan yang melucuti pakaiannya sendiri.

"Habis, belum beli. Kamu tadi belanja nggak sekalian," jawab Stevan. "Udahlah, nggak udah pake juga nggak apa-apa. Aku udah menguasai trik-trik tanpa kondom tanpa bikin kamu hamil. Kalau enggak, Cia nggak bakalan lahir empat tahun setelah Pedro."

Lithani tertawa. "Iya deh, aku mah nurut aja. Kan kamu juga yang harus kerja membesarkan mereka."

Stevan menjawil hidung Lithani.

"Berhenti bicara, Sayang. Mendesah aja," ujar Stevan. Lelaki itu meredupkan lampu kamar dan mulai memulai aksi kesukaannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro