VI. Karma

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Stevan mengutuk pelan. Meeting sudah berakhir berjam-jam lalu. Ansel sedang me-review minutes of meeting. Sedangkan Stevan sedang kebingungan mencari handphone-nya. Dia sudah mengeluarkan semua isi kantongnya, mengacak-acak isi koper dan menuangkan isi tas kerjanya. Benda berukuran lima inci itu tidak ada bersamanya.

"Sel, lo liat hape gue nggak?" Stevan bertanya dengan nada panik. Ansel yang sedang membaca materi meeting mereka langsung mendongakkan kepalanya.

"Nggak liat. Lo lupa kali taro di mana," jawab Ansel.

"Jangan-jangan ketinggalan di apartemen," ujar Stevan pada dirinya sendiri, tetapi cukup keras sehingga Ansel dengar.

"Apartemen?" ulang Ansel. "Kayaknya enggak deh, tadi pas landing lo pake buat kabarin Lithani kan?"

"Hah? Enggak kok. Gue..." Kalimat itu menggantung. Ansel langsung menyeringai pada Stevan. Dia sudah bisa menebak ada yang tidak beres dengan Stevan dengan tiba-tiba mau ikut meeting ke Bali bersamanya. Lalu Stevan juga berbohong mengenai telah menghubungi Lithani.

"Lo lagi ada masalah ya sama Lihani?" tebak Ansel tepat sasaran. Stevan diam saja. Wajahnya pucat.

"Jangan begitu, Stev. Kalau ada masalah itu diselesaikan."

"Diem deh. Nggak usah ikut campur," omel Stevan. "Gue sama Lithani baik-baik aja."

Ansel mendengus sinis mendengar jawaban Stevan. Terserahlah, kalau Stevan tidak mau dinasehati. Bukan urusannya juga.

"Kirim ke gue slide presentasi yang tadi, gue mau pelajari. Konsep promo mereka cukup menarik," ujar Stevan mengalihkan pembicaraan. Ansel tersenyum pada Stevan.

"Anak perusahaan gue semuanya pasti bagus, Stev. Nggak kayak lo yang hampir melewatkan meeting ini," pamer Ansel. Dia mengirim slide yang diminta Stevan melalui email.

"Brengsek! Udah cukup lo maki-maki tadi. Jangan ungkit lagi," kata Stevan sebal.

***

Jadwal Stevan terlalu padat sehingga dia tidak terlalu memikirkan soal handphone-nya lagi. Lithani pasti bisa mengerti situasi ini. Pekerjaannya menuntutnya untuk fleksibel berpergian ke mana pun dan kapan pun. Jadwalnya di luar kota pun tidak seluang ketika di kantor. Tak jarang Stevan tidak menghubungi Lithani beberapa hari karena jadwal padat itu.

Dengan alasan itulah, Stevan membujuk dirinya sendiri untuk tidak terlalu membesarkan masalah ini.

Lima hari telah berlalu. Ini malam terakhir Stevan di Bali. Besok siang dia akan kembali ke Jakarta. Stevan sudah merencanakan weekend penuh dengan hibernasi untuk mengembalikan tenaga dan pikirannya yang terkuras habis di Bali untuk bekerja.

Senin besok dia akan menghubungi Lithani dan menjemputnya seperti biasa. Itu pun kalau handphone-nya benar-benar ada di apartemennya. Kalau tidak, dia mungkin harus membeli yang baru karena dia sama sekali tidak ingat di mana dia meninggalkan benda itu.

Malam itu Ansel mengajaknya untuk makan malam di sebuah hotel berbintang di daerah Kuta, lalu lanjut clubbing untuk mengusir penatnya. Jujur saja, Stevan tergoda untuk ikut. Dia sudah lama tidak pergi clubbing. Namun, Stevan mengurungkan niatnya. Ini minggu yang padat buatnya dan tanpa kehadiran Lithani yang menjadi penangkal lelahnya, Stevan hanya ingin beristirahat.

Stevan sedang meluruskan pinggangnya yang sakit karena kebanyakan duduk sepanjang hari di atas tempat tidur. Dia menatap layar TV tanpa benar-benar menontonnya. Suara percikan air dari dalam kamar mandi sesekali terdengar sebagai latar.

"Stev, siap-siap gih!" perintah Ansel begitu keluar dari kamar mandi. Stevan hanya melirik Ansel dengan ekor matanya. "It's on me. Lo cuma ikut aja, nggak usah keluarin duit. Gimana?"

Sesaat Stevan ingin mengiyakan. Namun, dia tahu gaya clubbing Ansel sering kali berakhir dengan one night stand. Dan Stevan tidak mau bermain api.

Sejak menyandang status jomblo karena ditinggal menikah oleh mantan tunangannya, Ansel jadi 'liar'. Padahal jaman kuliah dulu, hanya Ansel yang menjunjung tinggi no pre-marital sex. Jangankan berhubungan intim, berciuman dengan pacar pun dia anggap dosa. Namun, lihatlah sekarang, Ansel berubah menjadi player kelas kakap.

"Gue nggak ikut, Sel. Badan rasanya mau rontok. Gue butuh hibernasi," jawab Stevan.

"Ah, payah lo! Nggak asyik. Ikutlah, jangan pikirin Lithani, dia nggak ada di sini. Have some fun, Stev. Gue nggak bakalan bilang apa-apa tentang ini kalo gue ketemu Lithani. Ya?" bujuk Ansel sambil mengancingkan kemejanya.

"Gue nggak ikut bukan karena Lithani," jawab Stevan. "Gue memang nggak mau."

Ansel mengedikan bahunya.

"Terserah lo deh, Stev. I'll definitely have some fun tonight," ujar Ansel. "Gue bawa kunci hotel ya. Lo nggak mau keluar kan?"

"Bawa aja, tapi please jangan bawa cewek ke sini," kata Stevan. Ansel tertawa.

"Kalo itu sih gue nggak janji," ucap Ansel. "Udah lama nggak main."

Stevan menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan Ansel.

***

Tidur Stevan terusik dengan bunyi pintu hotel yang dibuka dengan kasar. Lalu disusul dengan kekehan tertahan. Tanpa membuka mata, dia menajamkan telinganya. Suara tawa tertahan itu semakin jelas.

"Ah, sabar dong," rintih suara lain yang pastinya bukan suara Ansel. Suara seorang wanita.

Si Bego! Ngapain bawa cewek ke sini? Dia lupa ada gue di sini? Kenapa nggak buka kamar lain aja sih? Stevan mengumpat dalam hati.

"Duh, kamu nggak sabaran banget sih? Gaun aku susah dibuka nih."

Stevan semakin kuat memejamkan matanya sekaligus menghalau bayangan mesum yang mungkin sedang terjadi di dalam kamar itu.

"Lagian pilih gaun kok yang kayak gini." Suara serak Ansel terdengar di sela napasnya yang terengah-engah.

Kepala Stevan terasa mau meledak ketika di otaknya berputar bayangan adegan-adegan yang mungkin sedang dilakukan Ansel dengan wanita itu.

Apa yang ada di pikiran Ansel sehingga dia membawa seseorang yang jelas-jelas adalah pasangan one night stand-nya ke dalam kamar yang mereka tempati berdua? Tanpa malu-malu juga, Ansel tidak mengecilkan volume bicaranya, seolah-olah ingin membangunkan Stevan.

"Gaun ini yang bikin kamu tertarik sama aku, kan?" Wanita terkikik pelan sebelum mengerang penuh gairah. Entah apa yang sedang dilakukan Ansel padanya.

Stevan tidak tahan lagi. Dia menyibakkan selimutnya, mengantongi dompetnya dan keluar dari kamar tanpa menoleh lagi. Stevan membanting pintu kamarnya hingga tertutup. Dia tidak lihat banyak, hanya sekelebat bayangan seorang wanita yang sudah dalam keadaan setengah telanjang berada dalam pelukan posesif Ansel.

Stevan bersandar pada dinding lorong hotel dan mengatur napasnya.

Demi Tuhan, dia pria dewasa yang normal. Tidak ada seorang pun yang bisa bertahan mendengarkan teman sekamarnya bercinta. Stevan memutuskan untuk mencari kamar lain untuk tidur.

Setelah mendapatkan kamar lain, Stevan kembali berbaring di atas tempat tidur dengan ukuran king size. Bayangan wanita tadi serta suaranya yang manja penuh gairah masih bergaung di pikirannya, tetapi herannya itu tidak membuatnya bergairah, dia malah jijik memikirkannya. Dia lebih suka dengan sentuhan-sentuhan Lithani di punggung dan pinggulnya sebagai respon dari lumatannya. Mungkin Lithani terlalu sibuk menanggapi ciumannya ketimbang mendesah atau mengerang. Ah, memikirkan Lithani, Stevan jadi sangat merindukan pacarnya itu.

"Maafin aku ya, Cantik. Gara-gara marah sama kamu, aku jadi kena karma kayak gini," ucap Stevan pada udara kosong di depannya. "Aku kangen kamu."

***

Dalam penerbangan Bali - Jakarta keesokan harinya, giliran Stevan merepet memarahi Ansel yang sepertinya masih kehilangan setengah nyawanya.

"Lain kali, Sel. Jangan atur satu kamar sama gue. Kalo lo nggak sanggup bayar dua kamar, gue bisa bayar sendiri. Gila banget lo, begituan di kamar yang ada orang lainnya," omel Stevan.

"Lo kan cowok juga," balas Ansel asal. "Gue nggak keberatan berbagi, Stev. Cewek itu malah excited waktu gue bilang ada cowok lain di kamar. Dia bilang malah bakalan seru karena itu pengalaman pertama dia threesome. Eh, lo kabur!"

"Gue bukan cowok brengsek kayak lo. Gue punya pacar dan gue nggak mau ngerusak hubungan gue dengan hal-hal kayak gitu," protes Stevan.

"Ya elah, Stev, santai aja kali! Kenapa gantian lo yang marah-marah sama gue di pesawat? Balas dendam ya? Perasaan gue nggak heboh-heboh amat waktu marah sama lo gara-gara hampir ketinggalan pesawat," ucap Ansel.

"Nggak ada hubungannya, Bego!" maki Stevan. Ansel malah terkekeh. Stevan mengerang frustrasi. "Argh! Percuma gue ngomong sama orang mabok!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro