VIII. I Really Do

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lithani tidak tahu tepatnya jam berapa dia tertidur semalam. Yang pasti ketika alarmnya berbunyi, dia masih dalam keadaan mengantuk. Ditambah lagi dengan kepalanya yang berdenyut nyeri dan matanya bengkak karena menangis.

Lithani mengumpat dirinya sendiri. Bukankah dia sendiri sudah memutuskan untuk tidak membahas masalah pernikahan? Bukankah dia bisa melihat dengan jelas bahwa Stevan sangat terganggu mengenai hal itu? Pertanyaannya pada dirinya sendiri sama dengan pertanyaan Stevan semalam: Mengapa dia membuat semuanya runyam dengan mengungkit masalah pernikahan?

Alarmnya berbunyi lagi setelah memberikan perpanjangan waktu selama lima menit dari waktu seharusnya. Lithani mematikan alarmnya dan bersiap-siap untuk pergi kerja.

Setiap pagi, ada sopir kantor yang menjemputnya. Seharusnya sopir itu bertugas mengantar jemput Lithani. Hanya saja berhubung Stevan adalah sejenis pacar yang bertanggung jawab, maka Stevanlah yang menjemputnya dari kantor, kecuali Stevan sedang ada kerjaan atau sedang gencatan senjata seperti sekarang ini.

Lithani memutuskan untuk meminta maaf pada Stevan siang itu dengan mengajaknya makan siang bersama. Lithani mengirimkan ajakan makan siang itu, namun sampai waktunya, pesan itu hanya dibaca tetapi tidak dibalas oleh Stevan. Masa bodoh dengan keadaan itu, Lithani tetap mendatangi kantor Stevan.

Jam dua belas lebih sedikit, Lithani sampai di sana.

"Mbak, saya Lithani. Mau bertemu dengan Pak Stevan Harijanto," ujar Lithani pada resepsionis yang sama yang dulu melayaninya.

"Ditunggu sebentar ya, Bu Lithani," balas resepsionis itu. Lithani mengulaskan seutas senyum sebelum dia duduk di ruang tunggu.

Selang beberapa menit resepsionis itu mendekatinya. Lithani menyambutnya dengan tersenyum lebar.

"Maaf, Bu. Untuk sekarang, Pak Stevan masih meeting. Saya juga dapat pesan dari sekretarisnya Pak Stevan untuk Bu Lithani. Nanti malam Pak Stevan akan pergi ke Singapura untuk rapat dengan investor baru. Perkiraan lamanya tiga sampai lima hari," ucap si resepsionis panjang lebar.

Hati Lithani mencelos. Waktu Stevan benar-benar sedang padat. Minggu lalu di Bali dan minggu ini di Singapura. Lithani jadi merasa sangat bersalah pada Stevan. Jika dia tahu hal ini, maka kemarin dia membiarkan Stevan bermesraan dengannya. Kalau sudah seperti ini, terpaksa mereka harus menunggu satu minggu lagi. Uh, Lithani jadi ingin menangis lagi.

"Terima kasih ya, Mbak. Saya permisi dulu," pamit Lithani.

***

Mama is calling...

Lithani memberitahukan destinasi makan siang yang diingininya kepada sopirnya. Dering berikutnya, Lithani menjawab panggilan itu melalui headset.

"Halo, Ma!" sapa Lithani.

"Hai, Sayang. Mama nggak ganggu kerja kamu, 'kan? Ini jam makan siang loh," ujar Dian.

"Enggak kok Ma. Lita baru mau keluar makan nih," jawab Lithani.

"Sama Stevan?" tanya Dian.

"Enggak, Ma. Stevan lagi sibuk," jawab Lithani sekenanya.

"Oh, gitu. Berarti kalian belum sempet ngobrolin masalah pernikahan kalian dong?" tanya Dian.

Belom, Ma. Malah gara-gara mau ngomongin itu kita jadi berantem!

Lithani menghela napas, ingin sekali dia bilang begitu. Namun, dia tidak ingin membuat Dian khawatir.

"Masih sama-sama sibuk, Ma. Aku mau ngomongin kalau lagi santai aja," kata Lithani. "Mama tau kan kalo cowok itu pikirannya nggak bisa mikirin banyak hal sekaligus? Apalagi ini adalah hal yang besar."

"Iya, Sayang. Mama tau," ujar Dian.

Syukurlah, Ma. Setidaknya Mama nggak bakalan terlalu maksa.

"Tapi...," lanjut Dian.

Eh, ada tapinya. Huff...

"Waktu yang pas itu nggak pernah ada. Kita yang putuskan kapan waktu yang pas itu," ujar Dian.

Lithani hanya mengigit bibirnya dengan resah. Dia langsung kehilangan napsu makannya. Bagaimana cara terbaik memberitahu mamanya kalau sejatinya Stevanlah yang belum ingin menikah bukan dia yang mengulur-ulur waktu untuk bicara? Dipandangnya jalanan di luar kaca mobil untuk mengalihkan pikirannya dari kata-kata Dian.

"Lit, ingat umur kamu loh, kamu itu perempuan. Bukannya Mama keberatan kamu menunda atau gimana, tapi menikah itu baru awal. Kalian akan membina keluarga, mempunyai anak, dan mendidik anak-anak kalian. Perjalanannya panjang, Lithani Sayang. Kalau kamu menunda, kondisi fisik kamu nanti kurang bagus untuk memiliki anak. Lebih baik punya lebih dari satu anak, Lit. Nggak enak 'kan cuma sendirian? Kamu sih untung ada Bian dan Lili yang bisa kamu anggap sebagai keluarga. Tapi jaman sekarang, ya, Lit, sama tetangga aja kamu pasti nggak kenal. Apalagi Stevan tuh yang tinggal di apartemen, pasti nggak pernah lihat muka tetangganya."

Lithani hanya merespon dengan 'hm-hm' saja di sepanjang ceramah mamanya. Padahal tidak satu pun yang masuk ke dalam otaknya.

"Oh ya, ngomong-ngomong soal Bian, dia mau pindah ke Jakarta tuh besok. Mama suruh dia tinggal di rumah kamu. Kamu nggak keberatan, 'kan? Daripada kamu tinggal sendiri, Lit, bagus kalo ada cowok yang nemenin. Eh, tapi kamu jangan lupa kasih tau Stevan juga ya. Mama lihat kemarin pas ketemu kayaknya sih mereka akur-akur aja. Mudah-mudah dia nggak masalah Bian tinggal kamu. Stevan nggak cemburu 'kan, Lit?"

Lithani sudah tidak tahu lagi apa yang dibicarakan oleh Dian. Dia masih menjawab 'hm-hm' sambil sesekali disisipi 'iya', biar terkesan menyakinkan. Untungnya Dian tidak menyadari hal itu.

"Kalo gitu, kamu aja yang kasih tau Stevan ya, Lit. Mama mau makan dulu nih, Papa baru sampe rumah. Jaga kesehatan ya, Sayang!" ujar Dian.
"Iya, Ma!"

Akhirnya ceramah mama selesai juga!

Lithani menyimpan handphone serta headset-nya ke dalam tasnya lalu melanjutkan lamunannya sambil memandang padatnya Jakarta pada jam makan siang.

***

Malamnya, ketika Lithani sedang makan di rumah, ada pesan masuk dari Stevan.

Stevan: Bae, aku br landing di SG. Sorry, td ga bs ktm. Km lg apa? Udh mkn?

Lithani: Aku lg mkn. Km ke SG sama Ansel lg?

Stevan: Ga, sama asistenku.

Lithani: Milia or Fredy?

Stevan: Fredy, Sayang. Milia itu sekretarisku. Separate room, kali ini. Aku kapok.

Lithani: 😂

Stevan: Bs aku tlp skrg?

Lithani: ok

Selang beberapa detik nama Stevan berkedip-kedip di layar handphone Lithani. Lithani mengangkatnya.

"Halo, Lit!" sapa Stevan. Begitu mendengar suara Stevan, Lithani jadi ingin menangis lagi. Dia sungguh merasa bersalah pada prianya.

"Hai, Bae." Suara Lithani bergetar.

"Kamu masak apa hari ini?" tanya Stevan. Ada rasa rindu dalam suara Stevan. Dia pasti belum puas ngobrol karena pertemuan kemarin hanya sebentar lalu mereka berantem lagi.

"Uhm... nasi goreng," jawab Lithani.

"Oh, pasti enak seperti biasanya," balas Stevan. Suara Stevan terdengar sendu. Lithani meremas tisu di tangannya.

"Bae, aku minta maaf ya, soal semalam. Aku... aku egois. Harusnya aku..." Lithani tidak tahan lagi. Dia terisak pelan.

"Hey, Bae, Cantik, Sayang...." Semua panggilan sayang Lithani disebut Stevan untuk menenangkannya. "Jangan nangis dong, aku nggak ada di situ buat kamu. Udah ya."

"Tapi--"

"Please, Sayang. Aku nggak ada di situ. Jangan bikin aku makin nggak tenang. Jadwal kerjaku memang begini. Soal semalem, anggap aja selesai ya," ujar Stevan.

"Tapi aku salah," ujar Lithani.

"Iya, Cantik. Aku juga salah. Udah ya, jangan nangis lagi," kata Stevan. Lithani masih menyisakan isakan pelan, walaupun dia sudah merasa lebih tenang. "Duh, kamu lagi PMS ya? Sensitif banget sampe nangis segala."

Stevan memberi waktu sampai isakan Lithani benar-bebar berhenti.

"Aku makan dulu ya, Bae. Aku nggak janji bisa sering-sering hubungi kamu. Tapi sebisa mungkin aku kabari kalo aku bisa," ujar Stevan ketika isakan Lithani tidak terdengar lagi.

"Iya, aku ngerti kok. Jaga kesehatan kamu, ya. I love you," ucap Lithani. Di seberang sana, Stevan mengepalkan tangannya, menahan emosi yang membuncah di dalam dadanya. Sudah berapa lama dia tidak mendengar Lithani berbisik begitu lirih soalnya mencintainya via telepon?

Hal itu terjadi di masa-masa awal mereka pacaran sebelum Lithani mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Ketika Stevan dan Lithani menjalani hubungan jarak jauh selama beberapa bulan, hubungan mereka sangat intens melalui telepon berjam-jam setiap harinya. Ketika mereka sudah berada di kota yang sama dan frekuensi menelepon berkurang, kata-kata itu nyaris tidak pernah didengar lagi sebagai penutup interaksi mereka. Stevan terkejut mendapati dirinya sangat senang mendengar itu dari Lithani, walaupun tanpa dikatakan pun, Lithani telah menunjukkannya dengan sikapnya.

"I love you too, Bae!" kata Stevan tulus dan dengan segenap perasaannya. "I really do."

Stevan mengakhiri panggilan mereka sebelum dia berubah menjadi pujangga cinta di tengah keramaian Changi International Airport Singapura, lengkap dengan sepasang mata Fredy, sang asisten, yang memandangnya dengan aneh.

Sial, gue lupa ada bocah ini!

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro