Suara Dari Dalam Gelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara Dari Dalam Gelas


"Kirana Prameswari."

Entah sudah berapa ratus kali nama itu didengungkan Bram. Seperti mantra pemanggil roh halus. Jangan ditanya bagaimana tubuhnya merinding membayangkan gadis itu didekapnya dalam tidur malamnya yang nyenyak. Dan ketika terbangun wajah itulah yang diinginkan, membangunkannya dengan senyum.

Apakah gadis itu sebegitu susahnya untuk dimiliki? Lebih sulit dari apapun?

"Udah bangun, Sayang?"

Sesosok gadis yang hanya mengenakan handuk muncul dari kamar mandi. Tubuhnya yang tinggi semampai dihempaskan di atas kasur, tepat di samping Bram. Sambil duduk, ia menggosok-gosok rambutnya dengan handuk kecil. Rambutnya wangi shampoo beraroma melon. Tubuhnya beraroma melati.

"Udah dong."

Sekarang giliran Bram masuk kamar mandi. Namun handuknya masih melilit di tubuh Imelda. Ia tahu jika ia tidak perlu memaksakan handuk itu lepas. Jadi ditunggunya Imelda selesai berpakaian.

Tidak berselang lama setelah Imelda meninggalkan kamar Bram, tubuh jangkung Rian muncul. Bram yang sudah selesai mandi, mengambil kaus dari lipatan dan duduk masih dengan handuk melilit di pinggang.

"Ckck. Katanya udah tobat?"

Salah satu mantan pacar Bram diketahui hamil. Awalnya Bram mencurigai dirinya sendiri sebagai tertuduh. Fakta terakhir, gadis itu dinikahi cowok yang masih satu fakultas dengan Bram. Walau lepas dari jerat sebagai oknum yang bertanggungjawab, Bram sempat was-was juga. Aktivitas yang disebutnya sebagai "penyaluran hobi" sempat dihentikannya selama sebulan. Ketika bertemu Imelda, ternyata ia kambuh lagi.

"Ditawarin masa gue nolak?"

Rian sebagai penganut mazhab garis lurus, enggan membahas topik itu lebih panjang lagi. Bram bahkan sudah lupa semalam ia tidur dengan siapa. Tujuannya hanya bersenang-senang. Belum saatnya serius.

"Ya, ya terserah lo."

Rian datang untuk mengambil kamera yang dipinjam Bram kemarin. Sahabatnya itu tertarik dengan fotografi. Kamera DSLR itu dinyalakan.

"Keren kan hasil foto gue?"

Rian buru-buru menghapus foto yang diperlihatkan Bram. Sebuah foto dengan Imelda sebagai obyeknya yang hanya mengenakan pakaian dalam.

"Sialan! Lo ngotorin kamera gue." Rian membuka foto-foto lain, memastikan foto yang tertinggal bukan foto-foto yang kata Bram adalah masterpiece. Ia tidak mau kameranya berakhir menjadi barang bukti kasus pornografi.

"Hehe..."

Asap rokok yang disulut Bram menari-nari di udara. Otaknya tengah bersantai.

***

Irin dan Bagas memandang berkeliling. Kampus megah di hadapan mereka adalah kampus di mana Kirana kini melanjutkan studi. Mereka tidak pernah berpikir untuk kuliah di sana. Kedatangan mereka juga tidak ada hubungannya dengan akademik.

Mereka sampai ke kampus itu berbekal pengetahuan minim. Mulai dari keterangan Wulan tentang nama kampus Kirana berikut nomer handphone yang dicoba hubungi dan ternyata nyambung langsung ke Kirana.

Pertama mengobrol dengan Kirana, Bagas bisa menangkap keterkejutan. Dua tahun akhirnya ia bisa menemukan jejak sahabatnya lewat suara. Dan kini ia dan Irin menjejakkan kaki di Bandung, tempat persembunyian yang tidak begitu jauh namun tidak tertebak.

***

Mengapa Tuhan harus menciptakan kenangan? Mengapa ketika fase hidup terlewati Tuhan tidak menghapus yang telah terjadi itu?

"Silahkan, Rin, Gas."

Dari sebuah kafe kecil dekat kampus, tiga orang yang duduk bersama dalam satu meja menatap satu sama lain dengan canggung. Terlebih lagi Kirana yang tidak menyangka akan bertemu ke dua sahabatnya itu di kota ini. Tempatnya memulai kehidupan baru.

Sambil menyeruput jus apelnya, pandangan Irin terfokus pada Kirana. Ia menanyakan tentang kuliah Kirana, apakah baik atau tidak yang sebetulnya hanya basa-basi. Tentu saja baik. Ia tahu kemampuan Kirana dalam akademik dan tidak pernah ragu akan hal itu.

Dan bagaimana tentang kehidupannya di Bandung? Apakah Kirana baik-baik saja?

Bagas yang lebih banyak diam. Bertemu Kirana lagi setelah setahun tanpa kabar justru yang membuatnya paling canggung. Walau tidak ada yang berubah dari Kirana. Ia tetap kalem, murah senyum, sedikit pendiam. Kontras dengan Irin yang selalu menjadi bagian penggembira persahabatan mereka.

Ada yang kurang sejak Kirana pergi. Walau Irin yang ceria selalu bersamanya, tetap saja tidak menghapus kenyataan. Ada orang yang keluar dari persahabatan mereka. Ditambah dengan kenyataan bahwa Arkana tidak pernah kembali lagi ke Bogor.

Lalu akan seperti apa nasib persahabatan mereka nanti?

"Maaf, aku nggak bisa ngasih tau kalian alamat kosan aku."

Sebegitukah rapatnyakah Kirana menutup kehidupannya dari mereka berdua?

"Kok gitu? Trus kalo aku sama Bagas mau main ke Bandung?" Irin menatap sedikit sebal kepada Kirana. Tas ransel yang dibawanya berisi pakaian ganti dan perlengkapan mandi dan lain sebagainya. Sejak semula, ia berencana menginap di kosan Kirana. Ia benar-benar rindu mengobrol banyak dengan Kirana.

"Maaf banget. Aku belum siap." Kirana mengucapkannya dengan berat hati.

Persahabatan mereka lebih berarti dari kepentingannya sendiri. Ia sayang ke dua sahabatnya, bukti bahwa mereka menempati posisi di hatinya sedikit di bawah ibu dan adiknya. Namun untuk saat ini Kirana belum siap sama seperti ia belum siap menerima kehadiran laki-laki lain dalam hidupnya. Yang ia cintai dan sayangi.

Lalu lintas kendaraan yang ramai di sore hari itu menimpali obrolan mereka yang terputus-putus. Bagas mengambil inisiatif agar mereka cepat pulang sebelum malam. Nampaknya, rencana untuk berkeliling kota Bandung lebih lama, harus mereka urungkan. Kirana belum menghendaki keberadaan mereka, dan Irin maupun Bagas tidak bisa memaksa.

"Kabarin kalo kamu mau balik ke Puncak ya?"

Kirana mengangguk mendengar permintaan Bagas. Ia tidak tahu arti tatapan mata Bagas sebelum pergi. Penuh pengharapan, yang sayangnya tidak bisa diterjemahkan Kirana dengan baik.

Kirana masih mematung di pijakannya. Memandangi angkot yang bergerak semakin menjauh. Andai semuanya masih seperti dulu, tentu ia bukanlah ia kini. Yang berdiri kaku bak patung di pinggir sebuah jalan raya dengan satu tangan melambai lemah serta airmata yang meleleh di ke dua pipinya.

Belum lagi ia melangkah jauh menyeberangi jalan, sebuah tangan melayang menyambut tubuhnya yang oleng. Kirana menyeka airmatanya lalu menatap sebuah mobil truk yang berhenti mendadak di depannya. Ia bisa mendengar omelan kasar si pengemudi truk. Sesuatu tentang hati-hati dan pakai mata.

***

Sebotol air mineral dengan sedotan putih yang diselipkan ke dalam botol diangsurkan Bram kepada gadis yang duduk di sampingnya dengan tatapan kosong. Suara isak tangis gadis itu masih terdengar memilukan. Ia tidak tahu harus melakukan apa selain menyodorkan air putih. Setidaknya ketika airmata gadis itu mengucur, plasma dalam sel tubuhnya yang mungkin mengering bisa tergantikan dengan asupan air minum.

"Hampir aja cewek secantik kamu keserempet truk butut itu." canda Bram yang berulangkali menahan hasratnya untuk menyentuh Kirana. Memeluknya atau siapa tahu saja gadis itu butuh bahu untuk disandari. Demi langit dan bumi, Bram bersedia.

"Makasih ya," ucap Kirana dengan suara bergetar. Rasa syok nyaris tertabrak mobil bercampur perasaan sedihnya setelah Bagas dan Irin pergi.

Mungkin seperti itulah perasaan ke dua sahabatnya ketika ia pergi dua tahun lalu. Dan mungkin rasa sedihnya ini tidak sebanding dengan perasaan Bagas dan Irin ketika ia pergi diam-diam dan tanpa pamit kepada mereka. Tapi waktu itu Kirana tidak punya pilihan lain. Ia terlalu takut dengan masa lalu dan pergi adalah keputusan terbaik yang bisa diambilnya saat itu.

"No problem."

Kirana menatap lalu lalang kendaraan di depan mereka sambil meminum air mineral yang kini tinggal seperempat badan botol. Ia diam, Bram pun demikian. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Kirana tentang kehidupannya dan Bram dengan tebak-tebakannya tentang alasan Kirana sesedih itu sampai nyaris ditabrak truk di tengah jalan. Dua pikiran dari dua manusia berbeda yang masih belum menemui sinkronisasi untuk menjadi sebuah dialog.

Bram memendam keinginan untuk mengajak Kirana mengobrol. Hanya ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan ketika melihat orang lain bersedih. Menghiburnya atau membiarkannya tenang untuk sementara waktu sambil menunggu apakah ia akan bicara tentang penyebab kesedihannya atau tidak.

Setelah setengah jam diam duduk tanpa bicara, Bram menatap gadis di sampingnya, mengajaknya pulang. Ajaib, gadis itu tidak menolaknya. Tuhan sedang berbaik hati hari ini, menuntun kakinya pada tujuan dan waktu yang tepat. Ia ada di sana ketika mental gadis itu tengah goyah. Butuh sandaran.

Hati dan wajah Bram tersenyum. Menyelamatkan seseorang di jalanan membuatnya merasa lebih hebat dari pahlawan manapun.

Matahari baru saja tenggelam di ufuk barat. Waktunya beristirahat. Orang-orang yang pulang ke rumah masing-masing, begitupun burung-burung yang rindu sarangnya setelah ditinggalkan seharian.

***

Setelah menyalakan lampu kamar, Kirana membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan Bram masuk. Tempat kostnya tidak menyediakan ruang tamu. Dan membuka pintu lebar ketika ada tamu cowok adalah peraturan tertulis dari ibu kostnya yang terbilang super galak. Elsa yang malam itu belum pulang kerap mengeluhkan aturan ketat itu. Dengan aturan itu ia tidak leluasa ketika pacarnya datang bertamu.

"Mau minum apa?" tanya Kirana sambil menghampiri dispenser. Ia menyetel airnya supaya panas.

"Kopi, kalo nggak merepotkan," jawab Bram dalam hati girang.

Kirana mengangguk. Disobeknya satu sachet kopi instant, mengaduk air bercampur bubuk kopi dengan sendok hingga mengeluarkan aroma khas. Berjuang mengenyahkan bayangan wajah laki-laki di permukaan kopi racikannya. Laki-laki yang sangat suka kopi buatannya.

"Rasanya kayak pulang ke rumah gue. Kopi lo enak banget. Kayak kopi buatan nyokap gue."

Kirana menahan napas. Gugup bukan karena kehadiran Bram, tapi gugup karena bayangan, dan suara yang seperti terdengar dari dalam gelas. Ia mengambil tatakan cangkir untuk alas gelas keramik berisi kopi susu buatannya. Ia sama sekali tidak mencicipi, namun cukup yakin rasa kopi susu buatannya cukup manis. Diletakkannya gelas itu di depan Bram yang tengah duduk bersila. Ia sendiri, duduk dengan posisi duduk perempuan ketika lesehan atau menghadiri pengajian. Ujung-ujung roknya dirapikan agar menutupi lutut.

Setelah setahun menempati kamar kosnya, ini pertamakalinya Kirana menerima tamu cowok selain Alex, pacar Elsa yang kebetulan numpang duduk di kamarnya, menunggu ketika Elsa belum pulang. Itupun tidak pernah lebih dari sepuluh menit.

Lima menit pertama duduk di sana, Bram hanya memandangi langit-langit rendah kamar kos itu. Dinding tripleks tersaput cat tebal warna biru, yang sayangnya tetap tidak mampu menyamarkan garis-garis tebal warna cat sebelumnya. Jejak kreatif berbentuk menyerupai ombak dan ukiran rumit. Lantainya dialasi karpet biru, serasi dengan dinding. Tempat tidur kecil dengan seprai pink pudar. Sebuah lemari dengan laci-laci. Dua pasang sepatu di belakang pintu.

Bersih dan rapi. Ia membandingkan langit-langit kamarnya yang dihuni laba-laba, seniman yang menyulam jaring yang ditahbiskannya sebagai karya seni yang tidak perlu diusik keberadaannya.

Lima menit berikut, ketika terdengar suara adzan Maghrib, Bram menanyakan di mana ia bisa mengambil air wudhu. Kirana berdiri mendahuluinya mengantarkan ke sebuah sumur yang terletak di samping kamar yang terletak paling kanan. Pintu kamar itu terbuka ketika Indah, penghuni kamar itu mengintip ke arah teras. Mengucek mata melihat cowok ganteng sedang menimba air di sumur.

Sudah ganteng, alim lagi.

***

Bram bukan sosok religius. Sholatnya acap terlupa, baik ketika ia sibuk atau santai. Kecuali sholat Jumat yang rutin dilakukannya, walau kadang diabaikannya juga. Mungkin hanya shalat ketika hari raya yang setia dilakukannya sejak dulu, sejak SD sampai sekarang.

Shalat yang baru saja dilakukannya bisa disinonimkan dengan pencitraan yang acap dilakukan para calon kepala daerah atau calon anggota dewan. Ia kerap menyindir tingkah para petinggi negara itu dan sekarang ia tidak ada bedanya dengan mereka.

Kirana yang baru balik dari kamar sebelah masuk kembali ke dalam kamarnya. Dibukanya laci di bagian atas dan memasukkan sajadah yang tadi dipakai Bram.

Kirana mengharapkan cowok itu segera pulang sebelum makan malam. Namun tidak ada tanda-tanda si tamu akan pulang. Bram malah mengajaknya mengobrol tentang tempat kostnya yang dipuji Bram begitu bersih dan rapi. Kirana menjawab seadanya dengan sesekali melihat jam. Sindiran halus kepada si tamu.

"Makan yuk?" ajak Bram tiba-tiba.

***

Kepulan asap dari dua mangkuk bakso panas yang diletakkan beserta dua gelas air jeruk di atas meja mengundang rasa lapar. Perut Bram yang menggeram lapar sebenarnya lebih mengharapkan nasi goreng. Namun Kirana memesan bakso. Refleks ia juga memesan menu yang sama. Menyamakan selera walau setelah ini Bram akan memesan juga nasi goreng favoritnya untuk dibawa pulang.

Kirana menyantap baksonya dengan pelan-pelan. Sesekali diseruputnya kuah baksonya yang hanya dibumbui kecap dan jeruk. Ia tidak menambahkan saus dan sambal. Perut sensitifnya sering bermasalah dengan ke dua bahan tambahan yang tersaji di atas meja.

Bram membuka sebungkus rempeyek kacang dan sebungkus kerupuk udang., menawari kepada Kirana yang menolak dengan cepat. Masih lapar karena porsi bakso yang sedikit, diambilnya lagi dua buah lontong, dimasukkan sekaligus ke dalam kuah bakso dengan dua butir bakso di dalamnya.

Kirana tersenyum, paham betapa makhluk di depannya itu dikendalikan sepenuhnya oleh rasa lapar. Ia menyeruput air jeruknya sebagai pengalihan dari tawa yang hampir kelepasan. Berpikir mungkin saja Bram belum makan sejak pagi.

Porsi makan laki-laki memang tidak bisa disamakan dengan perempuan.

Di salah satu meja, tepat di dekat kasir berisi tiga remaja perempuan yang tengah serius membahas isi BBM di ponsel mereka masing-masing. Jika tidak salah lihat, salah satunya adalah adik Sylvia, pacar Bram di fakultas Ekonomi. Pacarnya itu senior yang sekarang sedang mempersiapkan skripsi. Sylvia kerap menunjukkan proposal dan hasil penelitiannya di salah satu bank swasta, meminta tanggapan Bram soal itu. Dari sekian jumlah pacarnya, Sylvia termasuk cewek yang otaknya lumayan berisi, walau Bram kurang nyaman dengan sifatnya yang posesif.

Terserahlah jika ABG itu mengadu kepada kakaknya. Hubungan mereka juga kerap diwarnai putus sambung. Anggap saja hubungan mereka memang sudah bubar.

"Biar gue yang bayar." Bram yang tidak suka dibantah lekas mengeluarkan selembar uang biru dari dompetnya. Setelah menunggu kembalian, ia dan Kirana melangkah beriringan keluar dari warung bakso.

Seperti pasangan kekasih.

Semilir angin yang menerpa wajah Kirana membuat poninya berantakan. Ia menarik karet pengikat rambutnya dan merapikan rambut dengan mengikatnya lagi. Rambutnya kini sudah sebatas punggung. Mahkota kebanggaan yang tidak pernah dibiarkannya pendek sejak masuk SMP.

Mau ke mana lagi sih?

Sejam lamanya mereka berputar-putar mengelilingi kota Bandung. Tidak jelas apa yang dituju dan apa yang dicari. Bram meliukkan motornya kemanapun ia suka. Menjawab seadanya pertanyaan demi pertanyaan Kirana yang mulai menganggap jalan-jalan mereka tidak menyenangkan sama sekali.

Di sebelahnya Bram yang baru saja memarkirkan motornya, memesan nasi goreng untuk dibungkus.

"Ini nasi goreng favorit gue. Terenak se-Indonesia."

Berkali-kali Kirana meminta diantarkan pulang, namun Bram menolak. Sekali ini ia ingin mengajak gadis itu jalan-jalan keliling kota Bandung dengan motornya. Gadis itu kalau tidak diikat erat, akan mudah lepas.

"Abis ini, kamu harus nganterin aku pulang."

Bram melihat jam di ponselnya lalu meliriknya. "Baru jam sembilan. Kosan kamu kan tutup jam sepuluh."

"Tapi aku ngantuk!" Kirana menegaskan nada suaranya.

"Gue bakal anter pulang dengan selamat, paham?"

Kirana yang belum juga hapal jalan pulang menuju tempat kosnya tadinya ingin naik taksi saja. Tapi uang yang dibawanya tidak banyak. Cowok gila yang tadinya hanya mengajaknya makan bakso ternyata menyalahi janji. Sekarang bisa dibilang hidupnya tergantung di pundak cowok itu.

Setelah nasi goreng selesai dibuatkan, Bram mengatakan kalau ia akan mengantar Kirana pulang. Kirana tidak begitu antusias mendengarnya. Ia sudah terlalu kesal dengan Bram.

***

"Nggak usah dianterin sampai ke dalam."

Motor Bram sudah terlanjur masuk ke dalam halaman tempat kos Kirana. Kirana segera melompat turun dari motor dan berlari menuju kamarnya.

Suara ketukan pintu yang ia tahu adalah Bram, membuat kekesalan Kirana berlipat-lipat. Apalagi ia mendengar suara dua orang bercakap-cakap di depan kamarnya. Satu suara Bram, dan satunya lagi suara Indah. Membahas tentang dirinya. Gilanya lagi, kok bisa-bisanya Bram menyebut Kirana sebagai pacar?

Kirana terpaksa membuka pintu supaya pikiran Indah tidak dikontaminasi dengan kebohongan Bram. Wajah Bram tersenyum dengan kantong kresek hitam di tangan kanannya.

"Buat kamu."

"Nggak. Makasih."

Bram menarik tangan Kirana dan memaksa Kirana menerima kantong plastik itu. "Thanks for tonight."

Wangi nasi goreng dan martabak menguar dari dalam kantong plastik di tangannya. Kirana menelan kata-katanya sendiri.

***

Pagi-pagi, sebuah motor hitam terparkir di halaman kos petak Kirana. Bram yang pagi itu sudah mandi dan berpakaian rapi menunggu di teras kamar Kirana.

"Mau dianterin ngampus nggak?"

Kirana yang pagi itu masih memakai piyama dan handuk tersampir di pundak kanan plus keranjang berisi perlengkapan mandi di tangan kiri rasanya ingin kembali masuk kamar dan mengunci dirinya di dalam kamar sampai malam. Elsa yang baru datang tadi Subuh juga berdiri di ambang pintu kamarnya sambil tersenyum-senyum.

"Gantengnya pacar Kirana," puji Elsa senang. Ia tahu jadi memiliki bahan ledekan baru untuk tetangga kamarnya. Wajah cemberut Kirana menyambut celetukannya.

"Thanks." Bram menerima uluran tangan Elsa untuk bersalaman. "Bram. Teknik Arsitektur."

Elsa yang kuliah di kampus lain dan memang tidak pernah kenal Bram, manggut-manggut. Dari beberapa cowok yang mendekati Kirana, sepertinya cowok ini yang paling agresif. Feelingnya mengatakan, cowok seperti Bram yang cocok untuk Kirana yang sepertinya anti cowok itu.

"Elsa, Ekonomi Manajemen. Gue beda kampus." Elsa lalu menyebutkan nama kampusnya. Salah satu universitas swasta yang cukup terkenal di Bandung.

"Udah lama di sini?" tanya Bram ramah. Ia tahu salah satu tips mendekati cewek adalah mendekati orang-orang di sekitarnya. Termasuk Elsa.

"Kalo di kosan ini baru setahun lebih. Beda sebulan dari Kirana. Gue duluan. Gue aslinya Tasikmalaya. Kalau lo?"

Bram menggaruk dagunya. "Gue lama di Jakarta. Kuliah baru gue ke sini."

Jakarta. Arkana.

"Iya ya? Orang Jakarta banyak juga yang kuliah di sini?"

Bram menambahkan. "Orang Bandung juga banyak yang ke Jakarta."

"Lebih adem di sini kan daripada Jakarta?"

"Begitulah."

Pembicaraan antara Bram dan Elsa masih berlanjut. Kirana menutup pintu kamar mandi yang baru saja dipakai mandi penghuni lain. Air dari keran yang mengalir ditampung di sebuah baskom besar warna hitam. Ia berdiri sambil menanggalkan piyamanya. Menutup matanya yang mulai berkaca-kaca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro