15. Tama: Bukan Lagi Fiksi Ilmiah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Day 15: Buatlah cerita yang ternyata sang tokoh utama dan seluruh keluarganya adalah alien dari galaksi lain

Tama selalu penasaran dengan apa yang ada di balik pintu paling ujung pada lantai dua rumah mereka. Tama pertama kali menemukannya saat berusia sepuluh tahun. Ia masih ingat betul bagaimana dirinya yang masih kanak-kanak bertanya pada Ayah dan Mama mengenai pintu tersebut. Namun, jawaban mereka kompak: suatu hari nanti, Tama akan menemukan jawaban soal itu.

Bertahun-tahun, rahasia di balik ruangan itu tersimpan rapat. Disebut rahasia karena jelas kedua orang tuanya menyembunyikan sesuatu. Logikanya saja: untuk apa mereka enggan memberitahu kalau tidak menyimpan sesuatu, entah apa pun itu, di dalam sana. Hingga kemarin Tama resmi menginjak usia delapan belas tahun, dia masih sama: clueless. Tidak tahu apa pun, meski barang secuil petunjuk saja.

Jangan tanya apakah Tama pernah diam-diam mencoba mencari tahu. Tentu saja jawabannya iya. Namun, sekeras apa pun usaha Tama, dia tetap tidak bisa mengungkapkannya.

"Tama."

Suara Ayah. Saat ini mereka sedang makan malam bersama.

"Ya?" Tama mengangkat wajah, menoleh.

"Setelah ini, ada yang ingin Ayah bicarakan. Kamu enggak ada rencana ke luar atau membuat janji temu, kan?"

Tama menggeleng. Mengiyakan pertanyaan itu. "Kenapa, Yah? Sekolah Tama baik-baik aja. Enggak ada masalah."

"Bukan soal sekolah, Tama." Kali ini, giliran Mama yang menyahut.

Kalau begitu? Tama bertanya-tanya. Sempat tebersit dugaan. Jangan-jangan kedua orang tuanya hendak memberitahu rahasia yang mereka simpan selama ini. Namun, lebih baik menyingkiran praduga itu daripada harus kecewa jika seandainya bukan itu yang akan mereka bicarakan.

"Ayah mau ngomongin apa?" Tama melempar suara lebih dulu ketika mereka selesai makan dan menuju ruang tengah. Dengan Ayah dan Mama duduk bersebelahan. Sementara, Tama duduk di seberang mereka. Berhadap-hadapan. "Ini soal Tama?"

"Bisa dibilang begitu." Ayah berdeham. "Ayah dan Mama tahu kalau kamu penasaran dengan ruangan di ujung lantai dua sejak lama."

Oh. Tama sedikit terkejut. Rupanya dugaan sekilas itu memang benar. "Iya." Tama mengamini.

"Usia kamu sudah delapan belas. Kami rasa, sudah saatnya kamu tahu kebenaran soal keluarga kita," Ayah melanjutkan.

"Sebentar, Yah." Jujur saja, keterkejutan Tama bertambah dratis meskipun sebisa mungkin dia tidak menunjukkannya melalui ekspresi wajah. "Ayah bilang, ruangan itu berhubungan dengan sesuatu soal keluarga kita?"

"Ayah." Mama menyela sebelum Ayah kembali mengatakan sesuatu. "Lebih baik langsung tunjukkan aja."

Ayah diam. Tampak berpikir sejenak. Lalu mengangguk. "Baik. Ikuti Ayah dan Mama, Tama."

Tama bangun, mengekor di belakang kedua orang tuanya. Menaiki anak tangga satu per satu lalu berjalan menuju ruangan tersebut. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap hingga mereka bertiga sampai di tujuan.

Ruangan itu. Tatapan Tama lurus ke depan. Sama sekali tidak berkedip saat Ayah merogoh kunci dari saku celana. Memasukkan ke dalam lubang lalu memutar kenop. Sedetik kemudian, pintu terbuka sepenuhnya, menampilkan apa yang ada di baliknya selama ini.

Dan, pemandangan yang ada sama sekali di luar ekspektasi Tama. Bahkan bisa dibilang di luar nalar, dalam arti sebenarnya.

Berbagai peralatan yang tidak pernah Tama lihat, bahkan di video pembelajaran sekolah mengenai alat-alat ciptaan manusia yang diklaim sebagai penemuan termaju saat ini. Saking terpananya, Tama sampai tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk mendeskripikan apa yang tengah dia saksikan. Semuanya seperti berasal dari masa depan.

Ruangan itu sendiri didominasi warna putih bersih, hampir mengilap menyerupai permukaan perak. Andai Tama berusia sepuluh tahun menyaksikan semua ini, mungkin dia akan segera menarik kesimpulan kalau mereka sedang masuk ke dalam dimensi paralel atau bersiap melakukan perjalanan menggunakan mesin waktu. Persis seperti cerita fiksi ilmiah kesukaannya selama ini. Ah, jangankan Tama versi sepuluh tahun. Tama yang saat ini sudah delapan tahun lebih muda pun merasa kalau rahasia orang tuanya benar-benar berupa potongan dari masa depan.

"Apa ini menjawab rasa penasaranmu selama ini, Nak?" tanya Ayah tiba-tiba.

Tama tergagap, tidak tahu harus menjawab apa saking terbuainya untuk sesaat. Terlebih begitu Ayah berbalik dan memegang kedua pundaknya. Menatap Tama tepat di iris mata. Membuat Tama bisa merasakan keseriusan ayahnya ketika berkata,

"Ini adalah rahasia keluarga kita."

Rahasia keluarga? Tama berusaha mencerna dua kata tersebut. "Maksud Ayah, kita adalah orang yang berasal dari masa depan?"

"Kamu anak yang cerdas, Tama. Kami selalu tau dan yakin soal itu." Mama tersenyum, mengangguk. "Lebih tepatnya, kita adalah makhluk dengan peradaban yang diimpikan oleh manusia."

Kali ini, mulut manga menganga lebar. Cengo. "Hah?"

Tama tidak seratus persen serius ketika melemparkan kesimpulan barusan. Dia masih dipengaruhi kebingungan, juga rasa kagum yang tidak habis-habis. Namun, mendengar jawaban Mama, justru menghapus kekaguman Tama, menyisakan bingung belakang. Terlalu bingung.

"Itulah fakta yang sebenarnya." Ayah sama sekali tidak tersendat ketika mengamini pernyataan Mama. "Kita bukan manusia, Tama. Kita … makhluk, makhluk yang berasal dari luar planet ini. Bahkan kita bukan bagian dari galaksi ini."

"Kami tau ini mungkin sulit diterima. Maka dari itu, kami memutuskan untuk menunggu kamu cukup dewasa sebelum memberitahu semuanya."

Kalau boleh mengakui, rasanya Tama bahkan belum sedewasa itu untuk tidak terkejut dengan klaim kedua orang tuanya.

"Kami harap, keterkejutan kamu hanya sebentar, Nak," kata Ayah. "Kita memiliki tugas yang harus diselesaikan sesegera mungkin agar bisa kembali ke tempat kita berasal."

"Ayah, Mama." Tama menyela. "Kalau ini cuma prank karena Tama suka baca science fiction, Tama janji, habis ini bakal lebih rajin belajar dan enggak ngomongin hal-hal berbau fiksi lagi."

"Sayangnya, ini realita, Tama." Mama menepis kebimbangan Tama. "Kamu pasti pernah membaca, atau seenggaknya tau, dengan yang namanya alien. Benar?"

Tama mengangguk. Tidak menyukai ke mana pembicaraan ini akan berujung.

"Dari kacamata manusia, kita adalah salah satu di antara sekian banyak alien yang mereka yakini keberadaannya dan jadikan inspirasi bacaan kamu."












Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro