Bab 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bandung adalah kota kuliner yang penting dalam perkembangan bisnis di Indonesia. Termasuk salah satu kota metropolitan dengan populasi lebih dari delapan juta orang. Kota ini biasa menjadi sasaran liburan masyarakat sekitar Jakarta di akhir pekan. Selain kuliner, Bandung juga terkenal dengan fashion dan wisata alamnya, alhasil kota ini pun ramai dikunjungi oleh para wisatawan.

Usaha restoran L'Acino milik keluarga Fio belakangan memberikan balik modal yang cukup besar. Banyak review dari para pelanggan yang menyatakan kepuasan dalam pelayanan serta kelezatan khas Italia dari restoran tersebut sangat diakui.

Tadi siang, Aaron menemui klien penting yang sengaja ia tunjuk sebagai pengelola restoran L'Acino yang baru. Pria itu melakukan ekspansi ke kota Bandung dengan beberapa pertimbangan di atas. Sebagai manager pusat, Aaron diminta Miranda untuk mengatur acara grand opening cabang Bandung yang rencananya diadakan minggu ini.

Lelaki itu dengan wajah berseri-seri menghampiri Fio di kamarnya. Gadis itu tak bergerak, pandangannya kosong ke luar jendela. Aaron memanggil namanya berkali-kali, namun Fio tak membalasnya.

"Fi?"

"Eh?! Iya?" kaget Fio saat bahunya ditepuk dari belakang.

"Kamu ngelamunin apa, sih? Hati-hati kesambet!"

"Ah, eng-enggak ada, kok. Kakak ngapain ke sini?"

"Akhir minggu nanti kamu libur kerja, 'kan?"

"Iya."

"Kamu ikut aku, ya? Kita ke Bandung."

"Hah? Untuk apa? Liburan?"

"Ya ... anggep aja gitu. Sekaligus aku mau ajak kamu ke cabang resto baru kita di sana. Aku mau ngenalin kamu sebagai anak pemilik L'Acino."

"Buat apa, Kak? Nggak usah berlebihan. Aku yang malu nih," ucap Fio dengan lesunya.

"Malu? Tetep aja, Fi. Kali ini nggak ada bantahan, aku mau kamu ikut. Oke?"

"Ta–"

"Terima kasih, selamat tidur."

Aaron melenggang pergi dari ruangan seluas 26 m² tersebut. Fio bersungut-sungut karena perkataannya yang terpotong tidak Aaron dengarkan. Gadis itu tidak mau ikut, itulah keputusan finalnya. Fio tidak suka terlibat dengan hal-hal yang berhubungan dengan pengembangan bisnis papanya. Apalagi bertemu dengan banyak orang dan berpidato di hadapan orang kalangan atas. Fio tidak percaya diri dengan penampilannya. Tapi, Aaron malah memaksanya.

Mengubah kebiasaan atau ciri khas diri yang sudah melekat sejak lahir memanglah sukar. Fio memang suka berinteraksi dan pandai memberi solusi, tetapi tidak untuk face to face dengan orang lain. Ia belum siap. Bahkan mungkin tidak akan pernah siap. Fio takut dijatuhkan, dipermalukan, dan dihina. Fio takut membuat kecewa keluarganya.

"Argh! Kenapa harus ngajak aku segala?"

***

Hari yang dihindari Fio pun tiba. Setelah menempuh perjalanan selama hampir empat jam, Fio dan Aaron telah menginjakkan kaki di hotel bintang lima yang terletak di Batununggal. Lokasi yang berada di pusat kota sekaligus pusat hiburan itu dinilai strategis untuk berbisnis.

Siang itu mereka beristirahat, karena malamnya acara grand opening L'Acino akan dimulai. Fio memasuki sebuah suite room dan merebahkan badannya di atas ranjang king size. Di luar, tersaji pemandangan gedung-gedung perkantoran. Apabila hari berganti malam, Fio yakin, suasana kamar hotel yang berada di lantai atas ini akan sangat indah. Lampu-lampu kota yang berkelap-kelip akan menghiasi jendela kamarnya yang tembus pandang. Fio dapat tidur nyenyak dengan tirai terbuka.

Andaikan sesederhana itu. Namun, realitanya tidak seperti yang Fio harapkan. Dia datang ke Bandung untuk menemani Aaron mengurusi bisnis papanya, bukan untuk liburan. Apalagi, ia tak bisa santai. Ia hanya akan menginap malam ini karena keesokan harinya Fio harus kembali ke Jakarta dan memulai pekerjaan di kantornya. Ia harus bergelut dengan telepon masuk dari pelanggan dan menemukan kesibukannya selama jam delapan pagi sampai setengah lima petang.

"Huah ... melelahkan juga."

Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk. Fio berjalan menggerutu, mengumpati siapa pun yang berani mengusik waktu istirahatnya.

"Fi? Makan, yuk."

Fio menggembungkan pipinya. Tidak bisakah Aaron membiarkannya tidur saja? Gadis itu sangat lelah. Perjalanan empat jam itu menambah sempurna rasa letihnya setelah bekerja hampir seminggu di kantor. Bagaimana pun juga Fio seorang wanita, ia juga baru menerima pengalaman kerja. Tentu sulit untuk menyesuaikan diri dengan alur hidupnya yang baru.

Sedangkan Aaron, pria itu terkenal aktif dan seorang pekerja keras. Meskipun berselisih dua tahun di atasnya, Aaron sudah selangkah lebih maju. Lelaki itu selain menempuh pendidikan di Italia, ia juga belajar bekerja. Dapat dibayangkan, Indonesia dengan luar negeri memiliki perbedaan porsi kerja yang mencolok. Fio yakin, bekerja di luar negeri jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan. Jadi, kesimpulannya Aaron terbiasa dibuat lelah hingga otot-ototnya itu tak lagi mengenal kata 'pegal'.

"Aku mau tidur aja, Kak."

"Nggak boleh, makan dulu, Fi. Dari pagi kan kamu belum sarapan. Ayo!"

Aaron menarik lengan Fio, menuntun gadis itu ke sebuah lounge. Sekeras apapun Fio berusaha menentang kemauan Aaron, pasti tak pernah berhasil. Gadis itu memang berada dalam kendali sang kakak. Kepalanya beberapa kali meneriakkan kalimat, "Kak Aaron seperti ini untuk kebaikanmu, Fi. Sabarlah."

***

Fio duduk di kursi paling pojok. Setelah acara perkenalan diri, Fio memutuskan untuk menghilang dari pandangan Aaron. Ia mencari tempat yang tenang, di mana orang-orang tidak membahas soal bisnis di telinganya. Fio gelagapan sendiri kalau seseorang sudah menanyainya hal-hal terkait L'Acino dan ekspansinya. Fio tidak tahu-menahu soal itu, yang ia bisa adalah membantu para koki memasak di dapur dan bercakap dengan para pelanggan MyStore melalui telepon. Bukan mengenai pembukuan, akuntansi, atau hal lain sehubungan dengan manajemen restoran papanya.

Sedang asyik bengong, tiba-tiba seseorang menghampiri tempat duduk Fio. Gadis itu terkejut bukan main mengetahui wajah lelaki yang baru saja menyapanya itu.

"Dek Fio, lama kamu nggak main ke rumah om. Rupanya, kamu anak pemilik restoran ini, ya?"

"Om Rudi? K-kok ada d-di sini?"

"Manager baru yang mengelola restoran ini adalah temen om. Dia yang ngundang om buat datang."

"Ian ... juga?"

"Tuh."

Fio mengikuti arah pandang Rudi dan menemukan sosok Ian yang sedang dikerubungi gadis-gadis cantik. Entahlah, ada sedikit rasa tidak suka saat Ian sedang bercengkerama dengan manusia-manusia genit itu.

"Dek Fio, kamu belum jawab pertanyaan om. Kenapa kamu sekarang jarang main ke rumah? Apa kamu bosan?"

"Eh, bukan gitu, Om. Aku cuma ... anu ... itu," Fio gagap, mengusap leher bagian belakangnya. Ia kehilangan kemampuannya berkomunikasi dan menciptakan alasan. Pikiran Fio sungguh kalut.

"Ian nyariin kamu berhari-hari. Sekarang, dia nggak mau ngelukis lagi. Ian seperti kehilangan semangatnya."

"Om, serius?"

"Beberapa hari lalu, om lihat Ian bawa semua lukisannya ke gudang. Dia pasti sangat depresi karena nggak berhasil nemuin kamu."

"Maaf, Om."

"Nggak, Fi. Nggak perlu meminta maaf sama om, om cuma mau kamu ngabulin satu permohonan om."

"Permohonan apa?"

"Temuilah Ian. Dia sangat membutuhkanmu. Om nggak tega lihat dia kacau, setiap hari kerjaannya cuma ngelamun. Ian juga jarang sekali makan, om takut Ian sakit. Dia jadi begitu karena kehilangan kamu, Fi."

"Tapi, Om ... aku nggak bisa. Aku nggak sanggup ketemu sama Ian. Aku nggak mau kalau Ian ... Ian ...," ucap Fio yang tak sanggup ia lanjutkan.

"Percaya sama om," kata Rudi sambil menggenggam tangan Fio erat. "Ian akan selalu nerima kamu apa adanya. Dekati dia pelan-pelan, ya? Mulai semua dari awal. Seperti sebelum kalian dekat."

Bagaimana ini? Apa aku penuhi saja permintaan om? Apa aku harus menunjukkan diriku di depan Ian sebagai Fio? Gimana kalau Ian kecewa dan merasa tak sudi menerimaku?

Ya Tuhan, kenapa aku harus terlahir dengan wajah jelek, sih?

"Paman ngapain di sini? Aku nyariin dari tadi loh."

Kalimat Ian terhenti. Ia memperhatikan gadis yang duduk di samping pamannya itu dengan penuh interogasi. Gadis dengan rambut sebahu sedikit bergelombang. Kacamata minus tampak bertengger di wajahnya, kulitnya yang sawo matang serta tubuhnya yang kurus. Belum lagi, Ian melihat beberapa bekas jerawat di pipi sang gadis. Sudah jelas ini bukan kriteria pamannya. Tapi, Ian sepertinya kenal.

"Kamu? Kamu yang waktu itu hampir ketabrak mobil, 'kan? Pantas saja aku ngerasa familiar saat kamu naik ke panggung. Siapa, ya, tadi namamu?"

Fio dan Rudi saling bertatapan. Bibir Fio bergetar, ia hendak menjawab namun bingung mau mengeluarkan kalimat yang bagaimana. Satu yang ia khawatirkan, semoga saja Aaron tak memergokinya bertemu dengan Ian. Kalau tidak, kehancuran dan perang dunia tiga akan segera terjadi.

"Jovi. Nama aku Jovi," ungkap Fio spontan, sengaja menyamarkan namanya dengan nama panggilan baru.

"Sini Paman!"

Ian menarik lengan pamannya agar jauh dari Fio.

"Jovi, aku nggak tahu kamu tipe gadis yang seperti apa. Kamu kaya dan dari kalangan berkelas. Kamu bisa deketin siapa pun yang kamu suka, tapi tidak dengan pamanku."

Fio tercekat. Apa yang Ian bicarakan? Apa lelaki itu mengira Fio sedang menggoda Rudi? Konyol sekali.

"Paman hanya cocok dengan Tante Marry, jadi berhentilah berharap ia akan luluh padamu. Kamu ini ... bukan kriterianya. Sangat jauh dari kriteria cowok mana pun. Mengerti?"

Tidak. Fio, kamu lihat sendiri 'kan? Ian saja mengakui kalau kamu nggak masuk kriteria yang cowok inginkan. Ah, kenapa rasanya kalimat Ian sangat menyakitkan?

"Ian, jangan bicara begitu. Nggak sopan."

"Biarin aja, Paman. Lagian, ngapain Paman pegang-pegang tangan dia tadi? Tangan tinggal tulang aja dielus-elus. Pergi, yuk."

Lagi-lagi, ucapan Ian membuat hati Fio teriris. Seolah ada pisau imajiner yang menusuk-nusuk di dadanya.

Sakit banget, Ian. Apa kamu juga sama seperti cowok kebanyakan? Kamu juga mengandalkan kecantikan fisik dari seorang cewek?

***




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro