Bab 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fio bersemangat mengemasi barang-barangnya. Delapan jam di kantor rasanya seperti tiga hari tidak pulang ke rumah. Membosankan. Begitulah ia menjalani pekerjaannya untuk hari ini. Gadis itu tak sabar ingin segera berangkat ke restoran, menyaksikan bagaimana Ian mendekor ulang suasana restonya di hari pertama.

Fio mengabaikan orang-orang yang menatapnya bingung, tak biasanya gadis itu secerah ini. Meskipun di luar, cuaca sedang tidak mendukung—dengan awan hitam bergelantungan di atas langit—eksistensi Fio sendiri seperti matahari yang memancarkan kehangatan di tengah-tengah kedinginan, memancing rasa penasaran setiap insan yang berpapasan dengannya. Ia menjadi perhatian yang mengalihkan mereka dari ketergesaannya meninggalkan kantor demi menghindari hujan deras. Termasuk Jenni, wanita itu melongok begitu keluar dari lift. Melihat Fio berjalan terburu-buru di depannya, dengan kesit wanita itu menghentikan langkah Fio—hendak sedikit menginterogasi.

"Fi! Buru-buru amat, mau ke mana?"

"Ke restoran mama, Mbak."

"Resto? Wait, lo punya resto? Really? Are you kidding me?"

"Bukan aku, tapi orang tua. Aku nggak lagi bercanda, Mbak. Keluargaku emang punya restoran, Mbak mau liat?"

Ya, Jenni tentu saja ingin melihat-lihat restoran yang dimaksudkan Fio. Sayang, waktunya tidak tepat. Jenni ada janji bersama suaminya untuk makan malam bersama putri mereka.

"Yah, gue mau me time sama keluarga. Nggak sekarang deh, Fi. Tapi janji, lain kali gue mampir. Kalo perlu gue bawa pembeli hehe. Ntar kirimin aja alamatnya, ya?"

"Oke, Mbak," seru Fio sambil membulatkan jari, mempertemukan ujung telunjuk dan ibu jari kirinya.

"Eh, paper bag apa yang lo tenteng itu, Fi?"

"Ehm ... properti penyamaran, Mbak. Mbak Jenni pasti paham maksudku," jawab Fio. "Duluan, ya, Mbak!"

Jenni tersenyum garing. Tidak tahu kenapa ada setetes kekecewaan yang merambati pikirannya, menggeliat di benaknya. Tampaknya ia masih setengah hati membiarkan Fio yang polos dan sederhana berubah hanya demi mendapatkan tujuannya yang tak pasti.

Keputusan Fio dianggap terlalu dini, gadis itu gegabah. Padahal, Jenni sangat yakin kalau Ian bukanlah tipe pria seperti yang Fio bayangkan. Seandainya gadis itu mau menunggu lebih lama dengan menyuguhkan wajah aslinya, mungkin akan lebih bagus. Karena, misalkan rasa sakit itu datang menelusup keyakinan Fio, Fio sudah mempersiapkan pertahanan dirinya untuk tidak terluka lebih dalam. Fio akan bangga, setidaknya Ian membencinya karena tahu wajahnya dengan seadanya, tidak membenci karena bantuan perlengkapan make up dan metode mempercantik diri yang lumayan tricky.

Tubuh Fio pun menghilang ditelan dinding kamar mandi. Gadis itu sudah pasti tengah mengganti pakaian dan memoles wajahnya seperti yang kemarin diajarkan Jenni. Jenni yang mengetahuinya hanya dapat menghela napas panjang, berharap Fio mengakhiri kebodohannya ini.

***

"Kamu kenal anak saya udah lama?"

"Belum, Bu. Baru beberapa hari lalu. Kami bertemu di acara grand opening cabang resto ini di Bandung. Kebetulan, paman saya teman dari manager yang ditunjuk."

"Kalau begitu, kalian lumayan dekat, dong."

Miranda mengambil tempat duduk. Ia meletakkan dua cangkir kopi di atas meja, menunggu Ian menyelesaikan sedikit lagi pekerjaannya. Bibir wanita itu tersenyum, tampang Ian membuatnya terhibur. Mungkin karena tampan, atau memang kesannya menyenangkan, wanita itu tak paham.

Sesaat kemudian, suara rintik hujan terdengar. Aliran air yang bening mengalir seperti air terjun dari atap. Kaca bening di sebelah Miranda memperlihatkan sosok seorang gadis yang lari berjingkat-jingkat keluar dari taksi.

Otomatis, Miranda teringat akan pesan Fio kemarin malam. Ingat, Ma. Jangan panggil aku Fio di depan Ian. Panggil aku Jovi.

Apa yang sedang ada di otak anak itu? Batin Miranda.

"Sore, Ma!" sapa Fio yang baru masuk ke resto, bajunya lumayan basah. Miranda pun geleng-geleng kepala.

"Aduh, Vi! Nekat banget, ya. Kalau tahu hujan, mending minta diantar langsung ke rumah."

"Kok Mama sewot? Aku kan sengaja mau mampir ke resto, mau lihat hasil kerja Ian."

Gadis itu meletakkan tasnya di meja yang ditempati Miranda. Dengan antusias, ia setengah berlari, mengikis jarak dari seorang pria yang sibuk mengecat tembok—lebih tepatnya menggambari benda berbahan beton itu dengan beberapa cat bernuansa gothic.

"Ini Colosseum?"

Ian mengangguk. Menoleh sedikit dan menyadari Fio sudah berdiri tegak di sampingnya. Wajah Fio yang tepukau, membuat Ian semakin percaya pada takdirnya. Mungkin Tuhan telah merencanakan pertemuan kedua ini, batinnya berbisik.

Ekspresi gadis itu begitu polos, seperti bayi yang menemukan mainan baru, perhatiannya langsung terfokus ke arah itu. Fio membuka mulutnya saking terpesonanya dengan hasil karya Ian yang luar biasa indah.

"Yang itu–"

"Menara Pisa," sela Ian. Tangannya masih sibuk merampungkan lukisan dari bangunan tersebut.

"Sebenarnya, aku penasaran. Kenapa Menara Pisa bentuknya miring?"

Ian membisu, hingga sapuan kuas terakhirnya berhasil menyempurnakan gambar itu. Sekarang, Menara Pisa buatannya semakin terlihat jelas. Ian merapikan peralatannya, mencuci tangannya dan menghampiri Fio dalam keadaan lumayan bersih.

Fio menahan tawa sebab beberapa percik cat menodai muka Ian yang punya aura tersendiri. Tapi, lelaki itu tak acuh. Ian sadar, seburuk apapun cat itu mengotorinya, ketampanannya tidak akan berkurang. Lelaki itu mau berkata demikian, tapi takut dikatakan songong. Memuji diri sendiri dalam hati, tidak berdosa, 'kan?

"Kamu mau tahu, kenapa Menara Pisa dibangun dalam keadaan miring?"

Fio mengangguk. Miranda tak lagi ada di tempatnya tadi, tergantikan oleh dua manusia berlawanan jenis yang tengah duduk berhadapan. Saling berbincang serius.

"Awalnya Menara Pisa dibangun vertikal. Karena kondisi tanahnya yang berpasir, fondasi bangunan itu jadi lemah. Tanah itu nggak mampu menyangga beban menara yang berat, menara pun jadi miring di salah satu sisinya. Tapi, tahu nggak apa yang istimewa dari bangunan ini?"

"Apa?" tanya Fio begitu energik.

"Berawal dari ketidaksempurnaannya, Menara Pisa menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia."

"Hebat, ya. Padahal, apa yang menarik dari menara itu?"

"Ada pelajaran yang bisa dipetik dari Menara Pisa. Menara ini bertahan selama lebih dari delapan abad, terkenal di seluruh penjuru dunia justru karena ketidaksempurnaannya.

Di dalam kehidupan, banyak orang yang mengeluhkan sedikit ketidaksempurnaannya. Katakan bahwa mereka yang sempurna adalah mereka yang banyak mengeluh. Sebaliknya, orang yang memiliki keterbatasan dan ketidaksempurnaan bahkan bisa hidup lebih baik daripada orang yang sempurna secara fisik."

"Itu aja yang menarik? Baiklah, aku akui. Menara Pisa memang penuh makna. Tapi kalau dia berdiri tegak, mungkin pesonanya akan menyamai Eiffel."

Kamu nggak paham juga? Ah, sayang sekali. Kukira kamu bakal peka.

"Jangan membandingkan sesuatu hanya dari kesamaannya. Tapi, cari apa yang membedakan keduanya, yang membuat masing-masing terlihat istimewa," sergah Ian tak terima dengan opini Fio.

Tengah asyik bercerita, aktivitas kedua orang itu terganggu sebab mereka kedatangan tamu.

"Aaron? Kamu udah balik dari Bekasi? Katanya baru bisa balik besok," seru Miranda samar-samar dari arah pintu masuk.

Fio terperanjat, tidak bisa! Gadis itu tidak boleh membiarkan Ian bertemu dengan Aaron, rahasianya sebagai Fio nanti bisa terbongkar.

Aku harus cegah supaya Kak Aaron nggak ketemu Ian di sini!

"Ehm, Ian, aku tinggal sebentar, ya? Kamu di sini dulu. Jangan pergi!"

Ian mengangguk, menyesap kopi yang disuguhkan Miranda. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Ia tahu siapa Aaron. Ian tidak lupa betapa dulu pria bersurai kecokelatan itu mendesaknya agar menjauh dari sisi Fio. Dan Ian juga tidak lupa saat Aaron berdiri di atas panggung, memberikan sambutan pada acara grand opening di Bandung.

"Jovi, aku ragu kalau kamu bukan Fio. Tapi, sampai saat itu tiba, aku berjanji akan mengungkap segalanya dengan usahaku sendiri. Untuk sekarang, cukup kamu dengan peranmu dan aku dengan peranku," monolog Ian yang tak akan didengar oleh siapa pun sebab kondisi resto yang sedang sepi.

Tulisan close terpajang di jendela dan pintu masuk yang terbuat dari kaca, menandakan untuk sementara, resto sedang tidak melayani pelanggan.

***









Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro