24 | Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nai mendumel sambil memaksa otak mungilnya untuk bekerja, lima soal yang tertera pada buku tulisnya ia coba pahami. Jika memungkinkan, kepalanya mungkin sudah berasap saat ini, bersamaan dengan panas yang mulai menghinggapi.

Menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanya dari soal tersebut, selanjutnya ia membolak-balikkan catatan mencari rumus yang tepat untuk ia gunakan menyelesaikan permasalahan pada soalnya.

Dua tiga rumus ia coba-coba, sayangnya tidak ada jawaban sama dengan pilihan yang tersedia di option. Ia meletakkan pulpen dan buku catatan ke atas meja dan mendesah, mengusap bulir-bulir keringat di keningnya.

"Enggak bisa, gue enggak bisa. Trigonometri, sin, cos, tan. Ini semua apa gunanya, sih, dipelajari?" tanya Nai pada dirinya sendiri, lalu mengacak rambut.

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya, ia beranjak dari meja belajar untuk membuka pintu. Ternyata Vrinn, ia ingin mengusir tetapi ingat bahwa hari ini jadwal mereka belajar.

"Kamu lagi ngerjain tugas?" Vrinn berjalan melewati Nai, melihat coretan -coretan yang ada di kertas kosong di samping buku tugas milik Nai.

Nai memutar bola mata, ia duduk di tepi tempat tidur sementara Vrinn kini mengamati soal di bukunya. "Punya mata, kan, lo? Seharusnya bisa lihat sendiri." Memperbaiki ikatan rambutnya adiknya itu kemudian kembali duduk di bangku belajar. "Lo pinter, bantu kerjain dong," pintanya.

"Ini mudah, sini Kakak kasih tahu cara mudah menghafal rumusnya." Vrinn mengambil pulpen dan menulis sesuatu di bagian kertas yang luput dari coretan. Menggambarkan sebuah segitiga.

"Enggak perlu, otak gue enggak bakalan nyampe. Lo tinggal kerjain beres, buang-buang waktu ngajarin gue," tukas Nai malas malah mengambil ponselnya di atas meja. Belum sempat ia membuka aplikasi triktrok, benda itu sudah direbut lebih dulu oleh Vrinn.

"Gimana kamu bakalan bisa kalau nggak nyoba, sini perhatiin. Gampang, kok." Vrinn sudah selesai dengan tulisan di kertas, kemudian pulpennya ia gunakan sebagai penunjuk. Nai sebenarnya ingin kembali menolak tetapi wajah serius sang Kakak memuat ia harus fokus.

"Ingat tiga rumus ini; SinDeMi, CoSaMi, TanDeSam." Vrinn menunjukkan gambar segitiga. "Sinus, atau Sin itu perbandingan sisi Depan dengan sisi Miring dalam segitiga siku-siku. Kamu tinggal ingat SinDeMi."

Vrinn beralih ke sisi yang berbeda dari segitiga. "Nah berikutnya untuk CoSaMi itu untuk rumus Cosinus atau Cos dimana perbandingan sisi Samping dengan sisi Miring dalam segitiga siku-siku. Sedangkan TanDeSam itu untuk Tangen, Tan dengan perbandingan sisi Depan dengan sisi Samping dalam segitiga siku-siku."

"Paham?"

Nai menggeleng, terlihat sederhana tapi ia serius mengenai otak kecilnya yang kesulitan untuk mencerna. "Pusing gue."

"Oke-oke. Kakak ulangin, ya. Kamu perhatikan baik-baik." Tampaknya Vrinn punya banyak stok sabar, perempuan itu kembali menjelaskan ulang, kali ini lebih pelan-pelan sambil sesekali memberikan contoh ringan. Saat Vrinn tanya, Nai menjawab masih tidak mengerti, ia mengulangnya lagi.

Sampai pada ulangan ke empat akhirnya Nai mengangguk, entah untuk mengerti atau untuk menghentikan Vrinn menjelaskan ulang, untuk itu Vrinn segera memperjelas dengan, "coba sekarang kamu praktekkan dengan jawab soal tugas kamu dengan rumus-rumus tadi."

Tidak banyak membantah, hanya dengusan napas sebal yang Nai lakukan sebagai isyarat kalau ia sebenarnya sangat malas. Butuh waktu sekitar lima menit sampai semua soal berhasil dijawab oleh Nai.

Adiknya lalu memberikan bukunya untuk Vrinn periksa. Senyum lebar terukir di wajah Vrinn. "Bagus! Kamu benar semua."

Nai terbelalak tidak percaya, ia melihat jawaban di buku, ada rasa bangga di hatinya juga rasa senang yang meluap. Bibirnya melengkung, matanya berbinar-binar.

"Sudah Kakak duga kamus sebenarnya pintar, cuma malas saja untuk mengulang pelajaran."

Selanjutnya Vrinn kembali menjelaskan cara-cara menghapal rumus yang mudah. Pelajaran kali ini sangat menyenangkan sampai tidak sadar mereka melakukannya hingga tengah malam.

Sampai mata Nai terasa berat dan mulutnya menguap, barulah mereka berhenti. "Hari ini kamu hebat banget, Kakak yakin kamu pasti bisa dapat sepuluh besar."

"Jangan terlalu berekspektasi ketinggian, nanti jatuh sakit," sahut Nai mencibir.

"Enggak bakalan jatuh, Kakak percaya banget sama kemampuan kamu."

Melihat tidak ada keraguan di ucapan Vrinn, Nai semakin tidak bisa menahan untuk mencemooh. "Untuk apa, sih, repot-repot bantuin gue biar dapat sepuluh besar?" tanya Nai, sudah lama pertanyaan itu mencokol di hatinya.

"Biar kamu bisa membuat Papa sama Mama bangga juga."

"Halah, Vrinn. Lo aja udah cukup bagi mereka, sebenarnya kalau gue enggak ada juga mereka enggak bakalan sedih."

"Hush! Jangan bicara kayak gitu. Kamu hanya tidak melihat mereka sebenarnya sayang sama kamu, Nai. Hanya perlu dipancing."

Lagi-lagi Nai mendengus, hidungnya membesar ketika melakukan itu. "Kalau untuk lo, apa untungnya bantu gue? Bukannya lo suka Papa sama Mama cuma merhatiin lo, suka kalau lihat gue dibanding-bandingkan sama lo yang jauuuh banget sama gue?"

Vrinn terdiam, dulu memang sempat ia berpikir begitu. Hanya saja ia tahu bahwa itu perbuatan salah. Tetapi Nai sudah terlanjur jauh dari genggamannya, itulah sebabnya ia ingin memperbaiki hubungan mereka.

"Maafkan Kakak, ya, Kakak sadarnya terlambat. Tetapi kamu harus percaya kakak tulus bantu kamu. Biar nanti kalau Kakak enggak ada, Papa sama Mama masih punya kamu anak kebanggaan mereka."

Jawaban Vrinn membuat kening Nai mengernyit, sangat janggal dan penuh pertanyaan. Ia ingin bertanya maksudnya tetapi Vrinn keburu melipir keluar dari kamarnya.

***

"Hah? Enggak mungkinlah. Itu gosip paling enggak masuk akal yang pernah gue denger!" Bona memandang Wynaa dengan tidak percaya. Ia baru tiba di kelas semenit yang lalu saat sahabatnya itu menyambut dengan histeris sambil memberitahu sebuah berita.

"Serius gue, Na. Fotonya ada di mading, semua orang heboh, ramai banget. Kalau enggak percaya bisa lihat sendiri."

Bona meletakkan tasnya di bangku dengan terburu-buru, Wynaa tidak sabaran menarik tangan perempuan itu untuk mengikuti dirinya.

Seperti apa yang dikatakan Wynaa, suasana di depan Mading benar-benar ramais sekali. Bisik-bisik ungkapan tidak percaya paling banyak diucapkan, tetapi yang diam-diam mencemooh juga ada, semua bersatu padu menyebabkan keributan.

"Minggir-minggir," seru Wynaa membelah kerumunan untuk bisa melihat foto-foto yang tertempel. Begitu sampai di depan Mading, Bona melihat Lia ada di sana, menatap tidak percaya pada foto itu. Lalu menyadari kedatangan Wynaa dan Bona.

"Ini enggak mungkin, kan?" tanya perempuan itu?

Bona semakin penasaran lalu melihat foto apa yang mampu membuat satu sekolah geger. Matanya membulat, melebar bersama dengan mulutnya yang terbuka hingga ia harus menutupnya dengan telapak tangan agar lalat tidak masuk.

"Gila! Mana mungkin, sumpah?!"

Di mading itu ada tiga foto yang diprint seukuran HVS. Sehingga foto-fotonya tampak jelas.

Itu foto sahabat mereka, Vrinn, bersama seorang pria yang semua siswa juga tahu itu adalah Pak Naratama pemilik yayasan. Yang jadi masalah adalah mereka terlihat sangat mersa, dan paling parah ada foto mereka sedang masuk atau keluar dari sebuah hotel.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro