impLOVEssible - 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

MAI NINA

"Bah, nggak bisa gitu dong. Abah dan Ibu harus tanya sama Mai, kan Mai yang mau di kawinin!" Aku menahan tanganku untuk tidak melemparkan piring berisi pisang goreng ke kepala om sompret yang sedang mengangkat alisnya sambil menatapku.

"Nikah, Mai. Kalo kawin mah kucing." Ralat ibu.

"Sama aja, bu. Kawin, nikah, kimpoi.." sahutku kesal.

"Mai, mulutnya ini anak." Ibu melotot padaku lalu menoleh ke arah si sompret, "Maaf lho nak Rivay, ini si Mai mulutnya emang suka gitu."

"Nggak papa, bu. Saya seneng malah." Ujarnya menahan tawa.

Sontak aku berdiri dan melipat buku TTSku kemudian hampir melemparkan ke kepalanya kalau saja abah dan ibu tidak menahan tanganku. "Keluar nggak dari rumah ini. Jangan harap ya aku mau di nikahin ama om-om kayak kamu. Jangan-jangan kamu mau jual aku ya? Ke temen-temen kamu yang mata keranjang!" Aku mengacung-ngacungkan buku TTS ke mukanya sementara abah dan ibu berusaha menahanku untuk tetap duduk.

"Di jual emang laku?" tanyanya dengan wajah datar.

Oke, habis sudah kesabaranku, dengan ilmu bela diri yang sudah lupa-lupa ingat, aku melepaskan diri dari abah dan ibu dan langsung meninju muka si sompret tepat di hidungnya. Dia mengaduh dan sekilas aku melihat hidungnya mengeluarkan darah, sebelum abah menyeretku masuk ke dalam kamar dan ibu langsung mengambil mengambil tisu untuk mengelap darah di hidung si sompret.

"Duduk!" perintah abah. Dan aku langsung duduk menciut di kasur abah. "Abah nggak pernah ajarin kamu jadi preman gitu, main tonjok anak orang."

"Bah, Mai kan ngebela diri. Si om sompret itu niatnya jelek, bah. Mai tahu banget, kelihatan dari mukanya. Tolong ya Bah, jangan nikahin Mai sama dia.." Aku menatap abah dengan muka memelas.

"Dia nikahin Mai niatnya mau melindungi Mai. Gini aja deh, abah nggak kasih Mai kuliah di Jakarta kalau Mai nolak di nikahin ama nak Rivay."

"Abah tega!" aku berteriak dan mulai merasakan air mata di sertai ingus keluar dari lubangnya masing-masing.

"Kalau abah ngebiarin Mai pergi tanpa ada yang ngelindungin, itu baru namanya abah tega." Abah duduk di sampingku dan menepuk bahuku. "Mai, abahmu ini orang yang berdiri paling depan kalau ada yang berniat nyakitin kamu. Tapi abah yakin seyakin-yakinnya kalau nak Rivay pria yang baik."

Tangisku semakin keras, aku mengelap ingusku dengan punggung tangan. "Abah nggak sayang sama Mai!"

"Justru karena abah sayang, nak Rivay itu baik lho Mai. Kamu juga dapet pahala karena mengasuh Raisa yang udah nggak punya ibu. Daripada dia dapet ibu tiri yang jahat. Gitu-gitu dia kan masih sodara kita Mai."

Aku menghela nafas berat, bener juga kata abah, gimana kalau Raisa dapet ibu tiri yang jahat trus dia di siksa. Tapi kan menikah bukan urusan kecil, gimana kalau si sompret itu kejam dan suka menyiksa, Raisa nggak dapet ibu tiri jahat malah aku yang dapet suami gila.

"Gini aja, gimana kalau kamu ngobrol dulu sama nak Rivay? Tapi nggak boleh kontak fisik ya Mai, maksud abah jangan belagak preman lagi."

Dengan berat hati aku mengangguk dan abah menuntunku keluar. Aku melirik si sompret yang menahan hidungnya dengan tisu, sementara ibu sibuk meminta maaf atas kelakuanku.

"Bu, biar Mai sama nak Rivay bicara. Kita tinggalin dulu." Abah membiarkan aku duduk berhadapan dengan Rivay, sementara ibu dan abah berjalan masuk ke kamar.

Hanya ada hening panjang sebelum akhirnya aku mengeluarkan suara. "Niat om apa sih sebenernya?"

"Jangan panggil saya om, saya jadi terkesan pedofil." Sahutnya kesal.

"Yaudah niat nak rivay apaaa?" tanyaku kesal.

Dia menoleh dan menatap mataku. "Kita sama-sama punya kepentingan. Abah kamu curhat terus kalau dia nggak bisa ngijinin kamu kuliah ke Jakarta, dan saya, well saya butuh seseorang yang bisa di percaya untuk ngejaga Raisa."

"Saya bukan babysitter."

"Memang bukan. Makanya saya berniat nikahin kamu." Ujarnya datar.

"Menikah kontrak?" ngomong apa aku barusan?

Rivay tersenyum sinis. "Nggak ada kontrak. Kalau kamu punya pacar, silakan, kalau saya ketemu seseorang juga bisa bebas. Hanya ikatan supaya kamu bisa kuliah ke Jakarta, dan saya bisa tenang ninggalin Raisa saat saya keluar kota."

"Sampai berapa lama?"

"Waktunya saya serahin ke kamu. Tergantung lamanya kamu nyelesain kuliah. Tapi kalo di lihat-lihat sih, bakalan lama," ujarnya datar.

Kam-pret.

"Jangan sampe piring ini melayang ke muka kamu ya!" Om sompret itu tertawa melihat emosiku sudah sampai di ubun-ubun.

"Tenang, Mai. Jangan galak-galak sama calon suami. Jadi gimana? Kamu setuju?"

Aku menggigiti bibirku. Duh, ini demi lho, Mai, demi bisa kuliah di Jakarta dan meraih cita-citamu. Lagian kamu kan nggak bakal di apa-apain pas nikah jadi masih bisa tetep jadi perawan ting ting kinyis-kinyis asik-asik joss.

Aku menoleh ke om sompret sambil menyipitkan mataku. "Nggak ada kontak fisik ya selama nikah. Tugasku hanya nemenin Raisa. Bukan bapaknya yang sompret." Tegasku.

"Kalau itu kamu jangan khawatir." Om sompret itu mendekatkan tubuhnya ke arahku dan berbisik. "Saya kalo ngeliat kamu kebayang gorengan yang agak gosong, pahit, jadi nggak nafsu."

Tanganku langsung meraih buku TTS di atas meja dan menggulungnya kemudian dengam keras kupukul ke wajahnya.

"Ya ampun Mai! Ini anak bener-bener ya. Nanti ibu pingit kamu kalau brutal kayak gitu." Ibu keluar dari kamar sambil berteriak. Abah langsung sibuk meminta maaf pada si sompret.

"Bah, sepertinya Mai setuju dengan rencana saya."

Aku langsung menoleh dan melotot. "Heeeh, aku belum bilang setuju, Bah. Mai kan perlu pikir-pikir dulu."

Om sompret sepertinya tidak terlalu menanggapi keberatanku dan terus bicara dengan abah. "Bah, biaya kuliah Mai nanti biar saya yang tanggung. Sebagai suami, sudah seharusnya saya menanggung semua kebutuhan Mai."

"Suami dari mana?! Saya belum setujuuu!!" Teriakku.

"Gini lho nak Rivay, kalau masalah sekolah Mai, abah masih sanggup membiayai. Abah bukan menjual Mai. Kalau membiayai kuliah insyaAllah abah masih mampu." Tegas abah.

Aku tersenyum sinis. Hhmm..makan tu sombong, dasar sompret!

"Tapi mengenai rencana menikah, abah tetap setuju. Dan abah kira itu merupakan jalan keluar terbaik. Nak Rivay nggak usah khawatir, Mai mungkin masih ragu. Abah dan ibu bisa bantu meyakinkan." Abah melanjutkan kata-katanya sambil tersenyum bijak diiringi senyuman si sompret, dan aku melorot lagi di kursi untuk yang kedua kalinya malam ini.

***

RIVAY

Aku setengah mati berusaha menahan tawa yang sejak tadi hampir meledak. Rasa sakit di hidungku bahkan hilang sama sekali. Bisakah kalian bayangkan betapa lucunya ekspresi ABG labil itu? Dia seperti mendapat serangan gerilya yang langsung mengebom pusat pertahanannya. Benar-benar berantakan. Bahkan untuk lari saja tidak sanggup. Sejak tadi kuperhatikan dia hanya bisa melorot dari kursinya. Bahunya terkulai. Wajahnya sendu seakan-akan tawaran menikah denganku adalah hal yang haram bagi dia.

Kalau kalian bertanya mengapa aku ingin menikahinya? Jawabannya simple, Raisa jatuh cinta padanya. Mulai saat aku datang tadi pagi sampai menjelang tidurnya, yang dia ceritakan selalu soal ABG titisan preman ini. Mulai dari kemahirannya membuat layangan, menerbangkannya, sampai ketika dia memanjat pohon dan mengambilkan buah ceri untuk Raisa. Ketika aku mengajaknya pulang, dia bertanya satu hal, "bisakah kak Mai ikut sama kita ke Jakarta?" Dan kemudian muncul ide ini.

"Nak Rivay, Mai bukan seperti anak gadis kebanyakan. Dia nggak lembut, nggak halus, grasak grusuk. Apa nak Rivay yakin mau nikah sama dia?" Tanya abah. Saat ini aku dan abah sedang ngobrol di beranda depan sementara Mai dan ibu sudah masuk ke dalam kamar.

"Bagi saya nggak masalah, bah. Seiring berjalannya waktu, Mai pasti bisa berubah." Lagipula, apa peduliku. Aku membutuhkannya sebagai pengasuh Raisa sementara aku bisa konsentrasi dengan bisnisku yang mulai meluas.

Abah menoleh padaku. "Jadi kira-kira kapan niat nak Rivay menikahi Mai?" Tanya abah.

Aku mengerutkan kening. "Ehm..kalau bisa dalam seminggu atau dua minggu ini, Bah. Mai kan harus tes masuk perguruan tinggi, selain itu saya juga bulan depan harus keluar negeri lagi."

Abah manggut-manggut. "Orang tua kamu bagaimana?"

Bagaimana aku bisa melupakan hal itu? Mami sudah pasti mencak-mencak ketika tahu aku akan menikahi seorang ABG. Belum lagi papi yang diam-diam akan menyelidiki seluruh aspek kehidupan Mai.

"Nanti, Bah. Nanti akan segera saya kabari mereka setelah tahu tanggal pernikahannya." Jawabku asal.

"Abah menunggu kabar dari nak Rivay aja. Minggu ini atau minggu depan abah setuju. Malam ini nak Rivay menginap saja di sini. Kasihan Raisa malam-malam begini harus dibawa ke Jakarta."

Aku hanya mengangguk menyetujui permintaan abah. Abah pamit masuk ke dalam rumah dan aku segera mengeluarkan ponselku kemudian memencet speed dial yang langsung terhubung ke nomer mami.

"Rivay?" Mami mengangkat saat dering pertama.

"Mami, masih di Jogja? Ada hal penting yang harus aku bicarakan." Aku berjalan menuju halaman dan bersandar di pintu mobilku.

"Ada apa? Raisa sakit?" Tanya mama khawatir.

"Bukan, bukan itu."

"Lalu apa?" Sahut mama dengan tidak sabar.

"Aku mau nikah."

Hening sejenak sampai aku mendengar mama menghembuskan nafas.

"Kamu baru ditinggal Silvi 8 bulan, Vay. Apa nggak terlalu cepet?" Tanya mama hati-hati.

Aku mengacak-acak rambutku. "Ini bukan tentang aku, ini tentang Raisa. Dia butuh sosok ibu, mi."

"Ya tapi nggak dengan kamu nikahin anak orang sembarang. Itu orang Rivay bukan ayam. Kalau kamu nggak cinta ya jangan di nikahin."

Cinta? Sama titisan preman? Yang benar saja.

"Aku hanya butuh restu dan kehadiran papi mami di acara pernikahanku. Selebihnya segala resiko biar aku tanggung sendiri."

Mami menghela nafas. "Okay, kapan pernikahannya? Dan siapa perempuan itu?"

"Namanya Mai Nina, mi. Dia masih sepupu dengan Silvi. Aku mau pernikahannya dia adakan minggu depan." Jawabku cepat.

"Ya sudah. Mami akan bicara dengan papi. Besok mami kabari lagi."

Aku menutup telepon dan menghembuskan nafas berat. Kukeluarkan sebungkus rokok dari sakuku dan mulai menghisap satu batang. Dulu aku tidak merokok karena Silvi luar biasa disiplin mengenai kesehatan.

Namun siapa yang menyangka bahwa menjadi single parent adalah pekerjaan yang sangat sulit. Bekerja sambil merawat anak umur 5 tahun jelas bukan bidangku. Aku hampir tidak pernah mengurus kebutuhan Raisa saat Silvi masih hidup. Sekarang, aku tidak memikirkan hal lain, aku tidak lagi peduli dengan apapun, kecuali Raisa. Ya, hanya dia.

----------------------------------------------------------------

Hai hai,

Tulisan ini adalah hiburan saya kalau lagi galau nulis morning breeze. Jangan serius-serius ya bacanya, karena ini di buat untuk kepentingan hiburan semata :D

Kalau suka silakan di vote dan komen ya.. mood booster banget buat saya :)

terima kasih juga untuk yang udah vote dan komen :*

Happy weekend yaaa love :)

Vy.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro