7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ni-nikah?" ulang Bimo masih tak percaya dengan apa yang didengar. Dia mengorek telinga kiri takut indra pendengarannya menurun drastis usai menangkap kalimat yang tak masuk akal itu.  

Wendy mengangguk cepat. "Iya, kita nikah aja, Mas," ajaknya tanpa basa-basi langsung menusuk Bimo dari segala penjuru berharap lelaki itu segera memberi keputusan.

Jantungnya nyaris tak berdetak begitu juga tungkai yang terbalut sandal sudah tak bertulang lagi setelah memberanikan diri mengajukan permintaan paling gila kepada Bimo. Dia yakin setelah ini pria di depannya akan mengejeknya gila atau sudah keracunan sabun sampai berani mengatakan hal itu.

"Tunggu sebentar, Wen," potong Bimo mencerna sekali lagi ajakan Wendy. "Kamu enggak lagi halusinasi kan?"

"Enggak, aku serius, Mas Bim," kata Wendy meyakinkan. "Kita nikah, kamu bisa tunjukin ke Risya kalau ada orang yang mau diajak komitmen sementara aku bisa tunjukin ke ibu dan bapak kalau--"

"Maksudmu kita menikah cuma buat mainan?" sela Bimo kesal. "Cuma bikin mereka lega atas pencapaian kita, begitu? Gila ya kamu! Sinting!"

"Aku enggak gila, aku cuma mau menyelamatkan harga dirimu, Mas Bim," ketus Wendy melempar kesalahan kepada lelaki di depannya. "Dan ini jalan keluarnya."

"Harga diri aku? Aku enggak butuh bantuanmu, Wendy. Aku masih bisa kok menyelamatkan harga diriku tanpa harus menerima ajakanmu. Kamu ini kenapa sih?" ketus Bimo kesal.

Wendy sudah kehilangan kesabaran lantas beranjak dan berkata, "Aku cuma ingin kita sama-sama bisa untung dengan cara itu, Mas Bim. Aku bilang gini juga terpaksa buat nuruti kemauan ibuku. Lagi pula, setelah menikah kita bisa kembali hidup sesuai tujuan masing-masing. Toh, aku juga enggak minta hati kamu."

Gadis itu bergegas meninggalkan Bimo yang kini digelayuti banyak pertanyaan. Sungguh dia tak paham dengan isi kepala Wendy yang tiba-tiba mengajaknya menikah seperti mengajak bermain rumah-rumahan. Mau tak mau, Bimo mengejar Wendy memanggil namanya walau diabaikan. Langkah jenjang Wendy terlalu cepat seolah tak ingin berlama-lama di tempat ini ditambah ucapan Bimo yang menyakitkan hati. 

"Wen!" panggil Bimo berhasil menahan lengan kiri Wendy.

Wendy menepis genggaman tangan Bimo di lengannya sambil menangis putus asa. Bibirnya bergetar tak menemukan jalan keluar atas masalah yang dipendam sendiri. Melihat wajah menyedihkan seperti itu, hati kecil Bimo ingin merengkuh temannya dalam dekapan dan meminta apa yang sebenarnya terjadi sampai-sampai Wendy si gadis independent mau begitu saja mengajaknya menikah. Bimo hafal betul karakter teman berkepala batunya ini, tidak mungkin Wendy mengatakan ingin menyelamatkan harga diri Bimo kalau bukan ada alasan lain yang disembunyikan.

"Iya siapa yang enggak kaget kalau tiba-tiba ada cewek bilang gitu, Wen," jujur Bimo. "Tenang dulu ... kita duduk lagi aja deh, Wen. Terus ceritain kenapa kamu sampai ngajak aku untuk menikahmu. Tahu kan menikah itu bukan buat mainan, Wen, apalagi aku--"

"Kamu pikir aku bodoh?" potong Wendy emosi. "Bapak sendiri yang langsung nyuruh aku buat milih kamu."

"Tenang dulu, tenang, Wen. Kita bicarakan ini baik-baik oke, ini keputusan yang harus dipertimbangkan secara baik-baik," tukas Bimo. "Kamu bisa kan cerita dari awal?"

Ada jeda panjang di antara dua manusia itu sebelum pada akhirnya Wendy melenggut dan kembali mendudukkan diri di sofa lobi hotel untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Seraya sesenggukan, gadis itu mengatakan kepada Bimo bahwa hanya ini cara yang bisa dia lakukan untuk menuruti permintaan Suwarni sekaligus membungkam ejekan keluarga besar yang melihatnya sebagai manusia tak laku yang dibutakan oleh karier.

Pada akhirnya, Wendy mengajukan sebuah pernikahan kontrak yang memiliki keuntungan di antara kedua belah pihak. Awalnya Bimo tertegun cukup lama dengan ide gila bahwa pernikahan ini hanya sementara dan bisa berakhir kalau salah satu dari mereka menemukan perempuan atau laki-laki yang dicintai. Wendy berpendapat kalau melalui hubungan pura-pura ini semua orang akan puas termasuk bisa membantu Bimo membalaskan dendam terhadap mantan tunangannya. Selama ini dia tahu Risya selalu cemburu dengan kedekatannya dengan Bimo padahal tidak ada hati yang terlibat di dalamnya kecuali perasaan sebagai saudara. 

"Yang menjalani hidup kamu kok mereka yang repot," tandas Bimo ikutan kesal. "Lagian menikah juga bukan lomba, Wen. Gila kali mereka nyuruh kamu cepet menikah tapi enggak tahu kalau biaya hidup sekarang makin mahal."

"Aku juga sudah bilang begitu, tapi tahu sendiri kan orang di desa kayak gimana? Pikiran orang tuaku masih kolot, Mas, enggak bisa lihat kalau jaman sekarang pernikahan itu enggak kayak jaman mereka," ucap Wendy mengusap air matanya dengan tisu yang disodorkan Bimo. "Kita menikah hanya untuk status saja. Enggak perlu ada hubungan suami-istri, aku enggak bakal mengekang kamu menjalin asmara sama siapa, dan begitu pula sebaliknya. Kalau kita serumah, aku bisa bantu kamu bersih-bersih ataupun masak. Gimana?"

"Ini keputusan berat, Wen," ujar Bimo merasa kepalanya begitu pening. Pernikahan baginya bukanlah hal yang mesti dipermainkan karena saat ijab kabul sama saja dia mengucapkan janji kepada Sang Pencipta yang disaksikan oleh malaikat. Tapi, mengingat rasa sakit hatinya kepada Risya dan ingin membuktikan bahwa ada perempuan yang lebih baik dari sang mantan tunangan, akhirnya Bimo menyetujui saat itu juga menimbulkan seberkas harapan besar di mata Wendy. 

Mungkin aku juga sudah ikutan tak waras, batin Bimo. 

"Oke, aku akan membuat perjanjian di atas materai besok," kata Wendy dengan senyum tipis. 

###

Tersiarnya kabar pernikahan Wendy dan Bimo yang dianggap mendadak seperti telur dadar telah merebak ke semua pegawai D'amore hotel bersamaan dua selentingan gosip muncul. Mereka yang mengenal Wendy sebagai perempuan penyuka hubungan friendzone garis keras merutuk Bimo karena dianggap merebut perempuan dambaan mereka. Sementara di sisi lain, orang-orang yang mengenal Bimo sudah memiliki tunangan berbisik kalau Wendy kemungkinan besar hamil dengan seniornya itu. 

Tapi, lain halnya dengan dapur D'amore yang justru menepis dugaan aneh tersebut. Mereka lebih tahu keseharian dua sejoli yang sudah lengket bak campuran tepung tapioka dan air malah bersorak kegirangan. Tanpa menyinggung masa lalu Bimo yang batal menikah dengan mantan tunangan, anak-anak yang ada di hot maupun cold kitchen berpendapat jika sous chef itu lebih cocok dengan pastry chef mereka. Dari segi sifat, Wendy dianggap bisa mengimbangi karakter keras Bimo dan berharap setelah menikah lelaki itu bisa lebih kalem memarahi bawahannya. 

Baik Wendy maupun Bimo diterima secara terbuka di keluarga kedua belah pihak. Meski pada mulanya ibu Bimo-- Dwi Hartanti--bertanya-tanya alasan sang putra memutuskan mengakhiri masa lajang lebih cepat dari rencana setelah berpisah dari Risya. Bimo berkata kalau Wendy adalah perempuan yang selama ini dicari dan terlambat menyadari kalau hubungan pertemanan mereka lebih dari itu. Dwi merengkuh tubuh kekar lelaki berjas putih itu terharu bahwa dibalik rasa kecewa yang dialami anaknya akan ada kebahagiaan yang tak terkira. Mungkin inilah hadiah yang Tuhan berikan setelah rasa sakit yang menusuk hati Bimo, pikir Dwi. Wanita paruh baya yang mengenakan kebaya keemasan itu percaya dengan Bimo pun sudah mengenal Wendy sebagai teman anaknya. 

Dibalik senyum penuh haru itu, Bimo bersedih merasa lidahnya begitu luwes merangkai kebohongan telah menaruh hati pada Wendy. Dia memohon maaf dalam hati berharap Sang Penguasa mau mengampuni atas pernikahan yang seharusnya sakral menjadi sebuah dusta seumur hidup. Perjanjian rahasia yang hanya diketahuinya dan Wendy akan selamanya menjadi sesuatu yang dibawanya sampai mati nanti. Dia mencium punggung tangan sang ibu memohon doa berharap suatu saat nanti akan menemukan wanita yang lebih baik dari Risya setelah luka di hatinya berangsur pulih.

Sementara itu, Suwarni senang bukan main ada lelaki yang mau menikahi putri bungsunya sampai-sampai tak bisa membendung air mata ketika Bimo mengucapkan ijab kabul di depan Darmaji. Kemudian, pembawa acara meminta Wendy keluar setelah resmi menjadi istri sah Bimo Hartawan. 

Tentu saja semua orang yang diundang dalam acara suci itu terpana bukan main ketika perempuan yang dibalut kebaya putih dan riasan yang membuatnya terlihat sangat berbeda. Pulasan lipstik merah muda dengan eyeshadow senada menambah kesan fresh dan flawless. Gadis itu berjalan malu-malu menghampiri meja akad di mana Bimo memandangnya tanpa berkedip. 

"Ini dia pengantinnya ... sampai Mas Bimo tak bisa berkata-kata," ucap penghulu membuat yang datang di sana tertawa membuyarkan lamunan Bimo. 

Refleks Bimo berdiri dan menarik kursi untuk Wendy yang sudah menyandang status sebagai teman hidupnya itu. Rona merah tercetak di kedua pipi ketika Darmaji menyerahkan kotak cincin kawin untuk disematkan di masing-masing jari manis. 

Tak dipungkiri, letupan di dalam dada Wendy begitu membuncah sampai-sampai dia tidak bisa merangkai kalimat selain senyum yang tidak berhenti mengembang. Sama halnya dengan Bimo, tangannya gemetaran menyematkan cincin itu ke jari lentik Wendy padahal pernikahan ini hanyalah rekayasa. 

Apakah ini rasanya jika aku menikahi Risya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro