9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Loh!" seru Wendy terkejut bukan main hampir menjatuhkan piringnya mendapati Bimo keluar dari kamar mandi dengan handuk menggantung di pinggul. Pahatan otot dada hingga perut yang terpatri sempurna oleh tangan Sang Pencipta ditambah untaian rambut hitam yang masih basah menjadi suatu pengalaman pertama bagi Wendy. Bulir air menetes dari sela-sela rambut dan mendarat di kulit bersih Bimo bagai kristal-kristal berjatuhan. Belum lagi aroma sabun menguar menggoda indra penciumannya sampai Wendy nyaris lupa cara bernapas dan berkedip mengamati betapa indah lekukan tubuh Bimo yang biasanya tertutup seragam koki.

Sisi lain di dalam diri Wendy berbisik kalau apa yang ditangkap kedua matanya saat ini tidak banyak orang yang bisa menikmati secara gratis. Walau tahu kalau pakaian yang dikenakan Bimo sehari-hari sudah cukup menunjukkan kalau otot-otot lelaki itu memang dilatih. Jadi, mungkin ini salah satu alasan mengapa banyak perempuan di D'amore mengagumi Bimo Hartawan selain tampan juga berpostur bak dewa Yunani.

Segelintir pikiran kotor menyergap kepala Wendy, membayangkan bagaimana jadinya jika tangannya menelusuri tiap lekuk otot Bimo dan bibirnya mengecup kulit yang tampak maskulin itu. Hal lain yang terlintas adalah bagaimana rasanya menyandarkan kepala ke dada bidang Bimo untuk mendengar irama dada lelaki itu? Jantung Wendy otomatis berdetak kencang seperti baru saja menerima adrenalin dari luar. Kakinya tak bisa berpindah saat Bimo berjalan ke arahnya tuk menepis jarak di antara mereka. Lelaki itu memiringkan kepala dan menggoyangkan tangan di depan wajah Wendy yang memerah melebihi kepiting overcook dalam kuali.

"Wen!" panggil Bimo membuyarkan lamunan Wendy.

Tentu saja gadis yang mengenakan baju tidur Bali kuning mencolok itu gelagapan bukan main. Buru-buru mengatupkan mulut dan menjilati bibirnya sendiri yang mendadak kering. Harusnya dia sudah tahu kalau hal seperti ini akan lebih sering terjadi karena mereka tinggal satu atap. Wendy berpaling dan mengipasi wajahnya yang terasa panas sekaligus menghilangkan rasa gugup bercampur malu mengamati Bimo dalam sudut pandang berbeda. Namun, ekor mata Wendy mencuri-curi secuil kesempatan untuk merekam tubuh Bimo diam-diam.

"A-apa, Mas?" tanya Wendy segera meletakkan piring di atas meja makan berisi olahan ayam saus Inggris didampingi capcay yang baru saja matang.

"Wajahmu merah banget," jawab Bimo. "Enggak sakit kan?"

Dasar enggak peka, batin Wendy kesal.

"E-enggak, cuma kaget aja Mas Bimo kayak gitu," tunjuk Wendy jujur mengarahkan kanannya pada perut sixpack Bimo.

Lelaki itu menunduk lalu salah tingkah sendiri karena tidak sadar kalau di rumah ini tidak hanya dirinya saja sekarang. Tak menunggu waktu lama, kaki yang beralaskan sandal putih itu bergerak begitu saja menuju kamar untuk mengenakan pakaian agar tidak menimbulkan hal-hal aneh lain lagi. Sayangnya, hati Bimo justru berdentum tak beraturan karena malu sekaligus canggung. Tapi saat berada di kamar, dia malah tertawa kenapa harus terjebak dalam situasi kikuk padahal mereka adalah teman lama yang tidak menaruh rasa.

Tangan Bimo terulur mengambil deodorant untuk dibalurkan ke ketiak, lantas mengambil kemeja putih yang pas di badan kekarnya sebelum berangkat ke hotel. Tak lupa pula menata rambut yang mulai memanjang sebatas tengkuk leher dengan pomade agar terlihat rapi sepanjang hari dan menyemprotkan parfum ke seluruh tubuh. Selesai merapikan diri, Bimo keluar dari kamar ketika Wendy mengaduk secangkir teh lemon sambil bergumam di pantry berkonsep mini bar. Dia bertemu pandang dengan gadis itu kemudian menarik kursi bar dengan bibir mengembang melihat ada secangkir kopi mengepul panas.

"Enggak nyangka kamu masih inget," kata Bimo mengetahui Wendy hafal kebiasaannya.

"Bukan inget, tapi udah terlalu sering lihat kamu ngopi paling enggak sehari dua kali, pagi sama siang. Malam ngeteh iya kan?" tandas Wendy meletakkan sendok teh di cawan lalu berbalik untuk mengambil piring. "Mau nasi banyak apa sedikit?"

"Satu setengah centong aja," kata Bimo menghirup cangkir kopi sebelum menyesapnya pelan. "Kamu mandi dulu aja Wen, nanti kita bisa sarapan bersama-sama."

Gadis itu menyerahkan piring dengan nasi putih yang baru tanak dari rice cooker. "Mas Bimo sarapan duluan aja, aku mandinya agak lama."

"Kenapa cewek kalau mandi selalu lama?" tanya Bimo menyendok potongan ayam di atas piring saji lalu mencicipinya sebentar. "Enak."

Wendy tertawa. "Gimana enggak enak orang kita sama-sama chef."

###

"Gimana? Tokcer?" goda Handoko--seorang tukang jagal dapur atau bahasa kerennya butcher melempar kerlingan kata kepada Bimo. Sementara kedua tangannya sibuk memotong daging rib eye--bagian punggung dalam sapi yang memiliki lemak di tengah atau seluruh permukaan daging--yang akan diolah menjadi steak oleh para juru masak di grill section.

Salah satu menu andalan di D'amore adalah steak berbahan US beef prime terkenal sangat juicy di antara para pecinta daging. Apalagi cara memasaknya dipanggang dalam oven bersuhu tinggi kemudian disajikan di atas hot plate untuk menjaga kualitas. Yang selalu didengar oleh para juru masak dari tamu yakni sentuhan lembut butter yang begitu harmonis dengan black pepper, belum lagi tingkat kematangan daging ini mencapai medium rare sehingga tak terlalu alot pun tak terlalu mentah. Menu terlaris itu ternyata dikreasikan oleh Bimo bersama eksekutif chef beberapa tahun lalu yang akhirnya disetujui oleh pihak F&B. Ya, meskipun sampai sekarang belum ada tanda-tanda kursi tertinggi dapur ada yang mengisi.

Bimo berdeham salah tingkah, pura-pura tak tahu lantas berkata, "Tokcer apaan?"

"Iya itu, Mas, masa enggak tahu?" Handoko menoleh dan matanya tertuju pada pangkal paha Bimo yang tertutup apron sambil cengengesan.

Otomatis Bimo merapatkan kedua kaki meski lawan bicaranya tak akan melihat apakah dia sudah merasakan kenikmatan dunia seperti yang dibicarakan pasangan yang berhasil melewati malam pertama. Jujur saja, dia ingin menghabiskan malam penuh gairah itu dengan sang pujaan hati, Risya. Sudut bibirnya tertarik ke atas, lagi-lagi teringat dengan wajah ayu mantan tunangan. Ah, sial, batin Bimo merutuk keras. Apakah tidak ada cara lain untuk melupakan gadis itu?

"Udah jangan ngomongin itu lagi," tegur Bimo lalu berjalan ke deretan anak commis. Salah satu dari mereka sedang membuat orange sauce untuk olahan sayap ayam. Bimo melihat irisan kulit jeruk yang diproses dengan teknik blansir* kini dicampur dengan gula pasir untuk dimasak sampai menjadi karamel selagi menunggu brown sauce--saus dari tulang sapi yang dimasak sampai cokelat itu mendidih. "Brown stock-nya tinggal dikit ya?"

Commis itu mengangguk. "Iya, Mas, tapi lagi disiapin bikin baru. Nunggu anak butcher selesai misahin daging sama tulang."

"Jangan sampai kegosongan itu gulanya," kata Bimo mengingatkan. "Kamu kemarin masaknya kegosongan jadi aneh rasanya, Dim."

"Iya, Mas," kata commis. "Oh iya, selamat ya buat pernikahannya, Mas. Tak doakan Mbak Wendy segera hamil."

"Siapa yang hamil? Aku?" sahut Wendy kebetulan lewat seraya membantu Astrid membawa potongan daging ayam untuk menu pai ayam keju.

Anak commis yang bernama Dimas mengiyakan sambil tersenyum lebar. "Iya ya dong, Mbak, siapa lagi istrinya Mas Bimo? Masa si Astrid?"

"Ish, kok aku disebut-sebut," timpal Astrid tak terima.

Bimo kembali salah tingkah dan menyiratkan Wendy untuk segera pergi daripada harus mendengarkan omong kosong para kru dapur. Tidak menyangka pula kalau respons pasangan pengantin baru akan seperti ini. Ada yang menggoda dan ada yang mendoakan agar segera dititipkan seorang anak oleh Sang Penguasa Alam. Sementara pikiran Bimo kembali terbayang pada impiannya memiliki anak dari rahim Risya. Pernah sekali waktu dia iseng bertanya kepada mantan tunangannya itu berapa buah hati yang diinginkannya.

"Aku ingin tiga anak kembar," kata Risya menerawang birunya langit kota pelajar ketika Bimo menyempatkan diri pulang ke kampung halaman demi menemui pujaan hati.

"Kembar? Aku enggak ada keturunan kembar, Ris," ujar Bimo sambil tertawa lalu mencubit pelan puncak hidung mancung kekasihnya. "Kamu juga kan anak tunggal, kok bisa-bisanya minta anak kembar."

"Namanya doa kan bisa aja dikabulkan, Sayang," balas Risya menjulurkan lidahnya. "Lagian kalau punya anak kembar kan bisa rame, Mas."

"Terus aku jadi kesepian dong," ucap Bimo merajuk.

Jiwa Bimo seakan dilubangi lagi kala setiap lembar kenangan bersama Risya menyerangnya bertubi-tubi. Hatinya begitu ngilu akan rasa rindu yang menumpuk namun tak bisa dilampiaskan karena gadis itu menghilang entah ke mana. Lenyap sudah semua impian mantan kekasih itu berganti dengan memori pahit yang bisa meracuni Bimo tanpa ampun.

"Mas Bim, jangan ngelamun terus," kata Dimas membuyarkan lamunan Bimo. "Kalau kangen Mbak Wendy di rumah aja jangan di sini."

"Ecieee ..." sahut commis lain yang disahuti suitan nyaring.

Wendy senyum-senyum sendiri mendapati wajah Bimo merona menahan malu di hot kitchen yang dijadikan bahan bualan para lelaki di sana. Dia senang akhirnya bisa menemukan kembali senyum Bimo dan berharap kalau senyum manis lelaki itu akan selalu di sana daripada harus murung memikirkan Risya.

"Oh iya, kira-kira anak itu hilang ke mana ya?" gumam Wendy penasaran.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro