Part 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Eh mau kemana lo?" tanya Gavin sambil menahan tangan Jea saat Jea hendak berdiri. Melihat tatapan tajam Jea, Gavin langsung melepaskan tangan Jea karena takut kena pukul lagi.

"Mau keluar. Ngapa? Mau ikut?" sahut Jea, lalu ia langsung pergi keluar rumah tanpa menunggu Gavin.

"Eh tunggu!" teriak Gavin sambil menyusul Jea. Melihat tingkah Jea dan Gavin membuat Bianca menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.

"Dingin loh. Ngapain sih malem-malem keluar?" tanya Gavin sambil duduk di samping Jea. Sekarang mereka ada di taman rumah Riddan. Taman mini yang berisi kursi dan lampu kelap-kelip itu terlihat sangat indah di malam hari. Karena itulah Jea ke taman itu.

"Terserah gue dong. Apa urusannya sama lo?" ketus Jea tanpa menatap Gavin.

"Eh, nanti lo sakit lagi. Angin malam gak baik buat lo," ucap Gavin karena Jea hanya memakai baju kaus putih yang kebesaran dan juga celana jeans pendek.

Mendengar ucapan Gavin, Jea malah terkekeh. Gavin mengernyitkan keningnya bingung karena Jea terkekeh dan tersenyum. Sejenak ia kagum melihat Jea karena ia belum pernah sekalipun melihat Jea tersenyum. "Kenapa?" tanya Gavin.

"Lucu aja gitu. Kalimat itu hampir sama dengan kalimat yang lo bilang saat pertama kali kita ketemu," ucap Jea sambil tersenyum. Gavin pun terkekeh karena ternyata Jea mengingat ucapannya.

"Gue nyerah, Je," lirih Gavin.

"Nyerah apaan?" tanya Jea.

"Nyerah ngejer-ngejer lo. Gue tuh kalau deketin cewek itu gak lebih dari dua hari. Kalau lebih mah gue nyerah aja," jelas Gavin.

"Cih, dasar playboy," cibir Jea sambil memalingkan wajahnya ke arah lampu kelap-kelip yang lebih menarik baginya daripada harus melihat Gavin.

"Bukan playboy kali. Gue itu cuma pengin seneng-seneng aja. Masa muda itu buat seneng-seneng. Nanti kalau udah tua mah gak bakalan bisa," tutur Gavin tanpa melihat Jea yang sekarang menatapnya heran.

"Seneng-seneng mainin hati perempuan?" tanya Jea.

"Yah, kurang lebih kayak gitu," kata Gavin sambil nyengir.

"Jadi, lo gak bakalan deketin gue lagi, 'kan?" tanya Jea memastikan.

"Iya, tapi sebagai gantinya, kita teman," jawab Gavin.

"Teman?" Jea mengernyitkan dahinya. Ia kira Gavin akan menjauhinya, tetapi cowok itu justru mengajaknya berteman.

"Iya, teman. Kenapa? Gak mau? Ya udah gue jadiin lo ratu deh. Gue prajurit lo," kata Gavin sambil tersenyum konyol. Hal itu membuat Jea ingin sekali memukul wajah Gavin agar Gavin tidak bersikap seperti itu lagi.

"Ya udah. Gue ratunya. Lo pesuruh gue," sahut Jea sambil terkekeh.

"Ya udah deh, tapi jangan jadiin gue babu ya. Gue gak mau," ucap Gavin menyetujui. Padahal pesuruh dan babu itu sama saja, tetapi Gavin malah mengatakan seolah-olah itu berbeda.

Gavin tersenyum lebar ketika Jea menyetujui kesepakatan yang ia buat. Tidak tahu kenapa ia rela membuat kesepakatan seperti itu dengan Jea. Yang pasti Jea akan ada di sisinya jika ia membuat kesepakatan seperti itu.

"Oh iya. Gue mau tanya sesuatu sama lo," ucap Jea dengan nada pelan. Ia sedikit mendekatkan posisi duduknya dengan Gavin yang ada di sampingnya. Kemudian, ia menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mendengar apa yang akan ia katakan.

"Apaan?" tanya Gavin yang ikut-ikutan berbicara dengan nada pelan.

"Orang tua kalian kapan nikahnya? Gue bisa aja sih nanya ke Riddan, tapi lebih mending gue tanya ke lo deh," bisik Jea.

"Nikahnya itu ... emmm ... kapan ya? Gue lupa tanggalnya, tapi yang jelas setelah kelulusan Riddan," jawab Gavin ragu-ragu.

"Kelulusan? Pantesan. Anjir, dia gak dateng gara-gara itu ternyata. Duh, gue ngerasa bersalah banget karena maki-maki dia gara-gara gak dateng," ucap Jea agak pelan.

"Gak dateng ke mana?" tanya Gavin.

"Ke bandara. Dia udah janji padahal mau nganterin gue sampai bandara, tapi dia bilang dia ada urusan penting," tutur Jea.

"Oh itu? Gue sempet tabok-tabokan sama dia gara-gara dia keras kepala banget mau pergi pas acara pernikahan itu," kata Gavin sambil terkekeh.

"Kok gue sampai gak tahu sih? Padahal 'kan Om Ryan itu temen bokap gue. Harusnya Riddan juga cerita ke gue. Gue kesel banget waktu tahu orang tua kalian nikah dan gue gak tahu. Eh, sekarang juga masih kesel sih," oceh Jea.

"Ya karena pernikahan ini cuma ngundang kerabat terdekat aja," sahut Gavin.

"Tapi gue masih kesel. Gak tahu deh kesel sama siapa. Kesel sama Riddan sih enggak terlalu, tapi kesel juga. Eh, apaan sih gue? Enggak jelas banget," oceh Jea lagi.

Melihat Jea bertingkah menggemaskan seperti itu membuat Gavin jadi gemas sendiri sampai tidak sadar ia mencubit pipi Jea. Dengan refleks pula Jea memukul wajah Gavin hingga Gavin meringis kesakitan.

"Lo bisa gak sih gak usah mukul-mukul gue? Sakit tahu. Lo mah, jadi cewek bringas banget," gerutu Gavin sambil mengusap-usap pipinya yang dipukul oleh Jea.

"Hadiah pertemanan," kata Jea sambil menunjuk kedua jarinya sehingga membentuk huruf V.

"Udah cukup hadiah perkenalan, sekarang dikasih hadiah pertemanan," keluh Gavin sambil menatap Jea kesal.

"Eh, gue baru inget. Lo manggil Riddan apa? Kak?" tanya Jea. Gavin mengangguk sambil tersenyum. "Lo lebih muda dari Riddan?" tanya Jea.

Gavin mengangguk lagi. "Gue semester lima, dia semester tujuh," jawabnya.

"Jadi, lo lebih muda dari gue dong? Gue seumuran sama Riddan. Lo gak sopan banget manggil gue langsung nama. Panggil Kak coba," omel Jea sambil menatap Gavin galak.

"Enggak ah. Gue gak nyaman manggil lo kayak gitu," tolak Gavin.

"Heh! Kalian ngapain di luar malem-malem?" tanya Riddan yang tiba-tiba muncul dengan ekspresi galak khasnya. Mendengar suara Riddan yang sedikit keras, Jea dan Gavin sontak terkejut dan langsung berdiri menghadap Riddan.

"Gue suka taman lo," kata Jea sambil tersenyum.

"Bianca yang buat," jawab Riddan singkat. Kemudian ia beralih menatap Gavin dengan tajam. "Lo pulang sana!" usir Riddan sambil mengibaskan tangannya tanda menyuruh Gavin pergi.

"Gue nginep di sini ya, Dan," kata Gavin sambil menunjukkan cengiran konyolnya.

"Nah, lebih mending lo manggil nama gue," ucap Riddan sambil mengangguk-angguk.

"Jadi, boleh nih?" tanya Gavin sambil tersenyum ceria.

"Ya enggaklah! Ngapain coba gue ngizinin lo nginep padahal lo punya rumah sendiri?" sentak Riddan sambil menatap Gavin dengan sinis.

"Ya udah gue jual nih rumah gue biar gue bisa nginep di rumah lo," kata Gavin santai.

"Boleh. Habis itu Lo gue pulangin ke rumah kakek," kata Riddan sambil menarik tangan Jea dan membawa Jea masuk ke rumah.

***

TBC …

Repost on Friday, 12 February 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro