Part 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Je, bangun, udah pagi,” kata Riddan sambil menepuk-nepuk lengan Jea yang masih tertidur. Jea membuka matanya perlahan lalu merubah posisi tidurnya menjadi duduk.

“Mau ke mana lo kok udah rapi?” tanya Jea sembari mengusap rambutnya yang acak-acakan.

“Kuliah. Emangnya gue kayak lo yang bolos kuliah? Ayo bangun! Gue anterin lo ke hotel” kata Riddan sambil menarik tangan Jea agar bangun.

“Ngapain ke hotel?” tanya Jea.

“Terus lo mau tidur di mana kalau bukan di hotel?”

“Lo mau gue tinggal di hotel selama setahun? Bangkrut gue,” kata Jea sambil menghempaskan tangan Riddan.

What? Setahun?” tanya Riddan terkejut. Jea mengangguk polos. “Lo gila?”

“Gue tuh cuti kuliah setahun. Lo tahu karena apa?”

“Karena apa?” tanya Riddan.

“Ya karena pengenlah.”

Riddan berdecak kesal mendengar jawaban Jea. “Udahlah, cepetan cuci muka. Gue telat nih,” ucap Riddan sambil duduk di bibir kasur dan mendorong Jea agar segera mencuci mukanya.

“Dih! Gak mau! Gue mau tinggal di sini aja,” tolak Jea.

“Siapa yang ngizinin lo tinggal di sini?”

“Terus gue tinggal di mana, Riddan? Gue gak mau tinggal di hotel. Setahun loh masalahnya.”

“Balik ke Australia sana.”

“Gampang banget lo ngomong.”

“Ada apa sih ribut-ribut? Kalian itu ganggu,” kata Bianca yang tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar Riddan. Asisten rumah itu pun masuk ke kamar Riddan
.
“Ini loh, Bik, Riddan ngusir aku nih,” adu Jea pada Bianca.

No. Don't call me ‘Bik’. Call me Bianca. Bi-an-ca," kata Bianca mengeja namanya.

“Sama aja, Bik—eh Bianca,” kata Jea.

Different, you know?”

“Iya, salah deh.”

“Tuan Riddan yang paling top sejagat raya, kenapa Tuan tega mengusir teman anda yang cantik segalaksi ini?” tanya Bianca sambil menatap Riddan dengan tatapan tajam.

“Bianca, Jea ini cewek loh. Masa mau tinggal di sini?”

“Nah, karena dia cewek, gak baik tinggal di hotel lama-lama, mending tinggal di sini aja,” kata Bianca.

“Ya ampun, Bianca baik banget sih. Aku jadi sayang,” kata Jea sambil tersenyum lebar. Sementara Riddan memasang wajah kesalnya karena Bianca malah membela Jea.

“Nanti digosipin tetangga loh. Tahu ‘kan gimana pedesnya mulut tetangga kalau ngegosip?” kata Riddan yang tetap tidak mau membiarkan Jea tinggal di rumahnya.

“Di sini ‘kan ada saya, aman pokoknya,” ucap Bianca sambil tersenyum bangga.

“Tapi—”

No comment. Nona Jea tetap di sini. Kalau memang nggak mau tinggal sama Nona Jea, mending Tuan Riddan yang paling ganteng ini pindah sana ke rumah Tuan Gavin. Lumayan ‘kan nambah keeratan hubungan kalian," kata Bianca sembari berjalan menuju kamar mandi yang ada di kamar Riddan. Ia menyiapkan air di bathtub yang lengkap dengan busa-busanya.

“Nona Jea, silakan mandi,” kata Bianca sambil mengarahkan tangannya ke kamar mandi. Bianca persis seperti pelayan yang ada di dongeng-dongeng itu.

“Wah! Bianca baik banget sih,” ujar Jea sambil tersenyum senang. Jea melirik Riddan yang tampak sangat kesal. “Gue boleh tinggal di sini, ‘kan? Selama setahun?” tanya Jea.

“Gue pikir dulu. Susah ngomong sama orang bandel kayak lo, Je. Gue berangkat kuliah dulu,” kata Riddan dengan wajah tertekuknya. Riddan pun pergi untuk segera berangkat kuliah.

“Makasih ya, Bianca. Bianca baik banget deh sama aku,” kata Jea sambil tersenyum pada Bianca.

You're wellcome,” kata Bianca sambil tersenyum juga.

“Ngomong-ngomong kok Riddan bisa jadi jinak gitu, ya?” tanya Jea heran. Ia tidak menyangka seorang pembantu menasehati majikannya dengan cara seperti itu.

“Entahlah. Saya dipekerjakan oleh kakeknya Tuan Riddan dan katanya saya boleh melakukan apa saja yang penting demi kebaikan Tuan Riddan. Jadi, dia selalu nurut sama saya,” jelas Bianca.

“Oh gitu. Ya udah, aku mandi dulu ya,” kata Jea. Bianca mengangguk dan pergi dari kamar Jea, lebih tepatnya kamar Riddan yang ditempati oleh Jea. Jea pun segera mandi dan berendam sekitar setengah jam di bathtub.

***

Seseorang mengetuk pintu kamar Jea, lebih tepatnya kamar Riddan yang dipakai oleh Jea. Jea berdecak kesal saat aktivitas tidurannya terganggu karena ada yang mengetuk pintu. Ia pun bangun dan mendekati pintu.

“Siapa sih? Bianca?” tanya Jea sebelum membuka pintu. Orang yang mengetuk pintu itu tidak mengeluarkan suara sama sekali. Jea pun kembali merebahkan dirinya di kasur.

Beberapa saat kemudian, pintu terketuk lagi berulang kali. Jea pun langsung bergegas membuka pintu dan berencana mengomeli orang yang mengganggunya. Itu tidak mungkin Riddan karena Riddan bilang pulang malam dan sekarang masih sore. Tidak mungkin juga Bianca karena tadi Bianca bilang akan pergi ke supermarket untuk beli bahan makan malam. Yang mengetuk pintu itu pasti orang lain.

“Siapa sih?” tanya Jea sambil membuka pintu. “Eh lo! Gavin Alergian? Ngapain lo di sini?" tanya Jea yang terkejut karena melihat orang asing yang tinggal di samping rumah Riddan. 

“Algerian, bukan Alergian,” kata Gavin mengoreksi dan tersenyum pada Jea. Senyum yang menyebalkan bagi Jea.

“Mau apa lo?” tanya Jea galak.

“Santai dong. Gue cuma mau kenalan sama lo. Lo beneran cuma temennya Riddan, ‘kan? Enggak pacaran, ‘kan?”

“Siapa yang mau kenalan sama lo? Gue ogah, ya. Pacar Riddan? Enggak juga sih kayaknya.”

“Enggak ‘kan? Bagus deh.”

“Lo kok bisa masuk ke rumah ini sih? Gak sopan tahu masuk ke rumah orang gitu aja,” kata Jea sambil menatap Gavin kesal.

“Bisa dong. Ada Bianca soalnya.”

“Loh, Bianca udah pulang?”

Gavin mengangguk. “Nama lo siapa?” tanya Gavin.

“Lo nggak tahu gue? Padahal kemarin itu gue kira lo fans gue,” kata Jea bingung. Padahal Jea adalah orang yang terkenal di dunia maya maupun di dunia nyata karena Jea adalah seorang YouTubers.

“Enggak tahu, tapi mulai sekarang gue jadi fans lo,” kata Gavin polos.

Jea langsung menatap Gavin dengan sinis lalu pergi begitu saja untuk mencari Bianca yang katanya sudah datang. “Bianca!” teriak Jea.

Tak lama kemudian Bianca datang dari arah dapur sambil membawa pisau berukuran besar. “Ada apa, Nona Jea?” tanya Bianca.

“Ah, enggak. Cepet banget dateng dari belanja,” kata Jea sambil menyengir.

“Naik taksi soalnya, kalau jalan mungkin belum sampai,” sahut Bianca sambil terkekeh. Bianca pun kembali ke dapur untuk memasak.

“Jadi nama lo Jea?” celetuk Gavin yang tiba-tiba sudah ada di belakang Jea. Dengan refleks Jea melayangkan pukulannya dan mengenai wajah Gavin.

“Aduhhh!!!” jerit Gavin sambil memegangi pipinya yang terkena pukulan. Bukannya minta maaf, Jea malah pergi meninggalkan Gavin dan duduk dengan santai di meja makan sambil memperhatikan Bianca yang sedang memasak dengan lihainya.

“Ada apa itu ribut-ribut?” tanya Bianca sambil fokus memasak.

“Bianca, dia main mukul gitu aja. Marahin dia, Bianca,” adu Gavin sambil menunjuk-nunjuk Jea.

“Apaan sih? Siapa suruh lo tiba-tiba ada di belakang gue? Gue kaget ‘kan jadinya,” kata Jea sambil memalingkan wajahnya.
Gavin menarik kursi yang ada di depan Jea lalu duduk menghadap Jea.

“Iya deh, gue salah. Nggak papa deh kena pukul. Anggep aja hadiah perkenalan,” kata Gavin sambil sambil tersenyum lebar. Jea tidak peduli dengan Gavin. Mau senyum sampai bibirnya robek pun Jea tidak akan pernah luluh. Hanya dengan melihat tampang Gavin saja, Jea sudah tahu Gavin itu tipe orang yang seperti apa.

“Kelihatan banget playboy-nya,” batin Jea sambil melirik Gavin yang sedang menatapnya lekat-lekat. Sungguh menyebalkan bagi Jea. “Apa lo lihat-lihat?” tanya Jea sambil melotot.

“Nggak papa. Lo cantik banget sih,” kata Gavin sambil tersenyum-senyum. Jea menjadi semakin jengkel. Ia memilih untuk memalingkan wajahnya karena melihat Gavin membuat darahnya mendidih dan ingin meledak-ledak.

“Riddan kok nggak pulang-pulang sih? Udah jam enam lebih padahal,” batin Jea sambil melirik jam dinding yang terpajang di dinding ruang makan.

***

TBC …

Repost on Wednesday, 3 February 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro