Part 44

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

To Saza

Aku mau ketemu. Aku bakal tunggu sampai kapanpun asal kamu dateng.

Kemudian, Riddan mengirimkan lokasinya sekarang ke Saza. Sekarang ia berada di Kafe Sunshine, kafe favoritnya bersama Jea.

Riddan menunggu berjam-jam, tetapi tidak ada balasan ataupun tanda-tanda Saza akan datang. Kafe ini sedang sepi dan hanya ada dirinya yang ditemani milkshake vanila.

Saat mendengar suara pintu kafe terbuka, Riddan mendongak dan melihat sosok yang ia nanti-nanti telah datang. Saza telah datang dan membuat Riddan sangat lega.

"Saza."

"Mau ngapain manggil aku ke sini?"

"Za, aku mau kita balikan."

"Gak bisa. Kita gak bisa balikan," kata Saza sambil menunduk.

"Kita sama-sama saling cinta. Kenapa enggak bisa?"

"Aku terlalu malu buat berhadapan sama Kakak. Aku gak tahu lagi harus gimana. Aku nyesel banget karena udah bohongin Kak Riddan. Maaf."

"Aku gak mempermasalahkan awal kamu deketin aku itu karena apa. Aku percaya kalau kita emang ditakdirin buat bersama. Kamu mau kan balikan sama aku, Za?"

Saza tampak berpikir. Riddan tidak sabar menanti jawaban Saza. Ia berharap Saza mau kembali berpacaran dengannya.

"Saza," panggil Riddan karena melihat Saza terbengong.

"Aku cinta sama Kak Riddan," kata Saza sambil menghambur ke pelukan Riddan. Perlahan Riddan tersenyum senang karena Saza menerimanya kembali.

***

"Mau nyari ke mana lagi?" tanya Gavin tanpa menatap Jea. Matanya fokus memandang ke depan karena jalanan yang ramai berlalu-lalang.

"Entah. Gue nelepon gak diangkat-angkat. Jalan aja dulu, siapa tahu ketemu di jalan," kata Jea sambil sibuk menatap ponselnya.

Ia melihat-lihat isi galerinya yang didominasi dengan fotonya dan Riddan bersama. Ia tersenyum miris melihat kebersamaan mereka yang dulu begitu manis dan sekarang malah hancur berantakan.

Iseng-iseng ia memutar kembali video pada saat ia habis minum-minum. Ia memutar pada bagian saat ia sampai di rumah Riddan. Kemudian matanya tidak sengaja melihat sosok yang sepertinya pernah ia lihat. Ia pun menghentikan video itu.

"Ini bukannya ayahnya Saza, Vin?" tanya Jea sambil memperhatikan laki-laki yang berdiri di pagar rumah Riddan sambil membawa kamera.

"Masa sih? Ini orangnya pakai kacamata loh," kata Gavin setelah melirik sekilas.

"Ish! Kacamata bisa dilepas pasang, bego! Coba lo lihat baik-baik." Jea memperbesar gambar dan menyuruh Gavin memperhatikannya dengan lekat-lekat.

"Gue lagi nyetir, bego!"

"Ya udah! Gak usah ngatain gue bego, anjir!"

"Enggak kok. Lo pinter, Je. Pinter banget," puji Gavin sambil tersenyum.

"Eh tapi kalau diperhatiin lagi, gue kayak pernah lihat dia," kata Jea sambil memperhatikan wajah laki-laki itu dengan lekat-lekat. Walaupun gambarnya tidak terlalu HD, Jea bisa mengenali wajah orang itu.

"Ya kan pernah waktu ulangtahun Saza."

"Bukan. Sebelum itu gue rasa pernah lihat," kata Jea sambil memijat pelipisnya.

Jea berusaha mengingat siapa sebenarnya laki-laki itu. Usaha tidak mengkhianati hasil. Jea berhasil mengingat orang itu.

Ia segera mengirim screenshot yang menampakkan laki-laki yang menggunakan kacamata itu ke mamanya. Tak lama kemudian ia langsung mendapat telepon dari mamanya.

"Halo, Ma. Mama tahu dia siapa?" tanya Jea tanpa basa-basi.

"Kamu ngapain ngirimin foto reporter itu?"

Benar tebakannya. Ia rasa pernah melihat laki-laki tua berkacamata itu.

"Jadi itu reporter yang fitnah Mama?"

"Iya. Emang kenapa? Mama denger dia udah dipecat jadi reporter karena ketahuan fitnah Mama."

"Dia yang sebarin berita itu, Ma."

"Dasar tua bangka. Padahal udah dipecat, malah buat berita anonim yang isinya fitnah. Pengin Mama tuntut, tapi kasihan. Enaknya diapain ya?"

"Huh. Usahlah, Ma. Jea bakal berhenti aktif di dunia maya. Jea gak mau lagi peduliin kritikan orang."

"Bagus. Udah tahu kan seremnya dunia maya?"

"Hm …."

Jea memutuskan sambungannya dan membanting ponselnya ke belakang. Ia benar-benar kesal. Anak berayah itu membuat hidupnya hancur. Jea tidak terima itu. Ia benar-benar geram dengan kedua orang itu.

"Jadi foto itu dari ayahnya Saza?"

"Iya."

"Terus lo mau ngapain sekarang?"

"Ke Kafe Sunshine. Gue laper, butuh asupan gizi."

"Gak nyari Riddan?"

"Habis makan. Udah deh, gak usah ngebacot.

Setelah itu Gavin melajukan mobilnya menuju Kafe Sunshine. Jaraknya tidak terlalu jauh sehingga tidak menghabiskan banyak waktu.

"Sayang, ayo turun!" ajak Gavin yang ternyata sudah keluar dari mobil. Jea tidak sadar mereka sudah sampai karena terlalu sibuk dengan ponselnya.

"Siapa lo manggil-manggil gue sayang?" tanya Jea sambil menatap Gavin dengan sinis. Sementara Gavin hanya menyengir.

Setelah Jea keluar dari mobil, mereka berjalan beriringan menuju pintu masuk kafe. Baru saja Jea membuka pintu kaca itu dan sudah mendapat pemandangan yang membuatnya sangat marah.

Jea melihat Riddan dan Saza berpelukan tanpa tahu tempat. Sangat terlihat kalau Riddan dan Saza bahagia. Iya, bahagia diatas penderitaan Jea.

Jea berjalan cepat menghampiri dua orang yang sedang berbahagia itu. Kemudian ia langsung memisahkan mereka dengan cara mendorong Saza hingga terjatuh di lantai.

"Cewek gak tahu malu! Lo deketin Riddan karena harta dan masih gak tahu diri!" teriak Jea setelah Saza terjatuh dengan posisi duduk.

"Ka–Kak Jea …"

"Jea! Lo apa-apaan sih?" bentak Riddan sambil membantu Saza terbangun.

"Gue heran sama lo, Dan! Kenapa sih lo masih suka sama dia padahal lo tahu dia manfaatin lo? Otak lo dimana sih?"

Jea hendak maju mendekati Saza, tetapi Gavin malah menahannya agar tetap menjaga jarak.

"Lepasin gue, Vin! Lo gak usah ikut campur!" jerit Jea sambil menghempaskan tangan Gavin.

"Gue gak ngerti lagi sama cewek munafik kayak lo! Riddan lo apain sampai dia milih lo?" teriak Jea lalu menjambak rambut Saza hingga Saza memekik kesakitan. "Dari dulu gue pengin banget jambak lo dan sekarang baru kesampaian," lanjutnya sambil terkekeh melihat ekspresi kesakitan Saza.

"Sakit, Kak," lirih Saza. Namun, Jea tidak peduli.

Riddan tidak tinggal diam. Ia berusaha melepaskan tangan Jea yang menjambak rambut Saza. "Jea! Lo bener-bener gila!" bentak Riddan karena tidak berhasil melepaskan tangan Jea.

"Gue mau lo jauhin Saza, Riddan! Lo gak ngerti juga?" jerit Jea. Setelah itu ia langsung melayangkan tamparan di pipi Saza yang membuat Saza jatuh kembali.

Setelah itu juga Jea merasakan pipinya ditampar. Riddan yang menampar Jea. Sungguh Jea kecewa. Ini pertama kalinya Riddan menamparnya dan itu semua karena Saza, cewek yang berhasil membuat Riddan berubah.

Tidak hanya menampar Jea, Riddan juga mendorong Jea dengan keras. Untung saja ada Gavin di belakangnya yang siap menahan tubuh Jea.

Jea terdiam. Ia sangat terkejut dengan perlakuan Riddan padanya. Tidak hanya Jea, Riddan juga terlihat sangat terkejut dengan perlakuannya sendiri. Riddan tidak menyangka bahwa dirinya telah menampar Jea.

"Jea …."

"Gue kecewa sama lo, Riddan!" jerit Jea yang menggema di kafe yang sunyi itu. Bahkan pemilik kafe yang duduk di meja kasir hanya bisa diam melihat pelanggannya sedang bertengkar.

"Jea, gue gak maksud nampar lo," lirih Riddan sambil menatap Jea dengan perasaan bersalah. Perlahan ia mendekati Jea, tetapi Jea mundur. Sama seperti yang Riddan lakukan tadi saat di kamarnya.

"Gue bakalan inget tamparan pertama lo, Dan! Gue benci sama lo! Gue benci kalian, terutama lo, Saza!" teriak Jea lalu hendak berlari pergi. Namun, Riddan malah memeluknya erat.

"Ayo bangun, Za," kata Gavin sambil mengulurkan tangannya pada Saza yang masih terduduk di lantai. Saza yang sedari tadi menangis dalam diam pun mengusap air matanya terlebih dahulu, barulah ia menerima uluran tangan Gavin.

"Lepasin gue! Gue muak sama lo! Gue benci sama lo! Biarin gue pergi!" teriak Jea sambil memberontak. Namun, tidak berhasil juga karena tenaga Riddan jauh lebih kuat.

"Maafin gue, Je! Gue gak sengaja! Tolong jangan gini!" bentak Riddan dan kembali membuat keadaan menjadi hening sesaat.

"Lo nampar gue karena Saza. Mana perkataan lo yang bilang kalau gue prioritas utama lo? Mana?" ucap Jea pelan.

Air matanya terus mengalir tanpa bisa ia tahan. Andai saja ia bisa menghentikan tangisannya, ia tidak akan terlihat menyedihkan seperti ini.

Hatinya sangat sakit ditampar seperti itu hanya karena Saza. Pipinya tidak sakit, Jea tidak merasa sakit sedikitpun di pipinya. Namun, justru yang sakit itu hatinya.

Ia rasa Riddan tidak akan kembali seperti dulu lagi. Riddan sudah berubah. Riddan lebih memilih Saza daripada dirinya.

"Gue sayang lo, Jea—"

"Sebatas sahabat?"

"Hm …"

"Kalau gitu biarin gue pergi dari hidup lo," kata Jea lalu menginjak kaki Riddan dengan keras.

Kemudian, ia berlari keluar dari kafe. Ia menyetop taksi yang kebetulan lewat di depannya. Ia tidak suka naik taksi, tetapi karena keadaannya seperti ini, Jea memilih untuk naik taksi.

Mobil taksi telah berjalan. Jea melirik ke belakang dan melihat Riddan dan Gavin berlari melihat kepergiannya. Jea masih menangis. Tidak mudah menghentikan tangisannya saat ini. Maka ia membiarkan air matanya terus mengalir untuk meluapkan rasa sakitnya.

***

TBC …

Repost on Saturday 27th, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro