Part 46

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

To Saza

Gw mw ketemu. Bisa?

Jea mengirimkan pesan itu pada Saza. Keputusannya sudah bulat untuk mengakhiri semuanya. Ia tidak bisa terus-terusan bersembunyi seperti pengecut. Ia harus menyelesaikan masalahnya.

From Saza

Bisa Kak. Dimana?

Jea tersenyum tipis. Saza sepertinya tidak dendam padanya. Buktinya Saza membalas pesannya dalam hitungan menit saja.

To Saza

Kafe Sunshine. Skrng.

Setelah itu, Jea meletakkan ponselnya di tas punggungnya. Kini Jea tidak lagi mengenakan pakaian rumah sakit. Sekarang ia sudah berganti pakaian menjadi pakaian biasa.

Jea menyeret dua kopernya dan keluar dari ruangan yang ia tinggali selama beberapa hari. Sesampainya ia di luar, Jea tersentak karena tiba-tiba Gavin berdiri di depannya sambil membawa dua kaleng minuman soda.

"Lo mau ke mana?" tanya Gavin sambil melirik dua koper yang Jea pegang.

"Gue—" Ucapan Jea terpotong saat Gavin memutar tubuhnya dan menggeledah tas punggung Jea. Raut wajah Gavin terlihat kecewa saat menemukan sebuah tiket pesawat di dalam tas Jea.

"Lo mau balik?" tanya Gavin kecewa. Ia menutup kembali tas Jea dan mundur selangkah dari Jea.

"Gue … gue … iya, gue mau balik," kata Jea tergagap.

"Belum setahun, Je."

"Tapi gue mau balik, Vin."

"Karena gak mau ketemu Riddan?" tanya Gavin. Ia mengalihkan pandangannya, tidak mau menatap Jea. Kemungkinan besar Jea akan menjawab 'iya' dan Gavin tidak menginginkan jawaban itu.

Jea menggeleng lemah. "Gue mau lanjut kuliah."

"Jujur aja kali, Je. Gak usah bohongin diri lo cuma demi jaga perasaan gue," kata Gavin sambil tersenyum tipis. Ia menatap Jea lekat-lekat. Karena sebentar lagi akan berpisah, Gavin ingin berlama-lama menatap wajah yang pastinya akan selalu ia rindukan.

"Dih! Siapa yang jaga perasaan lo? Gue tuh mau lanjut kuliah biar cepet lulus. Kalau udah lulus, gue mau menetap di Indonesia. Lagian gue cuma pergi ke Australia, enggak ke akhirat, gak usah lebay," tutur Jea sambil mengangkat dagunya dengan angkuh. Ia berjalan melewati Gavin yang masih terkejut dengan penuturan Jea.

"Jadi gue GR?" tanyanya pada dirinya sendiri sambil menatap Jea yang berjalan dengan anggun.

Jea sungguh tidak mencerminkan perempuan yang sedang patah hati. Perempuan itu sepertinya baik-baik saja. Namun, tidak ada yang tahu bagaimana sebenarnya kondisi Jea karena dia terlalu pintar menyembunyikan perasaannya.

"Jea! Tunggu gue!" teriak Gavin sambil berlari menyusul Jea yang sudah jauh di depan. Ia mengambil alih satu koper Jea dan memegangnya menggunakan tangan kanan. Sementara tangan kirinya merangkul Jea. Jea tidak menolak, malahan Jea merangkul pinggang Gavin sambil menunjukkan senyum cerahnya.

Mereka pun berjalan bersama menuju parkiran lalu pergi ke tujuan Jea, yaitu Kafe Sunshine. "Lo mau ngapain ketemu Saza?" tanya Gavin sambil menatap Kafe Sunshine dari tempat mobilnya parkir.

"Kepo. Ayo masuk!" Jea membuka pintu mobil dan disusul oleh Gavin.

"Lo mau berantem? Mau rebutin Riddan lagi? Mau ngapain sih, Je?" cecar Gavin sambil berjalan cepat mengikuti Jea. Suasana kafe itu sepi seperti biasanya. Jadi, mereka bebas duduk di tempat duduk yang paling bagus. "Saza mana?" tanya Gavin lagi karena tidak kunjung direspon oleh Jea.

"Bacot lo, Vin. Mending lo pesen makanan, gue laper," kata Jea sambil menyerahkan menu pada Gavin.

"Moody-an lo, Je. Tadi perasaan baik, sekarang berubah lagi," ucap Gavin kesal. Ia pun memesan makanan yang ia mau, tidak peduli apakah Jea suka atau tidak suka.

"Eh, lo pesen apa?" tanya Jea saat Gavin kembali duduk di depannya.

"Pesen makanan sama minuman," jawab Gavin santai.

"Iya, gue tahu, njir. Maksudnya makanan apa?" Ingin rasanya Jea menjambak rambut Gavin karena gemas, tetapi ia tahan karena tidak ingin membuat keributan.

"Tiramisu cake sama milkshake strawberry."

"Kok lo pesen itu sih? Gue gak pernah pesen itu. Gue biasanya pesen—"

"Apa salahnya coba hal baru, Je? Gak baik lo cuma stuck sama satu hal," kata Gavin seolah menyindirnya.

"Gue udah move on kali," ucap Jea dengan nada nyolot. Ia merasa Gavin menyindirnya tentang ia yang masih stuck dengan perasaannya pada Riddan

"Gue gak bahas itu ya."

"Tapi lo kayak nyindir gue yang stuck sama Riddan."

"Gue tahu move on itu susah, apalagi lo suka sama Riddan itu dari SMA. Gue sabar nunggu lo kok. Jadi, lo gak usah merasa terbebani," ungkap Gavin sambil tersenyum.

"Sejak kapan playboy bisa bijak?" tanya Jea sambil terkekeh.

"Gue udah bermetamorfosis jadi setia-boy, Je."

"Karena gue?" tanya Jea sambil tersenyum sumringah.

"Enggak. Karena Saluna. Gue kapok macarin sembarang cewek," kata Gavin yang diakhiri dengan tawa. Berbeda dengan Jea yang langsung merengut kesal.

"Nyebelin."

"Lo satu-satunya cewek yang gue cinta sekarang, Je."

Jea terkekeh mendengar pengakuan Gavin yang tiba-tiba. "Gombal."

"Serius elah."

"Hm …."

"Saza kapan dateng sih? Lama banget," kata Gavin yang mulai merasa bosan menunggu. Ia mengambil ponselnya dan membuka beberapa aplikasi untuk menghilangkan rasa bosannya.

"Apa dia gak dateng?" tanya Jea pelan sambil menatap kosong ke depan. Ia juga mulai merasa bosan. Pesanannya belum datang dan ia sudah merasa lapar.


"Kak Jea," panggil seseorang saat Jea dan Gavin sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing. "Maaf lama, Kak."

"Eh Saza? Iya gak papa kok. Duduk, Za," kata Jea mempersilakan Saza duduk di sampingnya.

"Ada apa ya, Kak?" tanya Saza to the point. Ia duduk di sebelah Jea.

"Gue mau pamit," kata Jea sambil tersenyum.

"Pamit? Ke Australia?" Jea mengangguk.

"Karena aku, Kak?" tanya Saza yang terlihat merasa bersalah.

Jea terkekeh geli melihat Saza merasa bersalah. "Enggak kok. Gue cuma mau lanjut kuliah aja."

"Kak Jea ngilang kemana beberapa hari ini? Kak Riddan nyariin loh kemana-mana."

"Rahasia. Jangan bilang Riddan ya kalau lo ketemu gue di sini. Nanti gue yang bakalan nyari dia," pinta Jea. Sementara Saza hanya bisa mengangguk.

"Gue selama di sini itu banyak salah sama lo, Za. Gue jadi penghalang hubungan lo sama—"

"Kak Jea jangan ngomong gitu," kata Saza.

"Gue enggak bakalan minta maaf sama lo karena minta maaf itu cuma bikin gue merasa lebih baik. Sedangkan lo tetep sakit hati kan karena perilaku gue sama lo?" lanjut Jea sambil tersenyum.

"Jujur aja aku emang sakit hati sama sikap Kak Jea, tapi aku tahu Kak Jea kayak gitu karena ngerasa kehilangan. Kak Jea deket sama Kak Riddan sejak SMA dan tiba-tiba aku dateng di antara kalian. Aku ngerti Kak Jea lebih sakit hati daripada aku."

Saza mulai menangis terisak-isak. Ia benar-benar merasa bersalah karena sudah membuat hubungan Jea dan Riddan menjadi renggang. Ia merasa menjadi perebut yang merebut Riddan dari Jea.

"Gak papa, Za. Mungkin Riddan emang bukan jodoh gue. Ini yang namanya takdir, Za. Lo ditakdirkan sama Riddan. Jadi, gak usah merasa bersalah."

Saza masih menangis terisak-isak. Sementara Jea mengusap-usap punggung Saza untuk menenangkannya.

"Udah, Za. Jangan nangis lagi. Nanti gue dimarahin Riddan karena bikin ceweknya nangis," kata Jea sambil terkekeh kecil.

Ia pun ingin menangis juga. Namun, ia berusaha menahan air matanya agar tidak menambah keadaan menjadi lebih sedih.

"Tenang aja. Gue bakal bikin Jea move on secepatnya. Jadi, lo gak perlu merasa bersalah lagi, Za," kata Gavin sambil memindah kursi menjadi di samping Jea dan memeluk pacarnya itu sebentar.

Melihat aksi Gavin, Saza berhenti menangis lalu mengusap air matanya menggunakan tisu yang ada di meja itu. Ia menatap Jea dan Gavin bergantian.

"Gue sama Jea pacaran," kata Gavin seolah mengerti tatapan bingung Saza.

Seketika cewek berponi itu langsung melotot terkejut. "Apa?"

"Kami pacaran," kata Gavin mengulang perkataannya.

"Hah?" Saza masih belum sadar dari keterkejutannya, membuat Jea dan Gavin tertawa bersamaan melihat ekspresi Saza.

"Gak nyangka ya?" tanya Jea.

"Iya, gak nyangka banget. Kok bisa?"

"Dia yang nembak gue loh," kata Gavin sambil mencubit pipi Jea.

"Ih nyebelin! Jangan dipercaya, dia ngada-ngada," ucap Jea sambil memukul tangan Gavin yang mencubit pipinya.

"Permisi, ini pesanannya," kata seorang pelayan sambil membawa pesanan mereka. "Maaf ya lama soalnya tadi ada sedikit kendala," lanjutnya.

"Iya, gak papa kok. Thank you." Jea tersenyum tipis. Pelayan itupun pamit meninggalkan mereka.

"Eh Saza gak mau mesen sesuatu?" tanya Jea.

"Enggak, Kak. Aku mau ke rumah Helsa sekarang," kata Saza sambil berdiri.

"Oh gitu ya? Ya udah, hati-hati ya."

"Iya, Kak. Langgeng ya sama Kak Gavin." Saza tersenyum sambil menatap Jea dan Gavin.

"Makasih. Langgeng juga sama Riddan," balas Jea sambil tersenyum juga.

"Bye, Kak." Saza melambaikan tangannya dan dibalas oleh Jea.

Setelah Saza pergi, Gavin menatap Jea dengan lekat-lekat.

"Kenapa?" tanya Jea yang merasa risi karena ditatap seperti itu.

"Kenapa lo gak sebutin masalah ayahnya yang fitnah lo?"

"Oh itu? Mending enggak, nanti dia makin merasa bersalah sama gue. Lagian berkat ayahnya, gue bisa fokus sama satu mimpi," kata Jea sambil tersenyum. Bebannya sudah berkurang setelah berbicara dengan Saza.

"Pacar gue baik banget," kata Gavin sambil mengacak-acak rambut Jea.

"Baru tahu gue baik? Udah baik, cantik, manis, pinter lagi. Kurang apa gue?"

"Cih! Dipuji malah ngelunjak. Lo tuh kurangnya banyak. Kurang lembut, kurang jelek, kurang bego, dan yang paling penting itu kurang bisa masak."

"Gak usah ngomong lo!" Jea memasukkan kue tiramisu dengan paksa ke mulut Gavin.

"Wah enak banget!" seru Gavin sambil mengunyah kue itu.

"Masa sih?" Jea yang merasa penasaran pun mencoba kue itu.

"Hm … beneran enak," kata Jea.

"Makanya … jangan fokus pada satu hal. Masih banyak yang perlu dicoba. Gue salah satunya."

Tiba-tiba Jea mencium pipi Gavin. "Lo enak juga," kata Jea sambil menyengir. Sementara Gavin membelalakkan matanya karena terkejut.

"Lo ngapain, Je?" jerit Gavin histeris.

"Lo nyuruh gue nyobain lo," kata Jea sok polos.

"Ya enggak gitu juga!"

***

TBC …

Repost on Saturday 27th, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro