5. Hong Li

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Udara pagi bulan Agustus ini cukup hangat. Ryoko memakai jubah wisuda sekolahnya lalu bersiap berangkat. Lima tahun berlalu sejak kejadian di Rimba Borneo. Selama itu pula, Ryoko belajar sebaik mungkin supaya bisa diterima di Gakko Academy, tempat setiap calon Penjaga belajar untuk mengenal dunia Makhluk Gaib.

Saat menuruni tangga, dia merasakan energi yang sudah sangat dikenal. Yeo dalam wujud kecil muncul dari ambang pintu dapur. Rubah berekor sembilan itu menganggukkan kepala tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun lalu kembali melangkah ke ruang kerja Ibu. Bahkan di hari yang bersejarah bagi hidup Ryoko ini, keluarganya tidak ada yang peduli.

Gadis itu menarik jubahnya sambil menghela napas, berusaha menguatkan hati yang kecewa. Anak-anak lain mungkin akan turun dalam jubah wisuda mereka dan dipeluk oleh anggota keluarga. Sedangkan Ryoko, Ibu bahkan tidak muncul untuk mengucapkan selamat telah lulus dari Sekolah Menengah Atas.

Satu hal yang pasti terjadi dalam keluarga ini adalah adanya es tidak terlihat. Seolah-olah setiap anggota keluarga hidup dalam dunianya masing-masing. Ibu semakin sibuk di rumah sakit atau mempelajari banyak hal di perpustakaan rumah bersama Yeo.

Ayah juga semakin sering bepergian. Bersama Saisho, Ayah berkeliling dan membantu Penjaga yang lain dari Para Pemburu. Suma dan Jiro juga semakin jarang pulang karena mereka fokus pada Makhluk Gaib yang mereka jaga. Rumah besar ini seringkali terasa sunyi daripada ramai.

Suara bel mengalihkan pandangan Ryoko dari ekor Yeo yang baru saja menghilang dari ruang kerja. Dia bergegas membuka pintu dan tertawa lebar saat menyadari siapa yang datang.

"Wah, anak ingusan itu sudah besar ternyata," kata seorang pemuda yang lebih tua beberapa tahun dari Ryoko itu sambil tersenyum.

"Anak ingusan ini sudah menjadi lady dan akan segera kuliah, tahu?"


Mendengar ucapan Ryoko, laki-laki itu malah menjepit hidungnya dan tertawa. Terdengar langkah dari ruang kerja dan Ryoko melihat Ibunya keluar dengan pakaian rapi.

"Hai, Hong Li! Baik sekali kamu mau datang menemani Ryoko. Sayang sekali Ayahnya sedang dinas. Untung kamu bersedia menemani." Ibu tersenyum hangat.

Hampir saja Ryoko mendengkus mendengar ucapan Ibu. Dia harus menguasai emosi sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan di hari bersejarah ini.

"Suma dan Jiro juga tidak pulang?" tanya Hong Li heran.

"Tidak. Menyebalkan sekali memang mereka. Tidak peduli pada adik bungsu yang cantik ini," kata Ryoko cepat, mencoba terdengar tidak peduli.

Hong Li hanya tersenyum, telapak tangannya yang besar menyapu bagian atas kepala. Satu hal yang tidak disukai Ryoko adalah dikasihani, terlebih di hari ini. Ryoko bernapas lega setelah Hong Li tidak lagi berbicara dan membukakan pintu mobil untuk Ibu lalu bergegas masuk ke pintu pengendara sambil berteriak menyuruh Ryoko bergegas.

"Kenapa aku tidak dibukakan pintu juga?" gerutu Ryoko saat masuk ke kursi penumpang di bagian tengah mobil.

"Coba kulihat? Orang berusia lanjut? Bukan! Orang hamil? Jelas bukan! Orang tua? Tentu saja, bukan! Kamu bisa membantu diri sendiri Ry."

Demi diantarkan ke sekolah dan ada Ibu di sebelah kursi pengemudi, Ryoko urung melanjutkan marah-marahnya. Sebagai ganti, dia menatap pepohonan dan jalanan menuju sekolah. Hong Li seringkali mengantarkannya kemana-mana. Terkadang Ryoko merasa kalau Hong Li lebih berperan sebagai seorang kakak daripada kakak-kakaknya sendiri.


Hong Li berusia 21 tahun, lebih muda dua tahun dari Jiro. Awalnya Hong Li dan Jiro yang berteman lebih dulu. Kemudian laki-laki berambut gelap itu mulai bermain dengan Suma dan Ryoko kecil. Ketika satu persatu kakaknya meninggalkan rumah, Ryoko jadi lebih sering bertemu dengan Hong Li.

Laki-laki dengan bola mata cokelat gelap nyaris hitam itu sangat pintar. Ryoko banyak sekali terbantu dengan penjelasan-penjelasan yang dilakukan oleh Hong Li.

"Kamu akan pergi ke Gumba Academy of International History seperti Suma dan Jiro setelah lulus, Ry?" tanya Hong Li, masih dengan pandangan lurus ke depan.

"Tentu saja!"

"Mereka hanya menerima murid pilihan kamu tahu?"


Ryoko bisa melihat cengiran laki-laki usil yang menatapnya dari spion tengah.

"Maksudmu aku tidak cukup pintar?" tanya Ryoko mulai naik pitam.


Sebelum terjadi baku hantam di dalam mobil, Ibu sudah berdehem dan mereka semua terdiam. Ryoko kembali mengarahkan pandangan ke pohon-pohon dan langit di luar jendela. Dia melamunkan banyak hal yang terjadi dalam keluarga dan hidupnya.

Ayah dan Ibu memutuskan untuk tidak melibatkan Ryoko lagi dalam segala hal yang berkaitan dengan Penjaga. Suma tidak pernah mengajaknya kembali ke lereng Himalaya. Jiro berhenti mengunjungi keluarga tiga tahun terakhir ini.


Tidak pernah terpikirkan dalam benak Ryoko kalau dia akan hidup dalam keluarga yang dingin seperti ini. Bayangan akan masa lampau, saat Ayah dan Ibu sering tertawa bersama atau kebersamaan mereka yang utuh, terasa sangat jauh.

Dia bahkan tidak bisa mengingat kapan terakhir kali mereka makan malam bersama sekeluarga. Hari-harinya lebih banyak diisi dengan rumah yang kosong, buku-buku dari perpustakaan dan perkamen-perkamen tua yang dibacanya di perpustakan mini milik Ayah di rumah.

Suma terkadang mengiriminya pesan singkat, bercerita kalau hidupnya berpindah-pindah untuk membantu koloni Makhluk Gaib tanpa Penjaga untuk bertahan. Ryoko maklum kakaknya tidak bisa bercerita banyak karena kesibukan dan juga takut jika pesannya jatuh ke tangan Pemburu.

Bicara tentang Pemburu, Ryoko menemukan fakta bahwa mereka juga membaur dengan manusia biasa. Bahkan keahlian mereka dalam menyamar terhitung hebat. Banyak Pemburu yang masuk ke dalam pemerintahan dan menempati posisi penting sehingga mereka bisa mendapat info atau sekedar selentingan di mana saja Para Penjaga berada.

Fakta bahwa musuh bisa berada di mana saja, membuat Ryoko bersikap waspada. Dia tidak memiliki banyak teman dan mencoba untuk tidak menjalin hubungan yang lebih dekat daripada kenalan. Kecuali dengan Hong Li, mungkin laki-laki itu adalah satu-satunya sahabat dalam hidup Ryoko.

"Kamu mau turun dari mobil atau lanjut melamun?" Suara bariton Hong Li mengagetkan Ryoko. Wajahnya bersemu merah saat menyadari kalau mereka sudah sampai di wilayah sekolah dan Ibu bahkan sudah turun dari mobil.

"Kamu baik-baik saja?" bisik Hong Li sambil berjalan di lorong menuju tempat wisuda diadakan. Laki-laki itu menggandeng Ryoko.

"Baik. Apalagi kalau kamu ngelepasin tangan ini. Aku malu dilihat banyak orang." Ryoko berusaha melepaskan tautan tangan Hong Li, yang tertawa-tawa.

Ryoko tidak suka menjadi pusat perhatian dan fakta bahwa dia tiba-tiba muncul bergandengan tangan dengan laki-laki asing yang jelas lebih dewasa darinya membuat hati gentar.

"Duduklah di tempatku. Aku dan Ibumu akan ada di tempat tamu." Hong Li baru melepaskan gandengannya setelah mereka tiba di tempat duduk wisudawan di area sekolah yang terbuka. Sinar matahari hangat, udara yang dipenuhi harum bunga dan suara yang riuh dengan aura kegembiraan terasa sekali di bagian ini.

Setelah memastikan Ryoko sudah duduk dengan nyaman, baru Hong Li berjalan menuju tempat tamu undangan. Teman yang duduk di kanan dan kiri Ryoko, langsung sibuk bertanya tentang Hong Li. Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Ryoko tidak nyaman. Untunglah sebelum dia merasa mual, acara di mulai. Tepat saat itu pesan masuk ke dalam ponselnya.

Hong Li: Sebelum aku berubah pikiran, hari ini kamu terlihat cantik.

"Demi Pegasus di Langit!" Ryoko mengucapkan sumpah serapah ketika membaca pesan Hong Li. Laki-laki iseng itu pasti hanya menggodanya. Namun, tidak bisa dimungkiri, wajahnya bersemu merah dan bibirnya menampilkan senyum lebar.

Tepat saat itu firasatnya mengatakan untuk menatap langit. Sesosok makhluk berwarna putih dengan sayap terpentang lebar terlihat jauh di sana. Sepertinya sumpah serapahnya menjadi kenyataan.


*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro