27. Pertemuan Irsiabella Ravelsa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kau manis sekali, seperti kelinci."

***

"Bagus sekali, Irsiabella!" Arlina merapatkan kedua tangannya dan tersenyum senang. "Kau memang berbakat sekali!" 

Stella tersenyum canggung. Yang dilakukannya hanyalah menyusun beragam bunga di dalam sebuah pot berdasarkan jenis dan warnanya. Pelajaran yang diajarkan Arlina kepadanya hari ini adalah merangkai bunga. Stella juga tidak yakin kalau pelajaran ini akan berguna ke depannya, tapi dia harus mempelajari hal yang sama dengan para bangsawan lainnya. 

"Kurasa, Kak Arlina terlalu berlebihan memujiku," balas Stella. 

"Tidak, tidak. Aku tidak bermaksud membandingkanmu dengan murid-muridku yang lain, tapi kau memang cepat sekali memahami semua pelajaran yang kuberikan," ucap Arlina sambil tertawa. "Aku yakin, Svencer akan merasa sangat tersaingi denganmu di akademi nanti."

Ya, sebelum di akademi pun, Svencer sudah menganggapku saingannya, sih. Stella tertawa masam. 

"Kurasa kita sudah selesai hari ini," ucap Arlina.

"Eh? Apa tidak terlalu cepat?" tanya Stella. 

"Biasanya anak didikku yang lain selalu menunggu kalimat itu." Arlina tertawa. "Aku dengar dari Viscount Ravelsa, bahwa hari ini kau akan ke kota untuk memilih gaunmu untuk pesta ulang tahun Raja Terevias." 

Stella mengedipkan matanya beberapa kali, lalu tersenyum canggung, "Ayahku memang terlalu buru-buru, padahal ini masih musim semi." 

"Tidak juga, ini sudah pertengahan musim semi, hanya tinggal menghitung bulan sampai pesta diadakan. Lagipula, wajar ayahmu antusias, ini pertama kalinya kau menghadiri pesta ulangtahun Raja Terevias, kan?" Arlina bersidekap tangan, tampak berpikir. "Baju untuk Svencer juga belum diukur, karena dia terus mengulur-ulur waktu di asrama akademi. Baju tahun lalunya juga pasti sudah tidak muat. Svencer tumbuh tinggi dengan cepat." 

Di penglihatan Stella, Arlina jadi seperti sosok Ibu yang mengurusi anak laki-lakinya. Stella jadi ingin tahu, apakah dulu dia juga bisa mengurus Luna seperti anaknya? Pemikiran itu membuatnya tersenyum.

"Ngomong-ngomong, apa kau sudah punya seseorang yang mengiringimu selama di pesta nanti?" tanya Arlina. 

"Ayahku akan menemaniku ke pesta." 

Arlina tersenyum sekilas, "Ya, itu juga termasuk hitungan. Namun di ulangtahun keluarga kerajaan, kita biasanya berpasangan untuk pesta dansa."

Stella menaikkan kedua alisnya, "Kita berdansa di sana?"

"Ya, setiap tahun selalu begitu," balas Arlina. 

Setelah Stella pikir-pikir kembali, dia jadi teringat dengan arah pembicaraannya dengan Dayward kemarin. Dayward juga mempertanyakan hal yang sama, tentang siapa yang akan mengiringinya ke pesta nanti. Kini, rasanya Stella tahu kemana arah topik di pesan mereka akan berakhir. 

"Kalau belum, perlukah aku bertanya ke Svencer apakah dia bersedia mengiringimu atau tidak?" tanya Arlina. 

"Ah, tidak perlu, Kak." Buru-buru Stella menahan Arlina. "Hal seperti ini biasanya kudiskusikan terlebih dahulu dengan ayahku. Nanti aku akan menanyakannya lebih dahulu." 

Tidak perlu bertanya ke Regdar pun, rasanya Stella tahu jawaban seperti apa yang akan dibalas Regdar. 

"Aku ... belum yakin bisa berdansa dengan baik, kak. Haruskah kita mengulang pelajaran dansa?" tanya Stella dengan gugup. 

"Kau sudah bisa, Irsiabella. Langkah-langkahmu, putaran, bahkan gerakannya sudah sempurna. Kau tinggal mempraktikkannya saja." 

"Kak Arlina mau mencoba berdansa denganku?" tanya Stella. 

Arlina malah tertawa, "Maaf, Irsiabella. Aku juga tidak menghafal gerakan dansa bagian pria. Mungkin kau harus mencobanya dengan ayahmu." 

Stella pun akhirnya mengantar Arlina berjalan ke pintu utama. Bagaimana pun juga, Arlina memang sudah memutuskan kalau pelajaran hari ini telah selesai. Padahal rasanya Stella baru mempelajari sedikit hal baru hari ini. Hanya latihan membalas puisi, latihan vokal dasar, dan merangkai bunga. 

Diliriknya Arlina yang berjalan di sampingnya. Mungkin Stella boleh mencoba peruntungannya dengan menanyakan hal yang ingin diketahuinya. 

"Apa yang akan dilakukan oleh pihak kerajaan ketika kita sedang berdansa?" Stella bertanya.

"Mereka juga akan berdansa." 

"Bukankah ... maaf, tapi bukankah Yang Mulia Ratu telah wafat ketika melahirkan Sang Putri?" 

Oh, mengenai bagian itu, Stella mengetahuinya dari cerita The Fake Princess, tentu saja. Namun itu sudah pasti adalah hal umum di Negeri Terevias. 

"Tahun lalu, Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Pangeran berdansa bergantian dengan Sang Putri," terang Arlina.

Sepertinya akan sulit untuk bisa menemui putri, pikir Stella sambil menghela napas. 

Usai mengantar Arlina sampai ke gerbang dan memastikannya telah menaiki kereta keluarga Dalton dengan selamat, Stella segera kembali masuk ke rumah. 

Stella melewati beberapa pelayan yang menunduk hormat ke arahnya dan membalasnya dengan senyuman dan anggukan pelan. Regdar masih sibuk di ruang kerjanya dan Stella juga tidak bermaksud untuk mengulur sedetik pun untuk melanjutkan investigasinya. 

Di dalam kamarnya, di atas meja bacanya, ada tumpukan kertas berisi informasi untuk semua pesta minum teh sejak awal musim semi hingga saat ini. Informasi terus berdatangan setiap hari, jika ada penjamuan minum teh terbuka. Awalnya data-data itu memang hanya untuk melacak keberadaan Tuan Anonim, tetapi sekarang Stella juga memperhatikan teh-teh yang dihidangkan bangsawan, sesuai janjinya kepada Regdar. 

Masalah lainnya adalah, sejauh ini Stella hanya menemukan dua orang yang memiliki nama Felix.

Yang pertama adalah Earl Felix Liberty, yang merupakan Ayah dari Nona Liberty yang ditandainya di pesta minum teh Marquess. Namun Stella harus mencoretnya dari daftar, karena umur Felix Anonim memiliki rentang lima belas sampai delapan belas tahun. 

Lalu, Felix yang kedua adalah Baron Felix Deltavon, yang lagi-lagi Stella harus menghapusnya dari daftar karena Tuan Felix Deltavon sudah berkepala enam dan hanya diundang satu pesta yang digelar seorang Count. 

Rasanya kepala Stella hampir meledak berkeping-keping. Awalnya, Stella pikir dengan mendapatkan nama Tuan Anonim, dirinya akan dipermudah, tetapi harapannya hanya menjadi pemikiran terkonyolnya saat ini. Bagaimana kalau Tuan Anonim mempermainkannya dan memberikan nama acak sesuka hatinya? 

Stella jadi kesal sendiri. Seharusnya, Stella memberikan nama aslinya: STELLA. Jadi, bukan hanya dirinya yang pusing perkara nama-nama itu. 

Ketukan di pintu kamarnya segera membuat Stella membereskan barang-barangnya. Dia segera keluar dan menemui Regdar yang sudah berpakaian rapi, mereka siap menuju butik langganan mereka. 

"Ayah, pulang nanti, aku ingin latihan dansa dengan Ayah," ucap Stella ketika mereka sudah ada di dalam kereta kuda. 

Walaupun tidak melihat ke arahnya, Sella bisa merasakannya. Regdar langsung duduk tegak dan menatap ke arahnya tanpa menoleh. 

Stella menoleh balik ayahnya, "Ayah sudah lupa cara berdansa?" 

Regdar langsung tersenyum lebar, "Tentu saja Ayah masih ingat!" 

"Lalu, aku mau tanya satu lagi. Apakah aku perlu seseorang untuk mengiringiku di pesta nanti? Kak Arlina yang bertanya." 

Ayo jawab, "Tidak perlu" atau jawab, "Ayah saja yang akan mengiringimu." Kepala Stella sudah mempersiapkan balasan untuk jawaban seperti itu. 

"Tidak perlu, Ayah akan mengiringimu," ucap Regdar tegas. Sontak, Stella langsung tertawa mendengarnya. "Apa yang lucu? Mengapa kau malah tertawa?"

.

.

.

Stella sudah memilih model pakaian yang akan dipakainya ketika pesta nanti, sudah pula diukur agar pas di tubuhnya. Saat ini, giliran Regdar yang sedang diukur untuk pakaian sepasang. Ya, Regdar memang sengaja membiarkan Stella memilih model dan warna, lalu dia tinggal diukur. 

Padahal, Stella memilih warna merah pastel dengan paduan merah muda persik, tapi sepertinya Regdar tetap ingin menyamakan warna pakaian mereka. Memang, Regdar meminta agar lebih dominan warna merah pastel untuknya, tapi tetap saja hal seperti itu membuatnya tidak percaya. 

Sadar bahwa Regdar akan segera selesai, Stella beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah pintu. 

Tidak ada kereta kuda berlambang Ravelsa di sana. Jalanan di kota memang terlalu ramai, sampai ada peraturan bahwa kereta kuda tidak diperbolehkan berhenti di depan pintu toko. 

Dari kejauhan, Stella melihat kereta kuda Ravelsa sedang berhenti di dekat pajangan air mancur. Stella menyebutnya pajangan, karena air mancur itu tidak memancurkan air seperti yang semestinya, hanya terpajang di tengah-tengah kota yang berlapangan luas. 

"Ayah, aku keluar sebentar, ya. Memanggil kusir ke sini," ucap Stella. 

"Baiklah, jangan terlalu jauh," pesan Regdar. 

Stella berjalan keluar dari toko butik diiringi suara lonceng pelan usai pintu terbuka. Hal pertama yang Stella lakukan adalah memeriksa sekitarnya, semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing, tidak ada yang mempedulikannya. 

Keputusan untuk memakai pakaian yang lebih sederhana dan topi lebar untuk menutup warna matanya adalah keputusan yang benar. Stella memang tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian, apalagi untuk urusan yang tidak penting seperti ini. 

Angin berhembus pelan dan menerbangkan rambut hitamnya, meskipun tidak berpotensi menerbangkan topi lebarnya, Stella lebih memilih repot-repot menahannya daripada mempertaruhkannya. 

Aroma musim semi masih tercium di hidungnya. Stella sebenarnya tidak mengerti bagaimana mendeskripsikan aroma itu, tapi ada banyak aroma bunga-bunga yang samar. Lalu, rasanya seperti melihat warna merah muda di mana-mana. 

Sedang menikmati aroma musim semi, tiba-tiba Stella tidak sengaja menabrak seseorang yang muncul dari perbelokan.

Stella tidak sempat menjaga keseimbangannya dan lebih memilih mempertahankan topi lebarnya. Gadis itu jatuh dalam posisi terduduk bersimpuh. 

"Maafkan aku," ucap Stella lebih dulu, kepalanya tetap menunduk, mencegah orang itu melihat warna matanya. 

Orang itu tampak mengenakan jubah coklat. Stella hampir saja mendongak karena terlalu penasaran, tetapi uluran tangan yang muncul di depannya menghentikannya. Stella menerimanya hanya karena merasa tidak enak karena seseorang telah mengulurkan bantuan.

Dirasakannya tangan yang kasar milik seorang laki-laki. 

"Terima kasih, Tuan," ucap Stella, masih menunduk. 

Namun, tidak mendapat respons dari laki-laki itu, Stella akhirnya mendongakkan kepala penasaran. Masih memegang topi lebarnya, Stella melihat laki-laki itu mengenakan jubah bertudung coklat yang panjang. Mirip pengelana, tapi mirip pula dengan orang-orang misterius yang diketahuinya dari buku. 

Laki-laki itu langsung menurunkan tudungnya sebelum Stella sempat melihat wajahnya, lalu merespons, "Maaf." 

Setelah itu, laki-laki itu kembali melanjutkan jalannya tanpa menoleh ke Stella. 

Pria aneh, pikir Stella. 

Stella baru saja hendak melangkah pergi dan melupakan laki-laki itu, sampai akhirnya dirinya menyadari bahwa ada sebuah kantong berwarna hitam yang tergeletak tak jauh dari posisinya berdiri. 

Segera saja, Stella mengutip kantong itu dan langsung mengikuti langkah laki-laki berjubah itu. 

"Tuan, apakah ini milikmu?" tanya Stella. 

Namun, bukannya menghentikan langkahnya, laki-laki itu malah mempercepat langkahnya dan berbelok ke kanan. Tentu saja Stella yang menyadari hal itu, langsung menyusul mengikutinya. 

Bangsawan tidak boleh berlari, bangsawan tidak diperbolehkan bersuara keras, bangsawan tidak boleh melakukan hal remeh. 

Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya. Pelajaran tata krama bangsawan tiba-tiba terputar di kepala. Namun masa bodoh, Stella saat ini adalah Irsiabella yang sedang merakyat, pikirnya. 

"Tuan! Kau menjatuhkan barangmu!" Stella berseru keras. 

Semua orang yang sedang sibuk dengan kegiatannya, pun seketika menoleh ke arah Stella. Namun lelaki yang dipanggil pun masih saja tidak berbalik. Stella mulai yakin bahwa dirinya sedang dihindari tanpa alasan yang bisa dimengerti olehnya. 

Lelaki itu berbelok ke kanan lagi. Logika Stella langsung berjalan cepat, dirinya tidak lagi berlari mengikutinya, tetapi berbalik ke tempat dia datang dan berbelok ke kiri, untuk mencegatnya dari depan. 

Nyatanya, kecepatan berpikir Stella akhirnya membuahkan hasil. Stella berhasil muncul di depannya sebelum lelaki itu sempat melarikan diri lagi. 

"Aku hanya ingin mengembalikan barangmu," ucap Stella sambil memperlihatkan kantong hitam itu. 

Lelaki itu terdiam cukup lama, lalu akhirnya menjawab, "Itu bukan milikku."

Malu karena salah? Tentu saja. Namun Stella juga tidak percaya semudah itu dengan lelaki itu. Dia ingat betul, ketika melihat ke arah kereta kudanya tadi, tidak ada barang hitam mencolok yang tergeletak di jalanan. Jadi, sudah pasti kantong ini memang dijatuhkan oleh lelaki ini. 

Laki-laki itu kembali menarik tudungnya agar wajahnya tidak terlihat. Saat ini Stella hanya bisa melihat kulit putih dan bibir pucatnya yang tidak tertutup tudung itu. Mencurigakan. Hanya itu satu-satunya pemikiran Stella saat itu. 

"Tuan yakin ini bukan milik Tuan?" tanya Stella sekali lagi. 

"Bukan."

"Oh, kalau begitu, maafkan ketidaksopananku. Kurasa aku harus menitipkan ini ke pemilik butik sampai pemiliknya membawanya kembali," ucap Stella dengan sengaja. "Maaf mengganggu waktunya, Tuan."

Stella berbalik dan melangkah kembali menuju jalan utama tempat butik itu berdiri. 

"Itu milikku."

Stella tersenyum puas, lalu berbalik ke belakang dan melangkah mendekati lelaki itu. "Mengapa harus berbohong?" 

Lelaki itu tidak menjawab, lalu mengulurkan tangannya lagi, meminta kantong itu kembali. Stella meletakkan kantong itu di tangan laki-laki itu dengan hati-hati. Tidak sengaja, Stella melihat banyak goresan di tangannya, seperti seseorang yang terbiasa memainkan pedang. Pantas saja kasar sekali. 

"Terima kasih, Nona."

Suara laki-laki itu terdengar begitu dingin. Stella sampai ngeri sendiri. Pikiran buruk baru mulai mengepunginya ketika keheningan berlangsung.

Setelah dipikir-pikir lagi, bukankah ini seperti jebakan? Tersangka menjatuhkan barangnya, lalu korban naif berusaha mengembalikannya, tersangka membawa korban ke tempat sepi, lalu memulai eksekusi mengerikannya; menculik, merampok, melukainya, atau bahkan lebih mengerikan daripada itu.

Lelaki itu masih berdiri di hadapan Stella, padahal Stella sudah bersiap siaga untuk berteleportasi ke manapun yang bisa dipikirkannya, jika memang terancam.

Namun lelaki itu masih diam, tidak melakukan apapun terhadapnya. 

Merasakan hal janggal, akhirnya Stella memberanikan diri mendongak. 

Dengan cepat, lelaki itu berbalik ke belakang, berlari lebih cepat lagi daripada sebelumnya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Jubahnya berterbangan melawan angin, tudungnya melonggar, tetapi masih bertengger di kepalanya. 

Stella masih mematung dan berdiam diri, menyaksikan keberadaan orang itu yang semakin menjauh. Matanya berkedip beberapa kali menatap bayangannya sendiri, rambutnya berterbangan diacak-acak angin yang berhembus dari belakangnya. 

Topi lebarnya bergerak sekilas karena hembusan angin. Stella tidak lagi repot-repot menahannya, karena apa yang dilihatnya lebih mengejutkan daripada itu. 

Kakinya langsung lemas, lalu Stella kembali terduduk di atas tanah. 

Langkah kaki di belakangnya tidak membuatnya berdiri. Suara Regdar yang menemukannya dan mempertanyakan keadaannya tidak membuat pikirannya melebur. Stella tidak bisa berpura-pura baik-baik saja dan tersenyum seolah tidak ada apapun yang terjadi barusan.

Stella tidak tahu harus berharap seperti apa. Berharap itu hanyalah ilusi? Berharap itu memang kenyataannya? Atau malah, seharusnya Stella tidak perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi?

Isi perutnya, isi kepalanya, dan isi hatinya, semuanya mulai tercampur aduk. Stella yakin, dia tidak salah melihatnya. 

Mata lelaki itu berwarna merah.

Arlina pernah bilang, tidak pernah ada manusia bermata merah yang tercatat dalam sejarah Terevias atau di sejarah Negeri manapun. Hanya iblis yang digambarkan memiliki warna mata seperti itu, tapi, iblis sendiri hanyalah sebuah lambang di Negeri Terevias.

Namun hari ini, Stella menemukan satu orang itu. Satu orang yang katanya tidak mungkin ada, tetapi Stella tahu, orang itu memang ada.

Lelaki bermata merah yang diceritakan akan membunuh Putri Felinette. Orang yang membunuh Luna ketika sedang menjadi Putri Felinette.

Apakah mungkin dialah pembunuhnya?  

***TBC***

28 Desember 2020

Paus' Note

Ini jujur aku gatau bakal kayak gimana reaksi kalian.

Senang? Takut? Marah? Bingung? Susah banget jadi peramal kali ini. TAPI KEKNYA KALIAN SEMUA MASIH DEG-DEGAN, SAMA KAYAK STELLA.

Tapi kuharap kalian senang karena artinya aku ga ngulur alur.

Ya, kalau tidak begini, ga bakal seru. Gomenasai, minna! 

Hayoloh, tadi mau gosipin Felix di author note, malah teralihkan, kan? Hayoloh!

2200+ kata!

Apakah mulai seru? Apakah masih bisa diikutin? 

Apakah masih ngeh? Apakah sudah doki-doki? 

/tanya aja terus sampe 3000 kata/ 

Fanart kita hari ini dari Tha_lisy


Ini Irsiabella waktu mata emasnya bercahaya di chapter kemarin. 

Cantik banget yaaa! 

Jadi, sejauh ini, bagaimana pendapat kalian mengenai cerita ini? 
Pengin tau doooong.

Aku sudah tidak mengulur, kok ;w;

Oke, ini udah jam 3 pagi dan besok aku harus kerja :')

Cin, plislah.

See you next chapie!



Cindyana H

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro