71. Pemberkatan Agung Irsiabella Ravelsa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jangan terlalu jauh, Irsiabella.
Jangan makin sulit untuk kugapai.”

***

“Ketika mereka menanyakan namamu, kau harus menjawabnya dengan nama yang diberkati di kuil ketika kelahiranmu.” Kurang lebih, Regdar sudah menjelaskan hal yang sama sekitar tiga kali perhari ini dan Stella hanya bisa mengangguk sebagai balasan. 

“Nama saya Caroliza, Yang Pendeta Agung,” ucap Stella sambil membungkuk, berpura-pura mempraktikkan kejadian ketika dirinya telah bertemu dengan pendeta nanti.

Regdar hanya tersenyum sekilas, karena selanjutnya pria itu meraih kedua tangan Stella, menggenggamnya erat-erat. “Semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi.” 

Stella membiarkan Regdar menggenggam tangannya, menerima doa yang dilafalkan Regdar entah untuk berapa ratus kalinya karena Regdar pasti mereferensikannya tentang kekuatan Irsiabella. Stella juga berharap tidak akan ada hal yang terjadi, karena Stella juga benar-benar tidak ingin kekuatan Irsiabella terekspos. 

Sudah nyaris 3 tahun berlalu sejak dirinya menjadi Irsiabella Ravelsa. Hari ini adalah hari penentuan, klimaks yang harus dilewatinya dengan mulus untuk mengubah alur. Jika kekuatan Irsiabella yang terungkap adalah tragedi, maka lebih baik Stella tidak pernah mengungkapkannya. 

Saat ini mereka ada di kereta kuda, dalam perjalanan menuju Kuil Agung. Stella sudah bertekad bahwa dirinya tidak akan pernah mengungkapkan kekuatan Irsiabella. Semuanya akan baik-baik saja, kan? 

“Jangan melakukan memancing perhatian, ya, Irsiabella,” ucap Regdar. 

Stella hanya bisa tertawa masam. Pakaian yang Regdar berikan saja sudah sangat memancing perhatian. Saat ini memang masih tergolong awal musim dingin dan suhu udara memang masih dingin. Selain itu, mereka memastikan bahwa pakaian Irsiabella benar-benar tertutup untuk menghindari wabah–meskipun sudah dikonfirmasi bahwa wabah itu hanya menyerang hewan. Tentu saja itu membuat Stella agak kesulitan bergerak. Warnanya putih bersih dan bahannya tebal, membuat Stella merasa seperti boneka salju. 

Sadar bahwa Stella sedang memikirkan tentang gaunnya, Regdar memberikan klarifikasi, “Biasanya orang-orang datang ke pemberkatan dengan pakaian seperti ini.”

Awalnya, Stella pikir itu hanyalah alasan yang dibuat Regdar belaka agar dia bisa membelikan lebih banyak pakaian–sebab Stella sudah melarangnya menambah pakaian sejak Regdar membelikan pakaian baru yang bahkan tidak muat untuk dua lemari ukuran besar–tetapi begitu Stella turun dan melihat gerbang luar Kuil Agung, rupanya perkataan Regdar memang benar. 

Semua anak-anak bangsawan yang menunggu di gerbang memang memakai tipe pakaian yang serupa. Bahkan para pemuda juga memakai pakaian yang tertutup dengan warna yang juga putih bersih. Mungkin itu memang tradisi yang tidak pernah dibicarakan, karena pemberkatan ini dinilai sama sucinya seperti sebuah pernikahan. 

“Sampai jumpa besok, Ayah.” Stella memeluk Regdar.

“Ayah akan menjemputmu pagi-pagi,” ucap Regdar sembari membalas pelukannya. 

“Tidur yang nyenyak malam ini, Ayah. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi,” ucap Stella untuk menenangkan hati Regdar, karena sebenarnya Stella juga sama gugupnya dengan Regdar. 

“Ya, semuanya akan baik-baik saja,” gumam Regdar. 

Ya, pasti akan begitu, karena Stella sudah berjanji tidak akan menggunakan kekuatannya apapun yang terjadi. 

Sebenarnya, Stella tidak tahu apa yang dilakukan Irsiabella, tetapi jika sampai terekspos oleh publik di hari itu juga, itu artinya kemungkinan besar Irsiabella menggunakan kekuatannya di hadapan orang-orang. Stella sudah mempersiapkan diri  akan memanipulasi semuanya, dia harus menutup aliran mana-nya agar pendeta agung tidak mencurigainya. 

Katanya, hanya anak-anak berkekuatan yang akan diawasi oleh pendeta tinggi, sementara untuk orang biasa sepertinya hanya akan diawasi oleh pendeta biasa. 

Stella optimis bisa melakukannya, itu karena dia telah berjuang keras melatih kekuatannya diam-diam selama bertahun-tahun. 

“Kau sudah enam belas tahun dan ayahmu masih menemanimu ke sini?” Seseorang menegur ketika Stella masih fokus melihat kepergian kereta kuda yang membawa Regdar pergi. 

“Hai, Svencer,” sapa Stella. 

“Pagi, Nona Ravelsa,” balas Svencer. 

Stella memperhatikan pakaian yang dikenakan Svencer, “Wah, kau totalitas sekali, sampai memakai dasi putih.”

“Kau tahu ini ulah siapa.” Svencer hampir saja melonggarkan dasi untuk melepasnya, tapi karena masih diperhatikan, ia membatalkan niatnya. “Mau masuk sekarang atau kau masih menunggu seseorang?” tanyanya. 

Stella tertawa, “Kau tahu aku tidak menunggu siapapun.”

Seolah mengerti alasan mengapa gadis itu tertawa, Svencer langsung memberikan klarifikasi, “Aku menunggumu karena tidak ingin kau berbuat hal memalukan selagi aku tidak melihatmu.” 

Stella akhirnya hanya mengikuti Svencer berjalan, “Oh ya? Memangnya hal memalukan seperti apa yang mungkin kulakukan?” 

“Tersesat? Salah masuk ruangan? Salah mengikuti barisan? Salah mengenali orang? Salah–”

Stella mendengarkan semua kemungkinan kesalahan yang diperbuatnya hari ini dari seorang Svencer, tetapi baginya semua kesalahan itu masih dapat ditolerir. Yang jelas, dia tidak boleh sampai melakukan kesalahan dan menggunakan kekuatannya. 

“Aku tidak tahu kalau ada banyak orang di Negeri Terevias yang seusia kita.” Stella berhenti di depan gerbang yang belum terbuka, melihat ke sekitarnya dimana ada banyak orang berpakaian putih yang juga menunggu. 

“Karena pemberkatan tak melihat status,” balas Svencer. 

Untuk beberapa alasan, perkataan Svencer terdengar sangat menyedihkan. Stella telah mengikuti sekolah publik dan beberapa kali mengikuti pesta terbuka yang bersifat umum, tetapi baru kali ini ia tahu bahwa anak-anak yang berumur enam belas ternyata sangat banyak. Bisa dibilang, mereka adalah keturunan para kalangan bawah yang juga datang untuk pemberkatan. Pakaian mereka juga putih, tetapi sangat polos, membuat Stella bertanya-tanya apakah mereka tidak kedinginan di balik beberapa lembar pakaian itu. 

Memang tidak ada pemisahan yang diungkapkan oleh Kuil Agung, tetapi mereka memutuskan untuk menjaga jarak. Para remaja keturunan bangsawan menunggu tepat di depan gerbang yang masih tertutup rapat, sementara mereka menunggu beberapa meter di belakang. Meskipun begitu, wajah mereka tampak berseri karena sepertinya ini pertama kalinya mereka mengikuti acara formal seperti ini. 

“Siap-siap membuka jalan,” ucap Svencer yang membuat Stella langsung berinisiatif untuk bergerak mengikutinya. 

Yang benar saja. Begitu Svencer mengatakan begitu, jalan benar-benar terbuka. Dari kejauhan, Stella bisa melihat ada kereta kuda lambang kerajaan yang berhenti entah sejak kapan. 

“Tuan Putri datang ke sini?” tanya Stella kepada Svencer dengan berseri-seri. “Kupikir Petinggi Pendeta Agung akan dipanggil langsung ke kerajaan seperti yang dilakukan Yang Mulia Pangeran dua tahun yang lalu.” 

“Tahan ekspresimu, Nona Ravelsa. Tetaplah membungkuk sampai Tuan Putri memberi izin,” tegur Svencer. 

Putri Felinette datang bersama dengan pengawal pribadinya. Mereka sama-sama mengenakan pakaian putih. Stella mendadak ingin berterimakasih sebesarnya kepada Regdar karena telah membelikannya pakaian yang pantas. Stella benar-benar sangat bahagia. 

Pertemuan terakhir mereka sudah terasa begitu lama. Bukannya Stella melupakan tata caranya, tetapi Stella sudah sempat memutuskan untuk berhenti berharap setelah mendengarkan penjelasan dari Regdar bahwa kemungkinan besar keluarga kerajaan tidak akan hadir. Jadi, pertemuan kembali dengan Putri Felinette saat ini adalah sebuah mukjizat yang ditunggunya. Stella juga tidak berani menanyakan hal itu di surat karena sangat tidak sopan. 

Putri Felinette meminta semuanya untuk tidak lagi membungkuk. Lalu, ketika Stella mengangkat kepalanya, dia sempat bersitatap dengan Putri Felinette selama beberapa saat. 

Tentu saja yang dilakukan Stella ketika menyadarinya adalah dengan langsung memberikan senyuman bahagianya. Putri Felinette membalas dengan anggukan, lalu berjalan sampai ke depan gerbang, turut menunggu gerbang terbuka. Di belakangnya, pengawal pribadi Putri Felinette hanya mengikuti dan mengawasi keadaan. 

“Andai aku tahu Tuan Putri akan datang, aku pasti akan menunggu lebih lama lagi,” ucap Stella menyayangkan. 

“Tidak ada yang menyangka juga bahwa Tuan Putri akan datang,” balas Svencer.

“Apa kita boleh mengobrol dengan Tuan Putri?” tanya Stella. 

“Kita hanya boleh menyapa, kecuali jika Tuan Putri sendiri yang mengajak kita berbicara,” balas Svencer. “Tapi di hari suci begini, sebaiknya kau fokus mendekatkan diri kepada Dewa yang Maha Agung.” 

Baru saja hendak memprotes, tiba-tiba saja gerbang Kuil Agung terbuka. Putri Felinette lebih dulu masuk mengikuti dua pendeta yang bertugas mengantar, sementara yang lain mengikuti dari belakang. 

“Aku tidak menyangka Tuan Putri akan datang bersama Tuan Muda Arsenio.” 

Barisan di depan mereka, dari para Putri Count mengalihkan perhatian Stella dan Svencer. Keduanya saling melirik dan tanpa mengeluarkan suara, keduanya sepakat untuk hanya menyimak pembicaraan. 

“Katanya banyaknya penangkapan orang-orang Death Wave adalah atas kerja keras Tuan Muda Arsenio. Mereka hanya tinggal melumpuhkan organisasi besar terakhirnya. Sebentar lagi Negeri Terevias akan terbebas dari para teroris itu.” 

Stella pikir, Svencer adalah tipikal yang sensitif setiap membahas tentang rumor orang lain. Namun tampaknya pemuda itu hanya akan sarkas kepada siapapun yang membicarakan tentang rumor buruk orang lain. Jika itu masih rumor baik, Svencer bisa mengampuni orang itu. 

“Hmm … seharusnya dulu aku mengajak Tuan Muda Arsenio berdansa ketika sempat.” 

Violene Veilor menghela napas, lalu tidak sengaja berbalik ke belakang dan menemukan Stella dan Svencer berbaris di belakangnya. 

“Oh? Kalian lagi.” Violene menatap mereka dengan tatapan datar, membuat teman-teman sepermainannya juga ikut berbalik ke belakang. 

Bukan kebetulan yang sial, tetapi karena Violene adalah putri seorang Count yang akan membuatnya selalu berdiri di depan mereka berdua. Stella belum siap untuk keributan karena dia jauh lebih mementingkan Putri Felinette yang ada di depan sana, sementara Svencer tadinya berencana untuk berpura-pura tidak melihatnya jika dia tidak menyapa lebih dulu.

“Selamat pagi,” ucap Svencer dengan sopan. 

Stella masih keberatan untuk menegur, karena dia tahu bahwa Violene juga sama sekali tidak punya niat untuk berbicara dengan mereka berdua. Sudah dua tahun di akademi publik membuatnya terbiasa menghadapi sikap orang-orang seperti Violene. Sifatnya sih sebenarnya tidak jahat, tetapi mereka senang bergosip sama seperti para bangsawan sosialita lainnya. 

“Kalian berdua yang berjalan bersama tampak seperti sepasang pengantin,” ucap Violene sambil tersenyum. 

Svencer yang mendengar itu langsung refleks memperlambat langkahnya agar dirinya dan Stella tidak lagi berjalan bersisian. Sifat sensitifnya muncul lagi. Stella hanya bisa menghela napas, padahal tadi semuanya baik-baik saja sebelum Violene mengeluarkan bisanya. 

Di saat bersamaan, perjalanan mereka melewati pepohonan rindang telah berakhir, membuat cahaya pagi yang terik mengenai kulit. Terence memutar payung putih yang sedaritadi berada dalam genggamannya, lalu membuka payung putih untuk memayungi Putri Felinette. 

“Wah, Tuan Muda Arsenio sangat pengertian!” Violene dan teman-temannya membuka payung mereka sambil meneruskan pembicaraan tentang pengawal pribadi sang putri. 

Stella lagi-lagi memutuskan untuk berjalan tanpa mempedulikan tentang hal itu. 

“Kau tidak membawa payung?” tanya Svencer. 

Regdar memang merekomendasikannya membawa payung dan kipas karena mereka akan berbaris hingga giliran masing-masing. Regdar tahu bahwa Stella akan menunggu agak lama, tapi sayangnya Stella menolak dengan alasan cahaya matahari pagi sangat bersahabat–yang tentu saja membuat Regdar agak kebingungan–tetapi akhirnya Regdar sepakat setelah Stella mengatakan bahwa dia akan membawa kipasnya saja. 

“Terlalu berat,” ucap Stella sambil tertawa hambar. Membawa pakaian dan diri sendiri saja sudah berat, apalagi kalau sampai menambah barang bawaan. 

Untungnya Svencer tidak banyak berkomentar tentang keluhannya dan malah menawarkan dengan baik hati, “Mau tukar tempat?” 

“Tidak perlu repot-repot,” ucap Stella yang kemudian membuka kipas putih yang dipegangnya sedaritadi, lalu menggunakannya sebagai tameng agar tidak terkena cahaya matahari secara langsung. 

Matahari pagi memang bersahabat, tetapi siapa yang tahu bahwa teriknya bisa sangat menyilaukan seperti ini? 

Setelah perjalanan kaki yang cukup jauh, akhirnya mereka melihat sebuah menara putih yang tinggi. Hanya ada satu jembatan yang dapat menghubungkan jalan masuk ke dalam menara itu. Selain tinggi dan sangat besar, airnya jernih dan sebiru samudra. Hanya ada warna biru yang dalam sehingga menyulitkan Stella untuk melihat dasarnya. 

Anehnya, Putri Felinette hanya melihat ke arah kolam itu dengan kerutan kening yang dalam. 

“Ada apa, Tuan Putri?” tanya Terence yang kemudian hanya dibalas gelengan kepala oleh sang putri. 

“Tidak, bukan apa-apa.” 

Namun ajaibnya Stella bisa melihat kegelisahan yang besar dari raut wajah Putri Felinette. Stella mengintip ke kolam lagi, berharap menemukan petunjuk. Seperti yang telah diduganya, tidak ada yang salah dengan kolam itu. 

***TBC*** 

7 Maret 2022

Paus' Note

1800 kata

Stella sama sekali nggak tau .... iya.

Aduh aku deg-degan .......

Fanart oleh @swdr_art (Instagram) Akun Wattpadnya boleeeeh--

Aduh aku deg2an

Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro