01. Aku Berteman dengan Masalah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warnanya ungu pekat. Dia terus mengalihkan pandangannya dariku saat berbicara, tetapi sepertinya ia tak tahan karena beberapa detik kemudian mata kami kembali bertemu. Sesaat kemudian, ia menyesali tindakannya, berhasil mengalihkan tatapannya selama ia berbicara.

“Gagal, deh.” Dia mengeluh, mengusap wajahnya sembari mendesis. “Kamu pasti membacanya. Ah, sial! Seharusnya Janti tidak menyuruhku. Yah ... pokoknya kamu harus bilang pada Bu Dian untuk bertukar kelompok dengan Maliqa. Kalau tidak, kamu bisa kena masalah, dan aku juga bakal diusir.”

Aku menatap kepergiannya, warna ungu pekat itu bercampur dengan merah, kemudian menghilang di balik pintu. Aku menghela napas, membuka kotak bekal buatan mama, lalu memakannya.

Ini bukan pertama kalinya aku diusir dari tugas kelompok. Berkali-kali, sampai rasanya bosan bercampur marah. Walaupun mereka mencoba menendangku, pada akhirnya mereka gagal melakukannya. Namaku tertulis di halaman pertama tugas, tentu bukan hanya sekadar numpang nama. Aku juga bekerja.

Sekesal-kesalnya aku pada mereka yang nganggur sementara aku bekerja, aku tidak bisa protes atau namaku akan terhapus dan masalah lain menghampiriku. Yah, pada akhirnya mereka mengomel karena nilainya kecil—aku memang sengaja melakukannya.

Kadang, aku dilemparkan ke kelompok lain seperti bola. Mereka tidak suka aku berada di kelompok mereka. Alasannya mudah sekali. Aku malas, hanya diam tidak ikut berdiskusi. Hebat sekali mereka berbohong. Namun, terkadang aku merasa bersyukur para cowok tidak memperlakukanku seperti itu. Sayangnya, kebanyakan tugas kelompok didasarkan pada gender.

“Ah! Jangan tatap mataku! Aku tidak mau rahasiaku terungkap.” Seorang cewek yang baru masuk kelas menutup wajahnya dariku, berjalan miring menuju mejanya untuk mengambil ponsel yang tertinggal. Kemudian dia tersandung dan menyalahkanku. Aku diejek.

Mereka menyebarkan gosip besar, dan itu merupakan dosa besar. Berita yang memuat “Anak cewek yang memiliki kelainan pada matanya bisa membaca pikiran. Berhati-hatilah. Jangan sampai mata kalian bertemu dengannya”, menyebar dalam tiga hari selama masa orientasi. Sejujurnya aku tidak bisa membaca pikiran mereka. Yah ... walaupun aku tahu kalau mereka sedang marah atau berbohong. Hanya saja, mereka salah paham. Aku tidak benar-benar tahu apa yang mereka pikirkan.

Katakanlah aku punya rahasia. Aku bisa melihat warna setiap emosi: sedih, senang, takut, marah, dusta, bahkan kematian. Setiap kali kami bertatapan, warna itu akan muncul, dan akan hilang selama lima detik setelah tatapan kami terputus. Hanya saja, tidak semua orang yang bertatapan denganku akan muncul warna di sekelilingnya. Jika mereka sedang tak memiliki emosi apa pun, mereka terlihat normal.

Kedengarannya hebat sekali, seolah tokoh film yang memiliki kekuatan super. Namun, aku justru tidak menyukainya. Selain dijauhi karena kesalahpahaman, warna-warna yang muncul juga menggangguku. Apalagi jika warna yang muncul adalah kematian.

Waktu itu, di usia tiga belas tahun, aku menemani mama ke pasar karena kulkas sudah kosong. Aku sudah menolak, beralasan mengerjakan tugas, tetapi mama tidak bisa dibohongi dan aku juga tidak tega membiarkan mama pergi sendiri walau aku benci pasar.

Setiap orang yang bertemu pandang denganku, warna itu seketika bermunculan. Aku mencoba untuk mengalihkan tatapanku pada tangan mama. Karena tak melihat itu pula, aku bersenggolan dengan seorang pria sampai mata kami bertemu. Aku terkejut. Tak tahu apa arti dari warna yang baru saja kulihat.

Warnanya pekat, seolah-olah terjadi kebakaran dalam kepalanya. Karena penasaran, aku terus memperhatikannya. Lantas, aku kembali dibuat heran sebab warna itu tak kunjung hilang padahal tatapan kami sudah terputus lebih dari lima detik. Hanya sampai pria itu menghilang dari pandangan, aku sudah tidak lagi melihat warna hitamnya.

Bahkan, jeda waktu selama satu jam lebih pun, saat kami tak sengaja bertemu lagi, aku masih bisa melihat warna hitam di sekitar kepalanya. Sampai sesuatu yang mengejutkan terjadi. Pria itu tiba-tiba terjatuh, kejang-kejang, membuat panik orang-orang sekitar. Aku yang terlalu terkejut dan takut, tidak bisa menggerakkan kaki saat mama menarikku demi menjauhi kerumunan. Hingga beberapa saat kemudian, telingaku menangkap seseorang memberi tahu bahwa ... pria itu sudah meninggal.


“Oh .... Kebetulan sekali.”

Aku terkesiap hingga tersedak minuman.

“Aku minta maaf.” Pemuda itu tersenyum, merasa bersalah, kemudian menarik kursi di sebelahku untuk didudukinya. Aku masih terbatuk-batuk, menepuk dada berusaha meredakannya sementara pemuda itu mengulurkan selembar kertas padaku. “Aku perwakilan dari ekskul Desain.”

Batukku belum reda, tetapi karena ia terus saja menyodorkan kertas itu sampai mengenai wajahku. Aku menerimanya, lalu memperhatikannya. Kertas itu ternyata poster klub Desain Grafis. Keren sekali melihatnya, tidak norak seperti klub lainnya.

“Keren, 'kan?” Aku mendongak, menatap kakak kelas yang sekarang muncul warna kuning di sekitar kepalanya. “Kami yang membuatnya. Font-nya bukan dari hasil comot di internet. Kami buat sendiri. Ilustrasi itu, hasil dari temanku. Keren, loh .... Dia menang lomba menggambar digital tingkat nasional.”
Aku nyaris menyipitkan mata karena warna kuning yang ada pada kepala pemuda itu menjadi terang. Dia terus berceloteh mengenai klub yang dibanggakannya, anggotanya yang berprestasi, sampai dia tak sadar telah membasahi kertas lain di tangannya dengan hujan artifisial.

“Walau anggota kami bisa dihitung dengan jari, tapi jangan salah sangka. Kamu tahu kelebihan lainnya, yang cocok sekali dengan pelajar seperti kita? Bisa menghasilkan uang. Aku, misalnya. Unggah hasil karya kita ke media sosial, orang-orang akan tertarik dan membelinya. Satu foto itu, bisa untuk beli cabai sekilo atau lebih. Hebat, 'kan?”

Kualihkan pandangan, bukan karena warna kuning itu menyilaukan, tetapi aku takut dengan jerawat di pipi pemuda itu yang terlihat mengerikan. Lagi pula, aku tidak tertarik sama sekali dengan tawarannya. Percuma saja kalau aku tidak bisa menjalankan aplikasi desain, aku bahkan tidak bisa menggambar. Kakak bilang, gambarku seperti karet gelang yang tersangkut di rambutku.

Seolah bisa membaca pikiranku, pemuda itu lantas berseru, “Jangan khawatir. Aku juga awalnya tidak bisa. Gambarku bahkan terlihat seperti lidi tak beraturan. Semuanya butuh proses. Dan proses tidak akan mengkhianati hasil.” Pemuda itu hendak meraih tanganku, tetapi aku lebih cepat menghindarinya.

“Kumohon. Murid-murid lainnya menolak karena klub kami tidak ada cowok tampan, atau membosankan. Tapi percayalah. Klub kita menyenangkan. Nggak melulu duduk di lab komputer. Sesekali kita pergi ke luar sekolah. Pokoknya kamu nggak akan menyesal.”

Warna kuningnya hilang digantikan warna biru. Dia terus memandangku dengan mata berairnya, berusaha terlihat menyedihkan.
Lebih parahnya lagi, dia nyaris berlutut jika saja aku tidak menahannya. Entah sampai kapan dia akan begitu, padahal teman sekelas mulai berdatangan—beruntungnya mereka cowok, sehingga besar kemungkinan gosip tidak akan menyebar—dan aku tidak mau masuk ke klubnya.

Namun, aku tidak punya pilihan lain. “Ba–baiklah. Aku masuk ke klub Desain. Mana? Apa ada formulir? Aku harus bagaimana?” Aku panik karena teman sekelasku mulai bermunculan. Kenapa pemuda ini lamban sekali?

Warna birunya kembali menjadi warna kuning. Syukurlah, dia segera menyerahkan kertas formulir pendaftaran.

“Batas waktunya sampai hari Selasa. Tapi ... kamu sungguhan masuk ke klub kita, ya. Aku akan ke sini untuk mengambilnya.”

“Tidak. Biar aku serahkan saja. Ke mana?” tanyaku, ingin sekali melihat pemuda itu segera pergi, tetapi yang dilakukannya malah tersenyum tak kunjung menjawab, dan seharusnya aku tidak bertanya. Dia terlalu senang karena ada tambahan anggota baru.

“Bisa ke kelas 11 IPA 2, atau ke lab komputer saat pulang, atau ke kantor dan serahkan ke Pak Aziz. Hmmm .... Bisa juga ke—”

“Baiklah. Hari Selasa aku ke Pak Aziz. Makasih, Kak,” selaku. Bukan hanya kesal karena dia tak kunjung pergi, tetapi karena para cewek mulai memasuki kelas.

Ternyata, tak hanya ekskul Desain yang ngotot sekali memaksaku masuk ke klub mereka. Klub yang tak memiliki anggota sesuai aturan sekolah, berpencar ke sepenjuru kelas sepuluh, mencari-cari anggota baru demi mempertahankan klub kesayangannya. Ekskul Alam Ghaib, misalnya—aku terkejut saat pertama kali mendengar nama klub tersebut. Yang mendatangiku adalah pemuda dari kelas 12, berkacamata tebal, bertubuh cungkring, dan berambut klimis.

“Walau klub kami cuma beranggotakan dua orang dan tidak diakui sekolah. Kita mengadakan banyak kegiatan, loh. Uji nyali di sekolah ini, bahkan rumah angker di dekat mal. Selain itu, kita punya channel YouTube. Pelanggannya bahkan sudah tembus dua ribu. Dan, omong-omong, katanya kamu bisa membaca pikiran. Pas sekali dengan klub kami.”

Atau klub Pecinta Serangga, Kolektor Prangko, sampai klub dengan nama “Anak 90-an”. Mereka berlomba-lomba mencari anggota baru, karena syarat agar diakui oleh sekolah adalah klub yang beranggotakan lebih dari lima orang. Lagi pula, mana mungkin sekolah mengakui klub-klub aneh itu. Juga, kenapa mereka hanya menawarkannya padaku, sementara murid lain di kelasku tidak didatangi satu persatu?

Hal itu telah membuat cewek-cewek di kelasku berisik sekali. Mengejek sekaligus memamerkan diri berusaha membuatku iri dengan celotehan mereka mengenai ekskul yang mereka ikuti selama dua minggu ini. Yang ikut ekskul drama, mereka membuat sebuah drama bertajuk “Si Malang yang Terkutuk” di depan kelas.

Salah satu cewek berambut ikal menunjuk ke arahku tanpa bertatapan, memegang sebuah buku lalu berteriak, “Terkutuklah kau, gadis yang tak tahu diri! Biarlah awan hitam itu yang menuntunmu pada takdirmu.” Lalu suara petir dibuat ramai-ramai oleh cewek sekelas.
Mereka tertawa sementara aku berusaha tak menghiraukannya. Aku juga mendengar Ketua Kelas yang mengeluh, “Dasar, cewek-cewek itu!”

✨✨✨✨✨

Selain para cowok yang berusaha mendekatiku karena rasa simpati, para guru yang menyukaiku juga berhasil membuat para cewek semakin membenciku. Pak John—bukan nama asli—misalnya. Beliau melabeliku dengan sebutan “Murid Favorit” hanya karena permainan voliku keren, terus menyarankanku untuk masuk ekskul voli. Para cewek yang ikut ekskul tersebut, berpura-pura meludah saat mendengarnya.

“Ayo! Ayo! Jangan lemas begitu, dong. Contoh Kana. Walau kecil, tapi pukulannya sampai home run.” Itu berlebihan. Padahal pukulanku hanya melambung dan mendarat di tengah area lawan seperti pemain voli pada umumnya. Hebatnya karena si lawan tidak ada yang bisa menerima bola, juga pukulan para cewek itu tak bisa melewati net dan justru berbalik ke arah mereka. Siswi di kelasku payah sekali dalam bermain voli.

“Pak, ayolah. Nggak semuanya bisa memukul bola. Tangan kita sudah bengkak.”
Pak John mengomel, kembali membawa-bawa namaku, berniat menyemangati. Alih-alih, justru mereka tambah mengeluh dan menjelek-jelekkanku dengan suara keras. Aku bisa mendengarnya biarpun aku duduk di bawah pohon beberapa meter dari lapangan—Pak John menyuruhku istirahat karena permainanku yang bagus—dan suara para cowok yang terlalu bersemangat bermain voli di area lain samping cewek.

“Ya ... ya .... Silakan mengeluh seperti itu, Bapak nggak akan kasih nilai. Bahkan nol sekali pun.”
Kemudian keluhan dari mereka terdengar bersahutan, berhasil memancing seorang guru keluar kelas. Merasa terganggu.
Sebaliknya para cowok. Mereka bermain lancar sekali. Tak ada bola yang tersangkut di net, atau pukulan yang hanya sampai selangkah. Bahkan poinnya sudah mencapai 6−10. Pak John tak perlu mengawasi, sebab nilai praktik sudah tertulis.

Aku menonton permainan para cowok, menggeleng saat lagi dan lagi Pak John menyuruhku ikut bergabung bersama mereka. Tidak semua anak cowok ikut bermain, beberapanya hanya menonton, menunggu giliran.

“Awas!”

Bola keluar area permainan. Para cewek yang bermain beberapa meter di sebelah cowok, berteriak menghindari bola yang datang dengan kecepatan tinggi. Bola menabrak jaring pembatas, dekat dengan pohon yang kutempati.

Ketua Kelas seperti biasanya, mencoba akrab denganku. Entah hatinya terbuat dari apa, walau aku sudah terang-terangan menolak keberadaannya, dia tetap berbicara denganku. Tidak seperti para cowok lainnya. Sekali ditolak, mereka tidak lagi berusaha melakukannya—kecuali dalam keadaan terdesak.

“Tolong, ya, Kana.” Ketua Kelas melambai. Aku berdiri, mengambil bola dan melemparnya ke arah mereka, kembali membuat para cewek berteriak karena takut terkena bola.

Hingga, mataku sepertinya kena masalah. Warna yang muncul dari mereka, sih, sudah biasa. Namun, apa-apaan kilauan itu? Saat tatapan kami bertemu, tak ada warna di sekelilingnya, hanya kelap-kelip putih seperti bintang. Yang lebih mengherankan lagi, padahal pandangan kami sudah terputus lebih dari lima detik, kenapa kelap-kelip itu tak kunjung hilang, bahkan muncul warna kuning di kepalanya? Aku mengernyit. Semua yang kulihat darinya, membuatnya terlihat mencolok di antara para cowok—tentunya di mataku. Seketika rasa penasaran mendesak diriku bersama rasa takut.

Saat masuk kelas, istirahat, juga pulang. Aku terus mengamatinya. Memastikan bahwa kekhawatiranku tidaklah benar. Kami tak lagi bertatapan setelah waktu itu, tetapi warnanya masih terlihat. Kadang berubah merah atau ungu muda, tetapi lebih sering warna kuning—tentu kilauan itu tidak pernah hilang. Lalu aku tersadar. Cowok itu, baru pertama kali aku melihatnya. Yang kudengar dari cewek yang berbisik-bisik, bahwa cowok itu baru masuk hari ini setelah dua minggu izin—tahun ajaran baru sudah berjalan selama hampir satu bulan.

Namanya Alif, begitu cowok-cowok memanggilnya. Membuat seisi kelas heboh karena para cewek berlomba-lomba berkenalan dengannya. Sesaat aku mengira kalau kilauan yang terus ada pada Alif karena ketampanannya, tetapi aku salah. Ada laki-laki yang lebih tampan darinya yang pernah bertatapan denganku, tetapi kilauan itu tidak ada.

Aku terus memastikan, atau lebih tepatnya mengawasi. Cowok itu terus dikelilingi warna kuning, jarang sekali terlihat warna lainnya. Saat aku melihat wajahnya dari jarak lumayan dekat, aku bisa merasakan, betapa anehnya dia. Seolah aku sedang melihat tokoh animasi dalam wujud manusia sungguhan. Berkilauan.

“Ih! Kana ternyata genit, ya. Dari kemarin kamu terus mengawasinya.”

Kualihkan pandangan pada buku tulis, mendadak menggambar pohon dan rumput yang kelihatannya seperti kapas di atas lidi. Aku ketahuan. Para cewek itu pasti semakin gencar merundungku.

“Kamu mencoba membaca pikirannya, ya? Apa makanan favoritnya, kemudian kamu bisa memberikannya sebagai hadiah perkenalan pada Alif.” Mereka tertawa mengejek. Saat aku menoleh ke arah mereka, dengan serentak para cewek itu mengalihkan pandangannya, cekikikan, kembali mengolok-olokku. “Astaga! Siaga! Siaga!”

“Eh? Siaga? Kenapa?”
Bukan hanya aku saja yang menoleh ke sumber suara, tetapi para cewek yang mengejekku barusan. Alif, sang idola baru, polos sekali menatapku ingin tahu. Lantas, yang membuatku mengernyit, saat ia berseru, “Oh .... Kamu heterochromia, ya?”

Kutatap para cewek itu yang sekarang mencebik sambil berbisik-bisik saat Alif duduk di sampingku—mudah saja karena aku duduk sendirian di bagian depan ujung kiri, begitu kontras di antara barisan para cowok. Wajah Alif terlalu dekat, membuatku risi sekaligus tidak terbiasa dengan kelap-kelip di sekitar kepalanya.

“Aku Alif, kamu siapa?” Tangannya terulur. Dia terlalu bersemangat karena mataku berbeda warna, atau ... karena ia penasaran apakah aku benar-benar bisa membaca pikiran seperti yang dibicarakan?

Seharusnya, aku tak menerima uluran tangannya dan menyebut namaku hanya karena merasa tak enak hati. Seperti bulu yang terbang terkena angin, gosip menyebar bahwasanya aku telah menggoda cowok tampan seangkatan. Lebih parahnya lagi, Alif tak hanya berhenti sampai di situ. Cowok itu kembali menduduki kursi kosong di sebelahku saat makan siang, setelahnya ia mengangsurkan tasnya dan bilang, “Aku ini rabun, loh .... Jadi, aku duduk di sini, ya?”

Para cewek semakin menggila menggerakkan mulutnya ke sana kemari. Janti—yang dosanya besar sekali sebab ia yang menyebarkan gosip tentangku lantaran kami satu SMP—dengan percaya diri menyuruh Alif menjauhiku. Namun, saat Alif menolaknya dan berkata, “Apa itu ada urusannya denganmu? Kurasa tidak”, wajah cewek itu memerah menahan amarah.

Hidupku memang tidak bisa setenang air di bak penampungan. Aku memang sudah terbiasa dengan bisikan buruk tentangku, atau Janti yang lagi dan lagi menjulurkan kakinya saat aku memasuki kelas. Aku terjatuh, mereka tertawa. Aku terbangun, mereka mulai mengolok-olokku.

Di tengah keramaian, seolah-olah pahlawan super yang disoroti lampu berwarna merah juga efek kelap-kelip, Alif datang lantas berseru, “Duhai! Betapa rendahnya nilai moral di sekolah ini.” Aku menatap geli ke arahnya.

Tak menghiraukan aksi heroiknya, aku berjalan meninggalkan para cewek yang mulai kesal. Duduk di kursiku, bersiap untuk menatap dinding dan melamun. Seperti halnya yang terjadi belakangan ini, aku tidak bisa melakukan kegiatanku itu. Alif kembali menggangguku, bertanya apakah aku baik-baik saja, dia bahkan berusaha memeriksa kakiku.

“Eh? Kamu marah, ya? Maaf kalau begitu,” ucap Alif. Saat aku menoleh, warna biru di sekelilingnya langsung tampak.

Kenapa aku jadi merasa bersalah?

“A—ma−makasih kalau gitu?” Aku tergagap karena tak tahu harus mengatakan apa.

Secepat warna kuning itu datang, secepat itu pula Alif berkata, “Ayo kita berteman dan membuat tim belajar.”

Sepertinya—bukan. Cowok ini memang ada apa-apanya![]

Akhirnya ....\(゚ー゚\)

Nah, untuk warnanya, ini dia list-nya (ノ^_^)ノ

Kuning (Senang)
Biru (sedih)
Merah (marah)
Ungu pekat (berbohong)
Ungu muda (kesal)
Hijau tua (takut)
Hijau muda (malu)
Hitam (Kematian)

〜(꒪꒳꒪)〜〜(꒪꒳꒪)〜〜(꒪꒳꒪)〜〜(꒪꒳꒪)〜

Semoga nggak ada yg bingung :">

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro