03. Aku Mendapat Jawaban

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sudah menjadi orang jahat. Berkata kasar sampai membuat orang lain sedih. Namun ternyata, itu hanya anggapanku saja.

Setelah perkataanku waktu itu, Azul sama sekali tidak mundur. Dia masih saja berusaha membuatku berbicara—cowok itu menyebutnya “akrab”. Bahkan Azul menjadi lebih cerewet dari biasanya. Di setiap para cewek berbisik-bisik tentangku dengan suara keras, Azul bertingkah seperti papaku; marah-marah sembari mengacungkan jarinya, menunjuk para cewek satu persatu. Alih-alih mereka berhenti melakukannya, hal itu justru membuatku semakin diolok-olok, mengira aku memiliki kekuatan lain dari mataku.

Maliqa, yang memang semakin membenciku karena ia mengira aku dekat dengan Alif selama seminggu ini, berkata terang-terangan saat aku memasuki kelas. “Lihat sendiri, 'kan? Alif dan Azul jadi begitu. Dia bisa memantrai. Kata orang tua, sih ... apa, ya ...? Pelet!”

Aku berusaha tak menghiraukannya. Mencoba berjalan santai menuju tempat dudukku selagi Alif dan Azul belum datang.

Belum saja bokongku menyentuh kursi, kudengar Maliqa berseru, “Dia pasti bisa melihat menembus benda. Ya, ampun! Jangan-jangan dia bisa melihat pakaian dalam kita!” Aku terkinjat, membuat suara derit keras sampai mereka tertawa.

Sama sekali tidak lucu! Ingin sekali berteriak pada mereka, tetapi aku tidak bisa melakukannya. Jadi, yang kulakukan hanyalah mengambil novel dari dalam tas dan membacanya.

Seolah ejekan mereka belum cukup memuaskan, Maliqa menduduki kursi di sebelahku, merebut novel yang baru satu paragraf kubaca. Aku kesal, dan dia menyadari hal itu. “Eh, santai saja.”

Aku tidak bisa santai setiap kali dia menatapku dalam jarak dekat biarpun aku sudah berusaha.

“Aku cuma mau tanya.”−Maliqa tersenyum, membuka-buka novel−”Ekskul Desain itu seperti apa?”

Tidak! Jangan! Aku sudah tahu maksudnya. Aku sudah memutuskan untuk menjadi anggota tetap klub Desain, tetapi jika Maliqa bergabung ... aku tidak tahu harus bagaimana selanjutnya demi mendapat nilai tambahan. Jadi, aku menjawab, “Membosankan.”

Maliqa mengernyit, menutup novel dengan suara keras. “Begitu, kah?” Justru kali ini aku dibuat mengernyit kala Maliqa tertawa. “Kamu tahu aku akan masuk ke ekskul Desain, makanya kamu menjawab seperti itu. Duh .... Kalau pun kata kamu membosankan, aku akan tetap masuk. Aku bukannya ikut-ikutan, tapi aku suka menggambar, makanya tertarik.” Maliqa mengusap sudut matanya yang berair, lalu menyeringai.

Dia berbohong. Warna ungu pekat di sekitar kepalanya menjelaskan semuanya. Aku tahu alasan kenapa tiba-tiba Maliqa hendak masuk klub Desain. Saat ia tersenyum mengejek, aku mengambil novel dari tangannya, mencari-cari halaman yang tertunda untuk dibaca. “Aku tidak keberatan kamu masuk—”

“Aku yang keberatan.”

Eh? Aku menoleh ke sumber suara, tahu-tahu Alif sudah berada di sebelah Maliqa, membuatku bertanya-tanya kapan ia masuk kelas padahal beberapa detik lalu aku tidak melihatnya.

Maliqa sama terkejutnya denganku. Dia langsung berdiri, menyingkir, membiarkan Alif duduk di kursinya.

“Klub kami sudah tidak menerima anggota baru. Silakan saja kalau kamu mencoba masuk. Soalnya ... Pak Aziz nggak suka sama cewek yang suka mengolok-olok teman sekelasnya.”

Wajah Maliqa memerah, seakan-akan hendak meledak saat itu juga. Namun, Maliqa berhasil menahannya. Dia berbalik menuju kawanannya yang menunggu dengan raut ingin tahu, sebelum itu ia menyempatkan diri untuk memelotot ke arahku.

“Heran, deh. Kenapa mereka seperti itu, sih?” Alif mendudukkan dirinya, langsung mendekatkan wajahnya padaku, membuatku hampir memukulnya dengan novel.

Aku menoleh setelah memastikan wajah kami cukup jauh. Serius Alif tidak tahu alasan para cewek merisakku? Lebih-lebih lagi tatapan ingin tahunya seolah-olah mendesakku segera memberi jawaban.

Aku terdiam selama beberapa detik untuk memikirkan jawaban, dan pada akhirnya aku menjawab, “Nggak tahu.”

“Loh? Kenapa? Pasti tahu, dong,” desak Alif. Dia bahkan merebut novel yang kubaca. Aku marah, tetapi aku tidak bisa menunjukkannya secara terang-terangan. Bahkan jika aku terus mengabaikannya, Alif akan terus mendesak.

Menghela napas, aku memutuskan untuk memberi tahu Alif, moga-moga dia bisa diam setelah mengetahuinya, juga ... berpikir dua kali pasal usaha mencoba akrab-nya “Mataku aneh—”

“Cantik, kok!” sela Alif, wajahnya kembali mendekat, mengamati mataku satu persatu. “Keren, tahu, nggak?”

Aku menepuk wajah Alif lantaran tak nyaman.

“Mereka cuma iri.”

“Bukan itu.” Aku menyela, menarik novel dari tangan Alif, membuat cowok itu memperhatikanku. “Mereka mengira aku bisa membaca pikiran.”

“Jadi itu benar?”

Kenapa dia bertanya? Jika ingin memastikan, seharusnya dia mengubah pertanyaannya.

“Aku bilang, 'mengira',” kataku jengkel. “Aku tidak punya kemampuan seperti itu—” Tanpa sadar aku mengatakannya.

Alif sudah tahu, dan dia sama sekali tidak takut akan hal itu. Malahan, dia terus menatapku dengan binar kuning di sekitar kepalanya yang menyilaukan mata, kemudian bercampur dengan warna ungu muda. Jika saja benar aku bisa membaca pikiran, aku pasti bisa mengetahui maksud Alif mendekatiku. Sayangnya aku tidak bisa melakukannya.

“Kana sudah mengatakan itu pada mereka, 'kan?” Warna kuningnya menghilang, didominasi oleh warna ungu muda. Dia kesal karena apa? Pada para cewek yang merundungku?

Tanpa sadar aku mengangguk. Aku sudah mengklarifikasikan pada mereka, memberi tahu bahwa aku tidak punya kemampuan seperti penyihir. Namun, mereka tidak percaya, dan justru semakin gencar merisakku. Dari pengalamanku itu, aku hanya bisa terdiam ketika mendengar gosip tentangku yang semakin menyebar. Memang pada dasarnya, aku cocok menjadi bahan olok-olok.

Aku melirik Alif yang masih memandangiku, membuatku yakin bahwa dia berusaha mendekatiku hanya karena kasihan, dan aku tidak suka itu.

Bahkan saat olahraga. Aku payah sekali dalam bermain basket. Setelah belajar dalam ruangan selama satu jam, Pak John menggiring kami ke lapangan yang hari ini cuacanya sedang panas, tak peduli pada muridnya yang terus merengek untuk diganti menjadi minggu depan.

“Mau Bapak kosongkan nilainya? Oke ...! Baik! Kamu siapa namanya? Nilai kamu sebelumnya, dikurangi.” Pak John berkata tegas, tetapi wajah jenakanya tidak cocok dengan nada suaranya.

Dribbling. Salah satu teknik dasar dalam permainan bola basket. Kata 'dasar' di sini seharusnya bisa dilakukan oleh semua orang, tetapi tidak denganku. Aku kesulitan, berbeda dengan yang lainnya. Pantulan bola yang kubuat terlalu tinggi melebihi dagu, kemudian bola menggelinding berhasil membuat para cewek tertawa mengejek. Pak John memberi empat kali kesempatan untukku, berbeda dari murid lainnya yang hanya tiga kali. Namun, tetap saja. Aku tidak bisa, dan nilaiku sudah pasti kecil.

“Jangan sedih begitu. Aku bisa, kok, jadi guru basket kamu.” Alif tiba-tiba sudah duduk di sebelahku, memberi botol minum yang entah sejak kapan ia bawa. Aku menolak untuk tawaran minum dan juga guru basket darinya. “Aku bersedia, loh ....”

Aku kembali menggeleng dengan tegas. Alif memang pandai menggiring bola, hanya saja aku tidak perlu belajar darinya.

“Serius? Aku merasa nggak enak, loh .... Padahal kamu sudah membantu banyak,” ungkap Alif. Padahal aku tidak membantu apa-apa. Sesaat kemudian dia tersenyum lebar dan berkata, “Kalau begitu, aku akan mentraktir kamu makan di kantin selama dua bulan.”

“Tidak usah. Aku bawa bekal sendiri—”

“Jangan begitu.” Azul datang tanpa sepengetahuan, tahu-tahu dia sudah ada di sebelahku. “Sekali-kali makan di kantin kalaupun kamu bawa bekal. Kamu belum pernah ke kantin, 'kan?”

Aku terdiam. Apa yang dikatakan Azul itu benar. Sejak sekolah, aku tidak pernah makan di kantin, apalagi makan sambil mengobrol. Karena hal itu juga, sudah menjadi kebiasaanku. Akan sangat menyebalkan jika aku makan bersama mereka berdua di kantin, lantas menjadi bahan gosip para cewek.

Untuk ke sekian kalinya aku menggeleng, tetapi paksaan Alif kali ini entah kenapa bisa membuatku duduk di bangku panjang di kantin, menunggu bakso dengan minuman yang sudah kuseruput setengahnya, sementara bekal yang Mama buat kubiarkan Alif dan Azul menikmatinya—sebab mereka menatap kotak bekal dengan penasaran.

“Kalaupun kamu kesal, kami akan tetap berbicara denganmu. Kamu tahu, kan, tugas Ketua Kelas? Tapi bukan karena itu ....”
Aku melirik Azul, lantas berucap, “Karena kasihan aku sendirian?”

Azul menggigit bibirnya dan mengangguk. “Itu salah satunya.” Ia menyadari ketidaksukaanku akan jawabannya. Azul segera melanjutkan, “Tapi ... alasan utama kami bukan itu.”

Aku mengangkat alis, menunggu kelanjutannya.

“Kami hanya ingin berteman denganmu.” Azul tidak berbohong, aku sama sekali tak mendapati warna ungu yang keluar dari kepalanya, dan jawabannya itu telah membuatku termangu.

Alif yang hanya mendengarkan, tersenyum saat aku melihatnya, kemudian mengedipkan mata berkali-kali. Aku bahkan baru mengenalnya seminggu ini, menolak keberadaannya berkali-kali. Dia sama seperti Azul, hanya saja Alif lebih menyebalkan. Entah karena memang kilauan yang ada di sekelilingnya itu, atau karena dia orang aneh, menyebalkan dan bebal. Namun, yang pasti ucapan Azul benar.
Maksudku, toh aku tidak melihat sedikitpun kebohongan atau hal buruk apapun tentangku dari kepala mereka. Jadi, aku memutuskan, tidak ada salahnya aku mencoba akrab.

Hanya saja, yang menjadi masalahnya itu diriku sendiri. Apa aku bisa? Baru kali ini aku didatangi cowok yang tiba-tiba saja menawarkan tempat di lingkar pertemanannya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, atau apa yang harus aku bicarakan. Bahkan hanya sekadar menjawab pertanyaan pun aku butuh waktu, selalu curiga pada setiap orang yang mendekatiku.

“Nah! Kebetulan sekali!” Seseorang berseru, dan aku sedikit tersentak. Padahal aku ingin bertanya pada Alif dan Azul, tetapi seorang pemuda sudah mendudukkan dirinya tepat saat bakso pesanan kami datang. “Eh, aku mengganggu, ya?”

Azul yang menjawab, menatap pemuda di sebelahnya ingin tahu.
Saat pemuda itu menyerahkan lembaran kertas padaku, Azul justru lebih penasaran dariku. Dia bertanya, tanpa mengalihkan pandangannya pada kertas di tanganku. “Itu dari klub Desain, ya?”

Kakak kelas itu mengangguk, membenarkan letak kacamatanya, lantas tersenyum lebar dan berucap, “Apa kamu tertarik?”

“Oh!” Azul berseru, seolah-olah tawaran itu telah memberinya kesempatan untuk mendapatkan sesuatu. Uang, misalnya. “Boleh, kah?”

Pemuda berkacamata itu justru lebih senang dari yang kuduga. Namun, Alif segera menyela, “Sudah penuh, Jul. Cari ekskul lain.”

“Masih, kok! Klub kami terbuka untuk siapa saja. Ayo, ajak teman-teman kalian. Satu kelas, dua kelas, banyak-banyak—”

“Kak.” Alif tampak keberatan, dan aku tahu alasannya.

Tidak jauh di belakang Azul, Maliqa dan teman-temannya memperhatikan percakapan kami. Saat aku ketahuan tengah melihat mereka, Maliqa menyeringai. Ini buruk.

“Ini, kan, sudah berjalan selama ... dua bulan. Bukannya sudah tidak menerima anggota lain?” Alif masih berusaha, mengabaikan rasa kesal Azul.

“Nggak ap—”

“Kak!” Alif berbisik, matanya memelotot. “Bilang saja iya. Masa bodoh dengan Azul—”

“Apaan—”

“Cuma satu anggota. Kalau Kakak masih menerima lebih dari satu anggota, aku bakalan out. Kakak mau kehilangan anggota genius sepertiku?”

Kami bertiga, terutama kakak kelas berkacamata, menatap Alif datar. Namun, pada akhirnya pemuda itu berkata, “Iya juga! Klub kami sudah tidak menerima anggota lebih dari satu.” Nada suaranya keras, bahkan di sudut kantin yang ramai pun pasti bakal kedengaran. “Azul sudah masuk klub Desain! Sudah penuh. Anggotanya genius-genius pula. Kami tidak bisa menerima anggota yang punya banyak gaya.”

Seketika itu aku tersindir.[]



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro