05. Aku Menyebutnya Simbiosis Mutualisme

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Esoknya Maliqa sungguhan dendam padaku. Saat aku memasuki kelas, tiba-tiba sapu terbentang di bawah pintu sampai aku terjatuh. Alif, yang ternyata sudah duduk di kursinya, berdiri hendak memarahi Maliqa, tetapi cewek itu lebih dulu beralasan sedang membantu Ulma menyapu. Alif tidak jadi marah, atau lebih tepatnya menahan diri, segera menarikku ke tempat duduk.

Aku tahu Maliqa menyukai Alif, hanya saja ... tak tahukah dia kalau Alif tidak suka dengan sikapnya? Ingin sekali aku mengatakannya agar Maliqa berhenti merisakku, tetapi jika dipikir-pikir, hal tersebut percuma saja. Maliqa sudah membenciku sejak masa orientasi, dan kebenciannya meningkat lantaran Alif, cowok populer seangkatan, justru akrab denganku.

Alif memang sudah menyadarinya. Aku bisa melihat warna ungu muda dan merah selalu melingkupinya di setiap Maliqa berusaha mendekatinya. Bahkan aku bisa mendengar gumaman Alif di pelajaran Matematika tentang betapa buruknya sifat para cewek di kelas ini. Saat aku ketahuan tengah memperhatikannya, Alif segera meluruskan, "Tidak. Bukan kamu. Maksudku itu, cewek yang selalu jahat ke kamu."

Setelah dua minggu mengenal Alif, aku tidak terlalu kesal saat Alif cerewet bertanya tentang Fungsi Kuadrat yang membuatnya pusing, atau saat di mana dia menarikku ke kantin, begitu pun dengan Azul. Semenjak percakapan kami di pesan grup dan kesepakatan untuk tidak menyebarkan nomor teleponku, aku sepenuhnya percaya pada mereka―tentu dengan kilasan peristiwa selama dua minggu ini yang mendadak muncul dalam kepalaku semalam, dan ... rasa bersalahku, tentunya.

Intinya, aku sedang mencoba berteman dengan Alif dan Azul.

Aku saja belum terbiasa saat mengobrol dengan mereka berdua, tahu-tahu Farrel, cowok di damping Azul, yang selalu terabaikan setiap kali kami bertiga mengobrol―sebenarnya hanya Alif dan Azul―berceletuk, "Aku boleh gabung di klub belajar kalian nggak?"

"Nggak!" Alif menjawab, berhasil memunculkan warna ungu muda di sekitar kepala Farrel.

Aku setuju dengan Alif. Mereka berdua saja sudah membuatku kerepotan, apalagi tambah satu anggota lagi. Lebih-lebih lagi Farrel yang lamban menghitung, sering kena omel pak Aziz. Aku tidak bisa membayangkan dia ikut belajar bersama kami, walaupun hanya Matematika.

Farrel cemberut, terus menatapku sampai aku bisa mengetahui apa yang dikatakannya dalam hati. Jadi, aku mengalihkan pandangan darinya, mengabaikan tatapan memohonnya yang mengganggu. Alif yang mengetahuinya, lantas menimpuk Farrel dengan tutup pulpen.

"Kamu membuatnya takut. Jangan naksir dia. Cari saja cewek lain," tuduh Alif, sementara aku harus berusaha keras untuk tidak melemparkan sesuatu pada wajahnya.

Farrel mendengkus, dan aku bersyukur dia memiliki sifat yang lebih dewasa dibanding Alif untuk tidak membalasnya.

Istirahat makan siang, aku mulai membiasakan ikut Alif dan Azul ke kantin, berbagi bekal buatan mama kepada mereka berdua. Kali ini, aku menolak traktiran Alif, langsung memesan bakso sebelum Alif bisa membayarnya. Farrel masih berusaha untuk bergabung, tetapi Alif menjadi lebih galak dan menyebalkan sampai Farrel memberinya jari tengah.

Sementara itu, aku yang sudah dengan keputusanku, mencoba berteman dengan Alif dan Azul, serta membiasakan diri pergi ke kantin, para cewek seangkatan mulai berbisik-bisik. Aku yakin sekali berita tentangku kemarin sudah menyebar. Maliqa yang duduk di belakang Azul, terus memelotot ke arahku, tetapi saat Alif memberinya jari tengah, cewek itu mendecih.

Desas-desus dan perisakan terhadapku memang meningkat, tetapi aku punya proteksi. Aku bukannya menganggap Alif dan Azul sebagai penjagaku. Tidak akan. Aku tidak menginginkan hal itu, sungguh. Hanya saja, entah kenapa tiba-tiba saja aku menyukainya. Apa karena lututku tidak akan memar lagi?

"Kana?"

Aku segera mendongak, menatap Azul, tahu-tahu bakso sudah ada di depanku.

"Jangan pikirkan mereka," kata Azul.

Aku mengernyit, tahu maksudnya. Aku sedang tidak memikirkan Maliqa dan yang lainnya, kok. Aku hanya ....

Aku terdiam beberapa saat, lantas bergumam, "Apa ... tidak apa?"

Alif dan Azul mengangkat Alisnya, terus menatapku, menungguku melanjutkan. Namun, mereka tak tahu saja aku tidak bisa melanjutkannya kalau ditatap seperti itu. Jadi, aku menunduk.

"Aku, kan, cewek. Nggak asyik. Bukannya lebih baik kalian main dengan cowok saja?" ungkapku. Tidak mungkin, bukan, alasannya hanya ingin berteman? Jelas mereka menginginkan sesuatu dariku. Membentuk kelompok belajar, salah satunya. Lalu ... apa yang lainnya?

Saat aku mendongak, kulihat Azul masih terdiam, sampai beberapa detik kemudian bibirnya melengkung tipis.

Hanya itu. Dia tidak mengatakan apa-apa sampai bel masuk berbunyi. Aku ingin mendesaknya, tetapi tidak bisa. Bahkan Alif yang cerewet pun, dia hanya tersenyum saat aku terus menatapnya menunggu jawaban.

Untuk ke sekian kalinya, aku berharap aku benar-benar bisa membaca pikiran.

✨✨✨✨✨

Esoknya, rasa kesal masih membendung Alif dan Farrel. Beruntungnya tidak terjadi pertengkaran yang membuatku semakin merasa bersalah. Belum cukup dengan Farrel, Alif kembali dihadapi Yusril yang mencoba mengobrol denganku.

"Aku tahu kamu naksir Kana. Pergi sana." Alif berkata terang-terangan sampai wajah Yusril memerah, menahan amarah.

Aku yang mendengar kata "naksir", jantungku dilanda guncangan. Bukan karena senang atau sejenisnya, tetapi karena takut. Beruntungnya Yusril segera menyangkal.

"Amanat. Jangan suuzan dulu. Kamu membuat Kana jadi takut padaku, 'kan!" tandas Yusril. Selagi Alif menggerak-gerakkan bibirnya tanpa suara, Yusril beralih padaku, tanpa bertatapan. Dia takut aku membaca pikirannya. "Bu Yanti memanggil kamu. Katanya, saat istirahat, kamu harus ke ruang guru."

"Loh? Kenapa bilangnya bukan ke aku?" Azul protes lantaran bu Yanti berpaling pada wakil ketua kelas alih-alih dirinya.

"Kamu, kan, sering mangkir dari tugas―baiklah, cuma itu." Yusril melirikku beberapa detik, kemudian dia kembali bergabung bersama teman-temannya yang heboh di kursi belakang.

Jadi, hari ini aku tidak ikut Alif dan Azul ke kantin, tetapi mereka bersikeras mengantarku sampai depan pintu ruang guru. Bu Yanti yang kebetulan hendak keluar, lantas menyuruh Alif untuk ikut masuk, meninggalkan Azul yang pasrah dan pergi ke kantin sendirian.

"Jangan tegang begitu." Bu Yanti terkekeh melihatku terus menunduk.

Aku tahu, kok, bu Yanti memanggilku bukan karena hal buruk. Hanya saja, aku belum terbiasa menatap wajah ramahnya lama-lama. Beliau merupakan guru favoritku. Kebaikannya itu telah membuatku sempat berkeinginan untuk menjadikannya sebagai kakakku, lantas kandas lantaran realita memukul telak kepalaku.

"Ibu lihat, Kana sudah punya teman." Bu Yanti tersenyum pada Alif. Cowok itu malah tersenyum malu-malu sembari melirikku, padahal aku ingin mencolok mata genitnya. "Seru, bukan?"

Sepertinya bu Yanti harus mengganti kata itu dengan "repot". Kata "terbantu" tidak sama dengan "seru", bukan?

"Ibu senang melihatmu tidak sendirian. Ah .... Apa Ibu mengganggu waktu istirahat kalian? Maaf. Tapi Ibu harus mengatakannya sekarang."

Aku menunggu, begitu juga dengan Alif, tetapi kedatangan pak Jaya membuat kami harus menunggu selama satu menit.

Begitu pak Jaya kembali ke kursinya untuk makan, bu Yanti melanjutkan, "Kamu tahu, kan, Alif absen selama dua minggu waktu itu?"−Aku mengangguk−"Nah ... ini juga bagus untuk kamu. Buatlah kelompok belajar. Bantu Alif memahami pelajaran yang selama dua minggu ia lewatkan. Ibu juga akan meminta kepada semua guru untuk memasukkan kalian dalam satu kelompok―Azul juga. Bukankah itu bagus?"

Sesaat aku terdiam. Itu tidak buruk. Aku tidak perlu lagi mendapat nilai kecil di setiap tugas kelompok. Niatku yang sudah bulat untuk mencoba menjadi teman Alif dan Azul, membuatku mengangguk, berhasil memunculkan warna kuning di sekitar kepala bu Yanti.

"Bukan cuma Matematika, kan, Bu?" Alif berucap, lantas aku menoleh padanya. Sesaat kusadari niat tersembunyi di balik senyum liciknya.

"Tentu saja. Di semua mata pelajaran akan lebih bagus."

Yah ... aku tidak bisa protes karena ini sudah keputusanku, juga kompensasi yang berputar-putar di dalam kepalaku layaknya kelap-kelip milik Alif.

Apa aku harus menyebutnya "simbiosis mutualisme"?

Yang beruntung juga bukan hanya Alif dan Azul. Maksudku, aku juga diberi keuntungan lantaran Alif bukan hanya membantuku menggambar di kertas, tetapi juga mengenalkan ikon aplikasi dengan sangat sabar.

Klub Desain berjalan dengan baik. Aku masih kebingungan, tetapi ini lebih baik dari sebelumnya berkat Alif. Dia bahkan tak hanya menjelaskan seluruh perangkat aplikasi, tetapi juga materi logo dengan sangat lengkap setelah pak Aziz menyuruh kami praktik.

Biarpun Alif sudah menjelaskannya, tetap saja otakku yang asing dengan desain, menolak materi itu dengan tamengnya. Aku masih kebingungan, begitu juga dengan Azul.

Alif masih sabar menghadapiku, tetapi tidak pada Azul. "Intinya, membuat logo harus dengan filosofi. Makna. Contohnya begini." Alif menulis namaku di atas kertas, kemudian membuat huruf K besar. "Perhatikan." Dia melanjutkan. Huruf A-nya bergabung dengan kolom bawah pada huruf K, kemudian N-nya menyatu dengan K, dilanjut dengan A di atas huruf K dan N.

Aku saja bingung bagaimana harus menjelaskannya, apalagi membuatnya. Namaku menyatu jadi sebuah simbol, tetapi bentuknya yang tak beraturan itu membuatku mengernyit.

"Eh! Jangan lebih dulu memberi kesimpulan. Ini belum selesai. Nah, sekarang ...." Alif mengetik namaku di dalam aplikasi desain, kemudian kembali mempraktikan cara tadi. Kali ini garisnya lurus, membuatnya terlihat lebih rapi dan hidup sampai aku terkagum. "Warna favoritmu apa?"

Aku berpikir sejenak, padahal aku tak punya warna favorit. Namun, saat melihat warna kuning di kepala Alif, aku lantas menjawab, "Kuning."

"Ada lagi?"

Aku menggeleng.

Dengan cepat, Alif membuat segitiga berwarna kuning dan menempatkannya di belakang simbol namaku. Aku berkedip berkali-kali, begitu juga dengan Azul. Cowok itu seolah tak percaya akan hasilnya.

"Tapi, kok, segitiga?" tanya Azul. Padahal aku tidak peduli akan hal itu karena hasilnya sudah sangat memuaskan.

Alif berdecak, mengetuk-ngetuk monitor tepat pada logo. "Ini, kan, logo kafe aku dan Kana suatu saat nanti. Tentu harus ada namaku di situ, dong."

Aku menatap Alif datar sementara Azul mengernyit. "Namaku juga huruf A."

Saat itu juga Alif memukul kepala Azul. "Yah .... Sampai sini sudah mengerti, 'kan? Kana, pakai saja yang ini, aku bisa buat yang lain."

Aku segera menolak. Itu, kan, bukan aku yang buat, bagaimana bisa aku mengambilnya begitu saja? Bisa-bisa bukan hanya nilaiku yang turun, tetapi juga hujan artifisial dari pak Aziz.

Jadi, aku memutuskan untuk membuatnya sendiri. Biarpun hasilnya seperti jejak siput, aku senang karena peningkatannya terlihat. Bahkan Azul yang sama buruknya denganku, tiba-tiba saja logo yang ia buat kali ini berhasil membuat pak Aziz terkesan. Maksudku, bukan pada gambarnya, tetapi pada penjelasannya yang padat dan jelas.

Luar biasa!

Aku jadi iri padanya.[]



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro