07. Kakakku Bersikap Aneh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah apa yang terjadi kemarin, Maliqa hanya mendapat pelototan dan jari tengah dari Alif. Azul juga sudah kembali seperti biasanya, dan aku mendapat dua anggota baru di klub belajarku. Kendati demikian, aku tetap membatasinya. Maksudku, Farrel dan Farhan boleh bergabung dengan klub kami, tetapi hanya untuk Matematika saja. Farrel sempat protes, sampai beberapa saat kemudian dia menerimanya dengan setengah hati. Namun, dengan satu syarat: aku harus memulainya dari sekarang.

Sekarang dalam artian saat itu juga. Karena Bu Dian tidak masuk dan jam pelajaran kosong, Farrel memaksa. Aku tidak bisa menolaknya sebab itu satu-satunya hal yang bisa mengisi kekosongan daripada mendengar godaan Alif.
Aku tidak menyangka. Sungguh. Farrel dan Farhan sepertinya harus mengulang kelas. Mereka tidak bisa menghitung perkalian! Aku harus merampas ponsel mereka demi meningkatkan kinerja otak. Alih-alih, mereka justru semakin kebingungan dan memunculkan warna merah di kepalaku.

Sabar .... guru Matematika mereka lebih menderita dariku.

Setelah satu jam lebih harus bersabar, aku memutuskan untuk memberi mereka tugas.

“Loh? Baru juga pertama.” Farhan mengeluh.
Sembari membereskan buku dan menyerahkan ponsel pada mereka, aku berkata, “Kalau nggak mau, lebih baik keluar dari kelompok.”

“Eh? Oke, oke. Aku bakalan hafal perkalian sebelum hari Senin.”

Itu artinya, aku tidak harus menjadi guru mereka sampai hari Senin datang. Aku bersyukur karena itu.

Hanya saja, kali ini aku tidak bisa menolak tawaran Alif untuk mampir ke kafe dekat sekolah. Beli es krim, lantas duduk di dalamnya sembari mengobrol tidak jelas.

“Kayaknya aku harus request ke papa untuk menyediakan menu es krim di kafenya.” Alif berucap, tatapannya terus berjalan mengelilingi setiap sudut kafe. Aku yakin sekali dia sedang meng-copy, lalu mem-paste-nya di hadapan sang papa.

“Jangan lupakan gelato.” Azul menimpali.
Alif mengangguk-angguk, hingga sesaat kemudian dia menyadari sesuatu. “Kamu bakalan beli atau nggak?”

“Eh? Bukannya ke teman itu gratis, ya?”

Matamu!”

Aku kelepasan tawa. Walau kecil, tak bersuara, Alif tetap bisa mendeteksinya, lantas memangku dagu dan terus menatapku bersama senyum menjijikkannya.

“Setelah ini, ayo ke kafe papaku.”

Aku langsung menolak. “Tidak. Lain kali saja. Aku mau istirahat di rumah.”
Ini sudah pukul tiga sore. Akan sampai pukul berapa aku pulang ke rumah? Lagi pula, badan dan kepalaku lelah, ingin tiduran walau hanya sebentar.

Namun, sepertinya aku memang tidak ditakdirkan beristirahat di rumah hari ini. Aku hampir saja beristirahat selamanya saat sebuah sepeda motor melaju kencang di hadapanku. Tinggal satu belokan lagi menuju rumah, nyawaku hampir melayang di tangan kakakku sendiri. Jantungku berdetak tak normal, terjatuh di aspal lantaran terkejut, dan aku akan menangis kalau akak tidak menarik lenganku untuk kemudian memaksaku menaiki sepeda motornya.

“Maaf, aku nggak lihat.” Tak ada penyesalan dari suaranya, menggerakkanku untuk memukul bahunya keras sampai sepeda motor oleng dan hampir keluar jalur. “KANA!”

Aku tak menghiraukan bentakannya, memilih membersihkan bajuku yang kotor. Sesaat kemudian aku baru menyadari bahwa jalan ini bukan menuju rumah. “Kita mau ke mana?”

Kakak tidak menjawab, hingga timbul keinginan untuk kembali memukul bahunya, tetapi kutahan demi keselamatan. Lagi pula, ini pertama kalinya aku menaiki sepeda motornya setelah empat bulan terakhir. Selama keberadaan sepeda motor dan SIM C atas nama Kakak, bokongku hanya menyentuh jok itu beberapa kali di setiap tahunnya selama empat tahun ini. Aku sudah berkali-kali merayunya untuk dapat tumpangan ke sekolah, tetapi karena Kakak yang pelitnya minta ampun, aku terpaksa menaiki angkot. Kalaupun papa punya mobil, aku tidak bisa ikut dengannya lantaran papa harus berangkat pagi-pagi sekali.

Jadi, aku lebih memilih menuruti kemauan kakakku walaupun tidak tahu tujuannya. Aku tidak mau diturunkan di tengah jalan, lebih-lebih lagi kakiku sakit akibat terjatuh tadi. Saat kami sampai di jalan raya dan berhenti, Kakak memberiku helm, jadi aku kembali bertanya, “Kita mau ke mana?”

“Lapar, 'kan? Di rumah ada Tante Wina.”

Gerakanku untuk mengunci tali helm terhenti selama beberapa saat. Setelah beberapa bulan ini mengacau di rumah Tante Ayu, wanita itu mengunjungi rumah mama? Ada urusan apa wanita super sibuk itu mengunjungi rumah yang menurutnya kumuh itu? Jika tujuannya hendak pamer dan merendahkan mama, lebih baik aku pulang.

Seolah tahu apa kemauanku, kakak berkata, “Cuma jenguk nenek. Mama bisa mengatasinya. Rumah tidak akan roboh karena kedatangannya, Kana.”

Jika dipikir-pikir, ada benarnya. Kalaupun aku pulang, apa yang harus kulakukan? Berdebat walau sudah tahu akan kalah dari Tante Wina? Mama bahkan lebih ahli dariku. Lagi pula, kunjungan Tante Wina tidak akan berlangsung lama. Dia alergi rumah—yang katanya—kumuh. Aku sungguhan membenci wanita itu. Berbicara seenaknya di depan sanak keluarga, memamerkan hal-hal yang ia dapatkan dari kerja kerasnya sebagai pengusaha. Wanita itu menganggap dirinya superior dibanding keluarganya yang lain.

Jadi, aku memilih untuk tidak menolak kebaikan kakak lainnya. Dia membawaku ke mal, mentraktir makan setelah memesan tiket bioskop. Walaupun ada batas harga, hal itu tidak membuatku mengeluh. Ini langka. Si Pelit Kakak, berubah menjadi murah hati karena kedatangan Tante Wina di rumah.

“Bagaimana sekolahmu?”

“Apa?” Aku nyaris menyemburkan roti yang kukunyah. Kakak bertanya dengan santai selagi mencomot kentang goreng di depannya. Mungkin keanehannya tidak sebatas mentraktirku makan dan nonton film.

“Bagaimana sekolah?”

“Eh .... Ya ... baik. Cuma ... tembok lecet kena bola.”

Kakak berdecak, melempar kentang goreng hingga mengenai wajahku. “Bukan itu maksudku.”

Aku tahu maksud dari pertanyaannya, hanya saja ... aku merasa aneh dengan kalimat yang meluncur dari mulutnya. Kakak, manusia jahil dan tidak acuh dengan kehidupan sekolahku, tiba-tiba bertanya hal demikian. Biasanya saat mama dan papa bertanya soal sekolahku, kakak hanya menimpalinya dengan ejekan hingga membuatku kesal. Dia tidak peduli adiknya punya teman atau tidak.

“Baik.” Aku menjawab singkat, kembali memakan burger.

“Betah?”

Kunyahanku terhenti, menatap kakak yang masih santai memakan kentang goreng. Aku tidak bisa melihat warna di sekelilingnya sebab dia sedang tidak menatapku. “Ya .... Memangnya kenapa?”

“Nggak, cuma nanya.” Kakak masih berpaku pada ponselnya. Tidak bisa dibilang Kakak tengah menghindari tatapanku untuk menyembunyikan sesuatu, dia hanya tidak tahu dengan topik yang harus dibicarakan. Oleh sebab itu, dia menanyakan kehidupan sekolahku—pertanyaan acak yang terlintas di dalam kepalanya. “Dua cowok itu ... kalian berteman, 'kan?”

Setelah kejadian yang berlangsung selama beberapa hari ini, yang menjadi topik hangat di meja makan, kakak sepertinya tidak tahu harus membicarakan apa di saat-saat seperti ini. Ya ... ini lebih baik daripada membicarakan Tante Wina.

“Ya ... kami berteman.” Aku ragu dengan jawabanku, tetapi aku tetap melanjutkan, “Kami juga satu klub di sekolah, kalau Kakak ingin tahu.”

“Oh, ya?” Kakak mengangkat kedua alisnya.

Aku berdecak. “Terserah, kalau Kakak nggak percaya.”

✨✨✨✨✨

Mungkin saja Tante Wina telah menakuti Kakak, dan beruntungnya wanita itu tidak bertandang sampai malam di rumah—yang katanya kumuh—kami. Kedatangan wanita itu sepertinya juga berdampak pada mama. Aku heran mendapati mama melamun di ruang tamu saat aku dan Kakak pulang di sore hari. Saat aku bertanya, Mama hanya menjawab, “Tante Wina kasih oleh-oleh.” Dari situ aku kesal. Tante Wina jelas telah merendahkan mama seperti biasanya.

Namun, syukurlah, mama sudah kembali seperti semula keesokan harinya. Kakak juga berubah menjadi baik sampai mau mengantarkanku ke sekolah dengan sepeda motornya. Kendati demikian, kakak tetap saja orang yang menyebalkan. Katanya, “Sepuluh ribu. Bensinnya hampir habis. Besok dan seterusnya, kamu akan aku antar ke sekolah. Janji.” Hanya lima ribu, kemudian lari sebelum kakak menahanku dengan kalimat tagihannya.

Ternyata, hari ini Alif tidak masuk sekolah padahal aku sudah menunggunya untuk menagih novel yang dia pinjam dua hari lalu. Saat aku bertanya pada Azul, dia hanya menjawab dengan bahu terangkat, tampak tak peduli akan temannya yang absen tanpa keterangan. Dia juga mengangsurkan tasnya dan menempatkan bokongnya di kursi Alif sampai-sampai aku bisa melihat warna kuning di sekelilingnya saat ia tersenyum simpul padaku. Aku hanya menanggapinya dengan alis terangkat, kembali memikirkan kenapa Alif absen padahal semalam dia membuat heboh lewat pesan grup seperti biasanya.

Absennya Alif telah membuat Maliqa sedikit senang sebab ia bisa mengolok-olokku sepuasnya. Walaupun Azul berubah menjadi galak, olok-olokan itu masih saja terdengar di telingaku. Azul bukanlah perekat untuk mulut Maliqa dan teman-temannya, hanya Alif yang bisa melakukannya. Sementara Janti, aku sudah tidak melihatnya berkumpul dengan Maliqa. Entah apa yang sudah terjadi di antara mereka. Yang pasti, aku lega cewek perundung itu tidak menyerangku.

Mendapati olok-olokan yang tak ada habisnya, Farrel membuatku hampir memeluknya saat ia memutuskan untuk pergi ke ruang BK. Aku terus memelotot, memohon padanya untuk tidak melakukan hal itu.

“Ini masih dalam batas wajar,” kataku.

Farrel mengusap wajahnya. “Wajar. Memang dasar kamu ini terlalu baik—Woy! Cewek-cewek sialan!”

Niatnya aku ingin menarik tangan Farrel yang ada di dahinya, tetapi aku justru mencakar wajahnya. “Hentikan. Mereka nggak bakalan berhenti.”

“Kalau kalian mulai berisik, aku akan mencatat nama kalian dan menyerahkannya ke Bu Yanti.” Azul justru ikut-ikutan. Yah ... setidaknya dia tidak seperti Farrel. Hanya saja, para cewek itu tidak takut dengan ancaman seperti itu.

“Kalian juga berisik, 'kan? Kenapa kita terus yang disalahkan? Turunkan Ketua Kelas! Turunkan! Wuuu ...!” Justru kelas semakin berisik, dan Azul harus ekstra sabar menghadapinya.

Alif masih absen keesokan harinya. Maliqa mulai menggangguku dengan pertanyaan tentang alasan Alif tidak masuk sekolah, lalu berteriak heboh saat aku hanya berduaan dengan Azul, mengumpulkan para cewek sekelas di pojokan sambil cekikikan. Farrel sudah pasrah saat aku menyuruhnya untuk tidak berlari ke ruang BK. Sekarang, gosip bahwa aku dan Azul pacaran sudah menyebar ke satu angkatan.

“Kamu masih belum tahu alasan Alif absen?” Aku bertanya pada Azul di kantin saat istirahat makan siang. Farrel dan Farhan bersama kami, memakan batagor sambil mendengarkan.
Azul menggeleng. “Pesanku juga tidak dibalas.”

Semalam, aku terpikirkan untuk mengirim pesan pada Alif, tetapi aku tidak mau melakukannya duluan. Hanya untuk menanyakan novel milikku? Kurasa itu berlebihan. Novel bisa dikembalikan kapan saja. Jujur saja, aku penasaran kenapa cowok itu absen selama dua hari tanpa keterangan. Omong-omong, aku juga penasaran kenapa di awal semester dia juga absen selama dua minggu. Apa karena urusan orang kaya yang tidak kuketahui?

Esoknya, Maliqa masih menggangguku dengan gosip yang ia sebarkan, duduk di sebelahku lantaran Azul belum menampakkan wujudnya padahal ini sudah pukul tujuh pagi. Cewek itu merebut novel yang tengah kubaca, membuka-bukanya dengan sembarang sampai-sampai aku takut halamannya akan copot. Dia kesal karena aku tak menghiraukan ocehannya.

“Kamu benar-benar bisa membaca pikiran, 'kan? Tatap aku!”−Wajahku dipaksa menghadap wajah bulat Maliqa−”Bisa? Kalau begitu, baca juga pikiran Janti. Akhir-akhir ini dia jadi pendiam. Aku bersumpah, deh, nggak akan ganggu kamu.” Aku langsung tahu bahwa Maliqa tengah berbohong dilihat dari warna ungu di sekelilingnya. Tidak mungkin dia bisa menghentikan kebiasaan buruknya padaku. Lagi pula, aku sama sekali tidak bisa membaca pikiran. Berbohong sama saja memperburuk keadaan. Bisa-bisa intensitas perundungan para cewek meningkat hanya karena salah mendiagnosis alasan Janti menjadi pendiam.

Lantas, aku menggeleng, berusaha merebut novel dari tangan Maliqa, tetapi cewek itu lebih cepat dariku. “Pelit banget! Ya, sudah, aku pinjam novelnya.” Maliqa menyeringai, hendak kembali pada teman-temannya, tetapi seseorang merebut novelku darinya.

“Enak saja! Aku duluan. Sana, pergi! Nggak ada kerjaan banget ganggu orang.”
Itu Alif, memeluk novelku dengan erat sementara matanya memelototi Maliqa yang masih dalam keterkejutan. Cowok itu datang seperti hantu, bahkan cewek di pojok sana sama terkejutnya denganku. Tanpa menghiraukan Maliqa, Alif mendudukkan diri di sebelahku, menyerahkan novel milikku yang beberapa hari ia pinjam sambil berkata, “Thanks. Aku pinjam yang satunya. Eh, tapi, kamu sudah baca ini, 'kan? Kalau belum, pinjamnya nanti saja.”

“Kenapa kemarin nggak masuk?” Alih-alih menjawab, aku justru bertanya. Absen tanpa keterangan selama dua hari, bahkan teman dekatnya pun tidak tahu, pesan grup sepi, dan aku didesak rasa penasaran akan kegiatan orang kaya. Pertanyaan itu keluar begitu saja tanpa memikirkan risiko ke depannya. Kulihat Alif menyeringai, hingga timbul keinginan untuk meninju wajahnya dengan keras.

“Kana kangen, ya? Ya, ampun .... Harusnya kamu telepon aku.” Alif memegang dadanya dengan dramatis sambil tersenyum, mengejek, dan rasa ingin memukul itu semakin bertambah.

Beruntungnya, aku bisa menahan diri. “Azul mana? Kok, belum kelihatan?” Aku mengalihkan pertanyaan, berpura-pura mencari si Ketua Kelas ke arah pintu yang terbuka lebar, kemudian meraih novel dari tangan Alif saat menyadari para cewek tengah menatapku sembari bergosip.

Alif tampak cemberut, dan ia enggan menjawab pertanyaanku yang tidak penting. Tak apa, aku juga tidak butuh jawabannya sebab si Ketua Kelas sudah datang dengan selembar kertas di tangannya sambil berkata, “Bu Elma lupa memberitahukannya. Katanya, akan ada tugas kelompok membuat kerajinan tangan. Dikumpulkan Kamis depan.”

Aku bersyukur Bu Yanti menepati janjinya. Kami bertiga satu kelompok, tidak ada tambahan anggota, padahal kelompok lainnya berjumlah empat, bahkan ada yang lima.

Namun, yang menjadi masalahnya, kami mendapat bagian merajut, dan aku sama sekali tidak bisa melakukannya.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro