- Pertanyaan yang Menghantui -

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saya sama sekali tidak mengantisipasi jumlah pertanyaan yang masuk pada sesi QnA bakal segitu.
Antara terhura dan pengen semaput.

Saya usahakan terjawab semua

Fun fact: kalo ngetik cerita, saya selalu memulai dari ending. Baru dirangkai ke awal untuk meminimalisir plot hole. Jadi adegan epilog yang kalian bingungkan itu adalah satu-satunya yang tidak pernah berubah selama proses pengeditan, jadi maapkan kalo cara penyampaiannya memang rada anu :"

RavAges juga gitu. Kalian mo komen gimana juga, mau happy kek, atau sad ending kek, chapter akhirnya udh siap dan tidak akan pernah saya ubah 😂 Kalian minta sequel juga, mohon maap, saya udah berkomitmen—ending itu adalah bagian paling estetik dari sebuah cerita. Kalo dibikin sequel, makna ending itu sendiri sebagai sebuah "penutup" malah jadi berkurang.

Kecuali kalo memang dari awal saya meniatkan buku tersebut bersequel, itu lain cerita. Atau kalau cuma spin off pendek, saya nggak masalah.

Mari kita awali dengan yang jawabannya panjang dan paling sering ditanya saat QnA, ada tiga perkara:

1. "Dari mana inspirasi dan riset Indigenous?"

2. "Kakak Indigo, kah?"

3. "Indigenous kapan terbit?"


|||


SEGMENT 1: GARA-GARA MIMPI BURUK


Maxzrya: "Ide awal buat cerita ini dari mana atau inspirasinya dari apa kak?"

Drivane_Lendra: "Rasanya pertanyaan yang aku tanya ini pernah ditanyakan secara random oleh orang lain, tapi daku tanya juga deh. Terinspirasi dari apa kak ceritanya? Dari suatu literatur lalu diaplikasiin sendiri? Atau murni imajinasi? Atau lainnya? Bahan risetnya apa aja Kak? Pusing tidak? :v //Daku mengharapkan jawaban yang panjang sih."

Ophiastarain_: "Dapet inspirasi dari mana? Kok bisa bikin cerita sekompleks ini hikd."

NayYuan: "Terinspirasi indigenous dari mana? Cerita ini luar biasa bener deh"

Arabicca69: "Penasaran dari mana riset cerita ini."

Pedagangsiomay: "Ini plot awalnya gimana?"

Xielna: "Aku penasaran sama endingnya kapan upnya kak. Meski saya baru komen sekarang tapi saya selalu ngikuti cerita kakak, sama ravage juga. Saya suka cerita-cerita kakak. Awalnya saya tidak terlalu suka jenis cerita berat seperti ini tapi setelah baca punya kakak saya jadi ketagihan. Apa lagi cara kepenulisan kakak yang agak berbeda dari kebanyakan penulis. Pokonya saya kasih A++++ buat kakak. Selain itu alurnya juga susah ditebak aku harus baca berulang-ulang buat memahami alur cerita ini dan itu cukup seru.

"Pertanyaanku buat kakak. Apakah cerita ini terinspirasi dari hayalan semata atau kakak memang mengalaminya? Jujur saja setelah saya baca ulang ada beberapa bagian yang agaknya mirip dengan pengalaman saya pribadi, dan saya cukup syok. Soalnya saya juga tukang ngayal kaya nila😁.


___ :.:.: ___

Terima kasih banyak pertanyaan dan pujian-pujiannya //malu beneran

Nah, kalo dirangkum, di pertanyaan-pertanyaan itu ada inspirasi, riset, dan plot awal. Silakan duduk yang manis, dedek-dedek. Induk Jazzy akan mendongengkan mimpi buruknya kepada kalian agar dirinya tidak menderita sendirian.


( ~'-')~ Jadi begini ... ( ~'-')~

Saat mengisi form wawancara dengan WattysID, saya pernah bilang bahwa inspirasi cerita ini dari sebuah mimpi buruk (iya, kayak penulis Frankenstein itu, yang nulis novel gara-gara mimpi buruk). Tapi, saya belum pernah menjelaskan mimpi lengkapnya.

Semuanya berawal dari mimpi buruk pas saya SD. Saya lupa persisnya kelas berapa, pokoknya ada beberapa malam berturut-turut saya mimpi buruk terus dan mimpinya hampir sama, kayaknya karena waktu itu lagi sakit dan kena malprakter dokter gigi

Si dokter ngeanuin gigi saya sambil ngobrol sama orang tua saya yang nungguin, dan entahlah apa yang beliau khilafkan. (Kayaknya tanpa saya sadari, ini juga yang mendasari pengetikan adegan Pak Aga Morris dan Pak T. Ed waktu kena malprakteknya oleh Ra di RavAges). Akhirnya sakit gigi saya tambah parah, dan habis itu saya langsung demam sampai satu minggu.

Nah, selama sakit itulah tidur saya nggak pernah nyenyak. Mimpi buruk menyerang bertubi-tubi.

Awalnya saya mimpi dikejar bebek.

Dikejar bebek tuh beneran serem tau :'v Moncongnya kayak mau nyosor gitu.

Nah, besoknya, saya mimpi dikejar lagi, bukan sama bebek lagi, tapi sama hantu. Seeeeeereeeeeeeeeeeem banget. Ogah saya nyebut jenis hantunya, nanti si TS bisa ter-summon kan gawat. Kalian cukup tau itu jenis hantu Indo yang terkenal di film-film.

Besok malamnya lagi saya mimpi dikejar sekumpulan ikan. Pokoknya mereka loncat-loncat di darat, bukan di air. Jadi, menggelepar gitu ngejarnya.

Malam berikutnya lagi saya terus-terusan mimpi dikejar pokoknya. Ya dikejar temen sampai jatohlah, ya dikejar anak tetangga yang nggak saya suka lah, sampai mimpi dikejar guru :"

Entah malam ke berapa, mimpi dikejar itu berakhir. Tapi, jadinya kebalik. Di mimpi itu, saya yang ngejar cogan.

Jadi tuh ada cogan yang mukanya kayak anime, gans maksimal, tapi saya juga lupa detail mukanya bijimana. Tapi di ending tau-tau dia larut di sungai, kayak keseret arus atau gimana saya juga ga yakin. Saya mencoba mengejarnya, tapi gagal, dan kami berpisah dengan dadah-dadahan dramatis gitu.

Sampai ada mentari terbenamnya. Sekarang kalo diinget-inget lagi, kok bisa-bisanya mimpi saya begitu.

Lalu, pas saya mau memulai nulis cerita Indigenous, saya comotlah pengalaman di mimpi ini. Selama menulisnya, saya agak terpengaruh oleh:

Film Casper

https://youtu.be/S2Eij4ttsfw

Seri Harry Potter

Seri Percy Jackson

dan Film Corpse Bride

Walau sumber inspirasinya banyak yang gelap-gelapan, saya waktu itu mau ujicoba tulisan saya di bidang teenfiction (dengan sedikit bumbu fantasy), ala-ala anak sekolah yang cinta monyet meski tidak ada monyetnya di sini.

Ya ... ujung-ujungnya gagal juga. Malah jadi fantasy beneran :"

Awalnya saya cuma pengen bikin cerita simpel tentang anak cewek yang temenan sama cowok misterius di mimpinya. Jadi, mereka cuma ketemu saat si cewek bobo. Tapi setelah bahan bacaan saya nambah, saya baru sadar bahwa ide itu udah banyak yang makai. Otak saya menjerit, "Belokin! Jangan pake ide itu lagi!"

Oke, Tak, sabar.

Jadi, saya belokin ke teman imajinasi. Di mana si cewek bisa ketemu terus sama si cowok nggak peduli siang atau malam, tapi cuma dia yang bisa lihat.

Otak saya, saking enggak tau dirinya, protes lagi, "Ketebak banget itu."

Baeklah, baek. Maka saya putuskan bagaimana kalau teman imajinasi itu sungguhan hidup? Haruskah saya bikin karakter cowoknya yang koma dan mendatangi si cewek dalam wujud arwah? Lagi-lagi, sudah banyak yang pakai itu.

Sampai sana, saya baru mulai mereka-reka aja. Pas mulai diketik, tokoh cowoknya saya jadiin iblis gitu. Namanya Sabiru, dan dia hendak membawa si tokoh cewek yang bernama Nila ke dunianya (di ending emang dibawa, kayak yang kalian liat di epilog). Dan waktu itu ceritanya sangat fantasi. Nama-nama tokohnya pun warna yang anu banget, kayak Alabaster, Cyan, Hazel, Violet, dll.

Cerita itu saya selesaikan dalam satu malam sebanyak 70 halaman dan total 10 bab. Kilat banget. Kualitasnya juga kayak geledek—bau gosong.

Lama-lama, saya merasa risih sendiri sama tingkat kegelapan cerita Indigenous. Iblisnya enggak nanggung-nanggung soalnya.

Sabiru sama sekali bukan tipe ala-ala vampir-cinta-damai kayak Edward Cullen, atau monster-outside-ganteng-inside kayak Beast di Beauty and the Beast. Sabiru malah agak menyerupai Tom Riddle muda yang manipulatif. Jadi, saya perhalus ceritanya. Unsur iblisnya saya ilangin. Sabiru saya ubah jadi Banyu Biru (Ini pernah saya bahas di Bagian XIII)

Haus akan pendapat, saya pengen nyoba perlihatkan tulisan ini ke seseorang. Tapi keluarga saya termasuk orang-orang yang jarang baca, temen-temen saya juga mayoritasnya pencinta anime/komik/drama Korea. Kalau pun ada yang tampak baca novel, genre nya beda T0T

Akhirnya, saya serahkan ke sahabat paling karib. Si Ai *nama disamarkan* adalah teman yang paling saya percaya enggak akan bohong dan enggak akan berpandangan subjektif meski kami temenan, dan dia juga orang pertama dan satu-satunya yang tahu saya suka nulis sampai sekarang. Padahal setahu saya, dia biasanya baca buku teenfic, bukan fantasi, dan membaca novel juga bukan hobi utamanya dia, tapi demi saya dia mau meluangkan waktu (Thanks, Ai ♡(*>ω<)ω<*♡).

Dari dia, saya ngeh bahwa 70 halaman itu kurang untuk mengeksplor cerita. Dia bilang ceritanya agak aneh, yang mana emang benar. Identitas Banyu Biru sendiri enggak pernah saya ungkap karena sebelumnya unsur iblisnya saya apus. Dan idenya emang pasaran untuk ranah fantasi-paranormal, tentang cowok gaib dan cewek manusia. Dan karakter Grey malah melempem. (Thanks lagi, Ai ♡(*>ω<)ω<*♡)

Saya putuskan untuk all out. Mari bikin novel dengan ratusan halaman dan pondasi yang lebih jelas!

Saya pun menetapkan spesies Banyu Biru, karena belum lengkap suatu makhluk jika belum diklasifikasikan. Saya tempel label ke jidat Banyu Biru: Cowok Fiksi yang Mewujud ke Realita.

Tapi, bijimana caranya bikin imajinasi nyebrang ke realita?

Lalu, saya ingat pernah dengar sesuatu yang ajaib saat baca-baca kisah mitologi:

Genius

Bukan genius otak. Tapi Genius dari Roman Myth, semacam guardian angel yang ngintilin manusia dari lahir sampai mati. Saya udah hampir menjadikan Banyu Biru genius. Etapi, ternyata genius terlalu menyerempet ke agama, dan ternyata buat cewek itu beda, namanya Juno bukan Genius. Nah, selama riset mendalami genius, saya malah kecantol sama istilah lain yang agak berkaitan:

Tulpa

Nah, walau tulpa juga akarnya dari Buddhism, tapi tulpa masih bisa ditarik keluar dari konteks agama karena beberapa budaya yang lebih modern mengadopsinya dan diambil sisi paranormalnya menyangkut 'anak pikiran' atau manifestasi gagasan dari kepala manusia.

Tulpa sering diidentikkan dengan Jessica Method (asisten pribadi) yang awalnya cuma dari khayalan, lalu mewujud sungguhan menjadi individu baru dan memiliki kesadaran sendiri. That's why selain pengertiannya, artikel yang umumnya akan muncul mengenai tulpa akan membahas "seberapa berbahayanya tulpa"

Ini contoh tulpa yang mungkin familier buat kalian:

Auguste Gusteau yang dibuat Remy si tikus sebagai spirit advisor


Dan Olaf yang dibuat Elsa sebagai teman imajinasi masa kecilnya dengan Anna

Saya pun menemukan konsep besar ceritanya: anak perempuan indigo dan teman imajinasinya yang berkembang menjadi tulpa independen.

Lalu, muncullah "entitas". Entitas kalo di kamus artinya "satuan yang berwujud", dan manusia sendiri termasuk entitas. Tapi di sini saya pinjam istilahnya dengan makna baru.

"Entitas" di Indigenous inspirasinya muncul waktu baca artikel tentang J. K. Rowling yang menuangkan depresinya ke dalam wujud 'dementor'. Jadi, saya buatlah konsep-konsep yang selama ini dianggap abstrak atau tak berbentuk (Maut, Hayat, Imaji) dan membuatnya berwujud.

Lama-lama saya nyadar konsep para entitas malah lebih mendekati makhluk-makhluk di bawah ini:

Dari animasi Inside Out, di mana lima emosi krusial seorang anak diwujudkan menjadi makhluk-makhluk unyu. Anggaplah para entitas di sini adalah versi dark-nya dan konsep yang saya ambil lebih general.

Agar fantasy-nya jadi contemporary fantasy, saya set tempat dan waktunya dengan yang dekat-dekat aja—tahun 19-an dan 2000-an, di Kal-sel. Saya juga menyeret urban legend, dongeng anak-anak, dan mitologi lokal, lalu saya suruh mereka kawin paksa dengan mitologi Yunani (soalnya Percy Jackson udah jadi inspirasi terbesar saya).

Bagaimana caranya menjembatani antara si anak indigo dan tulpanya?

Karakter yang memegang peranan ini adalah Safir, yang di awal-awal bab tidak saya tonjolkan karena Nila adalah karakter antisosial yang emang bodo amat siapa itu Safir. Kalau Nila indigo, harus jadi apa si Safir untuk menjembatani mereka?

Saya pun menyebrang ke dunia metafisika. Di sana, saya menemukan istilah: kesadaran dimensional, astral projection, higher dimension, dan segala macam yang tidak bisa dilihat secara fisik.

Pas banget buat kamu, Fir. Induk Jazzy akan menganugerahimu dengan kemampuan memelantingkan ruh dari badan ( ~'-')~

Dari sini, kegabutan saya dimulai: "Bisa tyda, ya, ranah gaib dan ilmu eksak dipertemukan? :D"

Berhubung Metafisika klo di kamus artinya "ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal nonfisik atau tidak kelihatan" saya pengen coba mempertemukannya dengan fisika.

Di sini saya sempat failed. Jatuhnya, si energi dan materi malah agak infodumping dan malah lebih cocok ke RavAges. Jadi saya suruh si fisika pindah tempat ke cerita sebelah. Untuk melengkapi si paranormal Indigenous, saya berpaling untuk menyapa temannya si fisika:

MateMATIan

Eh salah

Matematika

Dari sini, saya comot ilmu dimensinya, berhubung dimensi keempat lebih mudah disangkutkan ke paranormal experience. Dimensi satu (garis), dimensi dua (bujur sangkar), dimensi tiga (kubus), dimensi empat (tesseract), dan seterusnya.

"Apa tujuannya, Jazz, kamu memasukkan MateMATIka di sini?"

Saya cuma mau bikin trick biar para pembaca pada kepeleset aja sih sebenarnya ( ._.)7

The trick is, Banyu Biru yang selama ini pembaca kira adalah hantu (dimensi empat) sebenarnya hanya anak pikiran Nila di atas kertas (dimensi dua). Banyu Biru bisa berada di dimensi empat dan lima hanya karena dia mendapat bantuan dari entitas lain kayak Keseimbangan, dan pernah nangkap Waktu juga.

Nah, matematika adalah makhluk paling tidak ramah untuk disapa. Tapi matematika itu rame .... Saya suka matematika, walau matematika membenci saya. Untungnya saya menemukan bahan yang lebih menarik dan enggak bikin saya koma selama mencoba menyeret konsep dimensi ini ke Indigenous:

Film Interstellar dan buku Flatland karya Edwin Abbott.

Tau Flatland? Unyu deh ceritanya :D

Ceritanya tentang Bujur-Sangkar dari dunia dua dimensi (Flatland) yang kepingin pergi ke dunia satu dimensi (Lineland).

Tapi si Bujur-Sangkar malah dipertemukan dengan Bola dari dunia tiga dimensi (Spaceland).

Si Bujur Sangkar yang selama ini hidup di dimensi kedua cuma mengenal Lingkaran dua dimensi, enggak ada bentuk Bola yang bervolume, dan ini mengubah perspektifnya.

Si Bujur Sangkar kemudian meyakinkan si Bola bahwa barangkali, ada dimensi lain di atas Spaceland, alias dimensi empat, lima, enam, dan seterusnya ....

Cerita inilah yang kemudian saya jadikan basis untuk membangun dunia Indigenous.

Saya juga nonton video edukasi di channel TED mengenai higher dimensiontime travel, paradoks, sampai akhirnya berjumpa dengan chaos theory: butterfly effect.

Ngapain saya riset buku fantasi di channel orang science?

Supaya genre yang katanya halu ini tampak rasional aja sih di mata mereka yang udah kerasukan entitas Logika '3'

Toh, semua ilmu pada dasarnya punya akar yang sama. Dan lagi, saya paling enggak bisa dikotak-kotakkan (fantasi harus fantasi, scifi harus scifi, romance harus romance). Terlalu fantasi nanti halu, terlalu science nanti mual, terlalu romance nanti bucin. Jadi, mari kita menjadi ketiganya: halu, mual, dan bucin sekaligus ✧ \( °∀° )/ ✧

Sampai mana tadi ya ....

Nah,

Untuk menguatkan pondasi, mesti ada penghuninya dong: para hantu, jin, dan mistis sebangsanya. Risetnya dari video-video yang membahas isu terkait (yang bisa dinikmati oleh umum kayak #nerror nya Nessie Judge dan paranormal experience nya Raditya Dika). Riset yang lebih mendalam lagi dari orang dekat.

Pembaca banyak yang bingung apa maksudnya pas Nila dikerumunin setan-setan pas malam tragedi Jumat Kelabu pas Nila meluk Grey yang masih bayi. Itu untuk kepentingan mata batinnya.

Dari cerita orang-orang yang masih memercayai takhayul di keluarga, saya ambil kesimpulan bahwa anak indigo itu ada yang keturunan, ada juga yang karena sesuatu hal—bisa jadi pernah mengalami kejadian traumatis, hampir meninggal, mati suri, kualat karena enggak jaga sikap di tempat-tempat tertentu, mengaji 'ilmu'/mata batinnya sengaja minta dibuka, dan lain-lain.

Nenek saya termasuk yang masih percaya hal mistis dan suatu hari kami teringat kejadian di tahun 97, beliau menceletuk, "Pas kerusuhan itu pasti banyak hantunya." Dalam artian, saking kejinya orang-orang pas kerusuhan, mereka sudah enggak menyerupai manusia lagi.

Nah, itu metafora yang bagus. Thanks, Nek. Saya comot.

Karenanya, saya putuskan untuk memasukkan kejadian kerusuhan 97 itu ke dalam masa lalu Nila, di mana akhirnya ibunya mencoba membawa mereka bunuh diri. Padahal ada beberapa tragedi lain pengen saya sisipin, tapi kalo dipikir lagi mungkin nanti malah kebanyakan. Jadi, saya simpan buat lain waktu saja.

Lalu, di umur ke-14, Nila kualat (insiden Taman Makam Pahlawan). Dengan mengaduk semua kejadian itu jadi satu, plus pengaruh Paman Tam dan entitas Imaji, saya punya alasan untuk membangkitkan mata batin Nila.

Saya sudah menyeret mistis, matematika, dan sejarah. Tapi, kegabutan otak saya belum terpuaskan. Mari nyeberang ke ilmu psikologi ("Kampret kamu, yah, wahai Otak")

Sudah jadi labelnya bagi orang-orang yang bisa 'melihat' itu jatohnya kena diagnosis 'halu'. Saya bahkan pernah baca di salah satu media yang mengulik apakah anak indigo itu sesungguhnya skizofernia.

Kita pasti juga sering dengar istilah "Jangan melamun, ntar kesambet," atau "Orang yang lihat setan itu imajinasinya ketinggian." Seolah memiliki mata batin itu sama dengan memiliki pikiran yang kosong.

Dan di sinilah hubungan Nila dengan Imaji lahir. Selain punya mata batin, Nila juga terkenal suka mengkhayal dan punya imajinasi ketinggian. Dia punya dunianya sendiri. Literally.

Di salah satu artikel pernah disebutkan juga anak indigo itu kreatif, out-of-the-box, sampai-sampai kesannya mereka merusak sistem yang sudah ada (kayak Divergent yak :D). Nah, ini juga yang saya kasihkan ke Nila.

Lalu ada yang bertanya apakah saya, selaku penulis, adalah pengkhayal kayak Nila? Ya, jelas saya menulis karakter begitu, otomatis saya akan menempatkan diri di posisi Nila. Terlebih, jadi penulis itu harus menjadi pengkhayal yang baik. Draft paling kasar dari sebuah cerita ada di dalam kepala setiap penulis sebelum tumpah ke dimensi dua (kertas dan ms. word).

Selain halusinasi, fenomena mistis juga biasanya dikait-kaitkan dengan perspektif bahwa, makin banyak yang percaya, makin nyata sesuatu itu kelihatannya, walau sebenarnya sesuatu itu tidak ada. (Misal: perihal pohon berhantu, padahal tidak berhantu, tapi karena banyak yang percaya, hal-hal aneh yang enggak ada kaitannya langsung dikait-kaitkan dan akhirnya kelihatannya pohon itu beneran angker).

Surprisingly, ranah psikologi ini membawa saya kepada Mandela Effect. Ini pernah saya sentil di Bagian XXXV.

Dalam teori alternative universe, Mandela Effect adalah saat memori orang-orang yang tidak pas dengan apa yang terjadi di realitanya. Asalnya dari fenomena banyaknya orang yang meyakini bahwa Nelson Mandela telah wafat di penjara di tahun 80an sampai katanya menyaksikan proses pemakamannya yang ditayangkan di televisi. Padahal, Mandela wafat tanggal 5 Desember 2013. Muncul teori: di universe satunya, Nelson Mandela memang wafat di penjara tahun 80an, dan kita hidup di realita yang lain.

Satu kejadian berbuntut panjang, dan bermunculan fenomena lain: orang-orang bersikeras mengingat tulisan "Looney Toons", tetapi ternyata yang benar adalah "Looney Tunes"

Sampai dialog terkenal "Mirror mirror on the wall, who is the fairest one of all" juga kena.
Bukan "mirror mirror on the wall" yang benar, melainkan "magic mirror on the wall"

Dalam fenomena psikologi, Mandela Effect ini digolongkan sebagai False Memory, di mana seseorang bisa saja 'salah ingat' (event 1 diingatnya sebagai event 2).

Atau terjadi distorsi memori (seseorang secara tak sadar mengurangi/menambahkan memori asli yang sudah memudar dalam kurun waktu tertentu).

Atau berasal dari source monitoring error di mana seseorang gagal membedakan mana memori yang berasal dari imajinasinya, dan mana memori yang berasal dari realitanya.

Daaaan false memory bisa terjadi secara kolektif, alias rombongan, di mana banyak orang mengalaminya sekaligus. Dengan ini, Mandela Effect dan False Memory melengkapi bahan riset saya untuk dunia Nila yang bertingkat-tingkat.

Jadi, apakah kalian memercayai pengalaman mistisnya Nila atau simply mikir bahwa Nila hanya kebanyakan imajinasi? Apakah Nila sungguh pergi ke dunia paralel atau dia hanya mengalami false memory?

Berhakkah kita menilai itu?

Memang pernah ngalamin langsung?

That's my point, anyway. Bagi siapa pun yang pernah punya prasangka ini itu, apa lagi sampai kasih cap bahwa anak indigo itu 'halu', seyakin apa sih kita sampai berani-beraninya berpikiran begitu?

Apakah kita melihat dengan kedua matanya langsung?

Apa kita masuk ke dalam kepala mereka?

Apakah kita yang menjalani hidup mereka?

Sama seperti yang terjadi pada Abu dan Nila. Abu nggak tahu apa yang Nila alami, berujung ke pembullyan. Nila pun nggak tahu apa yang Abu alami, berujung ke perubahan perasaan dari naksir ke benci. Baru setelah waktu menyembuhkan perlahan, mereka bisa saling memaafkan.

Nila baru paham bahwa timing dia ngatain Abu nggak naik kelas bersamaan dengan masalah internal (bapak-ibunya mau cerai, lalu mendadak ibunya Abu meninggal).

Abu juga baru paham bahwa Nila memang sikapnya buruk dalam sosialisasi karena punya penglihatan ekstra dan punya masalah internal juga.

Tidakkah Azura sudah sering menceramahi kita sepanjang cerita, bahwa ini hanya perkara perspektif?

In this case, it's no longer about truth, just perspective—dalam kasus ini, segalanya bukan lagi perihal mana yang benar, tapi masalah perspektif.


SEGMENT 2: "KAKAK INDIGO, 'KAH?"


Ataleofanadventure: "Kakak indigo?"

Lailaaa_chan: "Kk indigo?"

lemonade_e_e: "Apakah authornya terinspirasi cerita ini berdasarkan pengalaman pribadi?"

azkook_: "Ada satu pertanyaan yang bener bener buatku terngiang ngiang di awal chapter'-' akhirnya sesi tanya jawab dibuka. Kakak pernah merasakan kejadian di cerita ini? Semacam perjalanan spiritual yang dilalu Nila, ataupun liat yang Nila liat'-'? Atau hanya khayalan aja? Oke aku nanya ini karena pengalaman tersendiri, nggak semuanya tapi kebanyakan penulis itu memasukkan sedikit bumbu kehidupan di karyanya. Dan satu lagi, kakak mendeskripsikannya rapi banget seolah pernah merasakan itu'-'

"Oke aku berharap pertanyaan nyeleneh ini dibaca dan dijawab'-' Oke makaseh kak'-'/"

ata_16: "Kakk sebnry nulis ini krn ad pengamalan ya?, nulisny kyk berasa bgt gitu kyk emang pernah terjadi"

fauziatur: "Apakah @E-Jazzy ada pengalaman terkait kerusuhan?"

___ :.:.: ___

*bikin kisah anak indigo*

//muncul pertanyaan "Kakak indigo ya?"

Bagaimana kalo saya bikin cerita isinya full hantu semua? Apakah kalian akan bertanya "Kakak hantu, ya?" :'v

Eniwei, terima kasih banyak pertanyaan dan pujian-pujiannya

Mari kita bahas perihal indigo dan pengalaman dulu '-'


( ~'-')~ Jadi begini ... ( ~'-')~

Saya engga bisa ngomong sama benda, atau bikin ruh melanting keluar dari jasad, atau (naudzubillah) lihat hantu. Kalo saya indigo yang bisa liat makhluk anu, saya nggak bisa idup :') Saya penakut banget aslinya. Kalo sampai bisa ngeliat kayak gitu ... na'udzubillah :')

Perihal pengalaman pribadi ... ya, ada sedikit. Tapi bukan pengalaman saya langsung. Sebagian besarnya itu pengalaman pribadi orang lain, tambal-sulam cerita lain sebagai referensi (kayak Harry Potter dan urban legend di daerah), dan mimpi.

Pengalaman-pengalaman mistis yang saya ingat:

Pengalaman Paman Tam perihal wanita yang duduk di jok belakang mobilnya itu asli pengalaman om saya. Dan om saya beneran ngomong gini: "Turun, pang si." yang dalam Bahasa Banjar itu kurang lebih artinya kayak "Turun, dong."

Sumpah, om saya cerita begitu. Dan waktu beliau cerita pun sambil ketawa-ketawa aja. Usut punya usut, hidup beliau ternyata memang penuh pengalaman mistis. Dan beliaunya sendiri tipe yang nantangin (panjang umur dan sehat terus ya, om).

Sedangkan pengalaman Paman Tam waktu persami yang "Jaya! Woy, Jaya!" itu pengalaman kakak sepupu saya waktu kegiatan kuliahnya di gunung *piiiiiip* (sensor). Tapi kakak sepupu saya nggak yang sampai nantangin gitu. Begitu ngelihat 'orang' di depannya enggak gerak atau ngomong dan bentuk kepalanya aneh (kayak remuk gitu katanya), kakak sepupu saya langsung ngibrit. Ada banyak temen kuliahnya juga yang ditemuin oleh 'orang' itu di gunung tersebut selain kakak sepupu saya, dan beberapanya enggak lama kemudian menderita cedera kepala, bahkan ada yang sampai mesti dioperasi. Terlepas dan kebenaran sangkut-pautnya, Wallahu A'lam Bis-shawab.

Terus tetangga saya orang Dayak yang mistis di keluarganya masih kental banget, dan di belakang rumah ada bapak-bapak pemain gamelan yang suka bagi-bagi cerita-cerita mistis juga. Dan dua anggota keluarga saya juga saksi mata pas tragedi Sampit yang katanya ada mandau bisa melayang sendiri. Tau mandau? Searching sana '-')/

Eniwei, sebenarnya saya pengen banget masukin yang tragedi Sampit itu di cerita ini, tapi kalo dipikir-pikir lagi kayaknya perannya enggak besar di sini. Ya udah, saya simpan buat cerita lain aja.

Nah, perihal kerusuhan 97 (Jumat kelabu), itu keluarga inti saya yang ngalamin. Emak, bapak, sama kakak saya. Bapak saya terjebak di medan perang itu seharian dan baru bisa pulang setelah dapat baju partai hijau, minjam punya kerabat. Bapak saya liat langsung apa yang terjadi di plaza waktu kerusuhan, hebat banget katanya, udah tahu bangunannya kebakaran, masih ada aja yang sempat jadi maling dadakan menjarah plaza itu.

Jadi, emak sama kakak saya cuma berdua di rumah. Kebetulan mereka bertetangga sama beberapa keluarga Tionghoa di sana, yang rumahnya langsung jadi bulan-bulanan.

Ingin tahu lebih dalam perihal Jumat Kelabu dan hubungannya dengan masa orde baru? Silakan berkunjung ke work saya yang berjudul "JANGAN DIBUKA (ノ*゚ー゚)ノ" (Maap, judulnya clickbait), dan bertandang saja langsung ke chapter "14. Riset: 1997-1998 (Banjarmasin dan Jumat Kelabu)".

Ingat waktu Nila nangis karena kaus kakinya dibakar buat bahan bakar lampu minyak? Nah itu pengalaman kakak saya. Waktu itu dia baru masuk TK dan sudah harus mengorbankan kaus kakinya karena listrik mati berhari-hari, lilin sampai habis, dan enggak ada yang bisa keluar buat beli lilin juga—soalnya setelah kerusuhan itu, banyak preman memanfaatkan situasi, aparat setempat juga jadi siaga, dan siapa yang keluar rumah malam-malam bakal langsung ditembak di tempat. Jadi, emang ada orang-orang yang hilang sama sekali selama dan pasca kerusuhan, bahkan jasadnya enggak balik-balik lagi ke keluarganya. Mereka langsung disemayamkan di tanah pemakaman massal.

Bertahun-tahun setelah kerusuhan, emak saya nge-gas pengen pindah rumah. Jadi, keluarga saya pindah ke dekat *piiiiiiiip* (sensor) (pokoknya ngejauhin ibukota gitu). Nah, saya udah lahir pas keluarga pindah. Dan emak saya sampai hari ini trauma karena waktu itu ngelihat langsung mobil truk dibakar dan digulingkan dan orang-orang Tionghoa ditelanjangin di depan rumah. Kalau sekadar jalan-jalan ke sana sih enggak apa-apa, tapi pernah satu kali bapak saya ngajak pindah balik ke sana, tapi mama saya nggak mau lagi.

So, thank you, para provokator, yang meski pun kalian tidak ikut angkat senjata, tetap bertanggung jawab atas semua nyawa yang hilang dan kerusakan yang ada.

Nah, jadi, saudara-saudari, saya bukan anak indigo yang dalam artian bisa lihat hantu, tapi saya dikelilingi oleh orang-orang macam itu. Jika dibilang apakah cerita Indigenous ini dari pengalaman, ya tentu sebagian besarnya dari pengalaman, sebagiannya lagi dari khayalan semata.

Terlepas dari bakat bawaan anak-anak indigo, menurut saya otak manusia semuanya spesial dengan caranya masing-masing. Mau indigo, blue, grey, rainbow—semuanya ciptaan Tuhan.

Keseimbangan di sini juga tidak membenci anak-anak indigo. Orang biasa pun bisa jadi sasaran jika merusak keseimbangan—they're simply doing their job. Berhubung cerita ini berpusat pada seorang anak indigo, maka Nila lah sasarannya ._.

Nah, Indigenous tidak bermaksud memperjelas sekat-sekat dan batasan antara kaum ini dan kaum itu. Indigenous saya maksudkan agar pembaca menyadari bahwa kaum ini dan kaum itu sama-sama eksis, beberapa fenomena memang terjadi, dan bagaimana pun kita sebagai "entitas yang berada" harus punya cara untuk hidup toleransi tanpa memandang sebelah mata satu golongan tertentu hanya karena mereka beda.

Tiga sorakan untuk diri kita~ Hip hip horee ✧ \( °∀° )/ ✧


SEGMENT 3: INDIGENOUS TERBIT (AMIN)


Atsai_Ry: "kpn indigenous dibukuin?"

lunatic_chan: "kak jazz bakalan nerbitin indigenous kan?"

tataaa0208: "indigenous dibukuin ga? kalo iya,kapan?"

Relialys: "KaJaz suda coba ngelamar Indigenous ato RavAges ke penerbit belomm?? Coba gih kaaak"

Nisarmygi: "kak, g ada niatan buatnerbitin indigenous ke toko buku gtu ???"


( ~'-')~ Jadi begini ... ( ~'-')~


Suatu ketika, penerbit Anu menawarkan untuk menerbitkan Indigenous, dan saat itu cerita ini masih jauh dari kata "selesai".

Lalu, penerbit Ani datang dan menawarkan hal serupa, tetapi cerita ini masih juga belum selesai.

Lalu, ada satu lagi, tetapi pas saya stalk, yang mereka terbitkan semuanya buku romance remaja yang memang bakal laku di pasaran dengan viewer nya sudah jutaan. Saya minder :')

Sekarang ceritanya udah selesai, dan saya punya beberapa hal yang masih harus direnungi:

1. Bagaimana kalau Indigenous engga ada yang beli :')

2. Bagaimana kalau cuma hype sebentar, lalu berdebu di pojok toko buku dan tak pernah terdengar lagi ... selamanya :'))

3. Kalau diterbitin, berarti jadi komersil, dan saya bakal dapat duit dari sana—pertanggungjawabannya jadi lebih gueedeee. Indigenous ada isu self-harm, mental-ilness, dan suicide yang terselubung. Padahal intinya adalah agar pembaca tidak seperti Nila, dan tidak memperlakukan orang seperti Nila sebagaimana dia diperlakukan di buku. Bagaimana kalau cerita ini bikin pembaca salah kaprah? Bagaimana kalau saya belum cukup baik menyampaikannya sebagai seorang penulis? :')))

4. Saya udah bahagia banget punya pembaca yang apresiasinya luar biasa seperti kalian. Dan untuk saat ini, saya tidak menginginkan lebih. :'))))

Jadi ... untuk waktu dekat, belum kepikiran. Saya masih pingin memperbaiki beberapa hal—ya ... banyak hal. RavAges juga sama. Malah lebih parah—RavAges tamat aja belom.

Dan saya masih ingin menikmati momen sama pembaca Wattpad lebih lama lagi :') Kalo langsung terbit, ntar takutnya disuruh diapus, terus ada yang belum sempat baca ._.

Yaaa kali aja dari kalian ada yang gabut kan, terus mau baca ulang '-')~ ehe ehehe ehehehe

Kalo mau terbit ... tentu saya mau. Tapi, saya tidak akan langsung main kirim/terima lamaran. Saya mau menelisik naskah ini lagi, memperbaiki apa yang belum sempat diperbaiki dari review yang pernah diberikan. Saya menunggu penerbit yang tepat, dan saya masih ingin menggratiskan bacaan ini sedikit lebih lama lagi.

Kalian survive selama setahun ini saya gantung update-an :) Insha Allah masih bisa yah menunggu Indigenous naik cetak :D Doakan saja nanti berjodoh di saat yang tepat.

Mari kita berdoa, jika suatu hari Indigenous—dan RavAges—berjodoh dengan penerbit, maka itu akan menjadi penerbit yang membawa karya ini pada tahap baru kesesuaian sebuah fiksi, jadi karya yang benar-benar layak dan tidak menyesatkan pembaca.

Kata-kata adalah pedang, dan saya tidak mau tulisan saya menebas kepala pembaca.

....

Cukup Azura aja yang kepalanya ketebas di sini.

Azura: "Aku ... lagi."

Bersambung ke:
- Pertanyaan yang Bergentayangan -
(Lanjutan Qna)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro