Kesadaran 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak ingin lagi memasuki teritori seperti dua sebelumnya. Satu membuat depresi dan bosan hidup, yang satu membuatku tidak bisa melihat apa pun. Mimpi membuatku dapat sejenak melupakan masalah yang ada di dunia nyata. Kalau di dunia mimpi saja membuatku tidak ingin hidup, lalu harus ke mana aku berlari? Dan di sinilah aku sekarang, menghadapi sebuah teritori besar hitam yang mau tidak mau harus aku dan Will lewati untuk bisa mencapai kesadaran Kak Danny.

"Haruskah?" tanyaku pada Will di hadapan kubah teritori hitam dengan tarian asap hitam di dalamnya.

"Mau bagaimana lagi? Kesadaran kakakmu mengarahkan kita ke sini, 'kan?" Will menyeretku masuk dengan paksa.

Transisinya sangat tidak nyaman. Asap hitam menyambut terlebih dahulu membuatku terbatuk. Rasanya seperti masuk ke dalam rumah yang sedang terbakar dan dipaksa menghirup kepulan asap yang sangat banyak. Napasku sangat sesak sebelum akhirnya dapat stabil kembali.

"Kenapa ... kenapa cuma aku yang tersiksa?!" protesku yang melihat Will baik-baik saja. Aku terbatuk sambil berlutut seperti orang yang mau muntah.

Will menggosok-gosok punggungku. "Itu karena aku sudah sering keluar-masuk tempat seperti ini," jawabnya enteng seperti orang yang sudah biasa jajan di warung tanpa bilang terlebih dahulu.

Aku mendecih iri karena Will yang sudah biasa itu. Dengan menumpu pada tubuh Will, aku berdiri. Susah payah aku membiasakan diri dengan keadaan yang seperti hutan terbakar. Asap di mana-mana. Abu pembakaran melayang-layang. Debu beterbangan.

Teritori yang kami masuki seperti desa abad pertengahan yang hancur karena serangan naga. Rumah-rumah batu hancur lebur. Atap-atap jerami hitam. Kayu-kayu bangunan menjadi arang. Mayat-mayat bergelimpangan. Darah amis menguar. Reptil bersayap terbang hilir-mudik sambil menembakkan api. Kalau benar naga itu adalah Nitemare-nya, aku sama sekali tidak bisa menebak manifestasi dari jenis mimpi buruk apa ini.

Aku dan Will bersembunyi terlebih dahulu dari Nitemare naga yang terbang melintas. Dari balik tembok bekas rumah yang kini tingginya hanya sebatas pinggang kalau aku berdiri, kami mengamati sekitar.

"Kenapa kita malah sembunyi seperti ini?" tanyaku tidak seperti biasanya yang langsung menyerang.

"Ada orang lain selain kita di teritori ini," jawab Will waspada.

"Bagaimana kau tahu?" Kulihat sekeliling, tetapi hanya ada naga dan binatang-binatang aneh lainnya.

"Sinyal," sahut cowok itu masih melihat ke balik tembok persembunyian. "Seharusnya kau juga bisa merasakan saat ada kesadaran asing yang bukan berasal dari teritori yang bersangkutan."

Aku menutup mata dan mencoba merasakan apa pun itu yang disebut sebagai kesadaran asing. Namun, kemampuan cupuku sebagai Oneironaut masih kentara dibanding pengalaman milik Will. Hal yang kurasakan hanyalah sesosok besar mendekat kemudian mendarat dengan keras di depanku dan Will.

"Menghindar!" seru Will sambil melompat. Aku berguling cepat. Seekor makhluk hibrida meraung keras sampai aku harus menutup kuping.

Berkepala singa dengan surai lebat, bertubuh kambing, berekor ular, dan bersayap kelelawar—Chimaera. Makhluk itu menggeram memperlihatkan gigi geligi yang tajam sebelum menembakkan bola-bola api dari mulut singanya.

Aku membuat tameng dari tanah yang menghalau semua tembakan api yang datang. Beberapa kali tamengku hancur sampai akhirnya Will menerjang dengan tombak terhunus. Dari sela-sela lubang perisai tanah, kulihat cowok itu beberapa kali berputar berusaha menyayat si monster hibrid sambil sesekali menghindari cairan hijau serupa asam yang ditembakkan dari ekor ular dan dapat melelehkan tanah.

Aku keluar dari persembunyian dan membantu Will menghadapi si Chimaera. Bergantian bola api keluar dari mulut singa dan cairan asam dari ekor ular. Aku berguling ke kanan ketika satu serangan cakar menghantam. Will mengoyak ke atas membuat wajah singa makhluk itu berdarah banyak. Auman menggelegar membuat Chimaera itu menjadi lebih buas.

Makhluk hibrida itu mengambil ancang-ancang seperti kucing yang akan melompat. Pantat kambingnya bergoyang sebelum akhirnya sayap kelelawar makhluk itu mengepak dan memberikan gaya dorong yang lebih cepat saat menyerang kami. Aku dan Will langsung menghindar ketika kaki depan singa menghunuskan cakar-cakar tajamnya.

Trang!

Kedua pedangku dan cakar depan si Chimaera beradu. Aku bertahan mati-matian menghadapi gigi-gigi tajam yang siap mengoyakku kapan saja. Will maju menolong dan langsung disambut oleh cairan asam yang keluar dari ekor ular.

"Akh!" Will menjerit ketika cairan asam Chimaera tidak sengaja mengenai lengannya. Asap keluar dari luka bakarnya yang berwarna merah.

"W-Will!"

Aku melompat balik ketika satu cakar lain si Chimaera menyerang. Will menerjang ketika makhluk itu lengah. Dia melecut cepat lantas memotong ekor ular si makhluk hibrida. Suara raungan menyahut diiringi mata nyalang si Chimaera. Makhluk itu mengincar Will dengan membabi buta.

Aku menerjang dari belakang ketika si Nitemare hibrida sedang sibuk bermain dengan Will. Sahabatku yang sedang menahan gigitan makhluk itu dengan tombak yang disilangkan tampak kewalahan. Dengan cepat aku menebas sayap kelelawarnya sehingga makhluk itu tidak bisa terbang lagi.

"Gah!"

Will berteriak kesakitan saat cakar makhluk itu berhasil mengenai dadanya. Si Chimaera langsung beralih padaku selepas melukai Will. Dengan mulut penuh dengan air liur yang menetes-netes, makhluk itu berlari seperti anjing gila ke arahku. Aku menyiagakan senjata. Dengan satu hantaman cepat, pedang dan gigi-gigi si Nitemare beradu.

Kaki sebagai tumpuan, aku berusaha menyerang dari bawah dengan menunduk terlebih dahulu lantas melemparkan makhluk itu yang masih menggigit pedangku. Sekuat tenaga kuempaskan si Chimaera. Aku langsung menerjang makhluk itu sebelum bisa menyentuh tanah, Will mengikuti. Kuserang dari sisi kiri, Will menyerang dari kanan. Seperti telah direncanakan padahal tidak, kami menyerang bersamaan.

Darah terciprat ke segala arah bersamaan dengan lolongan si Chimaera yang perlahan memudar. Makhluk itu menggelepar seperti ikan yang keluar dari air sebelum akhirnya menghilang menjadi asap.

Aku menghampiri Will yang tengah menumpu pada tombaknya. Napasnya seperti orang kelelahan meskipun perlahan mulai stabil. "Kau tidak apa-apa, Will?" tanyaku seraya melihat bekas luka di dadanya yang kini telah menghilang.

Will mengangguk perlahan. "Tidak apa-apa," jawabnya sambil berdiri lantas melihat sekeliling. Aku mengikuti arah pandangnya.

Teritori yang kami masuki masih kacau. Naga-naga terbang masih menembakkan api. Makhluk-makhluk mitologi lain seperti grifin—elang bertubuh singa—mencabik-cabik mangsanya, anjing berkepala tiga menggigiti orang yang ditemuinya. Raungan dan jeritan bersahutan.

"Ini sangat konyol," gumamku. Will melihatku bingung dengan satu alis terangkat. "Dilihat dari mana pun ini bunga tidur biasa. Bukan mimpi buruk."

"Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?" sahut Will seolah tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

"Ya, lihat saja," tunjukku ke depan, ke arah makhluk-makhluk mitos yang sedang mengamuk. "Ketakutan macam apa yang dapat menyebabkan mimpi buruk jenis ini? Ini bisa saja mimpi biasa yang tidak perlu kita urusi seperti katamu."

"Sekonyol apa pun ketakutan seseorang, kau tidak bisa meremehkannya, Sa. Teritori ini jelas sedang diserang. Tapi, kita tidak boleh gegabah karena seperti kataku tadi, ada Oneironaut lain di sini."

"Oneironaut lain—"

Seekor grifin raksasa tiba-tiba muncul di depan kami sambil meraung. Aku langsung jatuh terduduk karena kaget dan terlalu syok untuk melawan saat paruh hewan raksasa itu membuka dan siap melahapku. Tepat sejengkal mulut makhluk itu dari kepalaku, sebuah senjata tajam berhasil memenggal kepala si grifin dan membuatnya sempoyongan sebelum akhirnya ambruk kemudian menghilang.

Aku refleks melihat ke arah Will yang ada di belakangku. Cowok itu masih diam terpaku melihat pemandangan yang sama denganku. Artinya itu bukan Will.

"Halo, Anak-anak. Kalian tidak apa-apa?" Seorang laki-laki tinggi besar dengan berewok di wajah menyapa kami. Dia tersenyum simpul sambil mengambil senjatanya yang tertancap di tanah.

Oneironaut lain!

"Ha ... halo," sapaku balik. Aku berusaha berdiri agar tidak terlihat bodoh karena dari tadi duduk bengong dengan mulut terbuka. Will menyusul dan berdiri di sampingku.

"Sedang apa kalian di sini?" tanya pria yang kutaksir berumur 20-an akhir. Dia mencabut pedang besarnya lantas menaruhnya di bahu.

"Kami sedang menuju Kehampaan," sahut Will mewakili karena aku sedang sibuk memperhatikan pria yang mengajak obrol kami. "Kesadaran orang yang kami cari menunjukkan kami harus lewat sini. Ya, kan, Sa?"

"Iya," jawabku lemah.

Tinggi, besar, seperti tentara adalah kesan pertamaku ketika melihat pria itu. Kaus hitam dibalut dengan jaket jenis bomber, syal yang melingkar di leher, celana kargo panjang dan sepatu tinggi bertali membuatnya terlihat gagah.

"Sa?" panggil Will seraya menjentikkan jari di depan wajahku.

"Ya?" Aku menyahut.

Suara ledakan di kejauhan menyadarkan kami kalau keadaan masih belum baik-baik saja. Pria itu mengajak kami untuk membantunya membasmi Nitemare yang ada. Sebagai gantinya, dia akan memberikan informasi apa saja yang diketahuinya karena ternyata pria itu termasuk Oneironaut senior dibandingkan aku ... dan Will mungkin.

"Aku Al," kata pria itu memperkenalkan diri sambil tersenyum. Dia lantas menerjang berbagai makhluk-makhluk aneh dengan cepat.

Pedang besar Kak Al menebas dengan gesit. Setiap makhluk yang menghalangi dia sikat sampai kami hanya disisakan keroco-keroco tak berarti.

Dari desa abad pertengahan, kami bergerak melewati hutan gelap yang penuh serigala bermata merah dengan jumlah kepala dan ekor yang beragam. Suara lolongan bersahutan memanggil makhluk-makhluk sejenis berdatangan. Kami bertiga berhenti karena terkepung. Dari balik gelapnya hutan dengan batang-batang pohon kayu yang sebagian daunnya telah meranggas, sekumpulan mata merah menatap intens. Geraman menyusul diiringi derap lari ketika auman kencang bagai sinyal menyerang dilantunkan.

Di antara pepohonan yang cukup rapat, sulit bagi kami—terutama aku—untuk mengimbangi pergerakan para Nitemare serigala yang terus menyerang. Dengan memakai pohon sebagai pijakan, aku menyerang dari atas, melompat dari ranting yang cukup lentur sebagai lecutan, lantas berputar bagai pisau pemotong rumput mengoyak semua makhluk-makhluk itu menjadi asap.

Will mengenyahkan pohon-pohon yang menghalangi dengan mengeluarkan pilar-pilar batu runcing sekaligus melukai para Nitemare yang menghalangi jalurnya. Sementara itu, Kak Al membakar pepohonan agar pergerakannya lebih leluasa. Dengan lincah mereka menebas, memotong, mengiris, mengoyak para serigala jadi-jadian itu. Secepat para serigala datang, secepat itu pula mereka lenyap. Hutan gelap di sekeliling kami dipenuhi asap-asap yang berasal dari Nitemare yang kami kalahkan.

"Ayo!" ajak Kak Al seraya berlari kembali.

"Kita sebenarnya mau ke mana?" tanyaku sangat penasaran. Kami bergerak dari hutan gelap menuju padang rumput dengan bulan yang terang benderang menghias.

"Echidna," jawab Kak Al tanpa menengok padaku dan Will yang ada di belakangnya.

"Echidna?" ulangku memastikan.

"Ya. Echidna," timpal Kak Al lagi seolah itu adalah pengetahuan umum. "Induk dari semua monster. Makhluk-makhluk yang kita hadapi di sini berasal darinya. Dengan kata lain, Echidna adalah sumber masalahnya."

"Bunuh Echidna masalah selesai?" simpulku.

"Kurang lebih."

Tidak ada percakapan lagi.

Di kejauhan di atas bukit, tampak siluet sesosok makhluk menyerupai manusia dengan banyak tangan dan tubuh bawah memanjang. Di sekitar makhluk itu, berbagai macam monster mengelilingi. Mulai dari naga, grifin, Chimaera, serigala berbagai macam kepala, dan lain sebagainya. Semua monster itu tampak sedang menjaga sang majikan yang sedang menari meliuk-liuk di bawah sinar rembulan.

Dari balik pepohonan yang masih tersisa, kami bersembunyi mengamati keadaan.

"Bisa kalian alihkan perhatian makhluk-makhluk itu?" tanya Kak Al dengan entengnya, mengingat Nitemare yang harus kami hadapi berjumlah puluhan. "Aku akan melawan Big Boss saat ada kesempatan."

Aku menelan ludah ragu, sedangkan Will mengangguk mengiakan. "Kau serius?" Aku memastikan.

"Tidak ada gunanya juga kita mundur. Lagi pula, membunuh Nitemare sumber bukan tugas utama kita sekarang," sahut Will.

Aku menghela napas panjang, menguatkan tekad. "Oke," ucapku pada akhirnya.

Aku dan Will keluar dari persembunyian. Dengan cepat aku menebas dengan dua pedang. Aku berputar, mengelak, berguling menghindari serangan yang ada. Aku bertahan dengan dua pedang tersilang ketika seekor serigala berkepala dua seukuran banteng menyerang. Matanya nyalang sambil memperlihatkan gigi geligi yang tajam.

Aku menunduk ketika satu tangan lainnya siap menebasku dari samping. Dengan kaki sebagai pegas, aku menyeruduk wajah makhluk itu sampai si Nitemare serigala tersaruk mundur. Kutendang perutnya sekuat tenaga sebelum aku memenggal kepalanya yang berjumlah dua.

Will terlihat kewalahan saat melawan Nitemare berbentuk ular bersayap. Monster itu melilit Will sampai dia tidak bisa bergerak. Wajahnya membiru kehabisan napas. Aku segera menolongnya mengabaikan cakaran-cakaran dari grifin atau gigitan dari serigala berkepala dua. Semua kutendang dan kutahan agar aku bisa segera mencapai Will.

Aku berguling mengelak ketika Nitemare yang melilit Will menyerangku dengan asap hitam yang keluar dari mulutnya. Sambil bertahan menggunakan pedang yang diputar seperti baling-baling kipas, aku memotong-motong makhluk itu dengan cepat. Tak kuhiraukan cakaran di bahu, lengan, ataupun tubuhku karena sekarang prioritasku adalah Will.

Dengan cepat kulepas lilitan si monster ular dari Will. Cowok itu terbatuk mengambil udara sebanyak yang dia bisa. Setelah lumayan stabil, Will dan aku kembali membuka jalan agar Kak Al dapat menghabisi Echidna secepatnya.

Kak Al akhirnya ikut membantu menghabisi keroco-keroco yang ada sebelum menghadapi Big Boss. Setelah dirasa cukup melawan bawahannya, kami bertiga pergi menuju bukit tempat Echidna berada

Dikenal sebagai Ibu Para Monster dalam mitologi Iyonnan, Echidna memiliki tubuh seorang perempuan muda dengan bagian bawah ular berwarna hijau dengan sisik berkilauan ketika terkena cahaya bulan. Bertangan enam dengan kuku-kuku tajam, berambut ular dan memiliki wajah yang bengis.

Kami semua sempat terpaku ketika Echidna tersenyum ke arah kami, menampakkan gigi geligi tajam yang berkilauan. Matanya yang berwarna merah memperlihatkan dendam, kebencian, dan amarah. Ketika makhluk itu menjerit diiringi kedua tangan teratasnya terangkat seperti akan memegang bulan sepenuhnya, sementara kedua tangan tengahnya terentang seperti menyambut, dan dua sisanya tertaut di bawah perut, kami tahu akan ada hal besar yang bakal terjadi.

Sebentar lagi, sesuatu yang mengerikan akan terjadi.

~~oOo~~

A/N

Update lagi \('-')/

***

Diterbitkan: 29/05/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro