Kesadaran 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sangat yakin kalau sekarang kami sedang berada di perbatasan. Ada kawasan memanjang yang kosong, hanya tanah kering berbatu yang ada. Dari kiri ke kananku, tidak ada apa-apa. Semua bersih, dari Nitemare sekalipun. Dan di depan sana, kawasan gelap yang tidak terlihat ujungnya.

Aku menelan ludah melihatnya. Tempat penuh keputusasaan, depresi, dan keinginan untuk mati. Hanya Oneironaut yang dapat masuk dan keluar hidup-hidup. Hanya mereka yang telah mengalahkan rasa takutnya sendiri yang dapat bertahan.

Will memegang bahuku, menguatkan. Luka-lukanya sudah sembuh. Dia lantas berdiri dan menyuruhku ke arah tempat kesadaran Kak Danny.

"Tinggal selangkah lagi," ucapnya menyemangatiku. Aku mengangguk sambil tersenyum. Memiliki Will di sampingku merupakan sebuah anugerah yang benar-benar harus kujaga.

"Terima kasih, Will, sudah mau menemaniku sampai sejauh ini."

Will tersenyum simpul. "Itu gunanya sahabat."

Tanpa basa-basi lebih panjang lagi, aku mencari lagi kesadaran Kak Danny. Sinyal Kakak sangat kuat dari arah sebelah kiri. Aku langsung mengejarnya.

Aku dan Will terhenti tepat saat kami akan melewati perbatasan antara Unrealm dan sekarang aku yakin bahwa itu Kehampaan. Sebuah dinding hitam menghalangi kami melewatinya. Saat kuperhatikan lebih jauh, ternyata itu bukan dinding, melainkan seonggok Nitemare yang menghalangi. Dengan mata merah dia melihat kami dengan bengis. Dengan tubuh besar bulat bertentakel banyak dia mendorong kami menjauh.

Aku dan Will berusaha melewatinya, tetapi makhluk itu berusaha menghalangi kami melangkah lebih jauh. Nitemare itu seperti penjaga yang tidak membiarkan apa pun masuk ke dalam teritorinya.

"Aku tidak tahu Kehampaan memiliki penjaga," ujarku seraya mundur ke titik aman.

"Oh, maaf, aku lupa mengatakannya," timpal Will yang seketika itu juga membuatku terbengong.

"Kau pernah ke sini sebelumnya?" sahutku tak percaya. Will hanya mengedikkan bahunya tak acuh.

Aku maju menerjang, tetapi tentakel makhluk itu langsung mengempaskanku dengan cepat. Tentakel-tentakelnya yang banyak menyulitkan pergerakanku. Namun, aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku menyerang lagi. Dengan pedang terhunus, kupotong tentakel-tentakel bayangan yang menghalangi.

Sia-sia. Semua tentakel yang kupotong dengan cepat beregenerasi. Di tengah radius serangannya, Nitemare itu berhasil mencengkeramku. Sesak. Napasku tercekat. Aku tidak bisa bernapas. Dibenturkannya aku berkali-kali ke tanah sebelum akhirnya aku dilemparkan dengan kasar.

"Akh!"

"Asa!"

Will menghampiri dan langsung membawaku ke tempat yang lebih aman. Jauh dari jarak serangan Nitemare itu. Sambil menahan nyeri, aku berusaha bangkit kembali. Akan tetapi, Will mencegahku.

"Kita tidak boleh gegabah, Sa." Will memperingati.

"Kita sudah sejauh ini. Kakakku ada di dalam sana. Aku harus segera menyelamatkannya."

Dengan menumpu pada kedua pedang, aku berdiri. Anehnya, rasa sakit yang diakibatkan Nitemare itu tidak langsung hilang. Tertatih aku kembali ke medan tempur.

"Asa!" Will kembali mencegah. "Kita harus memikirkan strategi matang-matang. Kita tidak boleh langsung menyerang begitu saja seperti biasanya!"

"Kita sudah sangat dekat, Will!"

"Berhentilah bersikap keras kepala, Sa!"

Namun, aku tidak menggubrisnya. Aku lekas kembali ke hadapan Si Penjaga. Mata merah nyalang makhluk itu kembali melihatku tidak suka. Dengan menggunakan kekuatan imaji, kumunculkan pilar tanah sebagai tempatku melecut cepat. Kutebas semua tentakel yang menghalangi. Di antara tentakel yang menyerang, kujadikan sebagiannya sebagai pijakan.

Aku sudah tidak bisa berpikir jernih. Amarah menguasaiku. Kumunculkan pilar-pilar batu runcing dan rantai-rantai yang dapat menghentikan semua pergerakan si Nitemare penjaga. Will meneriakiku untuk mundur dan menghentikan semua yang sedang kulakukan.

Maaf, Will. Tapi, aku sudah dekat. Tidak bisa mundur lagi.

Dengan menggunakan pilar sebagai pijakan, aku memotong-motong tentakel yang menyerang. Tanpa berpikir panjang, aku memunculkan berbagai senjata tajam; tombak, pedang, panah. Semua itu kuarahkan kepada Si Penjaga. Namun, dengan mudahnya semua senjata itu dipantulkan kembali. Aku menghindari setiap benda-benda yang mengarah padaku itu.

"Asa, awas!" peringat Will.

Namun, semuanya terlambat. Rantai-rantai yang kubayangkan lepas. Pilar-pilar batu hancur. Tentakel Si Penjaga mengamuk, menggeliat lebih dari sebelumnya. Aku terpelanting beberapa kali. Terkena rantai, tertimpa bebatuan, terpecut tentakel.

Will datang cepat sebelum hujan tentakel berhasil menghancurkanku berkeping-keping. Tanah yang kami pijak sebelumnya hancur oleh makhluk itu. Will merangkulku sambil terus menghindar.

"Asa, kau bodoh!" hardik Will. Baru pertama aku mendengar Will mengataiku begitu kasarnya. Aku hanya bisa menunduk sambil terus menahan sakit.

Serangan Si Penjaga semakin intens. Kali ini makhluk itu tidak hanya berniat menghalangi kami, tetapi juga menyingkirkan kami dari sini. Padahal kami sudah berada di jarak aman, tetapi makhluk itu tetap mengejar kami. Beberapa kali Will terluka karena terkena serangannya, sementara aku terus dilindungi oleh cowok itu.

"Will ...."

"Aku tidak apa-apa."

Dia terus mengatakan tidak apa-apa, sampai satu momen membuat semua menjadi apa-apa.

Will sepertinya sudah mulai kelelahan. Gerakannya menjadi lambat. Serangan tentakel sudah tidak bisa dibendungnya, sampai suatu ketika, sebuah tentakel yang sedang menyerang mengenainya.

Aku syok. Kejadian itu terlalu cepat. Will tertusuk di dada; tepat di depan mataku. Darah terciprat ke mana-mana. Matanya melihat kosong. Sesaat kemudian, dia menghilang, terpecah menjadi cahaya.

"Will ...."

Aku tidak bisa menahan diri lagi. Adrenalin memuncak. Semua rasa sakit seolah sirna. Kuacungkan kedua pedang ke arah makhluk itu. Aku bersumpah akan melenyapkannya malam ini juga.

Aku menghindari setiap tentakel yang menyerang. Bertahan dengan dua pedang disilangkan ketika terdesak, menghunus ketika kesempatan datang. Dengan gerak memutar kupotong tentakel-tentakel itu. Satu per satu menghilang menjadi asap atau kabut.

Tentakel-tentakel yang tumbuh keluar lebih banyak dua kali lipat dari tempat aku memotong mereka. Benda-benda itu mengerubungi seperti ingin melahapku. Aku melompat menghindar. Memotongnya saat ada kesempatan, dan ketika aku akan menancapkan kedua pedangku di mata makhluk itu yang besar, aku tidak jatuh.

Ada sesuatu yang menahanku. Sesuatu yang masuk ke dalam tubuhku.

Tajam.

Mengoyak dari dalam.

Rasanya perih.

Sakit. Sangat.

Aku muntah tanpa aku sadari.

Darah. Pekat.

Dengan satu ayunan keras, makhluk itu melemparkan tubuhku dengan kasar.

"Aaakh!!!" Aku mendarat tepat di atas batu. Untuk sesaat kudengar suara "krak" dari punggung.

Kuraba perut yang mulai terasa sangat sakit; amat sangat. Darah merah pekat berbau amis membanjiri tanganku yang gemetar. Aku berusaha berdiri, tetapi rasa sakit ini terlalu nyata. Kalau ini realitas nyata, aku pasti sudah mati, apalagi Will. Will ... Will!!

Aku bangkit berdiri. Kutopang tubuh dengan dua pedang. Nitemare yang kuhadapi sepertinya benar-benar ingin melenyapkanku dari alam ini. Satu tentakelnya menyerang dengan cepat. Aku terlambat menghindar. Tentakel itu berhasil menggenggamku. Erat, seperti ingin meremukkanku menjadi kepingan-kepingan. Napasku sesak. Aku tidak bisa bernapas. Udara seolah keluar dari paru-paru dan tidak dapat masuk lagi.

"Akh ..."

Aku megap-megap, seperti ikan yang keluar dari air. Sangat sakit, sampai di satu titik aku tidak bisa merasakan tubuhku lagi.

...

Mataku terbelalak lebar. Keringat dingin membanjiri. Napasku satu-satu. Aku berusaha duduk, tetapi rasa sakit dari Unrealm telah sampai ke realitas dan membuatku meringkuk menahan sakit yang mendera. Tidak ada darah di perut, tetapi rasanya sangat sakit. Tanpa tedeng aling-aling, aku muntah darah. Banyak. Seperti anak gadis yang baru datang bulan (jangan tanya dari mana aku bisa tahu).

Aku terengah-engah sampai setengah jam.

Aku jadi teringat Will. Aku yang hanya mendapat luka di perut saja bisa sampai seperti ini, bagaimana dengan Will? Apa dia baik-baik saja? Aku jadi khawatir.

Aku lekas mencari ponsel. Kupanggil Will di nomor darurat yang pertama. Kutunggu beberapa detik. Hanya ada suara "tuuut ... tuuut" yang terus menerus. Tidak ada jawaban.

Sial. Bagaimana ini?

"Will ...."

Perutku rasanya mual lagi. Aku lekas ke kamar mandi. Muntah. Darah lagi. Tubuhku sangat lemas sampai ingin pingsan. Namun, tidak bisa. Aku masih sadar. Sesadar-sadarnya. Aku hanya bisa terkulai lemas di kamar mandi tanpa ada yang bisa menolong. Sial.

"W ... Will ...."

Aku terengah tanpa tenaga di kamar mandi. Waktu sudah menjelang fajar ketika tenagaku mulai kembali pulih. Aku memaksakan diri untuk setidaknya minum agar tenagaku bisa kembali pulih sedikit. Terseok-seok aku pergi ke dapur sambil memegangi perut. Tanganku bahkan gemetar saat memegang gelas dan hampir saja menjatuhkannya kalau aku tidak sigap menaruhnya kembali ke meja.

Aku duduk sambil menempelkan pipi ke meja. "Haruskah aku ke sekolah hari ini?"

Will. Bagaimana keadaannya? Aku harus tahu. Tidak ada cara lain. Aku harus ke rumahnya atau ke sekolah agar tahu keadaannya. Tapi, kalau pergi ke rumahnya bakal membuat mama Will curiga. "Kenapa aku tidak sekolah?"

Ah, rumit.

...

"William absen. Dia masuk rumah sakit pagi ini."

Aku terkejut dengan kabar yang diberikan guru mata pelajaran pertama. Katanya, mama Will menghubungi sekolah dan mengabari kalau Will muntah darah dan kejang-kejang saat bangun. Aku langsung merasa bersalah saat itu juga. Aku tidak bisa fokus sepanjang sisa pelajaran. Mati-matian aku bersikap biasa, tetapi sepertinya tidak berhasil.

Di istirahat pertama, Luca menghampiriku. "Kau kenapa?" tanyanya lebih seperti menginterogasi.

Keningku mengerut, berusaha bersikap biasa. "Kenapa?" tanyaku balik.

"Wajahmu pucat. Tidak fokus selama pelajaran. Melihat terus ke arah bangku Will. Ada noda merah di bibirmu—"

Aku lekas menyusut bibir dengan punggung tangan. Merah. Bekas darah. Ah, sial.

"Aku tidak apa-apa," sahutku cepat. Sebelum Luca bicara lagi, aku lekas meninggalkannya ke kamar mandi. Aku berusaha membersihkan diri agar tidak ada lagi kecurigaan seperti Luca.

Sisa hari itu kuhabiskan dengan mengabaikan semua pertanyaan yang datang menanyai keanehanku. Kalaupun aku harus menjawab semua itu, aku hanya menanggapinya dengan, "Aku baik-baik saja." Lantas aku menghubungi ponsel Will yang diangkat oleh mamanya.

"Willy sekarang sedang ada di Rumah Sakit Kota Xentharia. Lantai dua, gedung B, paviliun Lotus nomor satu."

"Saya akan segera ke sana." Sambungan kututup, aku lekas pergi ke sana. Sekalian menjenguk Kak Danny.

Di sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku tidak bisa berhenti mencemaskan keadaan Will. Aku tidak bisa membayangkannya. Baik-baik sajakah dia? Seberapa parah sakitnya?

Semua pertanyaan itu terjawab ketika aku memasuki kamar yang terdiri dari enam kasur yang berjajar tiga saling berhadapan. Mama Will ada di bed nomor tiga di ujung dekat balkon bersama Will yang sedang berbaring dengan tangan diinfus dan selang oksigen di hidungnya.

Aku hampir menangis melihat keadaan Will. Bagaimanapun juga, semua itu salahku. Dengan langkah gontai, aku menghampirinya.

"Mama," panggilku ragu. "Bagaimana keadaan Will?"

Mama Will tersenyum paksa. "Dia baik-baik saja."

Aku duduk di samping mama Will. Kugenggam tangan Will yang tidak tertancap selang infus. Dengan harapan dia segera sadar, aku tidak melepaskannya.

"Nak Asa sudah makan? Kamu kelihatan pucat?" Mama Will bertanya khawatir. Aku mengangguk lemah. Beliau hanya tersenyum simpul.

"Kenapa Will?" tanyaku memecah keheningan.

"Mama juga tidak tahu. Will bangun tidur dengan kejang-kejang sambil muntah darah. Seingat mama, Will tidak punya riwayat penyakit berat. Dokter juga bilang tidak ada luka serius. Tapi, mama tetap saja khawatir."

Dalam genggamanku, tangan Will menggeliat. Dia mengerang sebelum akhirnya membuka mata. "Mama? Asa?"

"Will!" Aku senang bukan main.

Mama Will memeluk anaknya sebelum akhirnya keluar untuk memanggil dokter. Aku tidak bisa menahan gejolak emosi. Refleks aku memeluk Will sambil menangis.

"Maafkan aku ... Will ... gara-gara aku ...."

Will balas memeluk lantas menepuk punggungku dua kali. "Sudahlah, Sa," balas Will dengan suara lemah. "Malu dilihat dokter."

Aku lekas melepas pelukan sembari mengusap air mata yang sempat mengalir. Dokter datang bersama mama Will dan langsung melakukan pemeriksaan.

"Aku ... aku akan menjenguk Kak Danny dulu ya, Will. Aku akan segera kembali."

Menghindari kecanggungan, aku memutuskan untuk ke kamar Kak Danny di gedung sebelah seperti rencana awalku. Lagi pula, aku seperti sudah lama tidak menjenguknya.

Butuh waktu setidaknya lima menit untuk sampai di kamar Kak Danny. Di dalam sana, hanya ada kakakku dan seorang suster yang sedang melakukan pemeriksaan rutin. Aku menghampirinya dan langsung bertanya.

"Bagaimana keadaan kakakku, Sus?" tanyaku sambil duduk di kursi yang tersedia di sebelah kasur.

Suster yang sedang memegang tablet di dadanya itu tersenyum. "Stabil. Tapi, kita masih belum tahu dia akan sadar. Aku akan memberikan kalian waktu." Suster itu kemudian melenggang meninggalkanku dan Kak Danny berdua.

Aku menggenggam tangan Kak Danny. "Maaf, Kak. Kami belum bisa menyelamatkan Kakak. Tapi, aku pasti akan segera melakukannya."

Setelah monolog panjang lebar tentang perjalananku di mimpi, aku kembali ke kamar Will dan mendapati cowok itu sedang makan. Tidak ada mamanya.

"Sedang ke toilet," kata Will menjawab pertanyaanku.

"Sepertinya aku akan ke Kehampaan sendirian sekarang," ucapku seraya menunduk, masih merasa bersalah karena salahku Will jadi seperti ini.

Will menandaskan kunyahannya. "Kita akan bersama ke sana."

"Tapi, kau masih sakit—"

"Aku sudah tidak apa-apa, Sa. Kata dokter sebuah keajaiban aku sembuh total hanya dalam beberapa jam. Mereka tidak tahu saja apa yang terjadi."

"Tapi—"

"Aku sudah bisa pulang besok. Lagi pula, aku tidak bisa membiarkanmu gegabah seperti tadi malam."

"Will—"

"Sa." Ada ketegasan dalam nada bicaranya. "Si Penjaga Kehampaan bukan Nitemare biasa. Kau tidak bisa menghadapinya sendirian. Senang atau tidak, aku bisa menemukanmu di mana pun ketika kau sudah berada di Unrealm."

Aku semakin merasa bersalah. Namun, satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah berterima kasih sedalam-dalamnya pada Will. Meskipun dia sedang dalam keadaan sakit, Will masih tetap mau membantuku.

"Aku ... aku sangat bersyukur punya sahabat sepertimu."

~~oOo~~

A/N

Hari terakhir \('-')/

***

Diterbitkan: 31/05/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro