Kesadaran 19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ingat kata-kataku, Sa. Jangan gegabah!" ujar Will untuk ke sekian kalinya.

"Siap, Bos!" balasku sambil masih tetap waspada.

Ketika kami melewati jarak aman, Si Penjaga menyeruak mengadang. Aku dan Will menghindari setiap tentakel yang menyerang. Lompat mengelak sambil memotong salah satu tentakel. Lari menghindar seraya menebas lecutan-lecutan yang menyerang. Berguling menjauhi serangan yang datang. Semua itu dilakukan sampai kami menemukan waktu yang tepat untuk menyerang balik.

"Sa! Alihkan perhatiannya!" pinta Will. Cowok itu mengelak tentakel-tentakel yang menghunjam tanah.

Apa yang harus kulakukan?

Aku melemparkan kerikil yang dapat kutemukan ke arah mata besar makhluk itu. "Hei, makhluk jelek! Sini kejar aku!" seruku sambil melambai-lambai.

Mata nyalang Si Penjaga melihatku intens. Makhluk itu pun mengganti sasaran. Aku.

Will memanfaatkan situasi lengah Si Penjaga untuk mundur terlebih dahulu. Sementara itu, aku mulai berlari menghindar. Tentakel-tentakel menyerang secara bergantian. Meluncur ke kiri. Melecut ke kanan. Aku melompat-lompat mengelak sambil sesekali menyerang balik walaupun hasilnya malah membuat bayangan-bayangan itu bertambah banyak.

"Will! Cepat lakukan rencanamu!" teriakku panik.

Salah satu tentakel berhasil mencengkeram kaki, melemparkanku, lantas menangkapku lagi hanya untuk dibenturkan berkali-kali. Pusing berkunang-kunang, sakit menusuk, sesak napas, mual. Semua kurasakan seperti telah naik wahana vertigo yang melempar-lemparkanmu lantas dipukul bertubi-tubi setelah turun.

Tentakel itu mencengkeramku kuat seperti terakhir sebelum aku sadar dengan muntah darah. Tulang-tulangku serasa remuk. Napas sesak. Tenaga seolah terkuras. Cengkeraman itu melemah seiring tubuhku yang ambruk. Will menangkapku sebelum aku membentur tanah. Kami menjauh dari jarak serangan Si Penjaga.

Will menyentuh pelipisku yang agak nyut-nyutan. "Darah ...." Dapat kudengar dia berkata lirih.

Aku melihat cowok itu yang berjumlah dua. kugapai-gapai wajahnya, tetapi dia seolah jauh. Tanganku tremor. Will menangkapnya sebelum terkulai.

"Will?"

"Tenang, Sa, tenang. Aku di sini. Aku di sini."

Setelah beberapa lama beristirahat, aku mulai bisa menstabilkan diri. Darah di kepala sudah kering. Tenagaku telah pulih. Hanya ada satu Will di depanku.

"Strategi berubah. Kita akan menyerang bersama," ujar Will sambil melihat bergantian antara aku dan Si Penjaga. Tatapannya lantas mengunci kepadaku. "Kau siap?"

Aku mengangguk. "Siap."

Kami berdiri, menyiagakan senjata. Si Penjaga kembali menyerang ketika kami sudah dekat dan jauh dari jarak aman. Tentakel-tentakel bayangannya menghunus bertubi-tubi. Aku mengelak, berlari di atasnya seraya terus mendekati kepala makhluk itu. Pijakanku bergetar seiring tentakel yang bergerak dan melecut-lecut membuatku harus menancapkan pedang untuk bertahan agar aku tidak terempas.

Jauh di sana, Will melompat-lompat menghindari setiap tentakel yang menghunus. Cowok itu menebas, meluncur di atas bayangan-bayangan berujung panjang, melecut ke arah kepala Si Penjaga. Aku menarik pedang yang tertancap. Di antara tentakel yang bagaikan gelombang, aku berlari. Kutebas setiap tentakel tajam yang mengadang. Dengan salah satu tentakel yang bergerak ke atas, aku melecut.

Bugh!

Satu tentakel berhasil mengenaiku. Aku melesat cepat. Jatuh. Berguling-guling. Batu besar mencegahku dari terperosok ke jurang perbatasan antara Kehampaan dan Alam Imaji. Kurasakan ngilu menjalar di seluruh tubuh. Tulang punggungku terasa sangat sakit. Tangan dan kakiku kebas. Kelumpuhan menggerayangiku untuk sesaat.

"Aw ...."

Will masih menghadapi Si Penjaga mati-matian. Dia terlempar berkali-kali, tetapi langsung bisa menguasai keadaan dan langsung balik menyerang. Cowok itu bergerak lincah di antara tentakel yang menari-nari. Sesekali mengikuti alur gerak mereka, lantas menerjang cepat.

Rasa sakit di tubuhku mulai berkurang. Jari-jariku sedikit demi sedikit dapat digerakkan. Perlahan aku bangkit. Aku mengepalkan tangan. Bisa. Kugelengkan kepala. Bisa. Tekuk Kaki. Bisa. Aku berdiri. Bisa.

Ok, saatnya menyusul Will.

Saat pertama, kakiku terseok. Di saat selanjutnya, aku bisa berjalan normal. Pada akhirnya, aku berlari ke arah Si Penjaga sambil menghunuskan kedua pedang. Aku melecut menggunakan pilar batu bagai peluru. Kubuat pijakan-pijakan sampai aku lebih dekat dengan makhluk itu.

"Will!"

Cowok itu mendelik sesaat saat kupanggil, lantas kembali fokus pada lawan di depannya. Aku membantunya menebas tentakel-tentakel yang menggeliat bagai cacing kepanasan. Di antara aksi menghindar dan memotong, Will mengatakan untuk memprioritaskan memenggal kepala makhluk itu. Aku menurutinya. Kami berdua bergantian saling melindungi dan menyerang. Will fokus mengoyak tentakel-tentakel yang datang dari depan, aku menebas sisanya dari belakang.

Berubahnya fokus kami membuat kemajuan yang cukup pesat. Kami semakin dekat. Tentakel-tentakel menyerang bertubi-tubi, aku menghalau semuanya. Will di belakangku sudah siap dengan serangan pamungkas. Ketika celah terbuka, cowok itu membuat bahuku sebagai pijakan, dia melompat, lantas menerjang mata besar Si Penjaga.

"Hyaaaah!!!"

Tombak besar Will menghunjam tepat di tengah mata makhluk itu. Si Penjaga bergerak tak keruan membuat pijakanku goyah. Will terus mengiris mata Si Penjaga sampai membuat luka menganga yang lebar. Aku melompat, menghunus, membantu Will mengoyak kepala Nitemare itu.

Jeritan dan pekikan yang membuat telinga pedih bergema di dalam kepalaku. Rasanya seperti mau pecah. Namun, aku tidak bisa membiarkan hal itu menghambatku mengalahkan Si Penjaga. Kusayat terus kepalanya sampai asap pekat keluar memenuhi tubuh makhluk itu.

Will tidak berhenti sampai di sana. Dia terus menghunjamkan tombaknya berkali-kali seperti orang kesurupan. Cowok itu baru berhenti ketika suara lengkingan bergema diiringi ledakan yang membuat kami terempas sampai memasuki jarak aman.

Aku terbatuk karena asap pekat yang berasal dari sisa-sisa Si Penjaga. Ya, kami berhasil mengalahkannya. Akhirnya. Akan tetapi, ini baru permulaan.

Tidak jauh dari tempat jatuhku, Will meringkuk. Aku menghampirinya. Dia bernapas satu-satu. Dada cowok itu naik-turun berusaha menstabilkan napas. Aku membantunya duduk. Setelah beberapa saat, dia mulai bisa mengambil udara dengan normal.

"Terima kasih, Sa ...."

"Kau yang menghabisi makhluk itu. Aku yang seharusnya berterima kasih."

Duduk bersisian sambil menatap Kehampaan. Aku dan Will berkutat dengan pemikiran masing-masing selama—mungkin—lima menit. Aku tidak tahu. Kami tidak berbicara sampai akhirnya dia buka suara dahulu.

"Ayo," ajak Will. "Tinggal selangkah lagi."

Aku berdiri, masih menatap Kehampaan. Kugenggam kedua pedang dengan erat. Akan kuhadapi apa pun yang berada di balik tirai gelap itu. Demi Kak Danny.

"Ayo."

Melewati sisa-sisa Si Penjaga yang berupa asap berdenyut-denyut, kami masuk ke dalam Kehampaan. Dingin. Sepi. Terisolasi. Tanpa kehidupan. Tak berdaya. Semua kurasakan sekaligus bagai badai yang menerpa tanpa jeda. Gelap. Tanpa cahaya. Tak terlihat apa-apa.

Tubuhku bergetar. Lemas. Dalam keremangan, Will memegangi bahuku, menguatkan. "Tinggal sedikit lagi," katanya. Dia lantas memunculkan bola cahaya putih yang menerangi kami. Samar-samar Will tersenyum. Hal itu membuatku tenang karena tahu masih ada seseorang yang ada di sampingku di saat-saat gelap.

Aku membalas senyumannya seraya mengangguk. "Benar."

Kami menyusuri Kehampaan. Seperti namanya, hampa. Tidak ada apa-apa di sini. Pijakan kami berupa ... lantai hitam? Entahlah, aku tidak yakin. Rasanya seperti tegel keramik, keras, agak licin seperti baru saja dipel. Aku berusaha mendeteksi kesadaran Kak Danny. Sinyalnya lebih kuat di sini, tetapi jarak pandang yang terbatas membuatku sulit bergerak dan menentukan arah.

"Kak Danny!!!" Aku berusaha memanggilnya berharap ada respons, tetapi tidak ada yang terjadi. "Kakak!!!"

"Asa ...."

Samar-samar dapat kudengar seseorang memanggil.

"Kak Danny!"

Seperti ada di hadapan, aku lekas menghampirinya. Lingkungan yang gelap dan hanya bermodalkan secercah cahaya tidak membuatku berhenti untuk berlari. Tidak adanya halangan membuatku dengan mudah bergerak ke sana-kemari.

"Kak Danny!!!"

Rasanya seperti berlari di gurun yang luas tanpa tahu ujungnya di mana. Namun, aku terus melangkah tanpa peduli rasa lelah yang mulai menggerayangi. Sesekali aku berhenti dan celingukan untuk memastikan arah kesadaran Kak Danny, lalu kembali berlari karena kurasakan Kakak memanggil-manggil setelah kuteriakkan namanya. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku dan Will melangkah. Kalaupun kami berputar-putar, hal itu tidak kami rasakan. Aku baru bisa berhenti saat kulihat samar-samar sebuah sangkar raksasa berwarna perak berukuran besar seperti penjara dengan orang di dalamnya.

Kesadaran Kak Danny jelas berasal dari sana. Dengan cepat aku mendekat. Orang itu, Kak Danny, duduk bersila dengan kepala tertunduk seperti orang yang depresi. Saat aku memanggilnya, dia mendongak.

"Asa?"

"Kak Danny!"

"Asa!"

Kak Danny menggenggam sangkar yang menghalanginya, tetapi langsung terpental seperti tersetrum. Kilat-kilat listrik sesekali terlihat, mencegah orang di dalamnya menyentuh apalagi keluar.

Aku langsung menebas sangkar itu dengan dua pedang. Kak Danny mundur dan berlindung meringkuk. Namun, kerusakan yang kubuat dapat diperbaiki, seolah sangkar raksasa itu makhluk hidup yang dapat beregenerasi sendiri. Di tengah frustrasiku untuk menyelamatkan Kak Danny tetapi tidak bisa karena hanya terhalang sangkar semata, Will menepuk bahuku.

"Sa," panggilnya. Aku menoleh. "Ada masalah."

Kehampaan yang berwarna hitam dipenuhi oleh mata-mata merah yang melihat kami intens. Bagai dalam ruangan berbentuk bulat, dari atas sampai bawah, depan-belakang, kiri-kanan, semua penuh. Sesekali mata itu berkedip memberikan kesan bahwa mereka memang benar-benar hidup.

Aku menelan ludah. "Apa Unrealm punya cara unik untuk bercanda?"

"Awas!"

Will mendorongku sampai jatuh terjerembap menghindari serangan bayangan berupa tentakel berujung runcing yang berasal dari dinding Kehampaan. Belum sempat aku menguasai keadaan, serangan-serangan lain bersahut-sahutan. Aku berguling, melompat, sesekali memotongnya.

"Sa! Cepat bebaskan kakakmu!" titah Will. Tanpa disuruh pun aku akan melakukannya.

Will menebas semua tentakel yang menghalangi, membuka jalan untukku kembali ke sangkar yang mengurung Kak Danny. Aku kembali merusak sekuat tenaga sangkar itu. Will sesekali terdorong ke arahku karena hantaman, membuat kerusakan yang kubuat dapat kembali pulih.

"Maaf. Tetap fokus pada tugasmu," kata Will sambil membantuku berdiri seraya memotong tentakel yang menyerang.

Aku sigap menebas tentakel yang datang dari belakang Will lantas kembali ke fokus utama. Dengan energi yang lebih banyak kusalurkan ke kedua pedang, kutebas penjara itu seperti orang kesetanan. Tanpa memedulikan goresan-goresan yang sesekali menyerang, sedikit demi sedikit aku berhasil membuat celah.

"Kau belum selesai, Sa?" tanya Will setengah berteriak di antara aksi menebas dan melindungiku.

"Sedikit lagi ...."

Aku tidak bisa membuat celah lebih besar lagi dibanding yang bisa dilewati Kak Danny saat ini. Jadi, saat ada kesempatan, aku mengulurkan tangan ke dalam sangkar, menahan lecutan listrik yang mengenaiku dan menyambut tangan Kak Danny lantas menariknya keluar dalam satu gerakan cepat. Kakak mengerang karena tubuhnya terkena sisi-sisi sangkar, tersetrum di beberapa bagian, kemudian jatuh berdebum bersamaku seraya menindih Will.

Will sendiri langsung sigap berdiri. "Halo, Kak Danny. Aku Will, teman Asa. Sebaiknya kita pergi dari sini selama masih ada kesempatan," katanya panjang lebar sambil mengulurkan tangan.

Ada alasan kenapa dia bisa "setenang" itu. Tentakel-tentakel tajam berhenti sesaat Kak Danny keluar dari sangkar. Mereka—mata merah yang menyebar di dinding—berkumpul di satu titik di belakang sangkar. Bagai keluar dari dinding. Satu per satu bagian tubuh mewujud. Tangan besar bercakar pedang. Kaki buncit berjari dua. kepala besar tanpa leher. Mulut menganga di perut. Mata-mata merah memenuhi tubuhnya dari bawah sampai atas.

"Lari! Apa yang kalian tunggu?! Menunggu makhluk itu mewujud sempurna agar bisa dideskripsikan?!" Will berteriak histeris sambil menarik-narik lenganku dan Kak Danny. Aku tidak menggubrisnya sampai getaran dari kaki makhluk itu membuyarkan lamunanku.

Aku menarik Kak Danny yang masih terpaku. Will menarik tangan yang satunya. Kami bertiga lari menyelamatkan diri, entah ke mana. Namun, langkah seribu kami terhenti oleh serangan jarum-jarum hitam yang melesat kencang.

"Cari jalan keluar! Aku akan menghambatnya." Will berbalik dan menyiagakan tombaknya.

"Tapi—"

"Cepat pergi! Aku bisa jaga diri!"

Ragu, aku menarik lengan Kak Danny. Kufokuskan pikiran untuk mencari jalan keluar. Teritoriku sendiri. Di belakang sana, teriakan dan hantaman saling bersahutan. Getaran sesekali menghambat langkahku dan Kak Danny.

Baru beberapa langkah, aku dan Kak Danny sudah berhenti kembali karena Will tiba-tiba terlempar tepat ke depan kami dengan luka-luka yang memprihatinkan. Aku segera mendekat dan menolongnya, tetapi Will menolak.

"Cepat ... pergi. Jangan ... hiraukan ... aku," Will berbisik dengan mulut yang robek. Darah di kepalanya membuatku ragu untuk bergerak.

"Tidak—"

"Akh—Asa!"

Aku refleks berbalik ke belakang. Kak Danny ditarik paksa oleh bayangan yang menjerat kakinya. Aku buru-buru menyusul meninggalkan Will yang berusaha untuk bangkit sendiri.

"Lepaskan kakakku!"

Aku menggenggam tangan Kak Danny sebelum bisa ditarik lebih jauh. Sekuat tenaga aku menahannya. Namun, aku tidak cukup kuat. Bayangan itu terus menarik kaki Kak Danny. Aku hampir kehilangan Kakak untuk kedua kali kalau saja Will tidak datang tepat waktu. Cowok itu menerjang, memotong bayangan itu, lantas membawa kami menjauh.

Di tengah keremangan, Will menuntun kami sambil terus menghindari ancaman yang mengikuti di belakang. Dia melesat sangat cepat. Beberapa kali aku hampir kehilangan jejaknya. Genggaman tanganku pada Kak Danny tidak kulepas sampai akhirnya kami menemukan secercah cahaya di kejauhan.

"Sedikit lagi," kata Will menyemangati.

Tanpa menghiraukan serangan-serangan berupa jarum-jarum tajam yang melesat atau lecutan-lecutan bayangan yang hampir mencengkeram, kami terus menuju cahaya itu. Sedikit lagi. Sedikit lagi ....

Aku, Will, dan Kak Danny jatuh terjerembap tepat di perbatasan. Batas Kehampaan berdenyar sejenak kemudian kembali tenang. Kami semua terengah. Aku tidak bisa membendung emosi. Saat itu juga, kupeluk Kak Danny yang masih terbaring menstabilkan diri. Aku tidak peduli pendapat Will yang melihatku seperti bayi besar. Aku sangat senang.

"Kak ... Kak Danny ...." Sebisa mungkin kutahan air mata, tetapi mereka tetap bisa kabur.

"Asa ...." Kak Danny balas memelukku.

~~oOo~~

A/N

Hore \('-')/

***

Diterbitkan: 11/06/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro