Kesadaran 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah tiga hari terhitung dari Kak Danny tersadar. Awalnya tidak ada yang aneh, tetapi baru kusadari kalau ternyata ada yang berbeda dari gerak-gerik kakakku sejak keluar dari rumah sakit.

Kak Danny jadi tidak banyak bicara. Aku kira itu karena dia masih lemah untuk berinteraksi dan meladeniku. Namun, cara pandang Kakak ketika melihatku pun terasa berubah. Mata hijau Kak Danny seperti tanpa kehidupan. Keceriaan yang senantiasa terpancar dari sana seolah hilang. Puncaknya, saat aku akan berangkat ke sekolah, Kak Danny menatapku seperti seekor Nitemare yang melihat mangsanya dengan penuh kebencian.

Aku bahkan pergi terburu-buru tanpa memeluknya seperti yang biasa kulakukan selama dua hari belakangan. Dia seperti bukan kakakku. Dia lebih mirip Nitemare Kak Danny yang pernah kuhadapi. Namun, itu tidak mungkin. Tidak mungkin mimpi burukku bisa jadi nyata. Tidak mungkin ....

Sesampainya di sekolah, aku langsung menghampiri Will yang tengah duduk sambil menempelkan kepalanya ke meja seperti orang frustrasi. Aku lekas mengambil tempat di depannya.

"Will," panggilku dengan suara gemetar.

Will dengan lemah mendongak. Kantung matanya yang hitam menyapaku.

"E ... eh, Will! Kau kenapa?"

"Hai, Asa ...," sapanya lemas. Kepalanya terkulai seperti tidak ada tenaga untuk menyangganya. "Aku kurang tidur. Dua hari ini aku tidur tidak lebih dari tiga jam."

"Kau mau cerita?" tawarku.

Dia menggeleng pelan. "Biarkan aku tidur sebentar ...."

Aku menuruti kemauan cowok itu. Kutinggalkan kesadarannya memasuki Unrealm, sementara aku kembali ke bangku dan merenungi apa yang terjadi pada Kak Danny.

Kak Danny .... Apa itu pengaruh dia terjebak di Kehampaan? Sebelumnya Kakak tidak pernah seperti itu. Dia orang yang ceria. Orang yang ramah. Kenapa tiba-tiba dia berubah? Apa ada Nitemare yang memengaruhinya? Namun, bagaimana mungkin? Apa yang seperti itu memang bisa? Aaah, membingungkan!

"Sa! Asa!" Seseorang memanggilku. Wajah kekhawatirannya terpampang nyata. "Kau kenapa? Kalau kau ada masalah tinggal cerita, tidak perlu menarik-narik rambut dan teriak seperti orang stres."

Itu Luca. Dia duduk di depanku dengan tangan di punggung kursi. Keningnya mengerut.

"Sa?"

"Eh?" Aku melihat sekeliling dan mendapati tidak hanya Luca yang melihatku bingung, tetapi juga teman-teman lain yang sudah datang. Kulihat kembali Luca yang masih menatapku dengan jidat keriput. "Aku tidak apa-apa," yakinku.

"Sungguh?"

"Sungguh!" kataku sedikit keras. "Kau memang tidak ada kegiatan lain selain menggangguku, ya?"

Luca tersentak. Wajahnya seperti orang yang baru menerima penolakan. Dia menunduk sebentar sebelum akhirnya bangkit. "Maaf. Aku hanya khawatir."

Melihat Luca yang kembali ke tempat duduknya dengan lunglai, aku jadi sedikit kasihan. Sepertinya aku terlalu keras dan agak kasar. Apa mungkin karena aku overthinking? Ah, tapi Luca juga menyebalkan. Di mimpinya dia sangat tidak suka pada Will. Mana mungkin aku bisa melupakan keinginan terpendamnya untuk menghajar Will sampai babak belur. Apa setelah ini aku masih bisa berteman dengannya baik-baik, ya?

Sepanjang pelajaran, aku sulit fokus. Pikiran-pikiran buruk terus berdatangan. Untungnya tidak ada hal memalukan yang tidak sengaja kulakukan. Menarik rambut tiba-tiba atau berteriak layaknya orang gila seperti yang dikatakan Luca, misal. Aku baru sadar kembali ketika bel tanda istirahat berbunyi.

"Hei, Sa. Kau mau ke kantin?" ajak Luca. Dia bersama Zach dan Leo menungguku dengan penuh harap. "Aku traktir, deh. Hitung-hitung permintaan maaf karena kau merasa tidak enak tadi."

Aku menatapnya lekat-lekat. Anak itu pasti ada maunya. Sebenarnya aku malas. Aku lebih ingin dengan Will saat ini dan membicarakan masalah Kak Danny.

Kulihat Luca dan Will dari sudut mata secara bergantian. Will sedang tidur. Sepertinya dia belum bisa diganggu. Kenapa waktunya tidak tepat, sih?!

"Okelah," jawabku pada akhirnya. Lagi pula aku bisa menghemat uang kalau Luca benar-benar mentraktirku.

Aku, Luca, Leo, dan Zach akhirnya ke kantin bersama. Gema tidak kuajak. Aku tidak yakin tiga orang lainnya dapat menerima Gema begitu saja. Jadi, di sinilah aku harus terjebak lagi.

Aku sebenarnya tidak masalah berteman dengan mereka. Tidak. Mereka tidak toksik seperti yang dipikir, kecuali Luca—mungkin. Aku tidak yakin dia benar-benar ingin berteman denganku atau karena ingin lebih dekat dengan Kak Danny. Namun, sejauh dia masih baik padaku dan tidak memperlihatkan ciri-ciri memanfaatkan dan membuat rugi, aku tidak masalah. Punya banyak teman lebih baik daripada tidak sama sekali. Kalau kau digunjingkan di antara mereka, ya, itu sudah risiko. Kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Kita bukan alat pemuas—eh, itu ambigu. Intinya begitu.

"Sa?" Luca lagi-lagi membuyarkan pikiranku. "Kau melamun lagi."

"Eh? Benarkah?" Aku melihat mereka satu per satu. Lagi-lagi wajah dengan kening mengerut. "Aku tidak apa-apa. Sungguh," sahutku sambil kembali menekuri dimsum hasil traktiran Luca. Untungnya anak itu menepati janji. Aku jadi bisa sedikit lebih tenang dan tidak emosi lagi kepadanya.

"Sepertinya kau banyak pikiran," Zach menimpali. Tangannya sudah siap dengan sendok penuh makaroni dan keju. "Kau mau cerita?"

"Oh, benar juga. Bagaimana keadaan kakakmu?" tanya Luca setelah menelan hotdog-nya. "Kau belum cerita lagi sejak dia keluar rumah sakit."

Aku terdiam sejenak, memikirkan apakah tidak apa-apa menceritakan tentang Kak Danny yang aneh. Aku tidak yakin mereka familier dengan hal-hal seperti ini.

"Kalian berdua, jangan terlalu menekan Asa." Leo yang sedari tadi diam akhirnya bersuara. Makanannya sudah habis dan hanya menyisakan piring dengan noda lemak. "Dia seperti ini, atau tidak mau cerita apa-apa pasti ada alasannya."

Aku hanya tersenyum sambil berterima kasih padanya.

Bel menyelamatkanku dari keinginan mereka agar aku bercerita. Aku langsung memelesat kembali ke kelas dan mendapati Will masih terduduk dengan kepala ditaruh di meja. Kasihan. Aku tidak yakin kalau dia sempat bangun dan pergi ke kantin untuk makan sesuatu. Mungkin harusnya aku beli camilan untuk Will. Hitung-hitung balas budi karena dia sudah sering membantuku.

Ah, sudahlah. Sebisa mungkin aku memperhatikan pelajaran dengan saksama. Akan tetapi, kekhawatiran atas Kak Danny terus menghantui. Alhasil aku jadi terus memperhatikan Will, sesekali memastikan apa dia sudah bisa diajak mengobrol nanti sepulang sekolah. Untungnya, cowok itu sudah sadar kembali, meskipun lagaknya seperti orang yang malas. Lihat saja, mata sayu yang dikerjap-kerjapkan agar tetap melek, kepala yang ditumpu sebelah tangan, mulut menguap beberapa kali.

Aku yang terus memperhatikan sepertinya telah mengusik Will. Mata hitamnya beralih dari papan tulis kepadaku. Aku tersenyum memberi kode. Namun, dia malah menunjuk-nunjuk dengan dagu ....

"Asa."

Oh, sial ....

Aku buru-buru berbalik ke depan dan mendapati guru Fisika yang mengajar sudah bersedekap di depanku. Mulutnya maju dan matanya melotot tajam. "Sepertinya kamu sudah mengerti penjelasan Bapak. Bisa kamu ulangi lagi? Quantum Entanglement?" tanya Pak Guru membuat kumis tebalnya bergerak-gerak seperti ulat bulu. Kontras dengan kepalanya yang tak berambut. Mengilap. Lucu sih, tetapi ini bukan waktu yang tepat untuk tertawa.

Aku menelan ludah. Gugup.

"Euh ... anu ... itu adalah peristiwa saat dua partikel saling terikat dan memengaruhi satu sama lain?" jawabku. Sebisa mungkin terdengar meyakinkan. Namun, sepertinya hal itu malah membuat Pak Botak ingin mengetesku lebih jauh.

"Terus?" Alis ulat bulu guru di depanku naik satu.

Aku memutar otak. Jawaban apa lagi yang dapat kuberikan? Ah, bodo amat. Aku ingin ini cepat selesai. "Itu disebut juga sebagai santet berbasis sains!" seruku. Jawaban tersebut berhasil membuat Pak Botak menggeleng dan seisi kelas tertawa.

Aku hanya bisa memberikan senyuman terbaikku agar guru Fisika itu tahu kalau aku sudah berusaha keras. Eh, bohong, sih. Akunya saja yang malas berpikir.

Pak Botak menggerak-gerakkan telunjuknya. "Khusus Asa, buat esai minimal lima ratus kata tentang sejarah Quantum Entanglement. Kirim ke surel Bapak sebelum akhir pekan ini berakhir. Kalau tidak, ujianmu nanti soalnya beda sendiri," ancamnya. "Ini peringatan untuk yang lain. Jangan sekali-kali melamun di kelas apa pun!"

"Siap, Pak ...," jawab seisi kelas. Aku ikut menjawab dengan pasrah.

Aaah, kenapa jadinya malah begini, sih?! Sangat tidak adil!

Aku sebisa mungkin fokus di pelajaran-pelajaran berikutnya agar tidak dihukum oleh guru yang lain. Siapa yang tahu, 'kan, meskipun guru itu baik, tetapi bisa saja menghukum kalau mood-nya sedang anjlok?

Untungnya, fokusku membuahkan hasil. Aku dapat bertahan sampai pulang sekolah dan tidak ada kejadian konyol apa pun yang terjadi. Aku jadi bisa langsung mencegah Will pulang dulu tanpa harus terpuruk menahan malu.

"Will!" panggilku menahan anak itu dari kursinya.

Dia duduk kembali sambil memasang wajah jengkel. "Apa?" tanyanya ketus. "Cepat bicara. Aku mau segera tidur."

Will ini ... kenapa dia terdengar menyebalkan seperti dulu? Mungkinkah dia ada masalah? Sepertinya pagi tadi dia biasa-biasa saja. Apa kantuk membuat emosinya tidak stabil, ya? Seperti seseorang yang temperamental saat lapar—Ah, sial! ini bukan waktu yang tepat, ada sesuatu yang lebih mendesak.

"Ini soal Kak Danny," mulaiku. Aku melirihkan suara takut-takut ada yang mendengar dan membuat spekulasi aneh-aneh, meskipun kakakku memang sedang aneh. Aku pun menceritakan semua kejadian yang menimpa Kak Danny tiga hari belakangan.

Will memegang dagunya seperti orang yang sedang berpikir. "Apa mungkin ini ada kaitannya dengan dia yang terjebak di Kehampaan, ya?" gumamnya lebih seperti kepada dirinya sendiri.

"Apa ... apa yang seperti itu bisa terjadi? Apa mungkin Nitemare dari Unrealm bisa masuk ke realitas? Apa kakakku akan berubah jadi Nitemare?! Apa—"

"Asa, tenang!" Will memegang lenganku. "Pikiran burukmu itu bisa memengaruhi Alam Imaji. Kalau kau berpikir seperti itu, bisa saja hal tersebut benar-benar terwujud."

Aku menelan ludah. Mengerikan juga kalau memang iya.

"Lalu, aku harus apa?" tanyaku waswas. Aku sangat takut kalau Kak Danny kenapa-kenapa. Jangan-jangan nanti aku harus bertarung dengan Nitemare mengerikan lainnya lagi? Memikirkannya saja membuatku mual.

"Kita tidak tahu sampai kau mengeceknya sendiri," kata Will sambil menggeleng lalu melihat ke arahku tajam.

"Kita bersama, 'kan?" Aku memastikan karena kata kita dan kau terdengar tidak jelas. Siapa yang melakukan apa? Kami berdua atau ....

"Kau sendiri. Nanti beri tahukan padaku hasilnya."

"Kenapa?!" protesku.

"Ada yang harus kulakukan." Aku baru akan tanya apa itu saat Will melanjutkan, "Kau tidak perlu tahu detailnya."

Aku bungkam. Dasar cenayang.

Will bangkit berdiri sambil mencangklong tasnya di bahu kanan. "Masuk ke teritori kakakmu, periksa apa ada keanehan, lalu laporkan padaku besok," pintanya sambil menunjukku lebih seperti perintah. Dia kemudian memelesat pergi seperti terburu-buru. Batang hidungnya seketika menghilang di balik pintu.

Aku sedikit heran. Will sebenarnya buru-buru karena ingin segera tidur atau kenapa, sih? Cowok itu terlalu berenergi untuk orang yang mengantuk sedari tadi. Apa jangan-jangan dia menyembunyikan sesuatu? Mungkin Will sedang menghadapi situasi yang berbahaya dan tidak ingin aku ikut kena getahnya?

Ah, membingungkan. Mungkin sebaiknya aku segera pulang dan memeriksa teritori Kak Danny saja seperti kata Will.

...

Pulang ke rumah sendiri tidak pernah semenegangkan ini. Hari-hari kemarin aku masih biasa saja, karena Kak Danny belum menunjukkan gelagatnya yang seaneh pagi tadi. Namun hari ini, aku merasa agak takut. Bayang-bayang Kakak yang jadi Nitemare terus menghantuiku dan aku sama sekali tidak ingin melihatnya seperti itu. Kak Danny yang menatapku dengan mata tajam mematikan.

Aku celingak-celinguk ketika membuka pintu sedikit. Masih dengan tubuh di luar dan kepala yang menyembul dari balik pintu, aku memeriksa keadaan. Aman. Kalau dilihat sekilas, aku seperti maling yang memastikan tidak ada orang di rumah, tetapi itu tidak mungkin terjadi. Aku yakin Kak Danny tidak ke mana-mana. Dia hanya tidak terlihat di jangkauan pandangku. Mungkin di kamarnya, atau kamar mandi, atau di dapur. Yang pasti tidak ada di ruang tamu maupun di dekat pintu kamarku.

Aku meneguk ludah. Perlahan aku masuk, sebisa mungkin tanpa suara. "Aku pulang," bisikku. Mau bagaimanapun, salam harus selalu diutamakan.

Dengan mengendap-endap kuperiksa setiap ruangan. Di pemeriksaan pertama, melalui celah ventilasi atas pintu kamar yang dulunya kamar orang tuaku, kutemukan Kak Danny—untung sekali langsung ketemu!—sedang duduk melamun sambil menunduk di sisi ranjang. Kakakku yang ceria pergi entah ke mana.

Dadaku sesak. Semua ini harus segera diselesaikan.

Aku turun dari laci kabinet tempat aku berpijak untuk mengintip. Kumasuki kamar sendiri yang berseberangan dengan kamar Kak Danny. Buru-buru pintu kukunci takut Kak Danny tiba-tiba masuk dan menyerang, meskipun aku tidak yakin Kakak akan seperti itu. Antisipasi saja.

Kak Danny masih terjaga. Sekarang juga belum gelap. Apa yang harus kulakukan sekarang? Menelepon Will? Dia sepertinya sedang tidur siang. Main gim? Sepertinya sudah terlalu sering. Mataku akhir-akhir ini cepat lelah. Mengerjakan PR? Sepertinya tidak ad—Oh, sial. Tugas dari Pak Botak. Esai lima ratus kata. Aku harus segera menyelesaikannya atau nanti keburu lupa. Namun sebelum itu, harus ada yang kulakukan.

Makan siang! Aku sampai lupa dan baru sadar ketika perutku berbunyi. Aku jadi ingat, Kak Danny sudah makan belum, ya? Mungkin sebaiknya sekalian kubuatkan kalau belum.

Aku pergi ke dapur, memeriksa apakah nasi dalam penanak masih ada. Oh, ada. Masih sama seperti saat aku tinggalkan terakhir pagi tadi. Itu artinya Kak Danny belum makan siang. Lebih baik sekalian kubuatkan telur goreng kesukaan kami.

Masak telur. Makan. Kenyang.

Saatnya memanggil Kak Danny untuk makan—tunggu dulu, kalau aku memanggilnya, sia-sia saja aku mengendap-endap sedari tadi! Uh, bagaimana ini? Kalau tidak dipanggil, jahat sekali aku membiarkan kakak sendiri yang sedang sakit kelaparan. Kalau dipanggil, aku takut Kak Danny hilang kendali, walaupun itu masih asumsiku saja. Jadi begini, ya, rasanya bimbang ....

Aku menggeleng. Apa pun pilihannya, aku harus segera memutuskan!

"Kak!" panggilku akhirnya dari balik pintu. "Kak Danny sudah makan belum?" tanyaku retoris setengah berteriak. Namun, tidak ada jawaban. "Kak Danny?" Aku menempelkan kuping di daun pintu berharap ada jawaban. Tetap tidak ada. Apa Kakak sudah tidur, ya? Apa dia baik-baik saja?

Aku kembali memanjat kabinet untuk mengintip. Dari balik celah ventilasi, cahaya lampu kamar menyinari Kak Danny yang sudah berbaring dengan selimut. Oke, ini adalah salah satu keganjilan lainnya yang baru kusadari belakangan: Kak Danny tidur dengan lampu menyala. Biasanya aku dan Kak Danny selalu mematikan lampu kalau mau tidur. Semakin saja aku yakin kalau ada yang tidak beres dengan Kakak. Sepertinya proses realisasi kesadarannya dari Kehampaan tidak berjalan mulus seperti yang kukira.

"Baiklah. Kak Danny sudah tidur. Saatnya memeriksa."

Aku kembali ke kamar setelah membersihkan diri. Berganti pakaian dari seragam sekolah ke baju tidur. Lalu aku baru sadar kalau aku tidak bisa tidur kalau hari belum gelap. Ah, sial! Masa aku harus maraton menonton film atau main pemainan VR dahulu untuk menghabiskan waktu?

Sudahlah.

Setelah menghabiskan waktu menonton tiga film dengan masing-masing durasi satu jam lebih dan menyelesaikan satu dungeon, akhirnya aku sudah merasa mengantuk. Akan tetapi, ada yang aneh ketika aku berbaring. Sepertinya aku melupakan sesuatu. Apa, ya ...? Ah, bodo amat, kalau itu penting aku pasti ingat!

"Bersiaplah, Kak, aku akan menyelamatkanmu sekali lagi!"

~~oOo~~

A/N

Halo, Semua! Saya akhirnya memutuskan untuk menerbitkan 10 bab akhir juga di sini, karena ternyata gak ada yg baca di dua platform sebelah. (Sedih saya tuh :"() Harusnya saya punya massa dulu kalau mau melebarkan sayap jika mau menggantung para pembaca di pf oranye ini. Yah, salah strategi. 

Jadi, inilah dia. 

10 bab akhir ini adalah versi yg telah disunting dan sama dengan yang ada di dua platform sebelumnya, tapi 20 bab awal tidak ada revisi. (Malas saya. //jangan ditiru) Versi revisi penuh ada di Rakata App dan GWP. Jadi, jika ada plothole dan sekiranya detail yang gak nyambung antara 20 bab awal dan 10 bab akhir, mohon maaf.

Sudahi curhatnya, mari nikmati petualangan Asa dan Will kembali!

***

Diterbitkan: 04/02/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro