Kesadaran 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hal yang pertama yang kulakukan ketika sampai adalah mengantar Will ke kamar dan membiarkannya menunggu selagi aku mandi. Setengah jam kemudian, aku mendapatinya sedang rebahan di kasur sambil memainkan ponsel.

Karena tidak mungkin kami ke Unrealm di siang hari sebab tidak akan optimal, kami akhirnya memutuskan untuk meneruskan sinkronisasi agar lebih stabil. Namun, sebelum itu, Will ingin istirahat sebentar, katanya. Jadilah aku bermain game VR sendirian.

Berdiri di atas pod—seperti piringan selebar satu setengah meter dengan tiang penyangga tubuh agar tidak melenceng ke mana-mana—aku memakai rompi khusus yang memiliki sensor agar semua gerakanku dapat terekam saat bermain. Setelah menyambungkan perangkat ke komputer hologram, kupasang perangkat VR di kepala. Game ARPG menjadi pilihan.

Di saat aku sedang menebas beberapa monster menggunakan pedang di sebuah hutan yang gelap, samar-samar kudengar Will memanggil. Kuhentikan sementara permainan dan menyingkap perangkat VR yang bertengger agar aku bisa melihat dan mendengar Will lebih jelas.

"Kau main apa?"

Aku tersenyum antusias. "Lihat ke komputer dan simpulkan sendiri," sahutku sambil menunjuk layar komputer hologram yang sedang menampilkan layar blur karena dihentikan sementara.

Aku melanjutkan permainan. Beberapa kali Will berteriak, "Awas di kiri!" atau, "Itu kananmu!" Hal itu berlangsung selama kurang lebih 45 menit sampai aku menyelesaikan satu dungeon. Will terus berteriak dan bertanya seolah bukan dirinya sendiri.

"Kau mau coba?" tawarku setelah selesai. Will agaknya ragu, tetapi dia tetap mencoba.

Kami main bergantian sampai tidak terasa di luar sudah gelap. Setelah makan malam dengan lauk yang diberikan mama Will dan Will sendiri sudah mandi sore, kami bersiap memasuki tahap akhir sinkronisasi sekaligus awal hubungan kami yang semakin erat.

"Hei, Will," panggilku setelah kami berada di atas kasur masing-masing. Aku di bawah dan Will di bagian atas. "Hubungan apa saja yang dapat membuat koneksi sangat kuat?"

Will tidak langsung menjawab. Ada jeda beberapa saat sampai dia bersuara. "Suami-istri, saudara kandung, sahabat karib, pacar, orang tua dan anak .... Apa lagi, ya?"

"Will?"

"Hm?"

"Kau mau jadi sahabatku tidak?"

Lagi-lagi, Will tidak langsung menjawab. Dia seperti mempertimbangkan apakah aku layak atau tidak.

"Te ... tentu." Dia aneh. "Sampai jumpa di Unrealm, Sa."

Setelahnya, tidak ada lagi suara dari Will selain embusan napas dan gesekan tubuhnya dengan kasur.

Aku memejamkan mata, menyusulnya ke alam mimpi. Gelap kelopak mata cepat berganti menjadi pemandangan bentangan alam dengan siluet pegunungan di ujung cakrawala. Ada danau berwarna biru di depanku dan pohon-pohon cemara yang berjajar di sekelilingnya. Rumput-rumput tinggi menari tertiup angin. Embusannya membawa terbang kelopak-kelopak warna-warni dari taman bunga di belakangku.

Di mana aku? Ini bukan tempat biasa aku mulai.

Di tepi danau, seseorang sedang duduk. Aku mendekatinya agar bisa lihat lebih jelas. Will tengah duduk dengan posisi bermeditasi. Kedua tangannya disimpan di atas lutut.

Aku mengambil tempat di sampingnya, memperhatikan cowok itu yang sedang terpejam dengan napas panjang satu-satu.

"Um, Will?" panggilku.

Orang yang kupanggil membuka mata. "Hai, Sa," sahutnya. Dia tersenyum sekilas lantas memandang lurus ke arah danau.

"Di mana ini?" tanyaku seraya mengikuti tatapan mata Will.

"Teritori mimpiku. Kita berada di tempatku biasa memulai."

"Tapi, katanya aku belum bisa melompat antar mimpi?"

"Memang. Secara teknis ini juga masih teritori mimpimu, Sa." Will menunjuk ke belakang. "Padang rumput di sana, itu teritori mimpimu. Danau di sini, ini milikku."

"Bagaimana bisa?"

"Sinkronisasi," jawab Will ringan. "Teritori mimpi kita tumpang-tindih. Ini juga karena kita tidur di ruangan yang sama."

Aku hanya mengangguk sambil ber-oh ria.

Will lalu berdiri. "Ayo. Kita bersinkronisasi bukan agar bisa jalan-jalan berdua di mimpi," ujarnya.

Kami pergi ke tempat biasa aku memulai. Padang rumput hijau berbunga dengan barisan pepohonan di kejauhan.

"Kau siap, Sa?" tanya Will. Aku menelan ludah. Tidak yakin dengan apa yang akan datang. Terakhir aku terlalu percaya diri malah berakhir penolakan.

"Siap—eh, tapi aku lupa cara memanggil Somnium ...."

"Kau memang tidak bisa diandalkan."

"Hei!" Aku memprotes.

Will kemudian menarik napas panjang seperti orang yang akan berteriak. Tangannya diletakkan di depan mulut seperti corong. "Wahai Somnium sang Entitas Mimpi! Mewujudlah dalam imaji yang tak bertepi! Datanglah kemari! Kami butuh bantuanmu juga saat ini!"

Pantas saja aku lupa. Kalimat-kalimat itu terlalu panjang untuk diingat. Lebih baik pakai caraku sebelumnya walaupun dengan risiko disentil Mimpi sampai jidat berasap.

Setelah Will mengatakan itu, cahaya-cahaya bintang di atas kami terbang ke bawah seperti ribuan kunang-kunang yang bermigrasi. Mereka berputar meliuk-liuk seperti seekor ular naga yang menari di atas langit; meregang, memadat, sampai akhirnya cahaya itu membentuk sebuah figur.

"Halo, William, Asa," sapa Somnium dengan lembut seperti desiran angin. Suaranya rendah dan dalam. "Ada keperluan apa?"

"Somnium, aku sudah membawakan seseorang untuk meyakinkanmu bahwa aku layak menjadi seorang Oneironaut." Aku melihat pada Will sebagai kode agar dia mulai bicara. Kupicingkan mata sambil mengangkat jempol. Aku mengandalkanmu.

Orang di sampingku menghela napas pelan kemudian berdeham seperti seorang pejabat mengetes suara sebelum memberikan pidato.

"Mimpi." Will memulai. "Keadaan Asa mendesak. Kakaknya hampir mati di Kehampaan. Hanya dia yang bisa menyelamatkannya. Bisakah kau pertimbangkan permohonannya?"

"Dia belum layak." Somnium berucap dingin. Lagi-lagi penolakan.

"Tapi—" Tangan Will terangkat di depan wajahku.

"Dia sudah bisa bersinkronisasi denganku." Cowok itu tersenyum singkat padaku lantas kembali melihat pada Mimpi. "Tekadnya kuat. Bukankah itu suatu tanda bahwa dia memang layak untuk mendapatkan kesempatan?"

Somnium hanya melayang. Dengan wajah datarnya—secara harfiah karena dia benar-benar hanya memiliki mata saja—aku tidak bisa memperkirakan apa pun yang sedang dia pikirkan. Saat dia terbang mengelilingiku seperti sebelumnya dan penolakan yang kudapat, aku menelan ludah gugup.

"Baiklah," jawabnya yang membuatku senang seketika. "Tapi ada syaratnya. Kau harus bisa mengalahkan mimpi burukmu sendiri sebelum bisa membasmi mimpi buruk orang lain."

"Akan kulakukan!" Kutepuk dada dengan keras sebagai tanda tekadku yang bulat.

"Menjadi seorang Oneironaut bukanlah suatu hal yang mudah. Ada harga yang harus dibayar untuk sebuah kekuatan yang dapat membengkokkan realitas."

Membengkokkan realitas ....

"Apa itu?" tanyaku, takut kalau itu adalah nyawa. Aku belum siap kalau itu, tapi nyawa kakakku sama berharganya.

"Kebebasan." Keningku mengerut. Melihatku yang kebingungan, Somnium berkata lagi. "Seorang Oneironaut harus merelakan kebebasan mereka saat tertidur. Tidak bisa lagi menjelajahi mimpi seperti yang mereka inginkan. Ada kalanya sakit, baik fisik maupun mental karena berhadapan dengan Nitemare. Terus bertarung melawan mimpi buruk agar mimpi orang lain terjaga tetap indah. Apa kau siap dengan semua itu, Asa?"

Aku tertunduk. Will tidak pernah mengatakan itu sebelumnya. Kenapa pula Somnium baru bilang semua hal tersebut? Aku menggeleng cepat. Sudah terlambat untuk mundur. Lagi pula, semua ini kulakukan untuk Kak Danny. Kalau bukan aku, tidak akan ada lagi yang bisa. Hanya satu yang membuatku mengganjal.

"Apa maksudnya dapat membengkokkan realitas?"

"Unrealm dan realitas saling terkait. Realitas memengaruhi Unrealm, begitu juga sebaliknya. Semua yang terjadi di alam nyata dapat termanifestasi ulang di alam mimpi. Akan tetapi, hanya Oneironaut yang dapat memanifestasikan mimpi ke realitas. Mereka dapat menginterupsi mimpi orang dengan kekuatan yang dimiliki dan membuat orang tersebut melakukan apa yang disuruh seolah mimpi itu adalah wahyu. Namun, tentu saja aku tidak asal memberikan kekuatan tersebut pada sembarang orang."

Aku mencerna semua informasi itu. "Okey, aku ... siap." Aku melihat lurus ke arah wajah porselen bak boneka milik Somnium.

"Sekarang adalah waktunya untuk mundur." Somnium memberi saran.

"Kau sudah melihat tekadku ...." Kutekankan sekali lagi kalau aku tidak akan mundur.

"Baiklah. Hadapi mimpi burukmu."

Somnium mengangkat kedua tangannya ke udara. Lingkaran hitam seperti gumpalan awan yang berpusar berputar seperti tornado kecil muncul di atas kepalanya. Dari sana keluar sesosok pria yang terlempar dan jatuh berdebum ke tanah. Dia meringis, lantas berdiri menghadap Mimpi.

"Hei! Kenapa aku dilempar ke sini?!" pekik pria itu. Aku seperti mengenal suara ini. Tidak mungkin ....

"Kak Danny?" tanyaku sambil menghampiri sosok itu perlahan.

Si pria berbalik, menunjukkan sosok kakakku yang selama ini sudah kukenal sangat baik. Perban melingkar seperti saat dia berada di rumah sakit, tetapi tertutup kaus singlet hitam dan celana panjang berwarna senada yang sering dipakainya saat di rumah.

"Wah, wah. Lihat siapa ini?" tanya Kak Danny retoris. "Untuk apa aku dipanggil ke sini Mimpi? Untuk berhadapan dengan bocah ini lagi? Bocah menjengkelkan manja yang selalu menjadi beban hidupku!"

"Kak ...?" Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Kak Danny jadi seperti ini? "Kakak kenapa? Ini aku. Asa." Aku mulai takut. Langkahku mulai mundur.

Kak Danny berderap maju. "Kau pikir aku bodoh, Bocah?! Setelah Ibu dan Ayah tiada kau jadi beban bagiku! Selalu minta ini-itu tanpa memikirkanku yang lelah bekerja!"

Apa ... apa ... kenapa ... ini?

Kak Danny semakin dekat. Lengan kekarnya mencengkeram leherku sampai aku tidak bisa bernapas. Kakiku bahkan sudah tidak menapak tanah. "K ... kak ...."

"Aku sangat membencimu, Sa." Kak Danny berbisik lirih di telingaku. "Amat. Sangat. Benci." Air mataku meleleh.

Dengan satu empasan, Kak Danny melemparku. Tubuhku terpelanting jauh sampai aku berguling-guling. Kurasakan sakit di sekujur badan. Tulang-tulangku bergemeretak.

"Asa!" Kudengar teriakan Will di kejauhan. Namun, dia tidak berbuat apa-apa. Somnium menahannya.

Kak Danny yang lemah lembut dan selalu tersenyum menjadi ganas dan menyerangku tanpa belas kasihan. Kenapa? Apa salahku? Apa semua yang dikatakannya benar? Aku ini beban? Kenapa?

Sosok Kakakku kembali mendekat. Sekarang, dia mewujud seperti mimpi burukku saat di rumah sakit. Tubuh hitam dengan lengan setajam pedang. Mulut di perut dan lima mata di wajah. Makhluk itu berderap maju dengan kaki serupa kaki serigala dengan cepat. Aku terlalu syok untuk menghindar sampai sebuah bilah menghentikan sosok itu mencabikku dalam jarak sejengkal.

Tombak Will menembus dada makhluk itu. Sosok hitamnya meluruh dan kembali menjadi Kak Danny sebelum berubah. Darah membanjiri rumput hijau di bawahnya. Sosok kakakku megap-megap seperti ikan yang keluar dari air.

"Kak Danny!" pekikku panik.

Will mengoyak tubuh Kak Danny lebih dalam. Tanpa belas kasihan. Pandangan mata Will seakan kosong, seperti membunuh adalah sebuah hobi. Dengan satu entakkan, Kak Danny diam. Tubuhnya terkulai lemas. Sosoknya berubah menjadi asap. Hilang.

Aku jatuh berlutut sambil memegangi kepala, merenungi setiap kata yang Kak Danny lontarkan. "Kak Danny membenciku. Kak Danny membenciku. Kak Danny membenciku. Kak Danny membenciku. Kak Danny membenciku ...." Terus kuulang kalimat itu seperti mantra yang dapat membuat hatiku lebih baik. Namun, tentu saja hal sebaliknya yang terjadi.

Will mendekat. Tangannya menyentuh pundakku yang bergetar. "Asa," panggilnya. Kudongakkan kepala. Mata kami bertemu.

"Kenapa kau melakukan itu?!" pekikku tidak terima atas perlakukannya pada Kak Danny. Will tersentak. Wajahnya yang semula kaget berubah menjadi tidak suka. "Kenapa? Hah?! Kenapa?!"

"Asa, sadar!" Will balas berteriak. Kutepis tangannya yang mengguncang-guncang tubuhku. Cowok itu berdecak. Alisnya menukik turun. "SADAR, ASA!"

Plak!

Will menamparku sampai aku berputar. Wajahku mencium tanah. Ah, petrikor. Hanya saja tanahnya basah karena darah.

"Kenapa semua orang tiba-tiba menyakitiku dalam sekali waktu?!" Aku mencoba bangkit sambil memegang pipi kiri yang terasa sakit. "Aw ...."

Harus kukatakan, Bung. Kalau kau sudah menjadi seorang Lucid Dreamer, batas antara realitas dan imaji menjadi kabur. Rasa sakit akan terasa jelas. Kau tidak akan bisa memastikan ini mimpi atau bukan hanya dengan mencubit diri sendiri. "Apa ini mimpi?" Cubit—aw, sakit! "Tapi aku melihat naga!" Sekali lagi. Cubit—masih sakit! "Tapi aku bisa menembus tembok!" Cubit—Aaa, perih! "Tapi—" Oke, mengerti maksudku, 'kan?

Will mencengkeram kerah jaketku. "Itu semua bukan kakakmu!"

"Bu ... Bukan?" tanyaku memastikan dengan air mata yang masih meleleh.

"Bukan!"

"Lalu ... apa?" Kuseka air mata yang mengalir.

"Nitemare. Manifestasi mimpi buruk dari ketakutan terbesarmu."

"Tapi, aku tidak takut Kak Danny."

"Bukan kakakmu. Tapi kau takut kakakmu mengatakan itu semua. Apa aku benar?"

Kupalingkan kepala, tetapi Will menggenggam wajahku dengan satu tangan hingga aku terpaksa melihat matanya yang berkilat.

"Sekarang, pergi! Hadapi makhluk itu lagi. Jangan sampai aku menyesal telah membuat koneksi denganmu. Kalau kau masih gagal dan membuat koneksi kita terputus, aku tidak mau membantumu sampai kapan pun."

Will pergi menjauh setelah mengentakku cukup keras sampai aku terjerembap, lantas mendekati Mimpi. Aku mengekorinya.

"Sudah kubilang kau belum pantas," kata Somnium ketika aku mendekat.

"A ... aku mohon. Beri aku satu kesempatan lagi," pintaku.

"Hanya satu kesempatan lagi."

Somnium kembali merentangkan kedua lengannya. Makhluk yang sama menyerupai Kak Danny kembali muncul. Seketika ketakutan melihat wajah Kakakku sendiri yang bengis menyeruak. Aku menelan ludah. Tiba-tiba kakiku menjadi lemas lagi.

"Bocah tidak tahu diuntung," kata sosok Kak Danny yang Will sebut sebagai Nitemare milikku.

"Sadar, Asa!" teriak Will. Aku melihat ke arahnya. "Kau bisa! Anggap saja makhluk itu monster di dungeon yang kita hadapi siang tadi!"

Aku menegak ludah. Entah sudah ke berapa kalinya sampai rasanya lidahku sudah kering. Aku bisa! Terus kudengungkan kata-kata itu ke dalam benakku. Aku bisa!

Monster itu menerjang. Kuku-kukunya menghunus ganas. Aku mengelak tepat waktu saat bilah-bilah itu mengoyak tanah. Kurentangkan tangan ke depan, membayangkan pilar-pilar batu tajam mencuat. Ayo, kekuatan imaji!

Stak! Stak! Stak!

Tiga buah pilar berhasil dibuat, tetapi monster itu berhasil mengelak. Makhluk itu menggeram, berteriak, membuat telingaku perih. Tanpa kusadari, aku sudah dikelilingi pilar batu menjulang yang mengurungku perlahan.

Aku memukul-mukul pilar itu sekuat tenaga. Tidak ada yang terjadi. Hanya ada serpihan batu-batu kecil yang berjatuhan. Kubayangkan tinju yang dapat memecah baja sekalipun. Tangan kutarik ke belakang, memberikan tolakan yang sangat kuat. Pilar itu hancur disertai bunyi "Krak!" dan "Bum!" yang keras. Pecahan-pecahannya menyebar. Penjara batu itu runtuh dan kudapati monster itu tengah mengayunkan cakarnya ke arahku.

Aku terlempar (lagi). Dapat kurasakan perih yang menyebar dari rusuk kiriku ke seluruh tubuh. Untungnya ini mimpi. Walaupun aku dapat merasakan sakit, tetapi regenerasi tubuhku terhitung cepat (dan lagi pula, harusnya aku tidak merasakan apa pun!).

Aku lekas berdiri sebelum Nitemare itu bisa sampai dan mencabikku lebih jauh. Monster di dungeon. Kubayangkan pedang yang cukup besar, tajam, tetapi cukup ringan untuk kuayunkan. Pedang itu mewujud tepat saat satu bilah kuku mengarah padaku. Dengan cepat aku menahannya.

Kuku dan pedang saling beradu. Aku mengelak ke kanan, berputar, mengayunkan pedangku dengan cepat. Satu tebasan berhasil mendarat. Nitemare itu menggeram. Kelima matanya fokus padaku. Aku menyiagakan senjata. Kedua tangan memegang erat pedang. Kuda-kuda sekuat mungkin.

Si monster menerjang. Dengan pilar batu yang kubuat sebagai tolakan, aku melompat tinggi. Tepat saat di titik puncak, kubuat pijakan lagi sebagai tolakan kedua untuk melesat ke arah makhluk itu. Satu tebasan lagi berhasil kudaratkan di leher si Nitemare. Asap pekat keluar disertai erangan dari mulutnya yang ada di perut.

Aku jatuh berguling. Kurasakan sesuatu mengalir dari dadaku. Merah pekat, berbau amis. Perih.

"Akh!"

Dalam rasa sakit yang perlahan hilang, kupaksakan tubuh untuk berdiri. Nitemare itu masih menggeram dengan tubuh tanpa kepala. Kuseret pedang lantas melompat dan mengayunkannya dalam satu tebasan. Makhluk tersebut terbelah menjadi dua. Asap pekat mengudara. Bersamaan dengan jerit memekakkan telinga yang perlahan tak terdengar, makhluk itu memudar.

Aku menghela napas. Tidak sia-sia aku main game VR ARPG.

Aku jatuh bertumpu pada pedang di genggaman. Will datang bersamaan dengan Somnium yang melayang. Cowok itu membantuku berdiri. Tangannya merangkul leherku.

Aku berkata lirih, "Terima kasih ...."

"Kau sudah lihat kemampuannya, 'kan, Somnium?"

"Ini hanya permulaan," kata Mimpi. "Namun, meski begitu, kuucapkan selamat terlebih dahulu. Selamat, Asa. Kau telah mendapatkan restuku untuk menjadi seorang Oneironaut."

Tangan Mimpi mengarah pada keningku. Aku memejam karena takut akan mendapat sentilan lain yang dapat membuat dahiku panas. Namun, Somnium menyentuhnya lembut dengan dua jari. Mataku bergetar di dalam rongganya.

Bagai mendapat suntikan hormon kecerdasan, persepsiku terhadap Unrealm berubah. Hamparan galaksi bagaikan kunang-kunang yang awalnya kuanggap hanya hiasan semata ternyata adalah sesuatu yang hidup. Kumpulan kesadaran berbagai macam makhluk tidak hanya manusia. Mereka tumbuh, berkembang, bertaut satu sama lain membentuk sesuatu yang baru.

Aku seperti terhubung dengan semesta. Unrealm bak gerbang dengan alam lain yang tidak kutahu. Saking banyaknya informasi yang masuk, mereka keluar lagi layaknya air banjir yang keluar dari wadah yang sudah penuh, membuatku melupakan hal-hal itu dalam sekejap.

Dalam waktu yang singkat itu, aku kembali, mendapati Will yang melongo khawatir melihatku. Napasku satu-satu seperti orang yang habis lomba lari. Aku bahkan hampir merosot bila Will tidak cepat menahanku.

"Kau masih harus menghadapi ujian akhir sebelum resmi menjadi seorang Oneironaut," kata Somnium menghentikan euforiaku yang bahkan belum dimulai. "Namun, sebelum itu, kau harus melatih kemampuanmu terlebih dahulu. William akan mengajari semua yang dia tahu. Mengerti, Will?"

Cowok di sampingku mendengkus sambil memutar bola mata. "Sudah kuduga," gumam Will.

"William?" ulang Somnium.

"Aku mengerti, Mimpi," jawab Will malas.

"Maaf," gumamku sambil tertunduk.

"Tidak apa-apa," balas Will. Aku mendongak, dia tersenyum.

"Tugasku di sini sudah selesai. Gunakan kekuatan ini dengan bijak."

Somnium memudar menjadi cahaya. Kerlip putih berputar ke angkasa, bergabung bersama galaksi yang bergerak senada.

"Jadi ... mulai sekarang kita akan selalu bersama?" tanyaku canggung sambil melepas rangkulan Will.

"Sepertinya. Lagi pula, orang macam apa yang memutus hubungan saat apa yang dicapainya telah didapat sesaat setelah dia mendeklarasikan kata persahabatan?"

"Ha ha, kau benar." Aku tertawa canggung. "Aku tidak sabar apa saja yang akan kupelajari nanti."

Will tertawa meremehkan seperti biasanya. "Banyak. Kau akan muntah dibuatnya."

Aku belum mulai, tetapi sudah dapat merasakannya.

~~oOo~~

A/N

//Siapin kantung muntah buat Asa.

Bagaimana kesan kalian pada part ini?

Pertanyaan untuk bagian ini: Asa hobi main game, kalau kalian apa?

***

Diterbitkan: 08/05/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro