Kesadaran 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nitemare. Mimpi buruk. Manifestasi dari ketakutan.

Aku bertanya kepada Will, "Kita mau cari di mana?"

"Cari teritori yang berwarna hitam," kata lawan bicaraku sambil memandang sekeliling seperti mencari oase di padang gurun yang gersang.

"Seperti yang itu?" Kutunjuk satu teritori yang cukup jauh di belakang Will. Warna hitamnya yang menari-nari seperti asap di dalam botol tampak mencolok di antara sekumpulan teritori berwarna cerah.

"Oh, itu bagus," timpal Will melihat arah yang kutunjuk.

Aku dan Will memelesat ke arah kubah hitam itu. Saat melewati batas teritori, rasanya seperti masuk ke kepulan asap yang pekat. Untuk beberapa saat, aku tidak bisa melihat apa-apa karena tebalnya asap yang ada. Setelah masuk lebih jauh, barulah aku bisa melihat semua dengan jelas.

"Apa-apaan ini?!" seruku tak percaya dengan apa yang terjadi. Selain kaget sebagai reaksi pertamaku, takut adalah perasaan selanjutnya yang datang.

"Lebih parah dari yang kuduga," kata Will menatap lurus ke arah kepulan asap yang membubung.

Teritori yang kami masuki layaknya kota yang hancur diserang. Bangunan-bangunan runtuh seperti terkena bom. Api menjalar di mana-mana. Teriakan pilu bersahutan. Bau darah menguar. Di antara asap, api, dan bangunan, sesosok makhluk-makhluk hitam bergerak cepat. Mereka mengejar orang-orang dan mencabik-cabiknya seperti anjing memakan buruan. Jeritan kesakitan dan tangis putus asa keluar dari mulut mereka yang tak bernyawa lagi setelahnya.

"Ini mimpi buruk," gumamku.

"Memang," Will menanggapi. "Ayo, Sa," ajaknya. Cowok itu berlari cepat sambil membawa tombak di belakang punggung.

Aku melaju mengikuti Will. Kedua pedang kusiagakan di sisi tubuh. Dengan cepat, kami mendekati makhluk-makhluk hitam yang sedang menyerang itu.

Nitemare yang sedang mencabik mangsanya itu menengok ke arah kami dengan mata nyalang. Tepat saat ia membuka mulut untuk menembakkan sesuatu berwarna merah serupa api dari mulutnya, Will melompat ke depan, mengayunkan tombaknya dengan cepat, memenggal manifestasi mimpi buruk itu menjadi dua. Raungan memekakkan telinga bergaung sebelum akhirnya makhluk itu lenyap menjadi asap.

"Mudah, 'kan?" ujar Will datar sambil mengacungkan satu jempol. Ledakan membentuk asap jamur berwarna oranye kemerahan di belakangnya mengalihkan perhatian kami.

"Benar. Mudah," timpalku ragu seraya menelan ludah. Kami pun bergegas ke sumber ledakan.

Mayat-mayat bergelimpangan. Di antara mereka tidak utuh. Badan tanpa kepala, potongan tangan, organ dalam berceceran. Bau amis darah yang menggenang menusuk hidung sampai aku harus memunculkan masker untuk menghalanginya. Saking tidak tahan sampai mual, rasanya aku ingin muntah saat itu juga.

Bangunan-bangunan roboh di sisi kanan dan kiriku. Debu dan abu pembakaran melayang-layang. Sejauh mata memandang, hanya ada hitam, merah, dan kelabu. Semua itu membuatku sesak, takut. Seolah perasaan putus asa yang ada di teritori ini menyatu denganku. Padahal aku ke sini untuk membuatnya menjadi mimpi indah. Aku adalah asa. Aku adalah Asa.

Seekor Nitemare hitam berbentuk seperti serigala setinggi pohon kelapa dengan mata merah dan kuku tajam mengadang kami. Makhluk itu meraung sampai membuat gendang telingaku rasanya mau pecah.

"Asa!" Will berteriak sambil mengacungkan kedua tangannya ke depan dengan tombak tersilang membentuk sikap bertahan. Wajahnya mengernyit menahan sakit. Telinganya berdarah.

Telingaku berdenging. Di tengah rasa sakit, aku sebisa mungkin bergerak menyerang. Di depan sana, si Nitemare masih mengaum. Tidak ada tanda ia akan berhenti. Namun, sesaat kemudian, bola-bola api muncul dan menghantam tubuh makhluk hitam itu, membungkamnya sesaat. Kulihat Will masih dalam posisinya dengan napas terengah. Dia mengangguk saat pandangan kami bertemu.

Aku lekas menerjang dengan pedang terhunus. Si Nitemare berhasil menahan dengan cakar. Tangan lainnya mengempaskanku dengan keras sampai menghantam tembok.

"Akh ...." Aku meringis. Darah mengucur dari kulitku yang tergores.

"Asa!"

Will melompat menghindar ke dekatku saat Nitemare itu menghantam tanah yang dia pijak sebelumnya. Cowok itu lantas membantuku berdiri.

"Kau payah, Sa," hardiknya.

"Aku tersanjung," balasku.

"Sekarang, kalahkan makhluk itu, aku akan membantu dari belakang."

Aku lekas berdiri. Nitemare yang kami hadapi mulai membuka mulutnya lagi. Sebelum suara lain dapat terdengar dan membuat gendang telingaku pecah, aku menerjang maju.

Nitemare itu mengayun-ayunkan kedua tangan bercakarnya seperti menghalau lalat. Aku melompat-lompat menghindar, memotong jari-jarinya ketika ada kesempatan. Aku menebas cepat, satu jarinya lepas. Suara teriakan mengiringi. Lengan makhluk itu kujadikan pijakan. Cepat, aku melompat ketika tangan yang lain siap mengoyak tubuhku dan—

Stab!

Kedua pedangku mendarat mulus di wajah makhluk itu. Si Nitemare meraung keras seperti dapat memecah langit. Dengan beberapa kali gerakan, kukoyak wajah makhluk itu sampai robek dan membuatnya terbagi dua. Nitemare itu menjadi asap hitam kemudian hilang.

Aku terjatuh dengan punggung terlebih dahulu. Rasanya tulang belakangku bergemeretak saat membentur tanah yang keras. Untuk sesaat aku hanya bisa diam berbaring sampai rasa lelah dan sakit sirna dari tubuhku.

Will datang menghampiri. Kulihat wajahnya terbalik. "Kau bohong akan membantuku," kataku sebal.

"Aku membantu dengan memperhatikanmu," balas Will. Dari keadaan terbalik ini, aku tidak bisa memperkirakan dia sedang tersenyum atau cemberut. "Lagi pula kau berhasil mengalahkannya tanpa bantuanku."

"Ya, terima kasih," balasku ketus. Aku lalu bangkit berdiri karena rasa sakit dan lelah yang ada sudah hilang.

Kami pun melanjutkan perjalanan kembali ke arah sumber dentuman. Beberapa kali kami diadang, tetapi Will dengan sigap membunuh mereka. Sesekali cowok itu memintaku untuk melakukan serangan pamungkas.

Suara tawa nyaring bersahutan ketika kami memasuki area seperti sekolah yang kumuh di antara gedung-gedung pencakar langit yang hampir roboh. Dinding-dindingnya rusak. Retakan di mana-mana. Pagar besi berkarat. Semakin dalam kami bergerak ke arah lapangan tempat biasanya upacara atau olah raga dilaksanakan, semakin terlihat kekacauan yang terjadi.

Tanah lapangan retak. Bangunan hancur dengan kaca pecah. Api berkobar-kobar. Di tengah itu semua, seorang gadis kecil tengah duduk memeluk lutut. Ia dikelilingi makhluk-makhluk hitam seperti manusia yang sedang menari-nari memutarinya. Semua makhluk itu tertawa, menyumpahi gadis yang menangis tersedu-sedu.

"A! ha! ha! ha! ha! Dasar orang miskin!"

"Dasar anak pungut!"

"Orang gilaaa! Orang gilaaa!"

"Pembawa sial! Pembawa sial!"

Semua ejekan-ejekan itu terdengar seperti lagu yang memilukan. Aku tidak tahan lagi. Aku berniat membunuh semua monster itu, tapi belum selangkah kakiku bergerak mereka berhenti. Mata merah makhluk itu menatap kami. Aku terpaku. Lidahku kering. Keringat dingin mengucur dari dahi diiringi seringai dengan gigi-gigi yang semuanya taring terlihat dari mulut makhluk-makhluk itu.

Nitemare-nitemare itu tertawa, tergelak sampai tubuh mereka berguncang seperti sedang menonton badut konyol yang jatuh karena atraksi sulapnya gagal dan membuat semua rahasianya terbongkar. Mereka semua bergerak ke satu titik, merayap satu per satu, menyatu, sampai akhirnya mereka membentuk sebuah figur baru. Sebentuk makhluk yang terbentuk dari kumpulan kepala-kepala serupa manusia dengan mata merah dan gigi-gigi yang runcing. Mereka menggeliat-geliat seperti ingin keluar. Tawa sadis dan umpatan keji keluar dari mulut mereka yang terus terbuka.

Makhluk itu berkaki empat dengan enam lengan. Hitam tubuhnya menyatu dengan suasana di sekitar. Tingginya melebihi gedung dua lantai yang kini sudah ambruk sebagian.

"W-Will .... Ap ... apa itu?" tanyaku gemetar. Dapat kurasakan Will mengalami rasa takut sepertiku meski hanya sedikit.

"Perundungan ...."

Makhluk itu tertawa. Gelombang suaranya lebih kencang dari Nitemare yang kami hadapi sebelumnya.

"ASA GOBLOK!!!"

"WILLIAM TOLOL!!!"

"KALIAN HANYA BEBAN!!!!"

"BEBAN KELUARGA!!!!"

"A! HA! HA! HA! HA! HA!"

Apa-apaan itu?!

"TIDAK ADA YANG MENCINTAI KALIAN!"

"DANNY TIDAK MENYAYANGIMU, ASA!"

"AYAHMU MATI KARENA KESALAHANMU, WILLIAM!"

"KALIAN ANAK-ANAK TIDAK BERGUNA!!!"

"A! HA! HA! HA! HA! HA!"

Will menggeram. Tangannya terkepal keras. Sebelum aku dapat meneriakinya untuk tidak bertindak gegabah, dia menerjang maju. Cowok itu berteriak tidak terima. Tombaknya diayunkan dengan sembarang. Untuk pertama kalinya, aku melihat Will lepas kendali. Tidak seperti dia yang kalem dan penuh perhitungan.

"Diam kau!!!" pekiknya penuh amarah.

Di antara tangan-tangan Nitemare yang menghalau, Will melompat lincah. Tombaknya berhasil memotong satu jari, tetapi tidak berarti apa-apa. Lengan makhluk itu yang lain menyentil Will seperti semut sampai terpental. Dia mengerang saat tubuhnya menghantam tanah keras penuh batu.

"Will!" Aku menghampirinya dengan khawatir.

Tak diduga, Will menggeram padaku. "BANTU AKU ATAU MINGGIR!" teriaknya sambil menepis tanganku. Aku terkejut bukan main. Belum pernah ada seseorang yang meneriakiku seperti itu sebelumnya. Sekilas aku dapat melihat sesuatu yang berkilau dari sudut mata cowok itu.

Will bangkit. Dia menghunus tombak sambil mengangkat satu tangan ke udara. Dari ketiadaan, muncul ribuan tombak hitam dengan listrik mengelilingi. Dengan satu ayunan, senjata-senjata itu melesat ke arah si Nitemare.

Makhluk berkaki empat itu mengangkat keenam tangannya. Si Nitemare berteriak dan mengempaskan kembali tombak-tombak Will. Semua mengarah kepada kami.

Aku lekas memukul tanah, memunculkan perisai darinya. Sebagian tombak menancap ke tanah di belakang kami, sebagian berhasil menembus dan berhenti tepat di depan hidungku.

"Wi—"

"Maaf ... Asa ...." Will jatuh berlutut. Kepalanya tertunduk. Tubuhnya bergetar.

"Will!"

Aku mencoba menguatkannya. Namun, tidak berhasil. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada cowok di hadapanku ini.

"DASAR CENGENG!!!"

"TIDAK BERGUNA!!!"

"KALIAN TIDAK ADA ARTINYA DI DUNIA INI!!!"

Nitemare itu tertawa kembali. Disertai cemoohan bagai lagu anak-anak, tangan-tangan besarnya menghantam-hantam tanah sampai bergetar. Aku cepat membuat dinding pertahanan lain dari baja ketika makhluk itu melemparkan bongkahan batu ke arah kami. Debum keras dengan getaran membuat aku kehilangan keseimbangan. Will masih bergetar dengan menumpu pada tombaknya.

Aku harus segera mengakhirinya.

Aku melompat dari persembunyian. Kuhindari setiap hantaman dan tinju dari setiap tangan yang menyambutku. Kutahan setiap kaki makhluk itu dengan cengkeraman batu agar dia tidak bisa bergerak bebas. Namun, aku sendiri ikut tertahan oleh bayangan serupa tentakel. Bayangan itu mencekikku sampai rasanya aku kehabisan napas. Makhluk itu lantas melemparku dengan keras.

"GAH!"

Aku menghantam tembok, reruntuhannya mengubur tubuhku. Sebuah tangan kekar menarikku keluar. Will dengan wajah datarnya telah kembali.

"Maaf," katanya, "lupakan soal yang tadi." Aku mengangguk.

Will berbalik. Dia menerjang cepat. Dengan tangan-tangan Nitemare sebagai tumpuan, cowok itu berputar, menusuk, mengoyak. Gerakannya lebih stabil dan teratur. Sedikit demi sedikit, asap keluar dari sayatan dan robekan yang Will buat.

Aku ikut menyerang. Dua pedang di tangan. Dengan pilar batu sebagai lecutan, aku melompat, meluncur bagai peluru tepat ke arah kepala makhluk itu. Satu tangannya menghalau, kutebas dengan pedang yang bersilang. Suara jeritan dan pekikan memaki bersahutan.

Stab!

Dua pedangku menancap tepat di "ubun-ubunnya". Manifestasi mimpi buruk itu bergetar. Lagu yang menyayat hati berhenti diganti teriakan disertai mulut yang mengeluarkan api. Aku tersaruk mundur ke belakang kepalanya. Kutancapkan lebih dalam agar aku tidak jatuh sambil terus berayun menghindari api yang menyembur.

Tidak kuat menahan beban, aku jatuh tergelincir. Kobaran api beberapa kali mengenai tubuhku. Beberapa saat kemudian mereka berhenti. Aku bergelantungan cukup lama sampai akhirnya satu teriakan panjang melengking kemudian senyap.

Will memelesat dengan kepala Nitemare yang terpenggal. Tempatku bergelantungan bergetar. Perlahan, makhluk itu lenyap. Aku jatuh diiringi suara debum. Will mendekat dan menatapku heran.

"Kau bisa terbang dan mendarat dengan mulus kalau mau," katanya sambil membantuku berdiri. Aku menyambut tangannya.

"Yaaa, aku memang bodoh."

"Tidak perlu diperjelas."

Will kemudian mengayunkan tangannya, seperti yang dia lakukan saat di mimpiku. "Ini namanya reset," beritahu Will. Sejurus kemudian semuanya berubah menjadi indah.

Langit gelap menjadi biru terang dengan awan. Bangunan hancur kembali utuh dengan cat hijau mencolok. Tanaman-tanaman tumbuh. Tanah lapangan berwarna-warni.

Kami mendekati gadis kecil yang masih menangis. Will mencoba menenangkannya sambil membersihkan baju terusan berwarna biru berenda si gadis. Cowok itu dipeluk dengan erat seperti gadis itu takut akan kehilangan sosok yang menyelamatkannya dari mimpi buruk.

"Sudah, sudah," ujar Will sambil balik memeluk. "Kau mau es krim?" Gadis itu mengangguk.

Will kemudian memunculkan binatang-binatang imut mulai dari kucing, kelinci, burung, hamster, sampai anjing pudel untuk menemani si gadis bermain. Dia juga memunculkan teman-teman sebaya yang cantik dan imut.

"Kau tega sekali membohonginya," kataku setelah kami keluar dari teritori mimpi si gadis.

"Apa maksudmu?" tanya Will sambil memicing.

"Anak itu ...." Aku menunjuk ke teritori di belakang kami. "Dia sering dirisak di realitas, tapi kau malah memberinya teman seolah-olah itu dapat menghiburnya. Itu hanya akan mengingatkannya kalau dia tidak benar-benar memiliki teman!"

Will berbalik menghadapku. "Tugas Oneironaut adalah menyingkirkan mimpi buruk, JUGA, membuatnya menjadi mimpi indah! Lagi pula, ia akan lupa dengan apa yang terjadi di sini."

Aku terenyak lantas kembali mengatur emosi. "Kau marah? Kesal? Sedih?"

Will mengetatkan rahang. "Apa?"

"Apa yang terjadi di sana tadi? Kenapa kau tiba-tiba lepas kendali? Emosi sesaat lalu seperti ketakutan."

"Kubilang lupakan."

"Tapi, Will—"

"Cukup untuk malam ini, Asa. Kembalilah ke teritorimu sendiri atau bangun saja kalau malas."

Will pergi seperti komet dengan cepat. Dia keburu menghilang saat aku ingin mengikutinya.

Seperti kata Will, aku kembali ke wilayahku sendiri, menghabiskan sisa malam dengan melihat bentangan kesadaran yang bergerak-gerak sampai bunyi alarm membangunkanku.

"Ada apa dengan anak itu ...."

Satu hal yang kutahu tentang Will bukan dari mulutnya sendiri: ayah Will sudah meninggal. Itu menjelaskan fotonya yang hanya berdua dengan sang ibu.

~~oOo~~

A/N

Gak nyangka satu bab cuma buat nyeritain pertarungan doang.

Pertanyaan untuk bagian ini: Apa mimpi terburukmu?

***

Diterbitkan: 10/05/2021 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro