Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dalam benakku, mimpi memiliki langit yang berwarna-warni. Mulai dari merah delima, hijau daun, biru toska, ungu kecubung, kuning, magenta, cyan; sebutkan saja semua warna yang kalian tahu dan aku yakin semua itu ada di langit mimpi. Warna-warna saling berbenturan bagai satu set ember cat yang langsung ditumpahkan ke langit, membentuk sebuah nebula yang bergerak ritmis.

Lalu, kalian bertanya, "Bagaimana dengan tanahnya? Airnya? Udaranya? Tanamannya? Makhluk-makhluknya? Aromanya? Rasanya? Ininya? Itunya? Dan lain sebagainya—

Cukup. Satu-satu, kawanku.

Dreamscape—bentang mimpi—tidak sesederhana itu. Semua imajinasi manusia terkumpul dalam satu dunia. Tumpang-tindih satu sama lain. Mulai dari yang terindah sampai yang terburuk semua menjadi bias.

Kemudian kalian mengeluh, "Kalau begitu sederhanakan saja!"

Oke, sederhananya begini. Bayangkan apa yang ingin kalian wujudkan. Sudah, beres. Semua akan seperti yang kalian mau. Masalah selesai.

"Setidaknya beri kami gambaran, 'kan, bisa! Lagi pula, kau yang mengajak kami. Setidaknya beri tahu bagaimana mimpi dalam imajimu!"

Kalian ini banyak maunya, ya. Baiklah, akan kujawab.

Aku selalu membayangkan tanah yang ada dipenuhi rumput hijau pendek—yang bila kalian berbaring di atasnya, kehangatan akan memancar menyelimuti seluruh tubuh. Sesekali daun-daunnya menggelitik pipi karena gerakan angin sepoi-sepoi yang lembut. Bila kalian menghirup dalam-dalam daun yang tidak sengaja lewat di depan hidung, aroma segarnya akan menguar memenuhi paru-paru dengan kesejukan. Sambil menutup mata, aroma khas itu akan terus terpatri dalam ingatan, bahkan sampai kalian terbangun sekalipun. Aku jamin, kalian tidak pernah ingin beranjak dari sana.

Namun, itu semua bukan bagian terbaiknya. Masih ada lagi yang menakjubkan selain rumput hijau yang hangat. Lihat ke atas! Ada sekumpulan titik-titik cahaya berkumpul layaknya bentangan galaksi Bima Sakti. Haruskah kusebutkan kalau semua itu hidup? Maksudku, lihat! Mereka bergerak, seperti kawanan kunang-kunang. Mengelilingimu seperti lalat mengerubungi kotoran. Ups, analogi yang salah. Mungkin harusnya seperti sekumpulan lebah yang mencari nektar di taman bunga ... dan, kalian baru sadar kalau padang rumput hijau ini ternyata memang terdapat bunga di mana-mana. Harum menguar bagai aroma tanah basah yang baru diguyur hujan. Ada mawar, melati, lili, tulip, semuanya indah! Warna-warni mulai dari merah, kuning, putih, ungu, biru terhampar di karpet rumput. Semua bunga-bunga itu tumbuh sampai ke ujung padang di mana pohon-pohon berbentuk unik yang belum pernah kalian lihat sebelumnya ada.

"Whoaaa!" Kalian bersorak takjub.

"Ayo!" ajakku. Kugamit satu per satu tangan kalian.

Gemeresik daun menyambut ketika kita masuk ke hutan, bersamaan dengan angin lembut yang membuat batang-batang pohon yang meliuk-liuk itu seakan menari. Daun-daun berwarna pastel terasa seperti permen kapas di antara ranting sewarna cokelat yang manis bila dicicipi. Oh, ya, kenapa tidak dicoba saja?

"Ini." Kuberikan satu ranting dengan gumpalan daun berwarna merah jambu. Harum gula-gula tercium seperti stroberi yang baru dipetik dari kebun. Manis rasanya perlahan meledak di mulut seiring daun itu meluruh memenuhi lidah.

Suara "Kraus! Kraus!" atau "Nyam! Nyam!" bersahutan saat kalian memakan ranting-ranting yang serenyah wafer cokelat itu. Wajah kalian sangat bahagia. Aku bahkan tidak bisa berhenti tersenyum saat kalian menjilat-jilat batang ranting yang bersisa gula-gula. Tawaku sampai meledak ketika seluruh muka kalian berlepotan cokelat. Suara kunyahan bahkan masih terdengar seperti kelinci memakan wortel dengan lahap waktu aku berhenti tertawa dan menyadari kalau memang benar-benar ada kelinci yang lewat di antara kaki-kaki kita.

Hewan berwarna putih dengan telinga panjang menjuntai ke bawah itu melihat kita dengan mata berwarna merahnya. Kepalanya teleng ke kanan. Mungkin dalam pikirnya ia sedang terheran. "Sedang apa para manusia ini?"

Kemudian kelinci itu berlari karena kalian tiba-tiba ingin memegangnya. Kita ikut berlari mengejar. Dengan tangan yang masih penuh cokelat, kalian berusaha meraih kelinci itu. Kita terus main kejar-kejaran sampai membuat hewan-hewan hutan lain lari tunggang langgang. Rusa bertanduk seperti cabang pohon sewarna pelangi dengan kaki jenjangnya berlari dengan cepat. Tupai di batang pohon terlonjak kaget sampai menggembung seperti ikan buntal. Ular mie kuning yang melilit salah satu batang pohon mendesis.

Salah satu tangan kalian hampir menggapai tubuh kelinci itu dan "hup!" hewan tersebut masuk ke lubang. Raut kecewa tergambar jelas. Namun, wajah kalian seketika berubah ketika mendapati lubang kelinci itu ternyata berada dekat dengan sungai. Air jernih kebiruannya memantulkan warna langit. Batu-batu kali terlihat jelas di dasar sungai. Di kejauhan, terdengar debur air terjun. Dengan sigap, kita berlari ke sana, mendapati air terjun yang tidak terlalu tinggi.

Air yang mengalir dari atas serupa gumpalan kapas saat tiba di bawah. Deburnya laksana musik yang harmonis di telinga. Dengan tidak sabar, kalian berlari ke sana; membasuh tangan yang masih kotor karena cokelat. Percik airnya membasahi tubuh, membuat kilau-kilau butirannya memantulkan cahaya.

Suara tawa tidak bisa kalian tahan. Di tengah air sungai yang tenang, kalian bermain dengan puas, seperti tidak memiliki beban pikiran.

Melihat kalian yang bermain air, aku juga jadi ingin. Rasa dingin menyergap ketika air dan tangan bersentuhan. Kubersihkan mereka dari cokelat. Saat kulihat pantulanku di atas sungai, ternyata ada juga jejak cokelat di wajah. Sapu air ke pipi, bersihkan sisa di mulut, segarkan seluruh muka. Ah, aku sangat ganteng ternyata.

Di tengah kekaguman akan diri sendiri, pantulanku yang rupawan di air sungai memudar karena riak. Ada secercah cahaya yang muncul terpantul di atasnya. Belum sempat aku menyadari apa yang terjadi, kalian menyentuh bahuku. Refleks aku menoleh hanya untuk mendapati wajah kalian yang menganga karena kagum sambil menunjuk ke arah depan.

Aku memutar kepala. Seketika itu juga, tubuhku menegang. Gumpalan cahaya putih berangsur membentuk suatu figur. Dalam keheningan, sosok itu menyentuh dahiku sambil berujar dengan suara lembut bagai semilir angin, "Halo, Asa."

Aku tergagap dibuatnya. "Som ... ni ... um ...?"

~~oOo~~

A/N

Waaa. Bagaimana kesan kalian dengan bagian ini?

Kira-kira, siapa yang Asa sebut?

Pertanyaan untuk bagian ini: Apa mimpi yang paling kalian ingat?

***

Diterbitkan: 01/05/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro