34 - Bertemu Lagi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rafael Lazuardi

Sudah satu minggu berlalu sejak pengakuan mengejutkanku di liburan kami waktu itu. Sejak saat itu, teman-temanku selalu menanyakan kapan tanggal pernikahan kami. Agak menyebalkan sebenarnya, karena aku sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Akhirnya aku hanya tertawa dan memohon doa saja pada mereka. Lalu ditambah dengan alibi, "Spesifikasi dari sebuah rencana itu sebaiknya nggak diumbar-umbar jauh-jauh hari dulu."

Aku pernah mendengar seseorang mengatakan itu. Mereka setuju, dan karena itu aku tidak merasa sedang membual.

"Seharusnya kamu beri Zara kepastian." Suara Yohanes menggema di ruangan kami.

Aku hanya mengernyit keheranan. Ia baru tiba dan sudah mengatakan itu padaku. Apa aku tidak sadar sedang melamun tadi?

"Kepastian kapan kalian menikah. Apa lagi?" Yohanes mengatakannya dengan sangat tidak santai. Matanya ikut melotot dan sikapnya saat ini persis seperti seorang ibu yang sedang menunjukkan bahwa sikap anaknya salah.

Terdengar aneh? Sayangnya, ia memang tampak begitu.

Aku mengembuskan napas begitu saja. "Menurutmu Zara bakal setuju kalau kulamar minggu depan?"

Yohanes tentu tidak bisa menjawab, aku yakin itu. Yang ia lakukan hanya menatapku dengan kening berkerut.

"Waktu itu aku sempat ngobrol sama Zara." Itu yang ia katakan.

Aku mencondongkan badanku dengan kening berkerut, apa pun itu yang berkaitan dengan Zara selalu membuatku penasaran. Kendati mengetahui bahwa ia mengobrol dengan Yohanes adalah sesuatu yang bisa dibilang agak mustahil.

"Apa?" tanyaku, agak mendesaknya karena tidak bisa menahan rasa penasaran cukup lama.

"Dia beneran nggak mau pacaran ya? Terus sekarang ngapain kalau nggak langsung nikah aja?"

Yang ditanyakan Yohanes ada benarnya juga. Karena kami tidak memutuskan untuk melalui tahap berpacaran, kenapa tidak langsung merencanakan pernikahan? Jika dipikirkan, itu memang pertanyaan yang simpel. Mudah saja merencanakan, seperti venue, kuliner yang dihidangkan, siapa saja tamu yang diundang, sampai fitting busana.

Justru yang jadi pertanyaan adalah, "Apa kami keliatan udah siap buat hidup bersama?"

Sekali lagi aku membuat Yohanes terdiam. Aku tahu niatnya baik ingin mengingatkanku agar segera mengakhiri hubungan dengan status tidak jelas dengan Zara ini; Begitu Yohanes menyebutnya tempo hari.

"Tujuan kami jelas, kalau itu yang kamu pertanyakan. Kami akan menikah, tapi bukan dalam waktu dekat. Jadi, berhenti ngomongin soal ini, karena aku punya agenda rapat yang harus kamu persiapkan." Aku memunculkan sisi bossy-ku dan tersenyum miring padanya.

Yohanes berdecak keras dan menghilang di balik tembok pembatas. Aku selalu tahu sikapku tadi membuatnya kesal. Sebab, hanya itu yang bisa kulakukan agar ia berhenti bicara.

Aku menatap komputer yang entah sejak kapan sudah menampilkan desktop sejak aku menyalakannya sebelum bicara dengan Yohanes tadi. Wallpaper yang kupasang di sana adalah foto Zara yang kuambil pertama kali. Foto buram yang menampilkan tiket bioskop. Dan akan selalu mengingatkanku pada kencan pertama kami.

Gara-gara terlalu asyik memandangi itu, aku sampai lupa untuk apa menyalakan komputer tadi.

Aku memang tidak bisa menyingkirkan sedikit pun sosok Zara dari kepalaku sejak pengakuanku di pantai minggu lalu. Itu memang tindakan di luar kendali dan tanpa pemikiran yang matang. Bodoh sekali aku baru menyadarinya sekarang. Tidak heran jika Zara kecewa padaku malam itu.

"Untuk makan siang nanti, mau dipesankan sekalian sama yang menghadiri rapat atau mau makan di luar, Bos?" Yohanes bertanya dengan nada sarkastik dan penuh penekanan pada caranya memanggilku.

Aku terkekeh mendengarnya. "Benar-benar cara bertanya yang sangat kurang ajar kepada atasan," responsku.

"Terserah. Jadi gimana?" sahutnya. Beruntung sekali dia temanku.

"Nggak perlu. Aku udah janji makan siang sama Zara," jawabku tanpa bisa menahan senyum. Ada euforia yang menggelitik saat aku menyebutkan namanya.

"Ya sudah."

***

Seperti yang sudah dijanjikan semalam, aku dan Zara akan bertemu di sebuah rumah makan yang baru buka tak jauh dari perusahaan tempat kerja Zara. Aku tiba lebih dulu darinya. Bukan hal yang aneh, aku memang selalu mengusahakan agar tidak membuatnya menunggu. Aku selalu merasa lebih baik jika tiba lebih dulu.

Sudah lima belas menit aku menunggu, tapi Zara tak kunjung tiba. Pelayan rumah makan bahkan sudah tiga kali menanyakan sudahkah aku menulis pesananku. Namun, aku tetap menjawab dengan jawaban yang sama; aku masih menunggu seseorang tiba.

Kukeluarkan ponselku yang sengaja diatur dalam mode silent sejak rapat tadi, sekadar untuk memeriksa barangkali Zara mengirimkan pesan lagi padaku. Sayangnya, tak ada pesan baru selain yang berisi bahwa ia agak terlambat karena masih ada yang harus dikerjakannya. Akhirnya aku melambai pada seorang pelayan yang tidak berhenti melirik mejaku.

"Jus sirsak satu, Mbak," ujarku setelah si pelayan tiba di samping mejaku.

"Cuma itu, Mas?"

"Itu dulu, Mbak. Nanti saya pesan lagi," sahutku seramah mungkin.

"Ditunggu ya, Mas." Pelayan itu lalu beranjak meninggalkan mejaku.

Dari nada bicaranya, aku bisa merasakan ia tidak puas dengan apa yang kupesan. Terlebih di suasana yang sesepi ini. Dari banyaknya meja, hanya beberapa saja yang diisi oleh pengunjung. Rumah makan ini memang baru seminggu dibuka. Seharusnya rumah makan ini akan ramai dikunjungi sebagaimana rumah makan baru pada umumnya. Atau karena mereka lupa meletakkan papan promo di terasnya? Itu bisa jadi penyebab utama.

Karena ingin mmebuktikannya, aku celingukan menatap ke luar jendela, mencari-cari apakah aku memang tidak melihatnya, atau benar-benar tidak ada di sana. Di saat itu pula aku melihat Zara berjalan menghampiri pintu rumah makan ini.

Aku lekas-lekas membenahi posisi dudukku dan berpura-pura mengerjakan sesuatu dengan ponselku. Kedapatan celingukan olehnya bukan sesuatu yang keren.

"El, maaf aku terlambat," ujarnya dan duduk di bangku seberangku.

Aku mengalihkan pandang dari ponsel, bersikap seolah-olah aku baru saja melihatnya. "Pekerjaanmu banyak hari ini?"

"Seperti biasa. Tapi ada karyawan baru di divisiku dan aku harus ngajarin banyak hal ke dia," jawabnya. Hebat sekali ia tidak terdengar mengeluh.

Aku pernah mendapati beberapa karyawan baru, dan memang agak melelahkan. Apalagi kalau sudah ditanyai berbagai hal. "Aku ngerti. Jadi si karyawan baru ini pria atau wanita?"

Zara menggeleng seraya terkekeh. Suaranya memberiku sensasi aneh yang menyenangkan. Aku suka ia tampak lebih santai saat bersamaku akhir-akhir ini.

"Sepenting itu ya? Kita pesan makan dulu deh, El."

"Kamu mau apa? Biar aku yang tulis," ujarku sambil meraih pensil yang disediakan di tengah meja bersama selembar kertas.

Zara membaca menu dengan cepat. Caranya membalik halaman buku menu bahkan tak luput dari pandanganku. Dari hari ke hari, aku merasa apa pun yang ia lakukan tampak sangat indah di mata. Mungkin seperti ini cara seseorang yang sedang jatuh cinta memandang sesuatu. Yang jelek bisa jadi tampak sangat cantik.

Namun, Zara memang secantik itu sejak dulu.

"El?"

Kemudian kurasakan telapak tangannya membungkus tanganku, dan membuatku terkesiap.

"Kok, melamun?"

"Enggak, Ra." Tanganku terangkat untuk mengusap kerutan di dahinya dengan ibu jari. "Kamu mau apa?"

"Aku udah nyebut menu yang kumau tiga kali. Sini, aku aja yang nulis." Ia mengambil alih kertas dan pulpen di tanganku.

Pesanan kami sudah ditulis, bersamaan ketika pelayan yang sama seperti tadi mengantarkan minuman yang kupesan. Sekalian saja kuberikan kertas pesanan kami padanya.

"Mind to give me the answer?" tanyaku.

Zara memandangku beberapa saat. Aku tidak mengerti maksud tatapan yang ia tujukan padaku, jadi aku hanya mengernyit kebingungan.

"Wanita. Sekarang bisa tenang sedikit? Urat-urat lehermu kencang," jawabnya.

Aku secara refleks mengangkat tangan dan menyentuh garis-garis yang timbul di leher. Ini memang selalu terjadi ketika aku menunggu jawaban yang mendebarkan. Dan kali ini, aku khawatir jika si karyawan baru adalah pria. Aku jelas tidak akan rela jika Zara akan menghabiskan waktu dengannya.

***

Hari ini aku menjemputnya. Awalnya ia menolak karena merasa tidak enak terus-terusan kudatangi ke kantornya. Namun, aku tidak mengindahkan ucapannya dan tetap datang ke sini. Seperti biasa, menunggu di depan pagar sambil bersandar pada sisian mobil.

Tidak lama menunggu Zara, aku sudah melihatnya keluar dari kantornya dengan mengenakan mantel seperti biasa. Satu hal yang masih jadi pertanyaanku, separah apa dingin membahayakannya. Ia tampaknya enggan sekali untuk menjawab ketika kutanyakan hal itu padanya. Kendati penasaran bukan main, aku tidak ingin memaksanya untuk bercerita. Biarlah nanti ia sendiri yang akan menceritakannya padaku.

"Aku, kan, udah bilang nggak usah jemput, El," protesnya setelah berada di hadapanku. Sulit membuatnya terkesan. Bahkan hal seperti ini saja diprotesnya.

"Kursi sebelahku kosong dan itu nggak enak, Ra."

"Bukankah sebelum ini memang selalu kosong?"

Aku meringis. Benar katanya, selama beberapa bulan sebelum aku mengantarnya pulang, kursi itu selalu kosong.

"Aku mau mampir sekalian." Aku terkekeh saat melihatnya memutar kedua bola mata. Kemudian kubuka pintu penumpang dan mempersilakannya untuk masuk.

"Zara."

Sebelum ia sempat melangkah, seseorang memanggilnya dari belakangku. Sementara aku tetap pada posisiku, enggan berbalik.

"Hai," sahut Zara. "Kerja yang bagus hari ini. Kamu belajar cepat. Besok bisa dipastikan semuanya selesai kuajarkan"

Oh, jadi dia si karyawan baru.

"Aku punya senior yang hebat. Makasih, Ra. Sampai ketemu besok."

"Bye, Daria."

Aku menegang saat mendengar nama yang Zara sebutkan. Tatapanku membola dan itu kutujukan pada Zara. Ada banyak nama serupa di dunia ini. Namun, aku tidak pernah menyangka akan menemukan nama itu pada dua orang yang berbeda. Maksudku-itu jelas bukan Daria yang sama yang menghancurkan hatiku sampai berkeping-keping, 'kan?

Karena penasaran, aku pun berbalik. Benar saja, ia Daria yang sama dengan yang kukenal. Aku sempat melihat wajahnya saat ia juga memutar badan. Dan apa yang kulihat? Ia tampak sangat kurus dari yang terakhir kulihat di mal.

Apa yang terjadi padanya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro