40 - Yang Dirindukan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Zara Naulia

Hari ini benar-benar sangat melelahkan. Nanda memanfaatkan keberadaanku di sini dengan baik dan mengajakku untuk pergi jalan-jalan. Kami pergi seharian, dan baru tiba kembali ke hotel hampir tengah malam. Nanda selalu punya alasan agar kami tidak segera pulang ke rumah. Parahnya, aku tidak membawa jaket lebih karena tidak tahu kami akan pergi sampai malam.

Dan malam ini ia tidak memperbolehkanku pulang. Alih-alih mengantarku ke rumah, Nanda justru membawaku ke hotel. Katanya sebelum benar-benar sah jadi seorang istri, ia ingin menghabiskan waktunya denganku dulu. Alasannya aneh, sih, tapi aku tidak sanggup menolak jika Nanda sudah menatapku penuh harap.

Mandi air hangat adalah hal pertama yang ingin kulakukan setibanya di kamar Nanda. Antisipasi sebelum aku kedinginan lebih lama lagi. Bahkan aku segera masuk ke kamar mandi tanpa membawa baju ganti. Sungguh hari yang benar-benar melelahkan. Namun, aku cukup menikmatinya. Bahkan sampai tidak menyentuh ponselku sedikit pun.

Oh, benar, ponselku. Terakhir yang kulihat tadi siang baterainya tidak sampai dua puluh persen. Sekarang ponsel itu pasti sudah mati.

"Nanda!" panggilku dari dalam kamar mandi.

Kudengar suara gesekan sandal hotel dengan lantai mendekat ke pintu kamar mandi. "Iya, Kak?" sahut Nanda.

"Minta tolong keluarin ponselku dari tas, dong. Sekalian charger-in ya," pintaku padanya.

"Oke, Kak."

"Makasih, Nda."

Selanjutnya aku menghabiskan waktu di dalam bathup. Sambil menggosok tangan, kaki, sampai seluruh tubuhku dengan sabun sambil menunggu sampai suhuku kembali normal. Nanda tahu jika aku rentan mengalami hipotermia, jadi ia membiarkanku memakai kamar mandinya selama yang kuperlukan.

Sebentar aku memejamkan mataku untuk menikmati hangatnya air di sekelilingku. Wajah El yang murung waktu itu muncul begitu saja dan aku segera membuka mataku kembali. Bagaimana ia sekarang? Apa yang sedang dilakukannya? Aku tidak bisa berbohong kalau aku merindukan suaranya. Kalau aku meneleponnya, apa itu akan mengganggunya?

Kenapa masih saja ragu? Benar kata Vita waktu itu. Apa yang membuatku menahan diri? Aku menghela napas begitu menyadari bahwa aku benar-benar pengecut karena tidak sanggup melakukan apa-apa. El berhasil membuatku jadi lebih terbuka padanya. Seharusnya aku bisa melakukan hal serupa terhadapnya. Minimal meyakinkannya bahwa ia bisa memercayakan segala keluh kesahnya padaku.

Namun, jika El sendiri tidak menginginkan hal itu terjadi, untuk apa aku repot-repot berusaha keras?

"Lagi pula, aku tidak punya motivasi khusus untuk membuatnya percaya padaku," ujarku pada diri sendiri. Zara yang pesimis, itulah aku sekarang.

Lima menit kemudian, aku membilas tubuhku. Sendirian di kamar mandi hanya akan membuatku terus memikirkan El. Dan aku sudah tidak sanggup membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi di antara kami.

"Udah enakan, Kak?" Nanda bertanya ketika aku baru keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan jubah mandi miliknya.

Aku menatapnya yang sedang tengkurap di atas kasur sambil memainkan ponselnya. "Lumayan," sahutku sambil mengubek-ubek lemari sementaranya. Aku tidak berencana untuk menginap malam ini, jadi Nanda meminjamkan dua lembar pakaiannya untukku.

"Aku malas mandi," keluh Nanda sambil menggulingkan tubuhnya jadi telentang.

"Kalau gitu, tidurlah di lantai," sahutku saat berjalan kembali ke kamar mandi.

"Ini kamarku dan aku berhak tidur di mana aja, Kak," teriaknya, diiringi dengan suara tawa kerasnya yang sangat tidak anggun.

Sambil memasang sweater, aku memutar kedua bola mataku. Aku lekas-lekas memasang celana kain selutut dan segera keluar, menghampirinya.

"Kamu cuma menumpang tinggal di sini kalau kamu lupa, Nda," gurauku. Aku duduk di tepian kasur dekat meja nakas tempat ponselku diletakkan.

Kutekan tombol power dan layar ponselku hanya menampilkan gambar baterai. Ponselku memang benar-benar mati selama kami jalan-jalan tadi rupanya.

Kasur yang kududuki bergerak dan di detik berikutnya, Nanda sudah duduk bersila di sebelahku. Ia hanya diam memandangku dan itu membuatku heran. Tatapannya seperti sedang mengasihaniku cukup lama sampai aku merasa terganggu akan itu.

"Kenapa?"

"Kak Zara nggak mau cerita apa-apa?"

Dahiku berkerut. "Maksudnya?"

Nanda menghela napas dan berkata, "Hari ini aku bercerita banyak, tapi Kak Zara cuma jadi pendengar. Kita jarang kontekan, pastinya ada banyak hal terjadi selama kita nggak ketemu, 'kan?"

Aku tersenyum menanggapinya. Kalaupun aku ingin menceritakan tentang Rafael, ini jelas bukan saat yang tepat. Lima hari sebelum pernikahannya, pasti ada banyak hal yang dipikirkannya.

"Nggak ada yang menarik. Kamu mau denger aku cerita tentang pekerjaan?" tawarku dan tersenyum geli.

Nanda berdecak kesal. Aku selalu tahu ia tidak akan pernah suka mendengarkan kisahku yang satu itu. Baginya, aku adalah wanita yang gila kerja sampai lupa memikirkan tentang pasangan hidup. Benar, tapi tidak sepenuhnya. Aku adalah wanita yang memilih menghabiskan waktuku untuk pekerjaan agar tidak dihabiskan dengan memikirkan tentang pria.

"Serius, Kak. Masa nggak punya pacar, sih?"

Aku bersama El, tapi apa hubungan kami bisa disamakan dengan pacaran?

"Nggak ada, Nda. Kalau kubilang ada, pria mana yang mau aku kenalkan ke kamu?"

Nanda mencebik. Biasanya, kalau sudah begitu artinya ia menyerah. Ia menjatuhkan tubuhnya dan berbaring di sampingku. Dan aku memanfaatkan space kosong di dekatku untuk berbaring, sekaligus menyembunyikan tubuhku di bawah selimut. Kemudian kuraih ponselku dan kunyalakan. Siapa tahu ada pesan penting yang kuterima.

"Yah ... kebenaran pasti terungkap sih, Kak," celetuk Nanda dan tersenyum miring.

"Kamu pikir aku bohong?" balasku. Jariku yang kurus meraup hidung Nanda dan menariknya sampai ia mengaduh kesakitan.

"Berasa aneh aja, sih," sahut Nanda sambil mengusap hidungnya yang memerah.

Aku mengalihkan pandanganku ke langit-langit kamar hotelnya. Dan teringat akan pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya sejak kemarin.

"Nanda," panggilku dan ia hanya merespons dengan gumaman. "Kenapa keluarga calon suamimu membiarkan keluarga kita menginap di sini?"

"Nggak tau, Kak. Ayahnya Rafi ingin pernikahan kami diadakan di hotel ini. Karena mereka tinggal di sini, jadi mereka mau kami tetap di sini biar nggak repot-repot jemput aku pas hari-H."

Aku mengernyit dan bertanya, "Mereka tinggal di sini?"

"Iya. Di lantai teratas gedung ini."

"Wow ...." Hanya itu responsku. Jika sesuatu terjadi dengan hotel ini, berarti mereka juga akan kehilangan rumah mereka. "Dan kamu juga akan tinggal di sini?"

"Awalnya ditawarin kayak gitu, sih, tapi aku nolak, Kak. Nggak sanggup naik elevator kelamaan," sahutnya dan terkekeh.

"Kok, bisa kamu kenal orang kaya macam Rafi?"

Nanda menoleh dan menyeringai ke arahku. "Aku bisa kasih praktiknya sekalian lho, Kak."

Itu adalah tawaran yang tidak akan pernah kuterima. "Dah malam, yuk tidur."

***

Dua hari kemudian, aku bersama Zia dan Caca berada di venue. Kami bertiga menempati salah satu meja yang posisinya paling belakang dekat pintu masuk. Zia berada di pangkuanku dengan tenang karena dot yang menyumpal mulutnya sementara Caca duduk di sebelahku sambil memakan es krimnya. Aku memperhatikan orang-orang yang mulai memasang dekorasi di berbagai sudut ruangan.

Kemudian atensiku teralihkan pada Caca yang batuk-batuk. Tampaknya ia tersedak, jadi aku meletakkan sebelah tanganku di punggungnya, mengusapnya sampai batuknya menghilang.

"Makan es krimnya hati-hati, Ca. Jangan sampai netes ya, nanti taplak mejanya kotor."

"Iya, iya, Kak. Caca bukan anak kecil lagi, kok," ujarnya dengan wajah merengut.

"Caca akan selalu jadi anak kecil bagi Kakak," sahutku dan tertawa ringan.

"Kamu benar-benar terampil mengurus anak kecil,"

Aku mendongak dan menemukan Ren tersenyum padaku. Ia baru tiba entah dari mana dan duduk di sebelahku. Ini bukan posisi yang menyenangkan, tapi aku tidak bisa bergerak banyak karena masih memangku Zia.

"Zia biasanya nangis kalau dipangku sama orang lain," ujar Ren lagi. Ia berusaha meraih tangan Zia dan aku menyerongkan badanku agar Ren tidak jadi menyentuhnya.

"Kamu dari mana? Dan tanganmu harus bersih sebelum menyentuh kurcaciku," ujarku dengan tegas. Sebenarnya merasa tidak enak berkata seperti itu pada orang asing, tapi aku harus menjaga Zia dari tangan-tangan kotor. "Oh, dan aku bukan orang lain, aku Kakaknya."

"Sorry," sesalnya.

"Nanda akan melangsungkan ijab kabul dengan Rafi malam ini. Aku jadi penasaran, apa kamu memang belum tertarik untuk memiliki pasangan?"

Aku membulatkan mataku setelah mendengarnya bicara begitu. Kami bahkan baru berkenalan beberapa hari dan ia sudah mempertanyakan hal privasi seperti itu padaku. He's too forward and it feels uncomfortable being around him.

"Maksudku, bukan ingin ikut campur, tapi Ayahmu pernah cerita kalau kamu belum pernah memperkenalkan satu pria pun padanya. Itu benar?" Ren meralat ucapannya setelah melihat responsku. Ia tampak merasa tidak enak sekarang.

"Kita ... belum cukup dekat bagiku untuk menceritakan hal seprivasi itu, Ren. Maaf." Aku mengakhiri ucapanku dengan seulas senyum.

"Tidak. Aku yang seharusnya minta maaf," ujarnya.

Kemudian kami sama-sama terdiam memperhatikan orang-orang yang masih bekerja keras menghiasi ruangan yang luas ini. Bagian panggung adalah favoritku. Dekorasinya sederhana, didominasi dengan warna putih dan keemasan, tapi tampak sangat indah. Bunga lili palsu berwarna putih tergantung rapi di tirai belakang kursi yang akan Nanda duduki. Siapa yang mengira perempuan seperti Nanda akan memilih dekorasi yang sederhana. Itu jelas jauh dari kepribadiannya.

"Kamu menyukainya?" Ren bertanya.

"Apa?"

"Dekorasinya."

Aku tersenyum setelah melihat ke sekeliling ruangan. "Ini sangat indah."

Kali ini Ren tersenyum bangga entah apa alasannya. "Keluarga Rafi memercayakanku untuk mendekorasi tempat ini, dan entah kenapa setelah tahu bahwa kamu menyukainya, aku semakin percaya diri dengan seniku."

"Kamu berlebihan," sahutku. Aku bisa merasakan Ren menatapku cukup lama saat aku menunduk untuk membenahi posisi duduk Zia.

"Kenapa menatapku?"

"Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memandang pahatan Tuhan yang cukup indah." Aku bisa mendengarnya dengan jelas meski Ren mengatakan itu dengan suara yang pelan.

"Maaf, Ren, tapi sikapmu yang kayak gini benar-benar membuatku tidak nyaman. Aku nggak terbiasa berada di sekitar pria yang suka mengumbar rayuan," ujarku terlampau jujur.

Aku tidak peduli apakah ucapanku akan menyinggungnya atau tidak. Sebab aku memang sudah sering bersikap demikian. Aku masih berusaha bersikap baik mengingat ia cukup dekat dengan ayahku. Seandainya Ren benar-benar orang asing, aku pasti sudah pergi dari sini. Ke mana pun itu, yang penting terhindar darinya.

"Aku hanya berkata jujur. Maaf kalau membuatmu nggak nyaman," ujarnya dengan kedua tangan diangkat ke atas. Ia mencoba terlihat baik-baik saja dengan bertingkah lucu meski aku sudah menjatuhkannya.

"Kalau begitu, simpan saja kejujuranmu itu sendiri."

Sebenarnya, El juga sama seperti Ren, suka merayu. Namun, El berhasil membuat rayuannya tidak terdengar cheesy. Entah itu memang bakat alaminya, atau karena aku sudah terbiasa mendengar itu darinya.

Rafael Lazuardi, apa yang kamu lakukan sekarang?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro