54 - Haruskah berkorban?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Zara Naulia

"Aku udah bilang, kan, mending kamu request tangan tambahan. Kesel banget aku ngeliat kamu sibuk sendiri."

Aku mendelik kesal pada Abel. Dari kemarin hanya protesnya yang kudengar, membantuku pun tidak. Padahal jelas-jelas aku baru saja menjatuhkan berkas bawaanku dan sekarang tengah berjongkok untuk mengumpulkannya kembali. Jadi, kali ini aku tidak ingin repot-repot meladeni celotehannya.

"Ini udah mau istirahat, tapi kamu masih bergelut sama kerjaanmu," ujarnya lagi.

Aku menjatuhkan tumpukan kertasku di lantai dan mendongak untuk bisa menatapnya. Ekspresi menyebalkannya adalah yang pertama kulihat setelah cukup lama terlalu fokus dengan tugas-tugasku. Maksudku, saking sibuknya, aku sampai tidak meliriknya sedikit pun.

"Kalau aku mengajukan ke Pak Jared biar kamu juga bantuin aku, gimana?" sahutku sedikit mengancamnya agar berhenti mengoceh.

Air mukanya langsung berubah. Ia lekas-lekas membenahi posisi duduknya yang semula menghadapku menjadi berhadapan dengan komputer.

"Aku yakin kamu bisa menyelesaikannya dengan baik, Ra. Kamu sendiri aja udah keren, lho. Bagianku bakal kukerjain baik-baik juga, kok, biar fokus, jangan ditambah kerjaan yang lain lagi." Terakhir, Abel terkekeh canggung.

Aku tidak bereaksi lebih selain memutar kedua bola mataku. Kalimatnya tadi bahkan persis seperti apa yang kupikirkan akan ia ucapkan. Aku mengenal baik Abel, semenyebalkan apa pun dirinya, perhatiannya membuatku sanggup bertahan di dekatnya. Kendati caranya menunjukkan perhatian itu agak berbeda dari orang-orang kebanyakan.

"Kamu mau istirahat, Bel?" tanyaku setelah meletakkan tumpukan kertasku tadi ke atas meja.

"Tanpa menjawab pertanyaanku, Abel melepaskan mouse komputer dan beranjak dari kursi. "Pekerjaanku bisa menunggu. Pergi ke kantin sama kamu lebih penting."

Aku mengulum senyum. Aku mulai merasa bersalah karena beberapa bulan terakhir ini jarang sekali pergi ke kantin bersamanya. "Kebetulan aku perlu wejangan dari kamu," gurauku.

"Pasti ada hubungannya dengan calon suami kamu, 'kan?"

Aku mendelik kaget karena tebakannya. Dan setelah melihat reaksiku saat ini, Abel jadi tersenyum penuh percaya diri. Padahal aku saja tidak membenarkan tebakannya.

"Aku tahu itu. Ayo, ke kantin sekarang, kamu perlu banyak wejangan dari yang lebih berpengalaman." Abel melingkarkan tangannya di bahuku dan menyeretku keluar ruangan.

Sebenarnya ini belum waktu istirahat, tetapi kupikir tidak masalah keluar beberapa menit lebih awal. Toh aku yang bertanggung jawab atas karyawan selagi Pak Jared tidak ada di ruangan kami.

Begitu tiba di kantin, Abel langsung memesan makanan favoritnya tanpa melihat menu lagi. Ia tidak peduli dengan menu-menu baru yang ada di kantin. Di mana ada nasi goreng petai favoritnya, kedai itulah yang akan ditujunya. Berbeda sekali denganku yang masih membaca satu persatu daftar menu yang diberikan oleh si ibu penjaga kantin.

"Aku duluan ke meja ya," ujar Abel sebelum meninggalkanku. Ia tahu aku selalu dibuat bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya menu masakan. Dan tentunya akan menghabiskan waktu cukup lama.

"Zara!"

Aku berbalik untuk menemukan Daria berjalan menghampiriku dengan membawa gulungan kertas di tangannya.

Hanya melihatnya berjalan sudah membuat hatiku mencelos. Postur tubuhnya yang lebih proporsional membuatku insecure. Aku merasa bodoh hanya karena Daria adalah mantan kekasih sekaligus cinta pertama El, aku jadi tidak sadar membandingkan diriku dengannya. Belum lagi kupikir segala aspek yang ada pada Daria jauh lebih unggul dariku.

Namun, ini bukan saatnya menunjukkan wajah muram karena merasa kalah tanpa mempertaruhkan apa pun. Sebagai bentuk ramah-tamah, aku tersenyum simpul ketika ia sudah cukup dekat denganku. Lagi pula, aku tidak punya alasan bagus untuk tiba-tiba memusuhinya.

"Ada apa, Daria?" tanyaku tepat setelah ia berada di hadapanku. Napasnya terengah, aku tidak tahu kapan ia berlari.

"Maaf nyamperin kamu ke kantin, Ra. Aku mau minta ini," ujarnya sambil membuka gulungan kertas yang dibawanya. "Tanda tangan di sini ya. Aku, kan, karyawan baru. Tapi aku ada keperluan bulan depan dan ingin mengajukan libur. Otomatis nggak bisa ikut acara kantor."

Aku menerima kertas yang disodorkannya padaku dan membacanya. "Kamu mau cuti?" Aku mengeja maksud dari surat yang dibuatnya.

"Iya, lima hari. Ada acara bulan depan. Kupikir nggak masalah ninggalin acara kantor, toh aku nggak ngapa-ngapain juga."

Senyumku luntur. Ingatanku kembali memutar ulang adegan ketika El memohon agar aku ikut pulang dengannya. Apakah mungkin jika Daria juga pergi ke sana? Tapi mereka sudah tidak ada hubungan lagi, 'kan?

Kepalaku jadi berdenyut karena memikirkannya.

"Ra, kok, bengong?"

"Oh, ini harusnya kamu cukup minta tanda tangan Pak Jared aja. Nggak perlu aku," balasku seraya mengembalikan surat izin itu kepadanya.

"Aku mau dapat izin lebih mudah dari Pak Jared. Makanya aku minta tanda tanganmu dulu selaku submanajer sekaligus mentorku."

Sebenarnya itu tidak perlu, tetapi aku sedang tidak mood untuk menjelaskan itu padanya. Biar jadi bagian Pak Jared saja yang bicara pada Daria nanti.

"Aku nggak bawa pen, Dar," ujarku sesaat setelah menyadari aku tidak membawa benda itu bersamaku.

"Ini, Ra," balasnya seraya menyodorkan pen padaku.

Aku menerimanya dan segera mencoretkan tanda tanganku di suratnya. Begitu selesai, aku segera mengembalikannya tanpa bicara apa-apa lagi.

"Makasih ya, Ra. Good luck buat acara bulan depan." Daria tersenyum dan segera pergi.

Dahiku berkerut-kerut karena pikiranku selalu menyimpulkan sesuatu yang buruk tentang Daria. Seperti tadi, kupikir aku terlalu berlebihan karena melihat senyumnya tampak seperti tengah mengejekku. Kupikir ia senang aku tetap menghadiri acara kantor, sementara dirinya menghadiri acara anniversary orangtua El.

Zara, Daria belum tentu menghadiri acara itu. Aku mengingatkan diriku sendiri.

***

Rafael L - Aku nggak bisa jemput kamu dulu hari ini, Ra.

Ada yang berbeda dari isi pesannya. Pun terlalu singkat jika dibandingkan dengan caranya mengirim pesan selama ini. El tidak membubuhkan alasan di pesan yang baru saja kuterima. Ini tentu merupakan hal yang tidak biasa. Aku cukup sadar kalau El jadi lebih pendiam sejak aku menolaknya ikut pulang. Sayangnya, aku tidak ingin bertemu mereka tanpa persiapan.

Abel baru saja pulang meninggalkanku, menyisakan aku dengan beberapa map plastik yang akan kubawa pulang. Aku ingin persiapan acara kantor cepat selesai, jadi aku akan memeriksa apa saja yang sudah selesai dikerjakan dan bagian mana yang belum. Agar besoknya aku bisa langsung fokus mengerjakan yang belum saja.

Acara kantor tiga minggu lagi. Sejauh ini semuanya berjalan sesuai harapan. Sponsor-sponsor sudah ditangani oleh bagian humas dan keuangan sejak berbulan-bulan yang lalu. Aku bersyukur di bagian itu. Jika tidak, entah dana dari mana kami yang kami pakai.

Ketika elevator tiba di lantai ruanganku berada, aku menemukan Yuda sudah berada di dalamnya. "Baru pulang, Ra?" tanyanya.

"Iya," sahutku seadanya sembari memasuki elevator.

"Ketuplak acara dies natalis pasti bikin kamu tambah repot," ujarnya dengan nada sesal.

"Aku ditunjuk. Untungnya ketuplak terdahulu membantuku. Jadi, semuanya lebih terarah."

"Semangat, Ra. Ekspektasi orang-orang tentang acara bulan depan cukup tinggi. Aku yakin kamu pasti bisa."

Aku hanya tersenyum masam. Daripada termotivasi, aku justru merasa terbebani. Bagaimana jika hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi mereka? Membuat orang lain kecewa adalah hal terakhir yang ingin kulakukan.

"Apa kamu punya sedikit nasihat buat aku?"

Yuda menggumam tidak jelas sebelum kembali bicara, "Kamu harus fokus, Ra. Jangan pikirin yang lain dulu, biar nggak keliatan capek gitu."

Mataku membulat kaget. Tidak menyangka Yuda, seorang pelawak di kelas dulu, akan mengatakan sesuatu seperti tadi. Benar katanya, aku memang harus fokus jika ingin semuanya berlangsung dengan baik. Tanpa diberitahu pun sebenarnya aku sudah tahu. Namun, aku tetap mengapresiasi masukannya, jadi aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih sebelum berpisah di lantai satu.

Aku memutuskan menunggu di pos depan. Kupikir aku akan sendirian, ternyata ada seorang wanita–yang tidak kukenali–berdiri membelakangiku sambil berbicara dengan seseorang di telepon. Semakin dekat jarakku dengan wanita itu, aku mengenali suaranya. Semesta mungkin ingin mengujiku. Karena wanita itu adalah Daria dan seseorang yang diteleponnya itu kerap kali ia sebut 'Tante'.

"Iya, Tante. Nanti aku bakal bujuk dia sekali lagi. Dia bilang nggak mau sama aku."

"Aku ngerti, Tante pasti kangen banget ya."

Aku tidak berniat untuk menguping, tetapi suara Daria cukup nyaring hingga aku berhasil mendengarnya dengan jelas.

"Iya, iya, Tante tenang aja ya. Sampai nanti, Tan."

"Oh? Hai, Ra. Udah berapa lama berdiri di situ?" tanyanya ketika menyadari kehadiranku.

"Baru aja, Dar," jawabku sekenanya.

Kami sama-sama terdiam kemudian. Aku yang memperhatikan setiap taksi yang lewat dan Daria memainkan ponselnya. Sebelumnya kami tidak pernah secanggung ini. Aku jadi agak menyesal tahu bahwa Daria pernah jadi sosok yang sangat berarti bagi El. Aku mungkin cemburu padanya.

"Sikapmu agak beda akhir-akhir ini."

Aku terpaksa menoleh karena yakin kalimat itu ditujukan kepadaku. Dan benar saja, ia sudah lebih dulu menatapku.

"Apa maksudmu?" tanyaku.

"Kamu pasti udah tau siapa aku, 'kan? Kamu nggak seramah dulu ke aku. Apa kehadiranku mengancam hubungan kalian?" Daria mengulum senyum. Aku tidak tahu bagaimana mengartikan ekspresinya itu. Tidak ada rasa bersalah di kalimatnya. Itu membuatku agak kesal, sedikit.

"Siapa pun kamu nggak akan mengubah apa-apa, Dar. Bagiku kamu tetap karyawan baru yang masih perlu bimbinganku."

"Kukira ada sesuatu di antara kalian sampai nggak makan siang bareng lagi. Ternyata ikatan di antara kalian kuat juga. Aku sampai nggak tau cara menyelip di antaranya."

Jantungku berdebar bukan main. Pengakuannya membuatku takut.

"El nggak mau pulang karena kamu nggak ikut sama dia. Mamanya sampai meneleponku untuk membujuk El. Kayaknya Tante Rena belum tau kalau kami udah berakhir."

Pengakuan kedua membuatku merasa bersalah. Dan aku tidak punya alasan untuk tidak percaya. Terlebih lagi sebelum bicara denganku, ia menelepon seseorang dengan topik obrolan yang sama seperti yang baru saja dikatakan kepadaku.

El sangat menginginkan aku untuk ikut dengannya. Apa yang harus kulakukan? Aku saja tidak bisa membayangkan bertemu dengan orangtuanya tanpa persiapan. Apalagi sampai meninggalkan acara yang berada di bawah tanggung jawabku.

"Boleh aku minta tolong?" tanyanya.

"Apa?" sahutku. Aku ingin bicara sejak tadi. Namun, aku tidak tahu harus merespons apa.

"Bujuk El biar mau pulang meski kamu nggak ikut sama dia. Bukan buat aku, tapi buat orangtuanya. Mereka kangen berat."

El cukup keras kepala dan nekat. Kalau ia sudah tidak mau, sulit membujuknya. Namun, apa aku rela tidak hadir di acara yang sudah repot-repot kupersiapkan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro