69 - Trauma

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Zara Naulia

Zara kecil tidak pernah tahu, tidak pernah mengerti, jika kehadiran pria itu ke rumah adalah pintu dari cobaan mental dalam hidupnya. Sebenarnya, aku pun tidak mengerti, mengapa saat itu Zara kecil justru tersenyum-senyum sendiri ketika Ibu memperkenalkan dia padanya.

"Zara, dia teman Ibu, namanya Om Harun. Dia banyak bantuin Ibu waktu jualan kue."

Dengan lugunya, Zara kecil mengulurkan tangan kepada pria itu. "Namaku Zara, Om."

Saat itu, Zara kecil tidak menyangka jika Harun akan menjadi bagian dalam hidupnya. Zara kecil berusia delapan tahun saat itu. Kalau aku tidak salah ingat, sekitar tiga tahun setelah perpisahan Ibu dan Ayah. Harun sering bermain ke rumah–apa tidak sopan menyebut namanya langsung? Maaf, tetapi aku tidak bisa menghentikannya.

Harun sering mengajak Zara kecil pergi ke wahana bermain. Kalian tahu, yang pernah sangat terkenal dulu, hanya perlu memasukkan koin dan kita sudah dapat memainkannya. Aku ingat pernah mengumpulkan karcisnya sampai kardus mi instan terisi penuh. Zara kecil memang suka sekali bermain game seperti itu, sebab anak-anak lain sering kali mengolok-oloknya yang ditinggal pergi oleh sang ayah.

Sampai sekarang, aku tidak tahu di mana lucunya menertawakan seseorang yang keluarganya tidak lengkap. Bisa kumaklumi karena mereka anak kecil, tetapi orangtuanya sama sekali tidak menegur mereka. Hingga akhirnya, Zara kecil pulang dengan berderai air mata.

"Zara kenapa menangis sayang?"

Zara kecil tidak berhenti sesenggukan meski Ibu sudah memeluknya dan mengelus rambutnya agar ia tenang. "Mereka ... ngetawain Zara ... lagi, Bu. Ayah ke mana? Kok, nggak pulang-pulang?"

Aku tidak pernah menyadari kalau pertanyaan itu melukai Ibu. Nyeri sekali hatiku saat mengingatnya. Kenapa aku harus mencari orang yang sudah tega membiarkan kami kesusahan?

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, atau berada di luar jangkauan."

Zara kecil memandang ponselnya dengan mata yang berair. Sudah lelah karena terus-terusan menatap layar ponsel jadul di tangannya, ia juga lelah menunggu. Sudah berhari-hari mencoba menghubungi sang ayah, tetapi tidak kunjung terhubung. Aku curiga bahwa Ayah pernah memblokir nomor Ibu agar kami tidak bisa menghubunginya. Itu pemikiran buruk, tetapi kemungkinannya sangat besar.

Setahun kemudian, Ibu berbicara serius dengan Zara kecil. Dia bilang Harun ingin menikahinya. Sebenarnya, tidak secara langsung, intinya sesuatu yang berarti bahwa Harun akan tinggal bersama kami. Zara kecil mengangguk setuju, karena pria itu sudah cukup baik padanya.

Dan itu terjadi; Ibu menikah dengan Harun. Zara kecil tidak diajak ke tempat di mana ijab kabul berlangsung, jadi aku tidak benar-benar tahu jika mereka menikah. Sampai ketika mereka pulang, dan Ibu memintaku memanggilnya dengan sebutan 'Ayah', maka berontaklah aku. Bagi Zara kecil, ayahnya hanya satu, yaitu pria yang pergi meninggalkan mereka. Sampai akhirnya Zara kecil berhasil dibujuk dengan memanggil Harun dengan sebutan ayah dalam bahasa daerah sini, yaitu 'Abah'.

Zara remaja akhirnya menduduki bangku SMP. Ia sudah memiliki seorang adik laki-laki yang lucu, yang diberi nama Daffa. Aku sangat menyayanginya, kupikir ia akan menjadi teman yang baik untukku. Karena Zara remaja tidak diizinkan bergaul dengan anak-anak lain.

"Kamu tahu? Anak-anak remaja itu nggak ada yang bener! Pacaran ke sana kemari. Itu ponsel kalau nggak diperiksa pasti udah chattingan gak bener!"

Aku tahu, bahwa Harun dibesarkan di lingkungan dengan tingkat kriminalitas yang buruk. Anak-anak di sana tumbuh tanpa pemantauan yang intens dari orang tua mereka. Mungkin itulah yang membuatnya—Harun—menjadi seorang pemabuk.

Namun, ia selalu menyamakanku dengan anak-anak lain. Semua hal yang kulakukan selalu salah di matanya. Aku ingin rapat organisasi di sekolah, Harun akan selalu menuduhku melakukan hal yang tidak-tidak. Sosoknya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Dari seorang malaikat, menjadi iblis.

Aku merasa tertekan, Zara remaja tidak bisa melakukan apa-apa karena Harun terus-terusan mengancamnya. Mulai dari menarik kembali kebutuhan ia belikan untuk Zara remaja. Hal itu membuat aku selalu merasa panik sendiri jika pergi untuk mengerjakan tugas kelompok. Jantungku berdebar, rasanya seperti ada mata yang memantauku di mana-mana.

Puncaknya adalah ketika Harun pulang dalam keadaan mabuk. Ia sangat membenci keluarga Ayah. Katanya, mereka menghilang dari jangkauan ketika aku masih kecil, dan ketika aku sudah besar, mereka datang ingin mengambilku. Aku tidak tahu bagaimana bisa ia sampai berpikiran seburuk itu. Harun dan prasangka buruknya adalah kombinasi paling mematikan dalam hidupku.

"Enak ya punya ayah dua? Di sini sakit, bisa minta di sana! Nggak tahu terima kasih!"

Keluarga Ayah datang menemui Zara remaja ke sekolah saat itu. Mereka memberi sejumlah uang untuk Zara remaja memenuhi kebutuhan sekolahnya. Tidak ada yang tahu bagaimana bisa Harun mendapatkan informasi itu, yang jelas, ia mengamuk luar biasa di rumah. Zara remaja hanya mampu meringkuk dan menangis di balik pintu kamarnya.

"Kamu perlu apa-apa, aku usahakan! Semuanya sudah kupikirkan buat kamu, tapi apa balasanmu? Nggak tahu terima kasih!"

Zara remaja menangis bukan karena ketakutan, tetapi karena semua perkataan Harun. Pria itu mengungkit semua pengeluarannya, bahkan sangat spesifik menyebutkan nominalnya. Rasanya menyakitkan saat tahu bahwa aku menikmati banyak hal milik orang lain yang ternyata tidak ikhlas memberikannya padaku.

"Asal kamu tahu, ayahmu itu nggak tahu diri! Bejat! Istrinya ditinggal, anaknya nggak diurus. Dia tahu nggak kalau kamu sakit? Pernah nengokin? Nggak! Makanya, kamu jangan lagi ketemu sama mereka. Awas kalau ketahuan, sana, nggak usah balik lagi ke sini. Nggak bakal kamu ketemu sama ibumu lagi."

Tidak hanya sekali ia akan mengamuk seperti itu. Jika ada masalah di pekerjaannya, dia akan mabuk, lalu melampiaskan amarahnya kepada kami. Meski setelah efek mabuknya hilang ia akan melupakan semuanya, tetapi tetap saja menorehkan luka di hati.

"Zara, orang mabuk memang seperti itu, mereka nggak sadar apa yang udah mereka lakukan selama mabuk."

Aku berusaha percaya itu, mengingat besoknya Harun memang tidak lagi membahasnya. Namun, aku tahu kalau ia masih mengingat itu. Sebab, sehari setelahnya, Harun akan lebih banyak diam dan menghindari menatap mata kami. Harun mungkin merasa bersalah karena ia tampaknya mengingat semuanya dengan jelas.

"Nggak, Bu, orang mabuk bukan nggak sadarkan diri, tapi dia punya lebih banyak keberanian buat ngungkapin semua yang dia rasain."

Itu yang kukatakan sampai membuat Ibu bungkam. Mungkin sebenarnya Ibu jauh lebih mengerti soal itu, tetapi ia memilih diam karena ia memang tidak berdaya saat itu. Ibu bisa saja meninggalkan Harun. Sayangnya, Ibu tidak seegois itu. Kedua adikku masih kecil jika harus berpisah dengan ayahnya. Dan Ibu tidak punya siapa pun dan pekerjaan juga tak punya. Sementara aku baru saja lulus SMA.

Aku memikirkan semuanya sejak saat itu, bahwa kehidupan pernikahan sangatlah mengerikan. Bagiku, orang-orang yang keluarganya bertahan sampai puluhan tahun adalah orang-orang yang beruntung. Aku takut menikah, aku takut jika seandainya aku juga bercerai dan anakku kelak akan mengalami hal serupa denganku. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Meski bagi orang-orang itu adalah hal sepele dan masih ada orang lain yang hidupnya lebih sulit dariku, tetapi tetap saja memberi efek luar biasa bagiku.

Aku tidak bisa fokus pada banyak hal, termasuk sekolahku. Terlalu lama mendapat tekanan di rumahku tidak baik untuk kesehatan mentalku. Sebelum sesuatu yang buruk terjadi, aku berusaha mendapatkan beasiswa di kampus luar kota. Lalu menghubungi Ayah agar bersedia membiayaiku. Tentunya dengan tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di rumah.

Selama kuliah, setiap laki-laki yang mencoba untuk mendekatiku rasanya selalu tampak gelap. Aura mereka selalu mengerikan, seperti kegelapan membungkusku sampai membuat leherku tercekat. Sesak sekali rasanya.

Sampai akhirnya pria ini datang, yang entah bagaimana ketika semakin didekati, kegelapannya kian memudar. Sekarang, ia bagaikan cahaya yang memberi kehangatan atas dinginnya masa laluku yang suram.

Ia mengulurkan tangan padaku, dan meski awalnya ragu-ragu, tetapi tanganku bergerak sendiri untuk meraihnya. Karena aku sudah merindukan cahayaku sejak lama. Namun, ketika aku berhasil menggapainya, kegelapan itu datang lagi. Kali ini bukan untuk menyelimutiku, tetapi untuk merenggut cahaya yang baru saja kumiliki. Kupikir begitu karena ia selalu ada untukku.

***

Aku terbangun dan mengerjap cepat. Setelah menonton kembali kilas balik dari masa lalu dalam mimpi, aku menemukan diriku terbangun di atas kasur di kamarku sendiri. Aku tidak ingin berada di sini semalam. Apa mungkin—

"Argh!"

Aku mengerang ketika kepalaku mendadak terasa sangat sakit, seperti ada yang menekannya dengan kuat sampai aku khawatir tulang tengkorakku akan remuk. Hal seperti ini akan terjadi jika aku memimpikan sesuatu yang buruk. Salah satunya seperti yang baru saja kumimpikan. Bahkan, itu adalah yang terburuk.

"Zara, kepalamu kenapa?"

Aku terkejut ketika menemukan El sudah ada di hadapanku. Ia menatapku cemas dan memijat kepalaku pelan-pelan.

"Kamu nggak pulang semalam?" tanyaku di sela-sela ringisan. Aku perlu alasan kenapa El masih ada di sini.

"Semalam kamu menangis sampai tertidur. Aku khawatir kamu kenapa-napa setelah bangun tidur, jadi aku tidur di sana." El menunjuk kursi yang ada di depan meja riasku. Aku bisa membayangkan betapa tidak enaknya tidur El semalam.

"El, duduk sini," ujarku dan menepuk bagian kasur yang kosong di sebelahku. El tidak bicara apa-apa dan menurutiku. Selanjutnya aku melingkarkan tanganku di perutnya. Entah kenapa aku sedang ingin melakukan ini. Kepalaku yang masih berdenyut kusadarkan di dadanya. Rasanya menenangkan saat menikmati ritme detak jantung El di dalam sana.

"Kamu abis mimpi buruk ya?" tanyanya seraya mengusap punggungku.

"Gimana kamu bisa tau?"

"Kamu nangis, Ra, tapi aku nggak tega membangunkanmu."

Ah, kukira aku hanya menangis di mimpi, tapi di kenyataannya juga.

"Kamu bisa ceritakan padaku, Ra."

Aku menggeleng pelan. "Mimpi itu terlalu buruk, aku nggak sanggup untuk mengingatnya lagi."

Dan El tidak mendesakku untuk bercerita, itu membuatku lega. "Kalau sakit nggak usah kerja aja, Ra."

"Nggak bisa, El. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku sampai hari Jum'at biar aku bisa pergi hari Sabtu tanpa dibayangi urusan kerja."

"Mau pergi ke mana?"

Aku merutuki diriku sendiri yang keceplosan mengatakan bahwa aku akan pergi. Kalau El tahu aku akan menjemput Ibu, ia pasti akan memaksa ikut. Sedangkan aku tidak ingin melibatkannya dalam masalah keluarga kami.

"Itu ... Dian dan Rosetta akan ada di kota akhir pekan ini. Jadi, kami akan bertemu di rumah Vita."

"Ah ... begitu ya."

Rafael, aku tidak tahu apa kamu benar-benar percaya atau hanya pura-pura, tetapi kumohon, jangan dulu ikut terlibat dalam masalahku. Kamu, cukup fokus dengan ibumu aja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro