1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Judul: Inteyvat

Fandom: Genshin Impact

Pairing : Dainsleif x Lumine (Fem!traveler)

Rating : T

Summary :

Sang Pelindung memberi salam kepada gadis yang tertidur itu dahulu kala. Kini, ratusan tahun telah berlalu dan gadis itu telah terbangun, sebuah perjalanan baru kembali dimulai. Namun bagi sang pelindung, semua perjalanan itu terasa bagai déjà vu tidak berujung.

-

Warning: Dainslumi, Dainsleif x Lumine, Dainsleif x Fem!traveler, DLDR, Headcannon

-

Disclaimer: Genshin Impact belongs to Hoyoverse. I don't own any of the stories or characters in it.

-

"Perkenalkan, Dain." Pemuda itu tersenyum, tangannya memberi isyarat kepada Sang Pelindung untuk memberi salam kepada sosok gadis dengan kedua mata terpejam yang dikenalkannya. "Dia adalah adikku."

Sang Pelindung memandang ke dalam peti kaca yang terbaring di tanah tepat di hadapannya itu. Peti itu dibuat dari Kristal sihir, material yang Dain, Sang Pelindung, ketahui, telah dikumpulkan sang pemuda sejak lama, bahkan sebelum mereka bertualang bersama. Baru ketika pemuda itu setuju untuk bertualanglah, perjuangannya mengumpulkan cukup material selesai.

"Aku ingin membuat sesuatu lebih dulu!" Begitulah janji sang pemuda di hadapan Sang Raja sesaat sebelum dia setuju untuk bertualang bersama Dainsleif menjelajai Teyvat.

Sang Raja, menyimpan kecurigaan pada sang Outlander, mengutus Dain untuk membantunya. Dalam modus untuk mengawasi sang Outlander dari dunia lain ini, akan apa yang hendak ia buat sebelum petualangannya. Jika senjata, harap dilaporkan sedetail mungkin, jika ramuan, harap rekam semua komposisi ramuan itu. Semua laporan itu akan diserahkan langsung kepada Sang Raja.

Dain menduga senjata adalah yang paling mungkin dibuat oleh sang pemuda Outlander. Tapi menghitung banyaknya Kristal sihir yang dikumpulkannya, senjata itu pastilah berukuran besar. Jadi Dain setuju untuk mengawasi dan menemaninya menyelesaikan apa pun yang sedang dibuat oleh pemuda itu.

Ia tidak menyangka semua Kristal itu dibuat untuk sebuah tempat peristirahatan. Bukan sebuah senjata, bukan sebuah orb catalyst. Melainkan sebuah peti mati dari Kristal sihir. Peti itu terbuka lebar tanpa penutup, memungkinkan siapa pun untuk melihat dan mengamati siapa pun yang tidur di dalamnya dari dekat, bahkan menyentuhnya.

Sepertinya sang Outlander tidak keberatan dengan semua itu. Ia bahkan menaruh peti itu di kediamannya yang kecil di dekat istana, seakan merasa yakin betul tidak akan ada yang berbuat jahat kepada adiknya di sini.

Outlander itu dengan rajinnya mengumpulkan ratusan bunga ke dalam peti, menyatukannya demi menjadi ranjang bagi sang gadis yang tertidur di dalam peti. Entah sejak berapa lama, entah sampai kapan.

Pemuda berambut emas di sebelahnya kemudian berlutut di depan peti. Dengan senyum hangat, pemuda berambut kepang itu merapihkan kasur bunga yang menjadi alas tidur bagi gadis yang ia sebut sebagai adiknya itu.

Dain akui, kemiripan di antara keduanya memang tidak bisa dielakkan. Rambut pirang yang sama, tubuh mungil yang sama, dan corak pakaian yang sama. Tapi karena dia kedua matanya tertutup, Dain tidak bisa melihat kedua mata sang gadis. Ia hanya bisa melihat wajahnya yang sedang tidur dengan anggun dan rapih, harus ia akui, kurang lebih sama dengan sang pemuda. Wajah yang damai kala menutup mata, seolah semua beban tidak ada di pundak mereka. Seolah mereka hidup dengan bebas tanpa tanggung jawab apa pun. Bebas seperti angin, bertualang sesuka hati.

Dain merasakan jantungnya berdetak lebih dalam. Menyesakkan dadanya.

"Magic Stone mampu menyerap elemen dan kristalisasi dari elemen itu sendiri, jadi aku mengumpulkannya dan berharap Kristal ini akan mampu menyerap elemen di sekeliling dan energi yang terkumpul akan membuat adikku bisa bangun lebih cepat!" Sang pemuda berkata dengan semangat. Pemuda itu lalu bangkit dan tersenyum ke arah Dain. Mata emasnya yang menyala bagai amber berbinar penuh harapan. Ia lalu berputar dan menoleh kepada Dain. Rambut kepangnya mengayun lembut seperti helai bulu burung yang tersapu angin ketika tubuh mungilnya berbalik menghadap Dain. "Aku harap kau bisa bertemu dengan adikku, Dain. Dia anak yang manis! Dan, dan, walaupun dia punya lebih sedikit ekspresi dibanding aku, dia itu anak yang sangaaat baik! Dia sangat peduli pada orang lain, dan....."

Dain diam mendengarkan lantunan pujiana tiada akhir itu dari mulut sang Outlander. Mulai dari betapa adiknya sangat anggun, betapa sikap diamnya memancarkan aura aristocrat yang mengingatkannya pada para jajaran bangsawan Kha'enriah di Majelis, dan bagaimana jika adiknya nanti pasti akan sangat menyukai padang bunga Inteyvat yang ada di banyak tempat di Kha'enriah.

"Kau sangat menyayangi adikmu, ya, Aether?"

"Tentu saja! Dia adikku satu-satunya!" Aether mengumumkan dengan bangga. Kemudian ia menoleh ke arah peti yang terbuka itu. Senyum kecil yang hangat muncul di bibirnya. "Dia saudari kembarku. Kami sudah bersama bahkan sebelum kami lahir. Jadi sebisa mungkin ... aku akan melakukan apa pun yang aku bisa untuknya."

Saudara, ya?, Dain membatin.

"Dan aku ingin ia bangun segera agar bisa berjalan-jalan dan menikmati Teyvat!" Sang outlander, Aether, menambahkan. "Lebih bagus jika ia bangun sebelum kita bertualang! Jadi kita bertiga bisa memulai petualangan bersama!"

Dain yang biasanya tenang dan tanpa ekspresi, sekarang mengerutkan kening. "Bertiga?'

"Benar!" Aether mengumumkan. Lalu jarinya menunjuk dirinya sendiri. "Aku, kau, Dainsleif, dan adikku, Lumine! Kita bertiga bisa bertualang bersama! Pasti menyenangkan!"

"Kau tahu penambahan personil harus ada dengan persetujuan para Sage dan Majelis Bangsawan, kan?"

Aether tampak kikuk. Sepertinya ia tidak menduga persyaratan itu. Dainsleif menghela napas.

"Tapi, tapi, aku yakin Lumine akan diterima dengan baik! Tidak akan ada yang protes!" Aether melirik adiknya sekali lagi dan Dain kembali melihat tatapan itu dari wajah Aether. Tatapan penuh sayang. "Karena Lumine benar-benar anak yang baik."

Dain terdiam sejenak. "Yah, kalau dia saudara kembarmu, aku yakin kalian akan kurang lebih bersikap sama."

"Ya, kan?" Aether menoleh ke Dain dengan semangat. "Kau yang belum pernah berbicara dengannya saja bisa paham! Artinya kebaikan adikku sudah terpancar dari—

"Akan sama-sama keras kepala."

Aether langsung mematung. Wajah senangnya berubah jengkel dan ia langsung menepuk pundak Dainsleif dengan keras sampai sang Pelindung merasa terganggu, meski tidak mengeluarkan suara apa pun dari mulutnya atau berekspresi lebih di wajahnya.

"Keras kepala itu lebih baik daripada kau, Kepala es!" Aether membela diri. "Kalau bukan karena aku, kau sudah menyerah dari dulu!"

Dainsleif tersenyum tipis. Perkataan itu ada benarnya. Keras kepala, sama saja seperti ambisi. Sama seperti harapan dan tekad yang terus membara selama nyawa masih ada. Aether, meski seorang Outlander yang tidak berasal dari Teyvat, justru yang paling terang memancarkan tekad yang menjadi simbol kehidupan di seantero Teyvat. Dan Dainsleif merasa senang, bisa bertualang bersama dirinya.

***

"Pada akhirnya ia tetap tidak bangun juga ya...."

Dain sedikit terganggu dengan wajah murung Aether. Tidak seperti kali terakhir mereka di sini, pemuda berabut pirang itu kini berlutut dengan wajah murung dan sedih. Selayaknya pengembara yang akan meninggalkan kampung halaman untuk waktu yang lama dan tidak tahu ... kapan akan pulang.

"Dia pasti akan bangun."

Dain mengatupkan rapat mulutnya ketika sadar kata-kata itu keluar begitu saja dari sana. Aether terlonjak dan menoleh ke arah Dain dengan wajah penuh tanya. Ketika melihat wajah rekannya begitu gundah, Dain membulatkan tekad dan akhirnya berusaha jujur. Ia menepuk pundak Aether.

"Ia pasti sudah bangun ketika kita pulang nanti," Dain lantas menatap peti dari Kristal sihir yang menyelimuti Lumine. Bunga-bunga di sana, kendati terpisah dari tanah dan sudah berhari-hari diletakkan di sana, tidak menunjukkan tanda-tanda akan layu. Kristal sihirnya bekerja dan tanaman di dalam peti memakan semua energi kehidupan yang mengalir. "Kau lihat sendiri, peti ini memenuhi fungsi saat kau membangunnya. Ia sedang menyerap energi kehidupan untuk bisa sadar. Mungkin ... hanya butuh waktu sedikit lebih lama dari yang kau perkirakan."

Aether terdiam sesaat, sebelum akhirnya tersenyum kembali. Binar harapan menyala di matanya, walau tidak seterang beberapa hari lalu. Kiranya, dia pun mulai tidak mau berharap banyak. Meski menolak untuk menyerah.

"Kau benar, Dain." Aether berkata, menyapu rambut adiknya untuk kali terakhir. "Dia akan bangun ketika kita bertualang dan akan menyambut kita saat pulang nanti. Dan saat itu...." Aether menggenggam tangan adiknya. "Aku akan mengajaknya berkeliling seluruh padang bunga di Teyvat."

Mendengar kata bunga, Dain langsung menunduk, melihat sebuket kecil bunga inteyvat yang diantarkan oleh para pendeta saat mereka bertolak dari Istana tadi.

"Kau pernah bilang, adikmu suka sekali dengan bebungaan, ya?"

"Ya, dia suka sekali," Aether mengaku. "Di setiap dunia yang kami datangi, dia akan selalu yang paling semangat untuk mendengar kisah-kisah para pahlawan, dan paling senang mendatangi tempat yang indah, yang banyak bunga bermekaran...."

"Kalau begitu...." Dain menyerahkan dua tangkai bunga dari buket yang ia terima. "Berikan Inteyvat ini kepadanya."

"Dain ... tapi bunga ini, kan untukmu...."

"Inteyvat bukan hanya untuk Kha'enriah saja," Dain mengoreksi. "Itu adalah simbol bagi para pengembara yang merindukan kampung halaman dan akhirnya pulang, kau ingat? Bunga ini telah dicabut dari tanah Kha'enriah. Saat kita kembali, bunga ini pasti masih akan ada di sini."

Aether menatap bunga di tangan Dainsleif untuk sesaat. Senyum kembali ke wajahnya. "Dan ketika kita kembali, kita akan meletakkan kembali inteyvat ini ke Kha'enriah."

Dain mengangguk. "Dan memulai petualangan baru bersama adikmu."

Aether mengangguk, menyetujui kata-kata Dain, lalu ia mengambil satu tangkai bunga Intevyat.

"Huh?" Dain mengerjap heran. "Aether, kenapa kau hanya mengambil satu?"

"Satunya lagi kau yang harus menyerahkannya." Aether menjawab, tanpa menoleh ke arah Dain. Ia meletakkan bunga itu di rambut adiknya yang tertidur di peti Kristal. "Kau adalah partner perjalananku. Kita memulai perjalanan ini bersama, mengakhirinya bersama," Kemudian Aether menoleh ke arahnya. "Dan kita akan memulai petualangan baru lagi bersama."

Dain terdiam. Ia tidak bisa berkata-kata. Hanya bisa menatap bunga inteyvat di tangannya untuk waktu yang terasa sangat lama.

Tidak, bukannya ia tidak setuju pada kata-kata Aether. Ia malah sangat setuju dan ingin bertualang bersamanya sampai akhir lalu memulai petualangan baru, seperti cita-cita Aether.

Tapi ia tidak bisa.

Takdir telah menunggunya di ujung jalan ini. Dan di dalam takdir itu, tidak ada Aether di dalamnya. Jadi Dain sendiri tidak tahu, sampai kapan ia dan Aether bisa menjadi rekan seperjalanan. Mungkin mereka akan berpisah sebelum perjalanan ini sampai ke puncak, mungkin juga ia harus mundur di langkah terakhir sebelum mereka mencapai akhir perjalanan ini.

Tapi apa pun itu, Dainsleif harus siap. Dia adalah prajurit pelindung keluarga kerajaan. Ia harus siap apa pun yang terjadi, pada kemungkinan apa pun, termasuk perpisahan yang tidak diinginkan.

Dain mencium bunga Inteyvat di tangannya untuk kali terakhir, memberinya doa dan harapan.

"Semoga kebahagiaan senantiasa menyertai petualangan kalian berdua."

Kemudian Dain meletakkan bunga itu di dalam peti, tepat di sebelah wajah Lumine yang tertidur.

"Hei, kenapa meletakkannya di sana?" Aether menyikut pelan pundak Dainsleif. Ia berbisik. "Itu, di kepalanya! Sepertiku! Taruh di rambutnya!"

"Hah? Memangnya aku boleh....?"

"Kau ini bicara apa?" Aether kerkacak pinggang. Ia tersenyum hangat pada Dain. Senyum seorang teman. "Kita, kan, akan bertualang bertiga nanti! Sudah sewajarnya kau juga ikut menaruh bunga di kepala adikku!"

Dain terdiam, membiarkan Aether bicara soal mimpinya kepada mereka berdua. Aether lalu menatap lembut ke arha adiknya yang masih terpejam. Napas dengan pelan mengalir. Dadanya kembang kempis pelan, pertanda tubuh di dalam peti itu masih hidup. Hanya kesadarannya saja yang belum bangkit.

"Aku tidak sabar," kata Aether disertai senyum bahagia. "Aku akan sangat bahagia saat kita bertiga bertualang bersama nanti, Dain!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro