Fake Birthday

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fake Birthday
Oleh: HalfBloodElf


Aku memberengut sejelek mungkin, berusaha meniru ekspresi permanen adikku. Sejak pagi aku sudah melatih wajah itu di depan cermin, setelah Mama dengan histeris membangunkanku dan berteriak kalau Jennifer, adikku yang keras kepala itu, tidak ada di tempat tidurnya dan meninggalkan secarik surat kalau seharian ini dia akan pergi ke tempat yang damai, jauh-jauh dari cabang neraka yang bernama pesta.

Demi Tuhan, ini hanya pesta ulang tahun, bukannya pesta pernikahan.

Selagi Papa menelepon beberapa anak buahnya untuk mencari Jennifer ke seluruh penjuru dunia, Mama memutuskan kalau ia tidak mungkin membatalkan acara ulang tahun Jennifer yang ke-17, yang sudah ia rencanakan—sendirian, karena selama ini Jennifer terus melancarkan protes—dengan sempurna bahkan sejak dua bulan sebelumnya. Mama sudah menyewa ballroom hotel mewah dan memilih dekorasi mahal, juga membagikan beratus-ratus undangan cantik kepada para kenalan—taruhan, sebagian tidak terlalu kenal—dan satu angkatan di sekolah adikku. Jadi Mama menyuruhku—coret, memaksa—menggantikan Jennifer, untuk menyelamatkan harga dirinya.

Aku bilang lagi padanya, demi Tuhan, ini hanya pesta ulang tahun, bukannya pesta pernikahan.

Tapi karena aku bukan Jennifer yang hobi membantah setiap ucapan Mama, aku menurut saja saat digiring ke salon seharian, menyerahkan tubuhku seutuhnya untuk dipermak. Rasanya dejavu, momen pesta ulang tahun spesialku dua tahun lalu terulang lagi.

Malam ini, orang-orang yang tidak kukenal menatapku yang duduk manis di sofa mini merah muda berdesain klasik dalam balutan gaun peach mengembang selutut tanpa lengan, dan rambut dicat coklat nonpermanen yang dihias persis seperti Taylor Swift dalam MV Love Story. Mama pecinta Taylor Swift, seperti aku. Tapi Jennifer tidak. Aku ingin bilang pada Mama kalau mungkin satu-satunya alasan Jen kabur karena tidak mau rambutnya dibentuk seperti Taylor Swift, tapi nanti Mama akan tersinggung.

Aku hampir tersenyum saat seorang paman dan bibi jauh menyalamiku, lalu teringat untuk menarik bibirku menjadi garis lurus. Ini adalah ekspresi yang membuatku paling mirip dengan Jen. Tidak akan ada yang menyadari kalau yang duduk di bawah tiang penyangga tulisan emas "Happy Sweet Seventeen, Jennifer" bukan Jen, tapi Jess. Walau beda dua tahun, wajah kami seperti kembar.

"Manisnya Jennifer," puji Bibi Jauh saat aku berdiri untuk memeluknya. "Begitu dong, kalau pakai dress kan cantik. Mamamu bilang kamu itu kayak cewek liar."

Garis bibirku semakin panjang. Tetap lurus.

"Mana Jessica?" tanya Paman Jauh sambil menyalamiku memberi kantong berisi kado.

"Sibuk." Aku mengulang jawaban yang sama untuk kesekian kalinya.

"Sesibuk apa sih, sampai ulang tahun adik sendiri nggak sempat datang. Aku yang buka tiga usaha aja kalah," tawa si Bibi Jauh.

Dan untuk ke sekian kalinya juga, aku hanya bisa tertawa hambar. Namaku jadi jelek gara-gara Jen.

Selama sisa waktu pesta aku mencoba untuk melayangkan jiwaku ke plafon beserta balon-balon emas dan perak. Teman-teman sekolah Jen berhamburan menyerangku dengan seribu pertanyaan dan teriakan semacam "Astaga ini beneran Jennifer?" yang heboh dan candaan yang tidak kumengerti. Aku hanya mengeluarkan bunyi tawa canggung, tidak yakin bagaimana sifat Jen saat bersama teman-temannya. Saat mereka curiga dan berkomentar, "Tumben kamu diam", aku menjawab, "Capek."

"Bohong."

Seorang cowok remaja melipat lengannya dan menatapku sambil berdiri. Teman-teman Jen sudah duduk di meja mereka dan menyantap makanan, jadi kini hanya ada aku dan dia.

"Ada konspirasi nih," lanjut cowok itu. "Jangan-jangan kamu bukan Jennifer."

Aku mengerjap, diam-diam melirik Mama yang sedang sibuk dengan teman sosialita dan putri remajanya—tipe putri yang akan ia bandingkan denganku setelah pulang rumah nanti. Lagu-lagu Taylor Swift versi instrumental memasuki kepalaku saat aku berusaha merangkai jawaban yang aman. Berpikir, Jess, apa reaksi Jen jika dia di posisi ini?

"Haha," tawaku sehambar mungkin. Aku mungkin harus mendaftar untuk casting film Hollywood kapan-kapan.

"Soalnya yang sekarang lagi duduk ini cantik, sih," godanya.

"Haha." Rupanya gombal.

"Happy birthday, Jen." Seorang cowok lain, menghampiriku dengan kotak pipih bercorak garis biru tua dan hitam, senada dengan kemeja lengan panjangnya yang berwarna navy dan celana jins hitam. Kehadirannya membuat cowok Tukang Gombal tadi menghilang entah ke mana—mungkin merasa terintimidasi. "Dari aku dan Rylan," lanjutnya sambil menunjuk seorang cowok lain yang sangat tinggi di belakangnya, yang kemudian lewat begitu saja di depanku tanpa sepatah kata pun.

Sial, rupanya Jen punya teman seangkatan yang begitu tampan.

"By the way," kata cowok berkemeja navy, "di mana Sherly dan Kelly?"

"Um," jawabku ragu, dengan berat hati mengalihkan pandangan dari Rylan yang mencomot gelas jus dari nampan pelayan yang lewat. Dia adalah satu-satunya remaja SMA yang memakai jas. Classy. "Kayaknya belum datang."

Dia melirik arlojinya. "Tumben."

Aku mengangkat bahu sambil meletakkan hadiahnya di tempat khusus kado dari para tamu. Ponsel di tanganku bergetar, dan saat membuka untuk melihat isi SMS yang masuk, mataku melebar.

'Samperin lah. Namanya Rylan Jenkins btw. Wokwokwokwok.'

"Permisi," kataku pada cowok yang bahkan tidak kuketahui namanya, lalu buru-buru berjalan menghampiri Mama. Jika aku tidak mengenakan hak setinggi lima senti sekarang, mungkin aku sudah berlari.

"Aku senang loh Bu Jenny datang." Aku mendengar Mama menyalami seorang temannya di salah satu meja bundar berisi ibu-ibu, paling dekat dengan panggung.

"Aku lebih senang kalau Bu Riana senang," balas ibu-ibu itu.

"Ah, aku lebih senang lah."

"Aku dong yang lebih senang. Bu Riana cantik deh, gak kalah sama anaknya. Hihihi."

"Bu Jenny dong lebih cantik. Anak saya kalah."

"Aduh, saya mah apa dibanding Bu Riana. Khekekeke."

"Ma," panggilku.

"Nah itu anaknya, Bu. Mama anak sama aja ya cantiknya, nggak bisa dibedain." Teman Mama dengan dandanan menor dan parfum berlebihan itu tersenyum manis padaku.

Mama merangkulku dan berkata, "Ini Jennifer. Jen, Ini loh Tante Jenny yang sering Mama ceritain."

Mama tidak pernah bercerita tentangnya. Tapi aku tetap menyalami Tante Jenny dengan sopan. Tangannya halus, kentara sekali hasil perawatan rutin dan mahal. "Udah berapa umurnya?"

Sesaat aku ingin menjawab sembilan belas, lalu teringat kalau ia sedang menanyakan Jennifer. Setelah dipikir-pikir itu pertanyaan yang teramat konyol, mengingat sekarang ia tengah menghadiri pesta ulang tahun Jen yang ke-17.

"Tujuh belas, Tante."

"Sama dong dengan anakku, namanya Joni. Sini Tante kenalin." Tante Jenny tampak girang saat ia melambai pada seorang remaja cowok bertubuh tambun yang asik mengisi mulutnya dengan kue tart telur.

"Ma, aku mau bicara hal penting," bisikku dengan nada mendesak pada Mama sebelum cowok bernama Joni itu akhirnya menyadari panggilan ibunya. Mama memberi isyarat padaku untuk menunggu.

"Jennifer, Ma."

Wajah Mama yang sedari tadi tersenyum kini tampak terkejut sekaligus sebal. Ia meminta izin pada Tante Jenny untuk mundur karena ada urusan mendesak, lalu menarikku ke samping panggung yang lebih sepi. Setelah aku menjelaskan padanya kalau Jen ada di ruangan ini, Mama langsung menelepon Papa, dan setelah kami berdiskusi singkat, Papa kembali menghubungi anak buahnya untuk mencari Jen di sini.

'Dasar tukang adu.' Sebuah SMS dari Jen lagi.

'Mau sampai kapan sih lu jadi bayangan Mama? Harus punya pendirian dong. Gua kabur biar Mama sadar dia gak bisa maksain apa yang dia mau ke anak-anaknya. Lah, lu pula yang mau aja jadi korban.'

Aku mengerucutkan bibir. Selama ini Jen sering menceramahiku soal ini, dan aku membalas kalau memang seharusnya kita mengikuti kemauan orang tua. Tapi Jen selalu memenangkan debat saat ia bertanya, "Bagaimana kalau Mama menjodohkanmu dengan om-om botak gendut? Lu mau aja?"

Setelah berpikir beberapa saat, aku mengetik balasan pada Jen. 'Nyerahin diri aja lah sekarang. Siapatau Mama gak akan marah kan.'

'Saraaap!!!' balasnya.

'Gua tantang lu maju ke panggung, ungkapin kalau sebenarnya lu itu Jess, bukan Jen.' Jen mengirim SMS lain lagi.

'Lu yang sarap,' balasku.

'Habis itu kukasih nomor Rylan. Mau nggak?'

Balasannya cukup menggiurkan.

'Dari mana lu tahu gua suka Rylan?' Aku menatap sekeliling, berusaha mencari sosok yang sedang mengetik, yang mungkin saja merupakan Jennifer yang menyamar. Tapi ruangan ini terlalu luas, dan sebagian remaja memang sedang sibuk memandang ponsel.

'Pandangan nggak bisa menipu, my dearest sister. Tunggu apa lagi? Ntar keburu dijodohin sama om-om tua gendut baru tahu rasa lho.'

Suara MC yang memanggil namaku—maksudnya nama Jen—ke panggung untuk memotong kue mengagetkanku. Aku menarik napas, menggigit bibir yang diberi lip tint merah muda hingga rasa manis-pahit menyentuh ujung lidahku, lalu berjalan menuju tangga panggung yang diiringi musik ulang tahun yang keras.

Jika selama ini Mama selalu stress dengan sikap Jennifer, hari ini ia akan mendapat serangan dari dua putrinya sekaligus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro