Hadiah dari Mama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hadiah dari Mama
Oleh: Hai-__

Keadaan kami tidak lebih baik daripada sebelumnya. Tungku pembakaran pengganti cahaya dan listrik yang padam. Angin kencang masih belum juga usai. Tempat tinggal kami di area pegunungan semakin menyulitkan segalanya. Tidak ada persediaan makanan yang cukup untuk kira-kira tiga hari ke depan.

Aku menghela napas. Terdengar ketukan pelan melalui kusen jendela rumah kami yang usang. Semakin lama semakin kencang. Suaranya kukenali, di antara gesekan ranting-ranting karena tersibak angin di luar. Pak Kepala Desa tengah memanggil-manggil Mama.

"Kami tidak bisa menghubungimu, Nyonya," semburnya. Mama membukakan pintu lebar. Angin membawa udara dingin dari luar menyentuh jari-jari tanganku yang tidak tertutup sweter.

Aku menahan sebal di depan tungku perapian yang mati. Secangkir teh dalam dekapanku tak lagi hangat. Semua penghuni di area sekitar tahu benar, keluarga kami telah lama memutus saluran telepon. Lebih tepatnya, setelah kepergian Bapak. Itulah sebabnya rumah terpencil kami selalu tertinggal informasi.

Mama meminta Kepala Desa paruh baya berteduh ke dalam rumah sekadar istirahat dari perjalanannya. Namun ia menolak karena sepeda kayuhnya mungkin akan lebih berguna di Balai Desa untuk mengangkut kebutuhan yang tersimpan di gudang atau dari rumah warga yang bersedia berbagi. Jadi, ia tidak punya cukup waktu berlama-lama di tempat kami.

Tidak ada makanan, listrik yang hangat dan perayaan ulang tahun yang selalu Mama lupakan. Aku tidak ingin merasakan yang lebih buruk lagi dari hari ini. Saat berminggu-minggu rumah ini dipenuhi kabut murung karena kepergian Bapak, ini pertama kalinya aku bisa melihat cerah di wajah Mama. Maka, mungkin Mama berpikir, bergabung di Balai Desa adalah pilihan yang bagus.

Aku teringat saat Mama menyampaikan keputusannya bahwa rumah kami tidak lagi memerlukan sambungan telepon.

"Tapi, Ma, aku tidak bisa menghubungi teman-temanku saat kami mengerjakan tugas di perpustakaan kota hari Minggu," raungku menyembunyikan sedih. Aku tahu, tidak ada yang bisa mengubah keputusannya.

"Kalian bisa saling berjanji sebelumnya dan bertemu di tempat tujuan. Jangan membuat semua terlihat sulit, Mala," balasnya.

Aku membayangkan peristiwa itu sambil mendekam di balik kursi kayu tua dengan selimut membungkus tubuh. Lalu suara wibawa Kepala Desa kami memecahkan lamunanku.

"Kemungkinan listrik masih berhenti beberapa hari. Balai Desa menyediakan listrik cadangan dan beberapa sumbangan hasil panen warga di penyimpanan. Kami memastikan semua warga tidak kesulitan selama itu ...."

*****

Mataku terbuka perlahan. Suara-suara bising terasa mengganggu ketentraman tidur panjangku. Aku tidak habis pikir mengapa Mama harus membuat kehebohan seperti itu. Semalam, ia memintaku bergegas pula menuruni jalan setapak dari rumah kami yang terletak sedikit lebih tinggi dari kaki gunung. Butuh waktu lebih dari setengah jam untuk tiba di Balai Desa. Rasa hangat yang aneh menyelinap ke dalam batin ketika kerumunan yang penuh sesama manusia di sana, menyambut kami. Lalu, aku pun mampu terlelap setelah makan malam, di sudut ruangan besar yang disediakan untukku dan Mama, aku tak sadarkan diri hingga pagi menjelang.

"... La,"

"Ma-la." Tangan kecil lembut menyentuh pipiku, "Oh, Ma-la bangun," seru gadis kecil berambut hitam kecokelatan sebahu. Aku mengenalinya karena salah satu tempat Mama bekerja adalah di ladang mereka.

"Uci, kamu berhasil membangunkannya,Cu ...," wanita yang dipanggil Nenek oleh gadis itu mengelus lembut kepala Uci. Kemudian ia beralih kepadaku, "Cu Mala, selamat ulang tahun," ia melakukan hal sama padaku, mengelus rambutku. Membuatku tak bisa mengelak dari kebaikannya. "Mamanya Mala juga sedang di dapur membuat masakan untuk sarapan. Semua orang di sana pasti mau memberi selamat untuk Cu Mala."

Perlakuannya yang hangat membuatku malu. Sebelumnya aku tidak merasa setelah kelas dua SMP akan merasa senang jika diperlakukan seperti anak-anak. Ah, Bapak ....

"Uci, Cucuku, gandeng Cu Mala ke tempat kita makan bersama, ya." Setelah mengucap demikian, Nenek itu berlalu dan menghilang di balik pintu besar kembar.

"Ma-la," seru Uci dengan lidah cadelnya yang menggemaskan. Mungkin karena melihat wajahku murung tiba-tiba membuat mata bulat beningnya mengerjap-ngerjap mencari tahu.

"--Yo, a-yo, Ma-la ikut Uci bantu Nenek. Uci suka bantu Nenek kupas ken-tang," pamernya gembira. Senyum lebarnya memperlihatkan gigi depannya yang belum tumbuh. Kemudian, tanpa diminta, tangan mungilnya menggenggam satu jemariku.

"Mala."

"Wah. Mala."

Dapur umu yang tadinya terasa hening, mendadak agak riuh.

"Selamat ulang tahun."

"Mala.

Gerombolan anak-anak sekira sebaya denganku berhenti bermain pasir. Beberapa lainnya menghentikan sementara memotong sayuran.

Namun aku terkejut ketika ibu-ibu yang lain dan para orang-orang tua menghentikan kegiatannya dan tersenyum ke arahku. Seseorang memulai mendekatiku dan berbicara.

"Semalam, nak Mala pasti sangat lelah, jadi kami biarkan saja istirahat."

"Meskipun Mama nak Mala bilang hanya meminta doa untuk nak Mala di hari ulang tahunnya nak Mala, tapi kami senang bisa merayakannya dengan sederhana saat sarapan bersama."

Fakta itu membuatku terkejut. Mungkinkah Mama mengatakannya ketika aku telah tertidur?

"Iya. Kita bisa berdoa bersama-sama," sambung ibu lain. Ia tengah menggendong bayinya yang tak mau berhenti menyusu.

"Maafkan ya, meskipun terlambat ...." seseorang kembali berseru riang seakan mengajak yang lainnya--yang berada di sana untuk mengucapkan sesuatu untkku.

"Selamat Ulang Tahun."

Serentak suara riuh mengalir. Di antara udara dingin, hatiku kembali menghangat. Tidak hanya itu, mungkin aku sudah merasakannya sejak tiba di tempat ini. Tapi mengabaikan orang-orang baik ini. Aku merasa menyesal telah berbuat jahat seperti itu.

Aku tidak bahkan tidak mengetahui sejak kapan air mataku mengalir. Aku mengusapnya dan berkali-kali mengucapkan terima kasih pada semuanya. Meskipun canggung, aku membalas pelukan orang-orang satu per satu.

"Sudah-sudah, ayo semua, sarapan hampir siap. Nak Mala sampai sedih, tuh. Kita sarapan dulu biar bertenaga. Nak Mala jangan sedih lagi, ya." Istri Kepala Desa menghampiri dan memelukku.

Sungguh,aku menangis bukan karena itu. "Bukan, Bu, terima kasih. Ini karena saya bahagia."

Bu Kepala Desa menepuk punggungku dan tersenyum seakan mengerti. "Itu Mamanya nak Mala sedang sangat sibuk. Ayo kita bantu."

Aku bisa melihat bersit riak bersinar di wajah kuyu Mama. Rumah kami tidak menggunakan kompor gas untuk memasak. Seharian kemarin kami kehabisan kayu bakar dan hujan membuat kayu yang kami kumpulkan basah kuyup tak bisa digunakan. Meski pagi ini dingin, cuaca yang cerah membuatku yakin hujan tidak akan turun pagi ini. Kami akan aman selama sarapan di luar ruangan.

Dan hal yang paling penting dari semua itu adalah, aku tidak pernah tahu bahwa selama ini Mama selalu memikirkanku. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bekerja untuk kebutuhanku terutama demi memenuhi keperluan sekolah. Tetapi, aku seakan menutup mata bahwa Mama tidak peduli kepadaku.

Mama selalu memikirkanku. Aku tidak tahu bahwa riak bahagia saat pemberitahuan Kepala Desa tadi malam, Mama mungkin merencanakan semua ini. Mamalah yang memberiku kesempatan untuk mendapat doa dari semua orang. Namun, dikejutkan dengan kebaikan orang-orang yang ada di sini.

Saat pandangan kami bertemu, Mama tersenyum dan menyapaku hangat. Aku membawakan bakul-bakul bambu besar berisi nasi mengepul ke meja besar panjang yang tertata rapi. Gelas-gelas air mineral tersusun. Piring-piring lauk sederhana telah lengkap.

Mama memberiku ucapan hangat dan memelukku setelah kami selesai menata makanan utama.

"Oh iya, sup jagungnya belum siap. Mama mau ambil mangkuk-mangkuk di gudang."

Orang-orang mulai berkumpul. Anak-anak diminta memanggil beberapa bapak-bapak yang masih asik berkumpul bermain catur.

Aku melihat Uci bermain dengan alat masaknya. Sang Nenek dengan sabar menyuapinya satu porsi sarapan kecil.

"Uci masak kue ulang tahun buat Ma-la," katanya.

Aku berlari kecil mengejar Mama yang belum berjalan jauh. "Ma, biar aku saja yang ke gudangnya."

Mama tersenyum. "Kalau begitu temani Mama. Biar kamu tahu tempatnya." Kami berjalan beriringan. Langkahku begitu ringan. Rasa bahagia masih bergelayut dalam dadaku. Aku akan menjaga perasaan ini. Hal itu membuatku lebih mengerti, bahwa terkadang apa yang kita pikirkan bukanlah hal yang sebenarnya terjadi.

Selama ini aku hanya mengeluhkan keadaan keluarga kami yang menyedihkan. Namun, mulai sekarang aku bisa membuat keputusan untuk membantu Mama meskipun tidak diminta. Serta bersekolah dan belajar lebih giat untuk membalas kebaikan yang selama ini diberikannya kepadaku.

Setelahnya hari ketiga listrik mulai menyala lagi di desa kami. Berpisah dengan sebagian besar penduduk desa membuatku sedih. Namun, kehangatan yang pernah mereka salurkan kepadaku, terekam baik dalam hatiku. Saat berangkat sekolah di kaki bukit atau ke mana pun kupergi, aku memberanikan diri menyapa mereka dan hubungan demi hubungan baik mulai terjalin. Aku tidak lagi selalu mengeluh. Saat akhir pekan, Kepala Desa meminjamkan sepeda kayuhnya untukku agar mudah ke perpustakaan kota. Terkadang, teman-teman kelompok belajarku bersedia berkumpul di sekolah demi aku meski akhirnya kami sedikit kesulitan karena sumber buku pelajaran di sekolah terbatas.

Dunia kecilku berubah lebih luas. Terima kasih Mama. Hadiah ulang tahunku yang paling berharga darinya telah membangunkan keberanianku menjalin ikatan-ikatan dengan orang baru sangat bermakna bagiku. Mungkin, hingga bertahun-tahun ke depan.

Tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro