Selamat Ulang Tahun?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat Ulang Tahun?
Oleh: alka_lekha

Mungkin segala materi yang dijejalkan oleh guru hari ini belum cukup untuk membuat teman sebangku lelah. Pulang sekolah ini dia memaksaku untuk mencari hadiah ulang tahun teman lamanya. Kami tidak pergi jauh, dengan sekolah yang berada di tengah kota, mudah bagi kami menemukan toko hadiah atau mall. Sementara temanku itu sibuk mencari, aku memutuskan untuk ikut melihat-lihat. Tidak buruk juga menemaninya, aku bisa sekalian jalan-jalan dan menghindar dari tugas rumah yang selalu diberikan oleh ibu.

Salah satu barang di sana mencuri perhatianku. Sebuah cermin bulat dengan pinggiran dan pengangan berwarna perak mengilat. Cermin itu persis dengan pemberian kakak laki-lakiku. Waktu aku masih SD, dia senang mengkucir rambutku. Ikat kuda, digulung dua tinggi, sampai kepangan rumit yang aku sendiri sampai sekarang tidak bisa melakukannya. Aku biasanya melihat hasil seni kakakku menggunakan cermin itu. Setelah “menganeh-aneh” rambutku, dia akan mengantarku ke sekolah yang tidak jauh dari rumah. Ah, jadi kangen, sudah lama aku tidak bertemu dengannya.

“Eh, pergi, yuk!”

Tiba-tiba temanku sudah datang dengan muka tertekuk. Sepertinya dia tidak mendapatkan apa dicari. Jadi kami memutuskan keluar dari toko itu dan menghampiri toko sebelah. Di toko itu penuh dengan boneka berbagai ukuran yang tertata rapi. Di lantai atas, bahkan kamu bisa tidur di kelilingi boneka jika mau—dan jika penjaga toko tidak melihat. Menunjuk satu boneka berukuran besar, temanku menyerahkan ponselnya kepadaku. Setelah mengambil pose duduk di tengah-tengah boneka dan memeluk boneka yang ditunjuk tadi, dia menyuruhku untuk mengambil foto. Aku hanya menurut saja, sudah jadi kebiasaannya seperti ini.

“Lihat-lihat!” Belingsatan dia menuju ke arahku untuk melihat hasil jepretan amatiran. “Ih, lucu ... ini hapus, mukaku plengeh.”

“Eh, kamu mau beliin boneka?” tanyaku was-was kalau temanku ini sudah melenceng dari tujuan awal.

“Nggak. Dia takut boneka.”

Nah, ‘kan! “Ke sini cuma buat foto?” tanyaku lagi tanpa basa-basi.

Dia tersenyum malu lalu mengangguk. “Habis ... aku bingung mau kasih apa.”

Bola mata kuputar sebagai tanda malas. “Ya kamu pasti tahu apa yang temenmu suka. Dia suka apa? Atau lagi perlu apa? Warna kesukaan dia apa ...?”

Temanku itu mangguk-mangguk saat aku mulai berpetuah. Tampak menyimak dengan antusias. “Kamu sering kasih hadiah ke orang, ya?” Aku mengangguk singkat, dia meneruskan, “Ke siapa paling sering?”

“Kakak.”

“Hadiah apa?” Dia bertanya lagi dengan cepat.

Aku terdiam sebentar. Sudah banyak hadiah yang kuberikan pada kakakku, aku sampai lupa apa saja. Tiba-tiba satu sudut ruangan tertangkap pandangan olehku. Tanganku dengan refleks menunjuk sudut itu. “Itu,” aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Boneka bantal di sana. Aku pernah memberi kakakku itu waktu aku SMP, tapi warnanya hijau. Kakakku sering begadang di depan laptop untuk mengerjakan tugas, jadi kubelikan aja buat alas duduk dia.”

“Oh ...” tanggap temanku, “kamu kasih kado ultah itu?”

Aku menggeleng, melihat reaksi bingungnya aku pun melanjutkan, “Kenapa harus memberi hadiah waktu ulang tahun kalau bisa memberi kapan aja? Kamu bisa memberi sebagai ucapan terima kasih atau minta maaf, atau tanpa alasan juga fine tuh.”

Dia melongo mendengar omonganku. Apa aku terlalu berlebihan? Apa aku seperti orang tua yang senang menggurui? Mendadak dia tampak terkaget kemudian berlari menuruni anak tangga.

“KAU DI SITU AJA!” teriaknya sangat terlambat karena aku sudah sampai di tengah anak tangga.

Saat menginjak lantai satu, aku sudah tidak melihat sosoknya. Pergi ke mana dia—ah, itu dia. Kulihat dia sudah berada di depan kasir untuk membayar sesuatu, jadi kuputuskan keluar saja. Tidak lama dia ikut keluar, lalu mengayun-ayunkan sebuah gantungan kunci berbentuk kepala panda di depan mukaku.

“Nih, buatmu.”

“Aku?” tanyaku memastikan, siapa tahu kupingku sudah budeg karena terlalu sering menggunakan earphone.

Namun ternyata temanku itu mengangguk. “Kamu ‘kan tadi yang bilang, kasih kado nggak harus waktu ultah. Jadi kukasih ini, makasih udah nemenin. Mata panda ... kek kamu ....” Dia mulai menyenggol-nyenggolkan boneka itu ke mukaku.

Dengan cepat aku mengambil boneka itu agar aksi menyenggolnya tidak berubah menjadi menimpuk. Meski sedikit kesal, pada akhirnya aku tersenyum tipis. “Makasih.”

Selepas dari toko itu, kami beralih ke mall di seberang jalan. Di sana kami lebih sering memasuki toko-toko yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan hadiah bahkan barang di sana jauh dari jangkauan dompet kami. Saat temanku memaksa untuk masuk ke game zone aku dengan tegas menolak, bilang kalau aku tidak punya waktu seharian untuk menemaninya. Syukur dia menurut, dompetku aman deh. Game zone itu paling menggoda di antara tempat lain di mall. Dulu aku sering ke sana dengan kakak. Main banyak permainan, kadang pulang dengan membawa satu-dua suvenir atau pulang hanya dengan dompet kosong.

Kami menyeberangi aula utama mall yang penuh dengan bunga asli yang tertata apik. Sayang keharumannya kalah dengan pel pegawai yang berbau seperti disinfektan dan bau keringat orang-orang. Kami tidak melihat-lihat arena itu, hanya lewat agar lebih cepat ke toko buku. Begitu sampai, temanku itu langsung menuju rak yang tidak jauh dari pintu masuk. Bukan rak novel, tapi rak berisi peralataan menggambar seperti pensil kayu, drawing pen berbagai ukuran, pewarna banyak jenis—oh, ada kalender kecil juga, kenapa di rak ini?

Temanku mengambil sebuah buku sketsa berukuran sedang. Dia juga mengambil satu pensil dan penghapus. Di bagian memilih pewarna, sepertinya dia cukup kesulitan memilih. Menghindari pertanyaan “Menurutmu bagus mana?” aku berpura-pura memilih benda-benda di sana. Kalender kecil yang aku lihat tadi rupanya memiliki sketsa tipis di sekililingnya yang aku duga dapat diwarnai suka-suka.

Memperhatikan kalender itu mengingatkanku akan sesuatu. “Hey, temanmu ulang tahun kapan?”

“Tanggal 7 bulan ini, seminggu lagi. Kenapa?”

Ah, ternyata benar. Bisa-bisanya aku lupa hari sepenting ini!

“Oi, ada apa?!”

Suara cempreng seketika memasuki gendang telingaku hingga rasanya mau pecah. Kulontarkan tatapan tajam yang dibalas dengan tatapan mendelik kesal.

“Ada apa?” tanyanya lagi.

Aku hanya menggeleng pelan, tetapi melihat muka tidak puas dari temanku itu, aku menjawab, “Aku lupa. Kakakku ulang tahun hari ini.”

Temanku itu membelalakkan mata, tidak percaya. Ah, aku juga tidak percaya bisa melupakan hari ini.

“Ayo sekalian beli hadiah! Aku bantu cari!”

Sekali lagi aku menggeleng. Mengalihkan atensi menuju keluar menembus dinding kaca, aku menatap barisan bunga dan tanaman di aula mall. Aku sudah tahu akan memberikan apa pada kakakku.

Kira-kira pukul lima lebih kami pulang menggunakan bis. Temanku duluan karena bisnya datang pertama, kami berbeda jalur. Sambil menunggu, aku menelepon ibu. Yah, aku tahu aku harusnya menelepon dari tadi, tapi aku tidak mengira akan selama ini.

“Ibu, adek pulang agak telat. Bukan tugas, tadi nemenin temen cari hadiah. Adek sekalian mau mampir ke tempat lain. Mau ngunjungin kakak, udah lama nggak nenggok. Tentu. Iya, adek bakal hati-hati.”

Bis dengan jalurku datang tidak lama setelah panggilan terputus. Meski di dalam tidak sesak, aku dengan hati-hati membawa kantong yang kubawa. Aku tidak ingin bunga yang kubeli kenapa-napa.

Perjalanan memakan waktu setengah jam lebih karena jalanan cukup ramai. Seperti yang kukatakan pada ibu, aku mampir ke tempat lain untuk mengunjungi kakak. Tempat itu sejalur dan tidak terlalu jauh dari rumah. Jadi nanti aku bisa jalan kaki untuk pulang.

Sampai di suatu gapura kecil, aku melewati rumah-rumah kecil untuk menuju kakak. Di tempat kakak, aku berlutut di tanah kering. Ah, harusnya aku beli minum dulu. Ini jadinya kalau terlalu buru-buru, lupa semua! Sebagai alternatif, aku menuangkan sisa air minum ke tanah meski tidak semua. Di tanah basah itu, aku meletakkan bunga yang kubeli.

Bunga memiliki mahkota yang sangat lembut berwarna ungu dan ada juga yang putih. Bentuknya cukup lucu, seperti kupu-kupu bagiku. Di sana, bersama kakak, bunga itu dapat mengeluarkan aroma yang sesungguhnya. Aku tidak bisa menjelaskan dengan detail, yang jelas jauh beda dengan bau disinfektan apalagi keringat.

Tidak banyak yang kukatakan di depan kakak, kakak juga sama, hanya terdiam bersama keheningan langit yang sudah berubah warna. Sekarang aku tahu kenapa aku tidak mengingat hari ulang tahunmu, Kak. Karena aku sebenarnya tidak ingin merayakannya. Tanpa sadar seulas senyum kusunggingkan.

Tidak ingin berlama-lama di tempat horor itu terutama saat hari menjelang malam. Aku putuskan segera pergi. Namun, sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, aku berbalik untuk melihat kakakku .... Ah, tidak, lebih tepatnya makam kakakku.

Kakakku sudah meninggal beberapa bulan lalu. Tepatnya beberapa bulan sebelum aku memasuki jenjang sekolah menengah atas. Dia tidak sakit apalagi kecelakaan. Dia hanya tertidur, lalu paginya pergi tanpa berpamit. Tanpa peringatan apapun, dia pergi ke sisi Tuhan. Meski sedih, aku ingin berpikir bahwa dia pergi karena memang Tuhan menginginkannya. Tuhan tidak ingin hambanya yang berhati baik itu ternodai oleh dunia, atau Tuhan pikir kakakku mungkin tidak sanggup bertahan di kehidupan? Apapun itu, aku tahu Dia dicintaimu, Kak, jadi aku tidak perlu sedih berlama-lama.

Memandang bunga yang kutinggalkan, Sweet Pea, aku berbisik lembut, berharap Tuhan akan menyampaikan ucapanku padamu, “Selamat Ulang Tahun.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro