The Full-Time

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

The Full-Time
Oleh: aimsyifaaa

Januari 2019, Kehangatan tak terbatas.

"Hei, anak muda! Ternyata kau datang lagi," ucap seseorang Nenek dengan topi lebarnya yang berdiri tidak jauh dariku. Aku dapat melihat jelas wajahnya yang mulai menua. Namun, itu tidak menutupi jiwa dan semangat mudanya.

Aku tersenyum ketika sudah mendekati Nenek, "Apa aku sudah melewatkan sesuatu yang penting? Sepertinya, aku memang di takdirkan untuk membuat nenek tua ini selalu tersenyum."

"Ah, kau memang menjengkelkan. Kau tak tahu? Bahkan aku saja masih cocok dengan panggilan Ibu dan Bibi," tuturnya menyombongkan diri.

Tanganku terus mengetuk dagu, memikirkan perkataan Nenek. Aku tertawa kecil, sepertinya aku tahu bagaimana cara membalasnya.

"Iya, kau pantas menjadi Ibu pada silsilah tertinggi. Hmm, bagaimana kalau Eyang Uti?" tawa ku meledak setelah membalasnya.

Nenek menatapku dengan tajam, "Apa semua anak muda di kota sepertimu?"

Aku terdiam, padahal niatku tadi hanya ingin bergurau. Lalu nenek tua menepuk pundakku, "Jangan dipikirkan, aku tahu kau bercanda. Sudahlah ayo kita segera pergi ke pesisir. Sebelum matahari terbenam, " sambungnya.

Kami pun bergegas berangkat menuju pesisir pantai. Sebelumnya, nenek tua yang ku sebut tadi bernama Mirna. Nenek itu memberikan ku beberapa perlengkapan yang harus dikenakan ketika membantunya.

Tidak perlu waktu berjam-jam, karena pesisir pantai dengan rumah Nenek Mirna hanya berjarak empat ratus meter. Dengan alat seadanya kami pun mulai mencari kerang, yang bisa disebut sebagai penopang kehidupan Nenek Mirna.

Di saat mencari kerang, kami berpencar. Aku sudah membawa ember untuk menampung semua kerang yang ku dapat. Tanganku, terus bergerak mencari kerang. Ternyata, mencari kerang tetaplah sulit, walaupun aku sudah sering melakukannya pekerjaan ini. Setidaknya, setiap satu tahun sekali aku melakukan kegiatan ini bersama Nenek.

"Seandainya kerang mengerti ucapanku, akan aku suruh mereka langsung masuk ke dalam ember."

Rasanya kaki ini sudah tidak mampu menopang tubuhku. Akhirnya, aku duduk saja di samping wadah kerang.

Tiba-tiba saja Nenek Mirna berteriak, "Astaga, kau ini laki-laki bukan?"

Aku menoleh ke arah sumber suara, menatap Nenek Mirna yang sudah bertolak pinggang. Setelahnya, Nenek berjalan ke arah ku sambil membawa ember yang sudah terisi penuh kerang.

Aku menghela napas pelan. Sudah ku bilang kan sebelumnya, Nenek ini masih memiliki semangat dan jiwa muda. Berbeda denganku yang selalu mengeluh.

Kini, Nenek Mirna sudah berdiri di hadapanku, dengan tatapan mautnya. Tidak sampai di situ, entah sejak kapan tangan Nenek sudah berada di daun telingaku. Lalu di putarnya daun telingaku sampai memerah.

"Sudah ku bilang, kau ini masih muda! Bergerak lah semaumu, sebebasmu, manfaatkan masa mudamu Wahai Anak muda."

Aku hanya memasukkan ucapannya ke arah telinga kanan lalu akan ku keluarkan dari telinga kiri

"Astaga! Kau ini benar-benar. Aku sedang memarahimu, Bodoh. Kenapa kau tersenyum seperti itu?"

Saat Nenek Mirna memarahiku, aku tidak merasa takut akan omelannya. Aku justru senang jika dimarahi seperti ini. Sudah sejak lama aku tidak dimarahi oleh Ibu sejak sepuluh tahun yang lalu.

"Apa Nenek tahu? Aku mempunyai hobi baru, yang baru ku temukan sejak bertemu denganmu," ucapku sambil terus melihat ke arah Nenek

Nenek menurunkan tangan dari pinggangnya lalu menghela napas pelan, "Jangan coba-coba mengalihkan pembicaran. Durhaka kamu, sama orang tua seperti diriku."

Kepala ku menggeleng pelan, menandakan bahwa aku tidak bermaksud seperti itu, "Jawab saja dulu, setelah itu kau boleh memarahiku sampai ke rumah mu."

"Anak ini benar-benar membuatku pusing,"keluhnya.

Mataku terus berkedip, seperti tingkah laku seorang anak kecil yang memohon dibelikan permen. "Aish, matamu membuatku geli. Baiklah, aku jawab. Apa hobi baru mu?"

Bibirku mengulas senyum bahagia, " Hobi baru ku adalah menatapmu dan mendengar celotehan saat kau memarahi ku."

"Ah, kau makin kacau saja. Ayo, berdiri! Kita pulang saja. Aku semakin khawatir kepadamu," pinta Nenek sambil menepuk bahuku.

•••

Aku masih berjalan lambat. Sementara Nenek Mirna sudah berada jauh di depan. Sudah cukup lama Aku tidak mendapatkan pemandangan seperti ini, hanya tersaji satu tahun sekali. Aku terus berdecak kagum melihat sekeliling, hingga menghiraukan teriakkan nenek tua yang sedari tadi terdengar.

"Dio, kau berjalan lambat sekali. Cepatlah! Kau tidak lagi mengikuti kontes modelling saat ini," Nenek berteriak dari depan dan menyempatkan menoleh ke belakang.

Aku bukan Dio kalau tidak keras kepala. Bahkan di beberapa tempat, aku berhenti sambil mengabadikannya dengan telpon pintar. Saat Nenek Mirna sudah jauh berjalan, di sini lah aku baru sadar kalau aku di tinggalkan.

Untung saja letak rumah Nenek Mirna tidak begitu sulit untuk ku ingat. Bisa dipastikan aku sampai dengan selamat.

"Nenek akan memasak kerang yang tadi kita cari, kau mandi saja dulu," perintah nenek saat mengetahui aku sudah memasuki rumah.

"Baiklah."

Sudah lima belas menit berlalu, aku sudah berpakaian rapih dan segera menuju dapur. Nenek yang menyadari kehadiranku pun menoleh, " Kau sudah selesai? Mari kita makan bersama."

Hanya suara dentingan sendok yang menjadi alunan saat kami makan. Mungkin, karna kami sudah lelah yang menjadikan kami makan begitu lahap.

" Apa nenek senang?"tanya ku yang melihat Nenek makan begitu lahap.

Sendok yang berada di genggaman nenek perlahan menghentikan aktivitasnya. Kepalanya mendongak menatap wajaku, lalu diiringi senyum tulus. " Kau tidak perlu tahu, seberapa bahagianya aku jika kau datang mengunjungi tempatku."

"Tapi, ketika kamu sudah pergi ke kota. Aku selalu merasa bersalah, karna aku tidak dapat memberikanmu hadiah ulangtahun," ucap nenek dengan berlinang air mata.

Aku langsung duduk di sebalah nenek, mengusap punggungnya perlahan. "Aku tidak pernah meminta apapun. Aku hanya mau nenek selalu sehat."

"Nenek itu sama kayak Ibu Dio. Berharga, dan enggak bisa digantikan oleh apapun," ucapku.

Setelah ku ucapkan kata-kata itu tangisan nenek tidak mereda, malah makin menjadi-jadi. "Tenanglah, Nek."

"Apa nenek ingat, pada hari Ibu dan Aku membantu mu ?"

Nenek menatapku, "Tentu saja aku ingat."

" Ada keajdian penting setelah itu. Baiklah aku akan menceritakannya kepada Nenek."

•••

Di depan perapian, tempat mengaduh 2008

Pagi-pagi sekali, rumahku sudah banyak tamu dari teman-teman Ibu. Padahal sudah ku bilang, kalau ibu sudah berangkat bekerja. Mereka tetap memaksaakan diri agar aku memberikan mereka masuk. Setelahnya, aku persilahkan mereka duduk di dekat perapian.

Terhitung sejak aku mempersilahkan mereka duduk. Tidak ada yang berbicara kepadaku tentang maksud dan tujuan mereka. Mereka hanya menatap satu sama lain. Mereka seperti orang kebingungan saja.

" Sudah ku bilang bukan? Kalau ibu sudah berangkat bekerja. " ujarku

"Silahkan, kalau kalian tidak ada kepentingan. Pintu keluar ada di sebelah sana. Terlebih lagi ini masih pagi, kalian menggangu waktunya anak kecil menonton serial kartun." Sarkasku.

Akhirnya, mereka semua berdiri. Berjalan keluar satu persatu. Dan orang terakhir keluar mmeberikanku sebuah ampolop yang bertuliskan kop rumah sakit tempat ibu bekerja. Aku kembali menatapnya, namun hanya dibalas senyuman.

Tanganku membolak-balikan amplop surat tersebut. Lalu ku pastikan lagi bahwa mereka sudah benar-benar pergi dari halaman rumahku. Aku membuka suratnya di depan perapian. Baru saja aku membuka suratnya, tepat di bawah kop surat bertuliskan , 'SURAT KETERANGAN KEMATIAN'

Surat itu tergeletak begitu saja, baru saja kemarin hari ulang tahun Ibu, dan baru kemarin aku melihat ibu tertawa lepas bersama nenek Mirna. Nenek yang di bantu Ibu seharian penuh di hari ulang tahunnya.

Setelah pulang dari rumah Nenek Mirna kemarin. Ibu berkata, " Perayaan itu tidak terlalu penting buat Ibu. Yang penting itu apa yang bisa kita berbuat untuk sekitar sebagai ucapan tanda syukur kepada Tuhan. Atas umur yang diberikan-Nya. "

Apa yang harus aku lakukan pada hari ulang tahunku hari ini? Apa aku harus bersyukur atas kematian Ibu? Bagaimana bisa aku mensyukuri kepergian seseorang yang aku sayangi.

•••

Aku terus mengecup dan mengelus pelan rambut Nenek Mirna. " Bahkan Ibu Dio mempunyai cara tersendiri untuk melakukan perayaan. Tidak memerlukan kado, yang Ibu inginkan hanya terbitnya tawa dari orang sekitarnya."

Nenek memeluk aku sangat erat, "Ternyata kau sudah banyak belajar dari kepergian ibu mu."

"Begitu pun denganku. Aku ingin meneruskan cara yang Ibu lakukan pada hari itu kepada Nenek, di setiap hari ulang tahun Ibu. Aku tahu, Ibu sangat menyayangi Nenek. Terlihat dari sorot mata Ibu, dia saat Ibu lebih membantu nenek mengantar kerang, membawa kerang ke penjual, sampai ibu antar nenek kembali ke rumah. Di saat itu juga yang Ibu pikirkan hanya kebahagiaan Nenek."

END

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro