10 Januari 2014

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Hantu.

Jadi hantu.

Aku. Jadi. Hantu.

Aku—

"Olive!" Wilis menggedor pintu kamar adiknya. Saat itu pukul 6 pagi, dan aku duduk meringkuk di undakan ketiga dari atas pada serangkaian anak tangga yang menuju koridor ke kamar-kamar mereka.

Sejak semalam, aku dilanda syok. Aku tidak melakukan apa-apa selain berdiri diam di depan pagar rumah mereka sampai ayah dan ibu Wilis pulang—ibunya pulang bertelanjang kaki. Ketika Denim mengikuti mereka, aku pun mengekor. Keduanya tidak mendengarku, langsung menutup pintu di depan wajahku. Aku berdiri di sana, telantar sampai tengah malam. Aku tidak merasa lelah, atau perlu duduk, atau lapar, atau haus—hanya kebingungan, merasa segalanya tidak pada tempatnya, termasuk badanku sendiri.

Yah ... aku sudah tidak punya badan.

Saat anjing-anjing liar mulai berkumpul di depan pagar dan menggonggong ke arahku, aku pun tidak punya pilihan—kudorong paksa akal sehatku untuk mundur. Kubiarkan insting manusiaku yang terakhir mengambil alih: aku harus melakukan sesuatu dan bukannya melayang-layang di teras orang dalam keabadian.

Kulakukan hal paling tidak masuk akal, hal paling terakhir yang bakal kupikirkan, hal yang membuatku merasa bergidik andai aku masih bisa bergidik: aku masuk dengan menembus pintu depan.

Aku mondar-mandir tidak tentu arah dari ruang tamu sampai dapur hampir semalaman, lalu akhirnya mencoba memanjati tangga ke lantai dua yang sama sekali tidak terasa seperti 'memanjat' atau 'melangkah naik'. Konsep itu jadi begitu asing sekarang karena yang kulakukan adalah berdesir naik seperti angin.

Aku menekuk kaki, mencoba mengingat bagaimana rasanya duduk. Di sinilah aku sekarang, saat Wilis mengetuk pintu kamar Olive; duduk di undakan tanpa bisa merasakan apa itu duduk. Aku bahkan ragu pantatku menyentuh papan undakan.

Sosokku yang sempat buyar mulai terbentuk, lalu buyar lagi, lalu memadat kembali hanya untuk memudar untuk kesekian kalinya. Aku sekarang sama remehnya dengan asap dari bakaran sate ayam yang wujudnya bergantung pada arah kipasan paman penjual sate.

"Aku sudah menelepon ke hampir semua teman sekelas," kudengar suara Wilis berbisik keras saat adiknya membuka pintu, "tidak ada yang melihat Grey! Aku tidak bisa tidur semalaman!"

"Kau kira aku tidur?!" balas Olive sambil menunjuk wajahnya yang pucat dan gelap. "Lihat, kantung mataku beranak!"

Dari celah kaki mereka, Denim melenggang keluar dan menghampiriku lagi. Hanya dia yang bisa melihatku. Aku hampir memeluknya karena terharu, lalu teringat aku hampir tidak mampu menyentuhnya. Kontak kami hanya sebatas dia yang mengeong-ngeong padaku.

"Kita sudah kembali ke sana, tapi rumah itu sudah tidak ada lagi!" lanjut Olive. Rambutnya kusut masai, kancing piamanya terpasang timpang, dan sandal bulunya terbalik antara kiri dan kanan. "Artinya, kita tidak bisa menemukan rumah itu kalau tidak ada Grey! Dan kita tidak bisa menemukan Grey kecuali menemukan rumah celaka itu! Jadi, sekarang kau mau bagaimana?!"

"Sudah kubilang, mestinya kita langsung telepon ibunya saja!"

"Telepon saja!" Olive hampir meninggikan suaranya, tetapi buru-buru memelankannya kembali saat Wilis menekan jari ke bibir. Keduanya melirik ke pintu kamar orang tua mereka di seberang, lalu gadis itu melanjutkan, "Telepon saja—tapi, aku sudah bilang—kalau ini sampai terdengar ke telinga Ibu dan Ayah, kau yang harus jelaskan ke Ibu, dan aku jelaskan ke Ayah!"

"Kenapa aku kebagian yang tidak enak?!"

"Karena aku takut sama sendal Ibu!"

Olive membanting pintu kamar di depan wajah Wilis, tetapi cowok itu masih enggan beranjak. Keduanya bertukar caci-maki dalam bisikan-bisikan keras selama beberapa menit. Pertengkaran yang terhalangi daun pintu itu berakhir saat pintu kamar di seberang terbuka. Wilis terbirit kembali ke kamarnya saat ayahnya muncul dengan jaket ketat dan celana jogging kedodoran.

"Wilis, kau mau ikut ayah lari pa—"

Namun, pintu kamar anak sulungnya sudah berdebum tertutup.

Aku memandangi pintu kamar Wilis dan Olive bergantian, merasa ada sesuatu yang semestinya kulakukan ... tetapi apa? Rasanya persis seperti melupakan sebuah nama, hampir mengingatnya, dan sudah di ujung lidah.

"Denim, kau rajin sekali—bangun lebih pagi daripada majikanmu. Kau mau makan?" Denim tidak mengerti ucapan si pria tambun dalam pakaian olahraga, tetapi si kucing kecil langsung mengekorinya karena melihat gerakan jari tangannya yang mengundang. "Kapan terakhir Olive memandikanmu, hm? Belang putihmu hampir tidak kelihatan sekarang."

Putih ....

Kinantan!

Aku memelesat penuh gairah saat menyadarinya—semestinya kulakukan dari semalam! Menemui Kinantan, bertanya apa yang terjadi padaku, kalau perlu mendesaknya mengaku! Maksudku, ini pertama kalinya aku merasa kebingungan, dengan seluruh panca indera dibekap, boro-boro menggunakan mata batin. Otakku tidak berjalan dengan semestinya—barangkali karena organ itu ketinggalan dalam badanku atau apa.

Menembus pintu kamar Olive, aku merasakan bentukku mulai kembali—manifestasi utuh. Aku bisa melihat tanganku, warna kulitku yang samar, dan pakaianku yang kukenakan terakhir kali di rumah gaib itu. Kakiku seolah menapak, dan untuk sesaat, hanya sesaat, aku mencecap wangi kamar Olive dan udara sejuk ... seakan-akan kehidupan telah dikembalikan kepadaku.

Olive sedang duduk di atas tempat tidurnya, berwajah pucat dan mata menerawang ke lantai. Tangannya memaksakan sisir di rambutnya yang kusut, lalu menyerah separuh jalan, membiarkan sisir itu menyangkut di tengah-tengah rambut ikalnya. Dia menggaruk-garuk ke balik baju piamanya.

Gadis itu mengangkat kepala saat aku mendekat. Kantung matanya yang beranak itu berkedut, tatapannya mendadak terfokus, dan mulutnya terbuka lebar. Jeritannya lolos.

Aku, mau tak mau, ikut menjerit.

Olive masih memekikkan serangkaian huruf A dengan nyaring, lalu suaranya mulai tersendat. Jari telunjuknya menghujam ke arahku. Dia mulai tergagap, bergerak kelojotan, berguling panik dari atas ranjang, dan jatuh berlutut ke lantai.

Sebelum aku bisa bereaksi, gadis itu berlari keluar, hampir seperti menjebol pintu kamarnya sendiri. Kudengar dia berteriak panik, "AYAH! ADA HANTU GEBETANKU DI KAMARKU!"

Dari celah pintu yang terbuka, aku melihat Wilis, berupa kelebatan dan bergerak cepat menyusul adiknya menuruni tangga. Tidak lama kemudian, ibu mereka menyusul, kepala masih dipenuhi roll rambut, melangkah gusar menuruni tangga, dan tangannya menenteng-nenteng sandal kamar.

Wujudku mulai samar lagi. Tanganku kembali jadi asap terkibas kipas sate. Di belakangku, kudengar suara tawa histeris.

"Ya ampun!" Itu Kinantan, si gadis hantu dengan pakaian dan rambut berombak yang manifestasinya begitu sempurna sampai aku merasa dengki setengah mati. Kakinya yang telanjang dan putih mulus melonjak-lonjak. "Aku tak menyangka—ini bahkan lebih lucu dari yang kuharapkan! Kukira kau bakal langsung ditelannya bulat-bulat, tapi tampaknya kau lebih alot dari yang kukira, atau Jerau ternyata masih punya selera—kau jadi hantu juga! Betapa menyenangkannya!"

"Kenapa aku jadi seperti ini?!" bentakku. Seolah kembali ke tubuh bocah kecil berumur 8 tahun, aku mulai menghentak-hentakkan kaki hantuku, yang mulai pudar dan tanpa warna. "Apa yang terjadi?! Ke mana tubuhku?!"

"Bagaimana rasanya?" Si gadis hantu mengabaikanku dan terus mengoceh kegirangan. "Aku hampir lupa rasanya jadi hantu newbie! Kebingungan, 'kan? Tidak enak, yah? Susah beradaptasi? Yeah, kalau hantu manusia biasa yang selagi hidup tidak punya kemampuan khusus atau mata batinnya tumpul, mereka tidak akan bisa adaptasi sama sekali dan mulai mengulang-ulang tragedi kematian mereka. Tapi sekarang pun mata batinmu jadi tidak berguna karena, jangankan sok-sokan menerawang nasib orang, otakmu saja tidak jalan. Hmm, kurasa butuh waktu kurang lebih beberapa bulan sampai kau jadi dungu dan berhenti mempelajari hal-hal di sekitarmu, bergentayangan di sekitar kompleks ini. Ya, ya, aku akan mengamatimu dari sini dan tertawa selamanya."

Aku mencoba meremas rambut dengan frustrasi, lalu sadar aku sudah tidak punya rambut—bukan berarti aku botak, tetapi rambutku kini tidak ada ada secara fisik dan hanya ... yah, kalian tahu maksudku, 'kan?!

Kewarasanku hampir surut dan aku nyaris menjadi cangkang kosong bergentayangan lagi seperti semalam saat kemudian perasaan hidup itu kembali. Lapis demi lapis akalku menyatu, pikiranku mulai menjernih, dan saat itulah Olive masuk bersama ayahnya.

Sisir masih menyangkut di rambut sebahu gadis itu, sandal bulunya hilang sebelah, dan wajahnya jauh lebih pucat daripada sebelumnya. Ayahnya, dengan sebelah telinga tersumpal headset dan tangan memegangi iPod mp3 player, memasang wajah masam dan malas ketika diseret anak gadisnya.

"Itu!" Olive menunjuk, jarinya hampir menembus hidungku. "Hantunya Grey!"

"Nak," kata ayahnya dengan letih, dan pria itu bahkan belum mulai jogging. "Sekarang, di bawah, kakakmu kena masalah dengan ibumu karena teriakanmu itu. Tidak akan makan waktu lama sampai ibumu menyasarmu juga."

Olive memucat, jari tangannya meraba pipi seolah dia sudah bisa merasakan tekstur sandal kamar di wajahnya.

"Jadi, Ayah akan berpura-pura kegilaanmu pagi ini tidak ada. Anggap saja Ayah sedang berbaik hati karena kita semua yakin, apa yang akan dilakukan ibumu sebentar lagi akan melunasi semua peranan orang tua dalam memberi hukuman pada anaknya."

"Tapi, di sana betul-betul ada hantunya—"

"Olive, Sayang, kau terlalu banyak menonton Paranormal Activity belakangan ini. Dan, setelah insiden penemuan makam itu kau pasti kaget—Ayah paham. Tapi, kau juga harus mengerti, di tempat kita, terutama bagi orang-orang tua, adalah hal wajar untuk menguburkan keluarga dekat di pekarangan rumah mereka. Makam itu tidak otomatis membuat rumah kita berhantu, dan masalah harta karun itu bisa saja kakakmu dan Grey hanya sedang mengerjaimu karena kau terlalu polos."

Pada bagian ini, Olive memasang paras jengkel dan kembali ke ekspresi keras kepalanya. "Mengerjai adalah bagianku! Aku yang mengerjai Wilis dan bukan sebaliknya!"

"Baiklah." Pria itu memasang headset yang sebelah lagi. "Ayah akan pura-pura tidak dengar yang itu juga, kecuali kau kepingin dihukum lagi atas selai nanas dalam pasta gigi kakakmu."

"Tapi aku sudah dihukum buat yang itu!"

"Apa? Ayah tidak dengar—musiknya sangat keras!"

Olive menarik iPod di tangan ayahnya. "Musiknya bahkan belum menyala!"

"Oke, sebentar." Ibu jarinya bergerak. "Nah, saatnya pura-pura jogging sebelum ibumu minta ditemani ke pasar."

"Aku dengar itu!" Istrinya berteriak dari lantai bawah. "Tanpa Grey di sini, dan anak-anak berulah, mau tidak mau kau yang harus mengantarku ke pasar!"

Pagi itu seperti kerusuhan di kediaman keluarga Wilis. Pada akhirnya, sang kepala keluarga berhasil lolos dan pura-pura jogging di jalanan, kemungkinan besar sengaja tersesat ke warung nasi kuning dekat taman kota. Wilis terpaksa menemani ibunya ke pasar.

Olive? Dia masih berusaha tenang. Gadis itu berdiri di ambang pintunya, membiarkannya terbuka, agar dia bisa kabur kalau-kalau aku mencoba menelannya, katanya.

Ini anehnya: Olive tidak bisa melihat Kinantan yang berdiri tepat di sisiku. Dia masih tidak melihat makhluk-makhluk gaib, entah itu yang bergelantungan di kipas angin langit-langit ruang tengah, atau wajah tanpa tubuh di dalam kaca kotak obat di kamar mandi lantai bawah. Namun, dia bisa melihatku.

Dan aku terbentuk secara utuh hanya jika berada di dekatnya. Pikiranku jalan dengan baik, dan seluruh indraku berfungsi selayaknya manusia hidup di hadapannya. Seakan aku hidup kembali meski masih dalam sosok hantu.

"Kau bisa melihatku." Aku memulai ketika Olive sudah berhenti gemetaran, mencabut sisir dari rambut, dan menemukan sebelah sandal bulunya. Denim di pangkuannya, dan gadis itu akhirnya cukup rileks untuk duduk di ujung tempat tidurnya sendiri sementara aku berdiri dekat jendela. "Ini teoriku: tubuhku ketinggalan di rumah gaib itu. Sesuatu terjadi di sana, membuat ruhku terpisah dari raga, dan kau ada di sana saat itu terjadi, barangkali cukup dekat sampai-sampai sukmaku terpaut pada kehadiranmu."

"A, aku memang memanjat lagi begitu kau berbalik ke dalam." Gadis itu mengakui. "Wilis juga, tapi kami sempat terpisah. Aku mendengarmu berteriak, lari ke arah suaramu, tapi aku tidak melihatmu di mana-mana, dan tahu-tahu aku tidak ingat apa-apa lagi. Mungkin aku pingsan atau apa. Wilis juga. Begitu kami bangun, sudah fajar, kami terbaring bersisian di tanah kosong itu, dan kau tidak ada."

"Baiklah." Aku menepukkan tangan hantuku dan, betapa senangnya, aku bisa merasakannya bersentuhan dan berbunyi samar. "Cuma kamu yang bisa melihatku, jadi—"

"Cuma aku," kata gadis itu dengan alis terangkat, "yang bisa melihatmu?" Lalu, dengan suara sepelan bisikan dan cengiran samar, Olive menambahkan, "Yes ...."

"Apa?"

"Apa?" sahutnya, mengerjap-ngerjap polos. Mengalihkan pembicaraan, gadis itu berdeham. "Jadi, hanya aku yang bisa melihat dan bicara padamu. Betul begitu, Grey?"

"Ya ...." Aku meragu. "Jadi, Olive, aku minta tolong—"

"Maka ...."—Senyumannya melebar, dan aneh rasanya betapa aku masih bisa merinding dalam wujud hantu—"Maka, kau akan sangat membutuhkanku, setidaknya sampai kau balik lagi jadi manusia."

Manifestasi jiwaku tersaruk mundur. "Apa yang akan kau lakukan padaku?"

"Kau hantunya di sini, seharusnya aku yang bilang begitu," katanya sambil cemberut.

Beberapa saat kemudian, gadis itu memasang senyum diplomatis yang bakal membuatku berdebar-debar andai aku punya jantung. Debaran itu, aku yakin, lebih ke arah kengerian ketimbang terpesona. Walau mesti kuakui, bahkan dalam piama dan rambut awut-awutan, kepercayaan diri gadis itu nyaris—kubilang NYARIS—membuatku terpesona.

"Aku akan membantumu, Grey."

"Bagus—"

"Dengan satu syarat."

Bahu hantuku melorot. Di sisiku, Kinantan terkikik dengan tangan melibas-libas udara. "Aku selalu suka tabiat gadis ini!"

"Aku tidak mau pacaran," kataku seketika.

"Aku tidak serendah itu." Wajah Olive menggelap. "Tidak. Akan kupastikan suatu hari kau yang merangkak ke kakiku, merengek-rengek minta pacaran denganku. Tapi syarat yang kuajukan ini lain."

"Apa?"

"Kak Navy mulai merepotkan dengan obsesinya terhadapku, dan dia bikin hubungan pertemananku dengan kawan sebangkuku rusak," kata Olive. Matanya berkilauan saat dia menyunggingkan senyum manis kepadaku. "Aku kepingin kau menghajarnya seolah-olah dia mencoba merebut pacarmu—tidak, Grey, jangan menyela! Aku sudah bilang tidak akan minta kau jadi pacarku, atau pura-pura jadi pacarku, karena hal semacam itu hanya terjadi di sinetron kejar tayang atau ftv. Kubilang, kalau Kak Navy berulah di sekitarku, atau cowok mana saja mencoba menggangguku, kau membelaku seperti—yah, kalau kau tidak mau aku menyebut kata 'pacar'—bodyguard kalau begitu."

"Aku baru bisa melakukan itu kalau sudah kembali ke badanku."

"Kau bisa lakukan itu juga waktu masih jadi hantu, 'kan? Bikin benda melayang atau apa saja."

"Tidak bisa." Aku melirik Kinantan. "Kecuali ada yang mau mengajariku."

"Kalau ada satu hal yang bakal kuajarkan padamu," balas Kinantan, "adalah cara untuk enyah dari teritoriku. Kau boleh menggentayangi kloset toilet rumah ini atau bak mandinya, tapi balkon-balkon, ruang duduk yang nyaman, dan dapur yang wangi rempah adalah wilayah tongkronganku—camkan itu!"

Setelah mengatakan itu, Kinantan memudar ke jendela.

Aku baru akan kembali ke Olive saat tiba-tiba sisirnya dia lemparkan menembus perutku. "Hei!"

"Betul-betul tidak bisa, ya?" Gadis itu mengerucutkan bibir, tampak berpikir. "Yah, kalau kau bisa belajar bikin benda melayang, itu bagus. Sementara itu ... apa yang bisa kubantu?"

Rasa jengkelku tersaput angin dalam waktu singkat. "Kau sungguhan mau membantu?"

"Selama kau tidak ingkar janji jadi bodyguard-ku."

"Oke." Aku menggosok-gosokkan tangan dengan gembira. "Ambil ponselmu."

Olive mengambil ponsel, lalu membuka media sosial sesuai arahanku. Aku memintanya mencari suatu akun dari daftar teman di profilku, lalu mengarahkannya ke inbox.

"Bilang bahwa kau temanku," kataku.

"Sudah," kata gadis itu.

Aku mengernyit seraya mendekatkan wajah ke layar ponselnya. "'Aku teman/calonnya Grey'?"

"Hei, Bung, ini jariku, akunku—jadi terserah aku."

Kutahan diriku untuk tidak berpuntir lenyap atau memutuskan untuk menggentayangi kloset lantai bawah.

"Baiklah." Aku mendikte lagi. "Katakan, 'Kak Safir, Grey butuh bantuan. Kau masih bisa melakukan astral projection?'"

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


***

Dapat fanart lagi ;-;)❤

Olive cantik bgt digambarin Tha_Lisy
Thank uuuuuuu ❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro