12 Januari 2014

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Seperti meluncur keluar dari lorong gelap di tengah-tengah udara kosong, aku menabrak Kinantan di balkon. Si gadis hantu menjerit dan buru-buru menjauh, secara tak langsung membuat hantuku terjengkang, nyaris jatuh dari atas balkon.

"Kau mau membuatku mati, ya?!" bentakku di ujung pagar balkon.

"Harusnya aku yang ngomong begitu!" balasnya, masih mengebuti rok gaunnya seolah yang menabraknya barusan adalah segumpalan debu raksasa. "Lagi pula kau sudah mati—mana bisa mati lagi?! Kau juga tidak bisa jatuh dari balkon!"

"Aku belum mati!"

Andai masih punya jantung, aku pasti merasa ia sudah copot. Aku berusaha menenangkan diri. Aku harus berpikir jernih—tidak ada Olive di sini, membuat secuil jiwa manusia hidupku yang tersisa jadi lebih rentan. Sebelum aku jadi berkabut dan linglung lagi, aku harus mencari tahu sesuatu ....

Kucoba menarik lengan Kinantan, tetapi gadis itu berkelit dengan anggun, membuatku lagi-lagi menerjang pagar balkon tanpa harga diri.

"Jangan pegang-pegang!" Gadis itu memeluk dirinya sendiri dengan defensif. "Kau itu cuma bocah jika dibandingkan denganku!"

"Aku tidak—" Kutelan semua komentar-komentar pedas yang menggunung di kerongkongan. Kutekan rasa marahku serendah-rendahnya. "Begini, aku ingin kau mengulangi semua kalimat Jerau—kau pernah melakukan itu, ingat?"

"Yang mana?"

"Tentang kunjungan pertama dan seterusnya—"

"Kunjungan pertama, kuberi tahu kau salah satu rahasia hidupmu. Kunjungan kedua, kubantu kau menggali potensi terbesarmu. Kunjungan ketiga, kubuka jalur tak terbatas untukmu." Secepat munculnya, secepat itu pula surutnya. Tiruan suara Entitas Jerau dari mulut Kinantan berubah kembali menjadi suaranya sendiri. "Maksudmu yang itu?"

"Ya!"

Aku menerobos pintu balkon dan menyeruak masuk ke kamar Olive, mencari-cari gadis itu. Dia tidak ada di sana. Cuma ada Denim yang tidur telungkup dengan kepala berbulunya terselip ke bawah bantal, ekornya menyembul keluar. Maka aku meluncur turun—sungguh mengerikan betapa cepatnya aku bertindak sekarang, tembus ini-itu tanpa ragu lagi.

Gadis itu kutemukan di ruang tamu, tengah memasang sepatu putih bertali. Pakaiannya berupa kombinasi baju terusan biru-putih selutut dan berlengan panjang, juga legging hitam yang tampak sederhana dan modis sekaligus. Ransel kecil di bahunya, dengan gantungan bintang-bintang kecil pada pembuka ritsletingnya. Poninya yang panjang mengikal dijepit ke samping, bibirnya dipoles lipgloss yang mengilap kalem, bulu matanya tampak lebih lentik daripada biasanya, bukan berarti bulu matanya tidak panjang sebelum ini, dan kudapati diriku terpaku sebentar. Aku butuh waktu lebih lama untuk sekadar berucap, "Kau mau ke mana?"

Olive terpekik kaget karena manifestasi penuhku yang tiba-tiba di depannya.

"Menyambangi Em," katanya sambil menepuk-nepuk dada dan mengatur napas. "Dia ulang tahun hari ini, tapi tampaknya aku tidak diundang. Dia masih marah masalah kak Navy."

"Kau tetap datang meski tidak diundang?"

"Dia mentraktir teman-teman sekelas di resto orang tuaku," kata gadis itu penuh penekanan pada beberapa suku kata terakhir. Matanya berkilat, dipenuhi tekad dan kemarahan. "Wilis yang memberi tahu barusan dan mengambil fotonya. Em melakukan itu untuk membuatku kesal. Dia tahu Wilis melihat."

Aku makin tidak paham jalan pikiran anak-anak cewek. "Dan kau datang untuk memenuhi keinginannya membuatmu kesal?"

"Tidak." Dia memutar-mutar bola matanya, tampak tidak yakin sendiri. "Yah, mungkin iya. Aku juga tidak tahu kenapa aku kepingin datang. Aku cuma ... sakit hati. Dia sampai mengundang Kak Navy di sana—apa dia pikir mantan pacar bodoh itu lebih penting daripada pertemanan kami?"

"Jadi ... kau datang hanya untuk menggarami lukamu sendiri."

Olive mendengkus jengkel padaku. "Lupakan. Tidak biasanya kau mencariku duluan—jadi pasti kau butuh sesuatu. Bicaralah."

Akhirnya, obrolan yang bisa kupahami. Jadi, aku tersenyum lebar. "Pesan ke Kak Safir sudah dibalas?"

"Belum ...." Gadis itu menjawab ragu-ragu. Dia mengecek ponsel, lalu berkata lagi dengan lebih mantap, "Yak, belum. Kenapa terburu-buru sekali?"

"Aku tak merasakan di mana lututku dan tidak bisa menentukan letak persisnya jari-jari tanganku—menurutmu, aku betah berwujud begini?"

"Hmm, kurasa yang namanya Safir ini mengabaikan pesan kita."

"Apa?"

"Lihat." Olive membalikkan ponselnya ke arahku hingga aku bisa melihat akun Kak Safir di layarnya. Ada unduhan terbaru sekitar sejam yang lalu. "Kau bilang dia ada di luar pulau? Nah, orangnya ada di sini sekarang. Status terakhirnya pagi ini: Baru mendarat di Bandara Syamsudin Noor. Lalu, menurut beberapa posting-an sebelumnya, dia bakal menghadiri reuni SMA."

"Itu tidak masuk akal." Aku menukas. "Kalau dia di sini, seharusnya dia langsung membalas atau menawari bertemu."

"Yah ... ada dua kemungkinan: pertama, dia punya pacar posesif yang mengendalikan akun medsos-nya dan langsung mengeblok akunku soalnya foto profilku cantik sekali di sini; kedua, dia kolot dan tidak tahu apa itu inbox atau cara membukanya."—Kuku jari Olive yang berwarna merah muda dan terkikir sempurna mengetuk-ngetuk layar, tepat pada display kolom inbox.

Aku mengamati display kolom inbox dan langsung menemukan masalahnya: dari luar sebelum dibuka, kolom itu memotong kalimat pesan yang dikirim Olive dan hanya menampilkan "... astral projection."

"Kurasa bukan itu masalahnya, Olive."

Wajahnya berubah muram. "Maksudmu foto profilku tidak cantik?"

"Cantik—" Aku kelepasan. Buru-buru kualihkan perhatian kembali pada ponselnya. "Maksudku, dia mungkin salah tebak isi pesan ini gara-gara kosakata terakhirnya dan langsung memutuskan menghindar. Dia punya trauma dengan pengalamannya melakukan proyeksi astral."

"Oh, Bung, kau tidak seharusnya langsung ke inti permasalahan! Seharusnya kita tipu-tipu dulu dengan salam dan basa-basi."

Wajah dan telapak tanganku terbentuk padat meski masih tembus pandang, jadi aku bisa menggosok muka dengan frustrasi. "Apa yang harus kulakukan ...."

"Yah, dari posting-an ini dia akan menghadiri dua reuni: reuni seluruh alumni SMA di angkatannya dan reuni kelas 12." Olive melemparkan ranselnya ke meja, lantas menjatuhkan diri ke sofa ruang tamu. Sebelah tangannya menepuk-nepuk tempat di sisinya, menyuruhku duduk. "Reuni angkatan tampaknya sudah ditentukan, yaitu malam ini. Sedangkan reuni kelasnya ... belum. Aku juga mendapat kesan dari komentar-komentar di post-nya bahwa segala urusan tempat dan waktu dilimpahkan pada Kak Safir sendiri."

"Oke ...?" kataku ragu-ragu dan duduk di sebelahnya (astaga, nikmat sekali saat tahu pantatku ada lagi dan bisa menyentuh permukaan sofa). "Dia memang semacam ketua kelas yang merangkap tukang asuh dan pesuruh teman-teman sekelasnya. Tidak aneh semua urusan reuni diserahkan padanya. Lalu, kenapa?"

"Aku punya satu akun lagi." Gadis itu masuk dengan akun lain. Jarinya bergerak lincah pada layar ponsel. "Inbox sekali lagi, tautkan ... dan kita iklankan dia diskon besar-besaran di resto orang tuaku untuk acara reuni."

Aku mengernyit skeptis. "Kurasa, tidak akan semulus itu."

"Wah, langsung dibaca."

"Hah?" Aku beringsut-ingsut mendekat, tidak memercayai apa yang kulihat.

"Dan tampaknya dia langsung memberi like pada laman fanpage resto keluarga kami ... yap, ada nama akunnya di sini."

Olive memasang senyum miring gembira, alis terangkat percaya diri, dan matanya berkilat-kilat bersemangat. Pertama kali bertemu dengannya saat aku main ke sini, dibawa Wilis, Olive menampakkan ekspresi serupa. Tak lama kemudian, kudapati diriku memberitahunya nomor ponselku, alamat rumah, sampai ke ukuran sepatu—dan segalanya terjadi dalam percakapan 10 menit yang begitu mulusnya hingga aku tidak sadar sama sekali tengah diperdaya.

Jadi, tatapan mata dan sunggingan cengiran itu semacam pertanda dia punya rencana-rencana ... dan sekarang aku senang sekali aku bukanlah target dari rencananya itu.

"Kalau dia sungguhan memesan tempat nanti," lanjut gadis itu, "aku bisa pura-pura membantu ayahku—dia yang biasanya mengurus reservasi. Akan kuatur supaya Kak Safir betul-betul pesan tempat dalam waktu dekat dan tidak ada pembatalan. Tentu saja tidak akan aneh kalau nanti anak dari pemilik restonya menghampiri meja mereka dan mengajak bicara si ketua kelas mengenai potongan harga yang sudah kedaluwarsa, 'kan?"

Aku kehilangan kata-kata untuk beberapa lama. Senyumku melebar perlahan-lahan, lalu aku tertawa untuk pertama kalinya setelah berhari-hari bermuram durja. "Olive, kau luar biasa!"

"Ke mana saja kau selama ini hingga baru menyadarinya?" Gadis itu mengibas rambut ke belakang. "Jadi, siapa Kak Safir ini dan kenapa kau kepingin sekali bertemu dengannya? Kau tahu, 'kan, rumah gaib itu masih muncul semalam? Kau bisa saja langsung ke sana dan mencari badanmu."

"Tidak ...." Aku menggaruk pelipis (senang rasanya bisa melakukan itu lagi meski tidak ada gunanya, tetapi aku merasa lebih manusiawi dengan hal-hal remeh ini). "Ada sesuatu yang bersarang di rumah itu—sesuatu yang melampaui pengetahuanku tentang hal-hal astral, dan mungkin berbahaya. Kak Safir sudah bepergian cukup jauh—dalam lingkup astral, maksudku—dan dia mungkin tahu apa yang mesti kulakukan. Lagi pula ... semalam aku mengalami sesuatu."

"Kalau sesuatu yang lengket tapi berbulu, itu Denim yang mencoba pup di wajah hantumu semalam—waktu kau tampak terbuyar lalu hilang mendadak di kamarku."

Aku mengusap wajah dengan ngeri. "Tidak ... bukan itu. Aku—kurasa aku pergi melintasi sesuatu yang lain. Aku melihat kakakku di sana. Dua kali."

Olive jadi diam. Dia bahkan tak mengangkat satu jari pun. Punggungnya menegak dan ekspresi wajahnya penuh perhatian.

"Aku pergi ke tahun 2005—di bulan yang berbeda. Awalnya aku mengira itu semacam ingatan saja. Tapi sesuatu yang aneh terjadi ... aku bisa menyentuh sesuatu di sana. Aku bisa memengaruhi benda fisik. Aku bisa mengintervensi apa yang sedang terjadi. Seperti ... menjelajah waktu dan tidak semata menyaksikan, tapi aku bisa punya andil menciptakan suatu kejadian ... bahkan mungkin mengubahnya. Sepanjang pengetahuanku, Kak Safir tidak bisa melakukan itu—dia hanya menjelajah, tidak mengintervensi. Tapi, siapa yang tahu? Mungkin dia tahu sesuatu." Aku berhenti sejenak. Ragu-ragu, akhirnya aku melanjutkan, "Dan—dan sesuatu yang bersarang di rumah itu memberitahuku ...."

Aku menceritakan secara singkat kepada Olive mengenai Entitas Jerau; perihal kunjungan-kunjungan, awal mula aku melihatnya, kebiasaannya 'memakan' jiwa anak-anak, serta tawarannya. Kalau pun dia tidak memercayai ucapanku, Olive tidak menunjukkannya.

"'Kunjungan ketiga,'" kutipku, "'kubuka jalur tak terbatas untukmu,' kurasa inilah maksudnya. Aku bisa mencampuri lintasan waktu. Tidak pernah ada yang bisa mencampuri lintasan waktu dan konsekuensinya buruk, tapi ... Olive, kurasa ini satu-satunya jalan aku bisa mengembalikan kakakku."

Gadis itu melakukan gerakan pertamanya sejak aku bicara: mengerjap, lalu bahunya bergerak untuk menarik napas seakan sejak tadi dia menahannya. Namun, dia masih tidak bicara.

"Kau ... tak ingin mengatakan sesuatu?" tanyaku.

Pipinya mengerut sebelah. "Kau tidak pernah kelihatan senang tiap kali ada yang mengatakan sesuatu tentang kakakmu. Aku bahkan tidak bisa menyebut namanya tanpa dapat tatapan seram darimu."

Kali ini, aku yang mengerjap. "Aku ... sori tentang itu. Aku hanya tidak terlalu suka kalau tiba-tiba dibuat teringat kalau kakakku masih ... hmm, maaf, Olive."

"Tidak apa-apa."

Olive menggembungkan sebelah pipinya, masih tampak ragu-ragu untuk bicara. Maka, hampir selama lima menit, kami terjebak dalam keheningan canggung di mana kami saling lirik seperti menunggu satu sama lain untuk mengucapkan sesuatu.

Olive yang akhirnya memecahkan kesunyian. "Tapi, Grey, tadi kau bilang Jerau itu Entitas jahat yang memakan anak-anak?"

"Ya."

"Dan kau mau menggunakan arahannya?"

Aku mengerutkan kening. "Ya. Memang apa lagi yang bisa kulakukan?"

"Entahlah ... fokus menemukan tubuhmu saja mungkin? Mengabaikan suara-suara rayuan Jerau? Hal-hal yang kurang berisiko semacam itu."

Aku berdiri. "Kau mau bilang kalau aku mesti mengabaikan satu-satunya cara untuk mengembalikan kakakku?"

"Aku tidak bilang begitu—"

"Sama saja." Aku berucap keras. "Ini mungkin satu-satunya caraku mengembalikannya, Olive—"

"Hanya karena tidak bisa langsung mengembalikannya, bukan berarti kau tidak bisa menemukannya, 'kan?" tukas gadis itu keras kepala. "Maksudku, kau masih bisa mencarinya dengan cara lain. Kalau sudah ketemu, aku bakal membantu—"

"Tidak bisa dicari." Aku mengepalkan tangan tanpa sadar. "Tempat-nya tidak bisa dicari."

Olive terdiam sebentar. Matanya menghindariku.

"Aku hanya merasa bakal bahaya sekali kalau kau mengikuti suara dari mulut yang menelan anak-anak." Gadis itu berusaha lagi. "Beberapa malam lalu kau sepertinya yang paling tahu mengenai bahayanya berurusan dengan hal-hal gaib, sampai melarang kami menggunakan harta karun galian itu, dan sekarang kau tiba-tiba saja kepingin mengikuti suara manipulatif penunggu rumah yang bisa pindah-pindah sendiri?"

Kedua lengan terlipat, Olive mengenyakkan punggung ke sandaran sofa, memelototi taplak meja seolah-olah dia hendak melubanginya dengan kekuatan tatapan. Aku sendiri hanya berdiri di sana, memandanginya dengan jengkel. Tidak satu pun dari kami yang bicara lagi.

Kali ini yang terjadi bukanlah keheningan canggung, melainkan ketegangan dan rengutan-rengutan merajuk ... setidaknya sampai aku berhasil mendinginkan kepala dan kembali duduk di sampingnya.

Yah ... bagaimana pun, hanya di dekatnya aku bisa duduk—hanya di dekatnya aku mewujud penuh. Jangankan duduk, aku bahkan tidak tahu apakah aku masih berpantat saat menjauhi Olive.

"Sori," kataku singkat.

"Aku juga," katanya, masih tanpa mengangkat wajah. "Aku tahu masalahmu dengan kakakmu bukan urusanku, tapi aku benar-benar tidak sedang dalam mood yang bagus karena masalah dengan Em dan kakak kelas maniak itu."

Aku berusaha memikirkan sesuatu untuk merespons—rasanya tidak adil hanya dia yang memikirkan masalahku, sedangkan aku bahkan tidak paham masalahnya. Namun, sebelum aku bisa mengatakan apa-apa, pintu depan terbuka dan Wilis masuk terseok-seok.

Kakinya membawa lumpur dari bawah sepatu dan ujung celananya. Ada luka lecet juga di sikunya. Makin ke atas, makin tidak sedap—bibirnya bernoda darah samar dan wajahnya bengkak. Di bawah mata kiri Wilis, ada memar yang lumayan besar. Tangannya menyangga dagu kiri seolah memar itu bisa melar dan jatuh merosot ke lantai bersama wajahnya.

Kalau aku bukan hantu, aku mungkin sudah membelalak dan bertanya. Namun, Wilis tidak bisa melihatku, dan yang statusnya bukan hantu di sini selain Wilis hanya Olive, sedangkan gadis itu malah terdiam cukup lama sambil mengamati penampilan kakaknya.

Butuh satu menit penuh sampai Olive akhirnya bertanya, "Diserempet sepeda, menabrak tiang, atau digebuki sandal Ibu?"

"Tidak ketiganya."

Suara Wilis terdengar seperti disumpal sesuatu. Kurasa bengkak itu sampai ke bagian dalam pipinya. Olive mungkin menyadari juga seberapa parah luka kakaknya karena dia langsung pergi mengambil baskom kecil berisi air, handuk, dan kotak P3K.

"Lihat foto yang kukirim?" tanya Wilis di sela ringisan sementara Olive menotol-notol lukanya dengan handuk basah. "Ulang tahun temanmu itu? Ada Navy di sana. Jadi, dia—hegh! Itu hidungku!"

"Maaf, hidungmu mirip memar."

"Pokoknya, Navy tadi sempat tanya-tanya kenapa kau memblokir nomornya. Katanya, 'Kau pasti suruh adikmu memblokir nomorku, 'kan? Gara-gara kau kalah main sepak bola denganku, 'kan?'"

Olive tertawa. "Bahkan andaikata dia memutuskan kedua lenganmu, itu bukan alasanku memblokirnya. Aku mengabaikan telepon dan chat-nya karena dia menyebalkan!"

"Nah, kuberi tahu dia hal itu—walau aku tak menyebut-nyebut putus lengan, tapi pokoknya kalimat yang mendekati ucapanmu itu!" Wilis meringis panjang saat adiknya menyasar memar paling besar dengan obat merah. "Tapi, Navy tidak bisa diajak bicara! Dia itu cuma gumpalan otot bergerak, tidak punya otak, dan kemampuannya menalar pasti sudah lama rusak! Dia juga tanya-tanya rumah Grey—sudah kuduga cowok itu ada dendam sama Grey! Jadi, aku lari! Dia dan kawanannya menangkapku di gang sempit samping resto, mengepungku, dan inilah yang terjadi!"

"Kenapa kau tidak lari ke ayah dan ibu? Mereka pasti di sana juga, 'kan?"

"Mereka sibuk—temanmu itu bawel sekali! Pesan menu satu-satu, memindah-mindahkan kursi sampai pelanggan lain tidak kebagian tempat, dan bertanya terus kenapa kau tidak ada di sana. Ibu sampai bertanya padaku apakah kalian bertengkar—curiga karena Em mentraktir teman-teman kalian tapi tidak mengundangmu."

"Kau bilang apa?"

"Entahlah. Aku tidak memerhatikan ucapanku sendiri karena Navy dan kawanannya yang besar-besar terus mengamatiku." Wilis berkelit ketika Olive akan menempelkan plester. "Aku tidak suka—aku selalu membayangkan kalau nanti kulitku ikut tercabut sama plesternya. Jadi, apa Grey sudah datang? Atau menghubungi?"

Olive hampir melirikku yang duduk tepat di sampingnya, tetapi gadis itu berhasil mengalihkan pandang ke rak sepatu. "Tidak. Kukira, tadi kau mau ke rumah Grey untuk mengecek."

"Tadinya—tapi Ibu keburu menyeretku untuk membantu di resto! Lalu aku di-bully! Sekarang pasti ibu sedang marah-marah karena aku hilang mendadak."

"Bilang saja kau diserempet sepeda orang tua lagi dan tercebur ke bawah jembatan. Soalnya kalau kau bilang masalah Navy, bisa-bisa Ibu datang ke sekolah membawa-bawa sandal berduri di tangannya. Malah bikin heboh kalau Ibu melabrak anak kepala sekolah."

"Aku tahu." Wilis menggerutu. "Kurasa, besok saja aku mengecek ke rumah Grey. Kau ikut, ya?"

"Kenapa?" Kali ini, Olive gagal menahan lirikannya ke arahku. Namun, Wilis tampak tidak menyadarinya.

"Grey bisa lihat hantu—siapa tahu dia memelihara anjing setan di rumahnya."

"Sembarangan." Aku berkomentar.

"Atau mungkin ada hantu cewek yang menemaninya di rumah, hantu cewek cantik, tapi tetap saja hantu—siapa tahu? Kita hampir tidak pernah lihat Grey dekat-dekat anak cewek—dan sebelum kau membuka mulutmu, Olive, tidak! Kau tidak termasuk. Kau adikku, jadi kau tidak dihitung cewek."

Aku meluruskan kaki hantuku, yang menembus langsung ke lutut Wilis karena dia tengah duduk bersila. Kalau bisa, sejujurnya aku kepingin menendangnya.

"Lagi pula, aku sebetulnya penasaran dengan loteng di rumahnya," kata Wilis lagi, membuatku terkejut. "Kakaknya hilang di sana. Aku tidak berani mengungkit ini ke Grey, tapi ... ah, kau tidak lihat hari itu, Ol. Aku di sana, dan segalanya membingungkan. Kami lagi di jalan untuk kerja kelompok waktu tiba-tiba Grey jadi sibuk sama ponselnya dan mendesakku mengantarnya pulang. Dia lari mati-matian ke loteng itu seperti orang gila, dan selanjutnya yang terjadi aku sudah melongo di halamannya, dengan orang-orang berdatangan. Hampir seminggu polisi berasumsi kakaknya hanya sedang kelayapan saja, atau kabur dari rumah, tapi ibunya bersikeras kalau anaknya bukan tipe yang gampang keluar seperti itu. Yah, sejak itu kakaknya memang tidak terlihat lagi."

Aku menegakkan punggungku dan menggertakkan rahang. Kurasakan Olive melirik ke arahku dengan tidak nyaman.

"Ya, ya—ayo, ke rumahnya besok!" Olive mengalihkan pembicaraan. "Tapi kau yang bonceng aku, dan jangan minta bayarin bensin—"

"Menurutmu kakaknya betul-betul cuma kabur atau memang korban penculikan kayak yang dibilang di beritanya?" Wilis bertanya lagi. Aku sudah setengah berdiri saat dia mengucapkan itu. "Jujur saja, kakaknya bukan tipe orang yang ramah. Aku hampir menyangka kakaknya membenciku waktu pertama melihatnya, soalnya tatapan matanya seperti sinis—"

"Apa pun itu—itu sama sekali bukan urusan kita!" Olive membentak tiba-tiba. Bahkan, aku yang sedang fokus merasa marah pun ikut tersentak dibuatnya.

Wilis mengernyit. "Kau kenapa, sih, tiba-tiba berteriak begitu? Dulu kau sendiri sering penasaran, 'kan? Kau sering tanya-tanya kenapa Grey berubah jadi agak pendiam sejak kakaknya hilang—"

"Aku penasaran, tapi tetap bukan urusan kita! Lagi pula, tidak masalah seperti apa pun kakaknya—dia tetap keluarga Grey. Dia—dia pasti tetap sedih kakaknya hilang, 'kan? Kita tidak ada hak buat bicara tentang itu."

"Aku tahu." Wilis meluruskan kakinya. Matanya mengamati lumpur mengerak di ujung kain celananya. "Aku bicara begini bukan karena aku tidak menyukai kakaknya atau bermaksud menggosip tentang itu. Aku cuma kesal saja ... Grey sudah sering menolongku—menolong kita, seperti waktu kita menggali harta itu, misal. Aku? Jangankan menolongnya, aku bahkan hampir tidak tahu apa-apa tentang masalahnya. Semua yang mengganggu pikiranku selalu kuceritakan padanya, tapi dia bahkan tidak mau membicarakan masalahnya padaku. Grey sering kesulitan uang—kau tahu, 'kan? Tapi aku tidak pernah bisa menawarinya bantuan tanpa menyinggung perasaannya. Masalah kakaknya yang hilang itu yang barangkali paling memungkinkan bagiku buat menolongnya, tapi ternyata dia malah tidak mau sama sekali membicarakannya. Dan mengingat sebagian besar masalahnya datang dari hal-hal gaib macam hantu, dan aku takut hantu, aku jadi makin merasa tidak berguna."

"Oh, Wilis ...." Nada suara Olive melembut. Tangannya membelai pipi kakaknya. "Kau dari dulu sudah sering tidak ada gunanya, kenapa baru sedih sekarang?"

Wilis menepis tangan Olive dari wajahnya. "Aku mengambilkan boneka barbie-mu yang tersangkut ke genting waktu kita SD—jadi aku ada gunanya!"

"Ya, karena kau yang membuatnya tersangkut di sana."

"Hanya karena kau bohong ke ayah bahwa aku memakan jatah cokelatmu supaya kau dibelikan lagi!"

"Aku sedang dalam masa pertumbuhan—jadi aku butuh banyak cokelat!"

Sementara mereka berdua membuat daftar panjang kesalahan satu sama lain, aku beranjak ke lantai atas.

Denim masih tidur di atas tempat tidur Olive, Kinantan masih Kinantan (duduk di balkon, menatap kosong, berusaha mengabaikanku).

Aku masih merasa dongkol dengan perkataan Wilis, tetapi kalau dipikir-pikir lagi aku juga tidak berlaku adil. Bahkan sebelum kakakku hilang, aku memang sudah terbiasa menyingkirkan orang-orang dari urusanku. Kurasa, karena itu juga aku sempat terganggu dengan Olive yang mencoba membantuku—aku terbiasa menjadi pihak yang datang membawa bantuan, bukan sebaliknya. Selama ini, aku lupa kalau aku sendiri juga bisa membutuhkan bantuan seseorang.

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


***

Another beautiful Olive dari Tha_Lisy
♡♡♡♡

Olive adalah heroine yang bikin saya keluar dari zona nyaman (selain Meredith) ;-;)9

Nggak biasanya saya bikin karakter cewek yang cengeng, baperan sama cowok cakep, ada centil-centilnya, dan manipulatif kek gini ;-;)/

But every type of woman is beautiful. Nda kudu setrong kayak Leila atau pembangkang kayak Nila buat jadi heroine yang mencolok '-')b

Mbak Kinantan yang serem juga heroine lho. Dia survive di dua masa penjajahan '-')b

Olive pun mungkin nda bisa nonjokin orang, tapi dia ahlinya ngakalin orang /heh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro