Bab 11a

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Iris duduk di sebelah kiri Nikolai yang menempati kursi utama di ujung meja. Semua orang terdiam, memandang gadis dengan pakaian lusuh yang tidak cocok berada di sini. Tidak ada pertengkaran dan perdebatan yang biasa selalu menghiasi acara makan, berganti dengan kebingungan. Bagaimana mungkin, di antara ribuan gadis di kota yang ingin datang ke rumah keluarga Danver, Nikolai justru memilih untuk mengundang Iris? Apakah tidak ada pilihan lain yang lebih masuk akal?

Nayla menatap lekat-lekat pada gadis di ujung meja. Blus yang dipakainya sangat menjijikan. Ia tidak tahan untuk mencemooh dan menyamarkan rasa sebal dalam dengkusan. Di sebelahnya, sang mama Ida yang terbiasa diam pun tidak dapat menahan rasa ingin tahu. Tidak perlu ditanya lagi ekpresi Norris dan yang lainnya. Tatapan mereka pada Iris sangat meremehkan. Seolah ada lalat yang memasuki rumah, berputar-putar menjengkelkan, ingin ditepuk tapi tidak ada yang bisa menjangkaunya.

Makanan pembuka dihidangkan, berupa sup ayam dengan kuah kental dan jamur. Iris menatap bagiannya dengan takjub. Ia pernah makan sup seperti ini, hanya saja versi murah saat berada di kedai pasar bersama Eric.

"Ayo, dimakan," perintah Nikolai. "Kamu tahu harus memakai sendok yang mana?"

Iris mengangguk. "Iya, Tuan. Saya sempat belajar table manner saat ingin ke pesta."

Nikolai terkesan mendengarnya. "Pantas saja, waktu itu tidak ada yang salah dengan caramu menggunakan alat makan."

Iris tertawa lirih. "Padahal, aslinya saya takut dan grogri. Untung saja para nyonya pejabat itu baik sekali dengan saya."

Popy bertukar pandang dengan Dasha, menahan iri hati. Seharusnya, malam itu salah seorang dari mereka yang ada di meja VIP. Bukannya malah gadis kampungan dan berpendidikan rendah.

"Enak?" Nikolai bertanya pada Iris yang mencicipi sup.

"Enak sekali, Tuan."

"Makan yang banyak."

Terdengar deheman, Anya tersenyum ke arah Iris yang terpaut empat kursi dengannya. "Makan yang banyak. Kapan lagi makan enak. Iya'kan, Iris?"

"Anya!" tegur Popy pada anaknya.

"Kenapa, Maa? Memang begitu kenyataannya. Mereka keluarga miskin. Aku ingat sekali saat sekolah dulu, Iris memakai pakaian kotor penuh dengan bulu ayam dan daun kering. Bertahun-tahun berlalu, ternyata tidak berubah! Masih miskin!"

Nayla mendengkus dan menyemburkan tawa. Untuk pertama kalinya kedua gadis itu akur satu sama lain. Iris menunduk, sup ayam yang tadinya terasa enak kini hambar. Nikolai mengetuk meja, menatap tajam pada dua sepupunya.

"Kalau kalian tidak bisa menghormati tamuku. Lebih baik keluar, tidak usah ikut makan!"

Iris terbelalak lalu menggeleng. "Tu-tuan, kita makan saja. Sup ini enak."

Nayla dan Anya menunduk kesal, tidak terima dengan pembelaan Nikolai pada gadis itu. Mereka tidak mengerti apa yang dilihat sepupunya yang kaya dan tampan, pada diri seorang gadis hina. Norris dan istrinya tidak mengatakan apapun, begitu pula Dickson dan Ida. Mereka membiarkan anak-anak mengambil alih percakapan. Lagi pula, tidak ada yang perlu dibahas tentang kedatangan Iris kemari. Gadis itu bukan level yang sama dengan mereka. Anggap saja ada pengemis bertamu, dan Nikolai sedang melakukan kegiatan amal.

Norris tidak menyentuh makanan pembukanya, menuang anggur ke dalam gelas. Menggoyangkan perlahan sebelum meneguknya. Hidangan kedua datang berupa canape tuna dengan mayo. Satu orang mendapatkan dua iris yang disajikan di atas piring besar. Untuk kali ini Norris memakan bagiannya dan hampir tersedak saat mendengar Iris bicara.

"Ini enak sekali, Tuan. Saya belum pernah makan canape seenak ini."

"Kamu suka?"

Iris mengangguk. "Suka sekali."

"Baiklah, biar koki membuat agak banyak untuk kamu bawa pulang nanti."

Iris terbelalak. "Bolehkah?"

"Tentu saja, kamu bisa hangatkan dulu setiap kali makan."

Baik Nikolai maupun Iris berbincang berdua, tidak peduli kalau terdengar aneh. Nikolai selalu menjawab pertanyaan Iris tentang makanan dengan sabar. Ia menyukai sikap dan sifa terus terang dari gadis itu.

"Memalukan," sergah Nayla. "Kenapa nggak sekalian minta uang untuk ongkos?"

Anya terkikik mendengarnya. "Bisa naik sepeda."

"Oh, benar juga."

Ida memberi tatapan memperingatkan pada anak gadisnya. Ia juga enggan berlama-lama di meja makan ini, dan berbaur dengan gadis lusuh tapi tidak ada yang berani menentang Nikolai.

Iris menebalkan muka, tidak peduli dengan apa pun yang dikatakan mereka. Ia datang atas undangan Nikolai. Bukan dengan orang-orang kaya yang menatapnya dengan angkuh. Mengesampingkan rasa sakit hati karena terus menerus dihina, ia mencoba menyenangkan diri sendiri dengan menikmati makanan. Saat hidangan utama diedarkan, muncul satu sosok tambahan. Seorang laki-laki muda berumur pertengahan dua puluhan dengan kemeja putih, celana denim biru dan wajahnya yang kotak menatap tajam ke seluruh ruangan.

"Apa aku ketinggalan acara makan?" Pemuda itu melenggang masuk, menatap Iris sambil menaikkan sebelah alis. "Siapa gadis ini? Kenapa duduk di samping uncle?"

"Jeremy, kamu telat sekali. Dari mana kamu?" tegur Dasha pada anaknya.

Jeremy mengangkat bahu. "Ma, orang muda banyak kerjaan. Mama ini kayak nggak pernah muda aja. Tapi, siapa dia? Kenapa nggak ada yang jawab pertanyaanku?"

Jeremy menarik kursi yang berada di seberang Iris. Terang-terangan memandang gadis itu dengan tatapan menilai. Baru pertama bertemu dengan orang lain di rumah ini.

"Kamu apanya Uncle?" tanyanya.

Iris berdehem. "Te-teman."

"Bagaimana bisa berteman dengan Uncle? Setahuku, teman Uncle itu pebisnis, teman kuliah, atau satu circle di kegiatan sosial. Sepertinya kamu bukan bagian dari itu. Jangan-jangan, kamuu ... penerima bantuan sosial?"

Tawa meledak di meja, dari Nayla dan Anya. Yang lain menyamarkan tawa mereka menjadi dengkusan. Iris menunduk, hidangan utama berupa oyster panggang yang seharusnya bisa dinikmati dengan senang, kini teronggok di atas piringnya.

Nikolai menghela napas panjang, menatap keponakannya yang baru saja datang. "Jeremy, kalau kamu ingin ikut makan, sebaiknya tutup mulut!"

"Why? Aku tanya Uncle. Karena nggak pernah lihat dia sebelumnya."

"Kalau begitu aku pastikan, kalian akan sering melihat Iris di rumah ini. Itu janjiku!"

Jeremy tercengang, berdecak tidak puas. Tawa lenyap dari bibir Anya dan Nayla, dan wajah-wajah kecewa serta bingung ditunjukkan oleh yang lain. Nikolai tidak memedulikan mereka, mengambil oyster lebih banyak dan meletakkan di atas piring Iris.

"Bagaimana menurutmu? Enak nggak yang ini?"

Iris mencoba satu dan mengangguk. "Enak sekali, Tuan."

"Fokus saja makan. Jangan pedulikan hal lain. Ingat, kamu datang kemari atas udanganku."

Iris tersenyum lebar. "Iya, Tuan."

Keduanya mengobrol akrab, menganggap seakan tidak ada orang lain di ruang makan. Sudah cukup banyak hinaan dan celaan yang dilontarkan keluarganya pada Iris. Nikolai tidak mau gadis ini merasa terganggu dan tidak nyaman. Ia sendiri mungkin sudah terbiasa mendengar perkataan pedas mereka tapi tidak dengan Iris. Tidak ada yang salah kalau lahir dari keluarga miskin. Tidak ada yang ingin jadi seperti itu. Seandainya bisa memilih setiap orang pasti ingin jadi bagian dari keluarga kaya raya, tapi nasib dan takdir manusia berbeda.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro