Bab 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rose mendesah, menatap malam yang pekat. Sudah dua jam berlalu dari ia datang dan tidak ada tanda-tanda kepulangan Iris. Malam ini, ia pulang tidak sendiri. Ada Carla bersamanya. Laki-laki itu sengaja datang untuk bertemu dengan Iris. Tentu saja ia tahu apa yang diinginkannya dan tidak berdaya untuk melarang Carla.

Diam-diam Rose melirik kekasihnya. Setelah cumbuan yang menggebu di mobil, mereka tidak bicara sama sekali. Carla sibuk dengan ponsel, enggan untuk mengobrol. Bahkan dengan sang papa yang sengaja datang untuk menyapa, hanya bicara ala kadarnya. Rose kecewa karena akhirnya sang papa memilih untuk pergi.

"Kemana Iris, Pa?"

Rose bertanya pada sang papa saat pulang dan mendapati adiknya tidak ada di kamar.

"Pergi, katanya mau ke rumah calon suaminya."

Jawaban Albert membuat Rose dan Carla mendongak kaget. Rose memejam, sengaja merahasiakan kalau adiknya ingin menikah dengan Nikolau tapi sang papa yang membocorkan. Ia menatap kekasihnya yang tercengang dan bicara dengan serius.

"Dengar, Sayang. Bukan aku nggak mau ngomong sama kamu tentang masalah ini. Tapi, Tuan Nikolai sudah memperingatkan kami untuk menjaga rahasia ini. Tidak boleh ada yang tahu sebelum ada pengumuman resmi dari keluarga Danver. Papa mengatakan padamu, karena hubungan kita."

Kekagetan menghilang dengan cepat dari wajah Carla dan berganti menjadi senyuman lebar. "Tentu saja, Sayang. Aku akan membantu kalian menjaga rahasia ini. Tenang saja."

Rose mengangguk lega. "Syukurlah. Tapi, Iris sekarang nggak ada. Dia—"

"Nggak masalah. Aku bisa menunggunya."

Menunggu bukan hal yang menyenangkan, setidaknya itu yang dirasakan Rose. Bukan karena dirinya bosan melainkan merasa tidak enak pada Carla yang seolah tidak sabar. Kaki laki-laki itu bergoyang tidak menentu. Saat terdengar suara mobil mereka mendongak penuh harap tapi justru Camelia yang baru pulang dengan menaiki taxi. Gadis itu mengangguk sekilas pada Carla.

"Tumben dia di sini," tanya Camelia pada adiknya.

"Menunggu Iris," jawab Rose muram."

"Ckckck, para laki-laki ini memang lama-lama menjengkelkan. Hari ini Arlo juga terus menerus merongrongku untuk bertemu Iris dan Tuan Nikolai. Tapi, masalahnya tidak semudah itu. Aku cinta dengan Arlo, tapi aku lebih takut dengan Tuan Nikolai. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku—"

"Tertekan dan terintimidasi," sahut Rose lugas.

Camelia mengangguk dengan bulu kuduk meremang. Ia mengusap lengannya. "Seperti itu."

Rose pun merasakan hal yang sama. Takut, terimidasi, dan tertekan setiap kali bertemu Nikolai.Sampai sekarang ia tidak habis pikir, apa yang membuat adiknya begitu menyukai laki-laki itu. Dingin, angkuh, dan cacat meskipun tampan serta kaya raya. Ia sendiri lebih suka bersuamikan orang normal. Carla tidak kalah tampan dengan Nikolai. Meskipun tidak cukup kaya seperti Nikolai, paling tidak kekasihnya normal. Rose tidak dapat membayangkan bagaiman berumah tangga dengan laki-laki cacat. Karena setahunya, orang cacat cenderung lebih sensitif.

"Kamu temani pacarmu, aku mau ke atas. Capek sekali hari ini, banyak kerjaan."

Rose mengangguk, menatap sang kakak yang setengah berlari menaiki tangga. Ia kembali ke ruang tamu, berdiri di samping jendela dan kembali menunggu Iris. Ia menggumam dalam hati, bisa-bisa menjadi batu karena terlalu lama berdiri. Berharap Iris cepat kembali dan bertemu Carla. Entah bagaimana hasil pertemua nanti, yang terpenting mereka sudah bicara dan itu meringankan bebannya.

**

"Mereka tidak menyukaiku, Tuan."

"Apakah itu masalah untukmu?"

"Tidak, hanya saja—"

"Yang akan menikah denganmu itu aku, bukan mereka."

Iris menatap dalam-dalam pada Nikolai yang duduk di dekat meja bundar dengan bibir menyunggingkan senyum kecil. Laki-laki itu mengajaknya mengobrol di teras belakang. Iris tidak dapat menyembunyikan rasa kagumnya pada tata lekat ruangan, dengan patio, gazebo, dan hamparan bunga dalam pot.

Dari baru datang, ia sudah dibuat terpesona dengan bentuk rumah megah yang menyerupai istana. Dibangun di atas tanah yang sangat luas, ada tiga bangunan di sini. Saat menginjakkan kaki di teras, ia menyukai pintu dari kayu yang tebal, kokoh, dengan ukiran indah. Lantai marmer yang mengkilat, seakan lalat jatuh pun akan terpeleset. Belum lagi perabot berkualitas tinggi di ruang tamu. Langit-langit ruangan, dua kali tingginya dari rumah Iris. Ia tidak bisa membayangkan, pasti repot sekali saat membersihkan. Namun, di jaman modern begini asalkan ada uang pasti tidak sulit.

Di ruang makan, seandainya tidak sedang berhadapan dengan anggota keluarga Nikolai yang membuatnya gemetar, pasti Iris akan berkeliling untuk menikmati kemewahan yang memanjakan mata. Kursi dan meja dari bahan terbaik, porselen berat untuk alat makan, belum lagi sendok yang sepertinya benar-benar dari perak murni. Iris membayangkan, menjual satu lusin sendok itu bisa untuk menghidupi keluarganya selama berbulan-bulan. Ia pernah bertanya pada tukang perabot di pasar, berapa harga peralatan makan dari perak? Saat itu, ia sedang belajar table manner dan jawabannya membuat tercengang,

"Satu sendok, sekitar 30 gram dengan kandungan 92,5 persen perak harganya berkisar empat sampai lima juta."

Iris terbatuk saat mendengarnya dan penjual melanjutkan ceritanya. "Apalagi kalau ada mereknya, itu jauh lebih mahal. Karena menjual mereka, secara kualitas? Tentu saja bagus."

Iris mencatat semua yang didengarnya, dan nyatanya hari melihat peralatan makan yang dikatakan bermerek dan mahal oleh penjual itu. Satu kali makan di rumah Nikolai, menggunakan peralatan sebesar puluhan juta dan membuat Iris cukup pusing menghitungnya.

"Iris, kenapa kamu diam?"

"Memikirkan harga sendok," gumamnya tanpa sadar."

"Apa?"

Iris menegakkan tubuh dan tertawa lirih. "Sedang menikmati keindahan di rumah Tuan Nikolai. Sayang sekali malam hari, banyak bunga yang tidak terlihat."

Nikolai melajukan kursi rodanya ke pagar pendek di sebelah kanan kursi dan berseru. "Iris, lihat. Bunga apa itu?"

Iris mendekat dan terbelalak. "Bunga iris putih?"

Nikolai mengangguk. "Aku baru sadar beberapa hari lalu kalau ada bunga iris di rumahku. Namamu seperti nama bung aini, pastinya ada arti tersendiri bukan?"

Iris mengusap kelopak bunga yang halus dan tersenyum. "Kelopak bunga iris bisa digunakan untuk bahan membuat parfum atau minyak aroma terapi. Akarnya bisa digunakan untuk obat-obatan, daunnya saat jatuh dan mengering bisa jadi pupuk. Bukankah bunga iris sangat berguna bagi kehidupan? Tidak ada bagian dari dirinya yang terbuang sia-sia. Warnanya juga sangat indah, sayang bukan biru."

"Kamu suka iris biru?"

Iris mengangguk. "Suka, Tuan. Mamaku bercerita kenapa memberiku nama Iris, alih-alih bunga lain karena rambutku merah? Beliau mengatakan, saat aku lahir tubuhnya sangat lemah dan berharap bisa pulih kembali. Arti bunga iris biru seperti itu, harapan dan royalty."

"Royalty?"

"Kesetiaan, sekali bunga iris mencintai satu kumbang, dia tidak akan pernah berpaling."

Mereka bertukar pandang penuh makna dalam teras yang sedikit remang-remang, membicarakan tentang maksa bunga, masa lalu, dan juga apa pun yang terlintas di kepala. Sungguh mengejutkan Nikolai menikmati pembicaraannya bersama Iris. Tidak banyak orang yang membuatnya betah bicara untuk hal-hal kecil. Ia paling tidak suka basa-basi, apalagi dengan orang asing. Tidak pernah juga mengobrol hal-hal yang dianggap tidak berguna. Waktunya yang berharga hanya untuk bisnis. Semuanya hilang saat berhadapan dengan Iris. Nikolai tanpa sadar tersenyum, makin yakin untuk menikahi gadis berambut merah di depannya.

Saat ini, Iris hanya gadis biasa. Tapi, saat mereka sudah menikah nanti dan seiring berjalannya waktu, ia akan menjadikan gadis itu sebagai nyonya paling disegani di kota ini. Seorang perempuan yang tidak takut apa pun tapi punya kesetiaan penuh untuknya. Nikolai merasa bangga bisa menemukan gadis unik seperti Iris.

"Kamu kemari naik apa?" tanya Nikolai.

"Sepeda, Tuan."

"Tinggalkan saja sepedamu, biar besok pagi pelayan yang membawa ke rumahmu. Ayo, aku antar kamu pulang."

Iris tercengang. "Tuan mau mengantarku pulang?"

"Tentu saja, sudah seharusnya bukan."

"Tapi, ini sudah malam."

Nikolai terkekeh. "Justru karena sudah malam, aku harus mengantarmu. Mana mungkin aku membiarkanmu pulang sendiri."

Iris berdiri kikuk, memberanikan diri duduk di berlutut di depan Nikolai. Tindakannya membuat laki-laki itu terperanjat.

"Iris, apa yang kamu lakukan?"

"Berterima kasih, Tuan. Sudah memilihku di antara ribuan perempuan yang memujamu. Maaf, aku kurang sopan harusnya, 'saya', bukan 'aku'."

Nikolai mengembuskan napas lega. "Lupakan soal formalitas begitu. Aku senang kamu sedikit santai di depanku. Aku atau saya, tidak masalah, Iris."

"Terima kasih, Tuan dan bolehkah aku ucapkan sesuatu?"

"Apa?"

"I love you."

Sebuah pernyataan yang terang-terangan dan berani dari seorang gadis untuk Nikolai. Ucapan yang benar-benar membuat Nikolai merasa disayangi. Untuk sekarang, ia tidak bisa membalas perkataan itu tapi berharap suatu hari nanti bisa mengatakan hal yang sama.

"Terima kasih, Iris."

Iris bangkit dan berdiri di belakang kursi roda lalu mendorongnya perlahan. Hatinya terasa berbunga-bunga karena laki-laki yang dicintainya, sudah mendengar isi hatinya dengan utuh. Tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang tentang dirinya yang terlalu mendesak, tapi perasaan Iris sangat tulus. Ia siap menghadapi apa pun untuk bisa bersama Nikolai. Tentu saja, satu keluarga yang bersikap penuh permusuhan tidak masuk hitungan. Ia menunduk saat melewati ruang tengah. Orang-orang itu ada di sana serempak menatapnya saat mereka lewat. Nikolai tidak mengatakan apa pun, begitu juga keluarganya. Mungkin sudah menjadi aturan dasar, untuk tidak ikut campur urusan Nikolai. Iris tidak mengerti tentang ini.

Iris menikmati perjalanan pulang dengan duduk di samping Nikolai. Karena sudah beberapa kali naik mobil ini, ia tidak malu-malu lagi untuk mengusap dan mengagumi interior mobil yang sangat canggih dan mewah.

"Wow, coba aku bisa naik mobil. Aku akan pinjam dan mengebut!"

Perkataan Iris membuat Pram menoleh. Nikolai tertawa lirih. "Kenapa harus mengebut."

"Biar keren, menurutku perempuan bisa naik mobil sambil ngebut itu menarik. Wush-wush-wush!"

Pram yang mendengar perkataan Iris, mencatat dalam hati tidak akan mengajari gadis itu menyetir. Di rumah selain dirinya, tersedia dua sopir lain yang siap sedia mengantar. iris tidak perlu membahayakan diri untuk mengebut.

Saat kendaraan memasuki halaman, Iris mengeluh tanpa sadar kala melihat kendaraan lain terparkir di sana. Ia mengenali kendaraan itu dan merasa tidak senang seketika. Ia menoleh gugup pada Nikolai.

"Tuan, itu ...."

"Siapa yang bertamu malam-malam begini di rumahmu?"

"Kekasih Rose." Iris berkata sambil menunduk. Sama seperti kekasih kakaknya yang lain, ia hanya dua kali melihat Carla. Tidak mengerti kenapa laki-laki itu masih di rumah malam begini. Namun, ia merasa hatinya tidak enak. Kekuatirannya menjadi kenyataan, saat pintu membuka. Carla keluar diikuti Rose. Laki-laki itu menyambut Nikolai dengan suara yang ramah dan menjilat.

"Akhirnya, bisa bertemu langsung dengan Tuan Nikolai yang sangat terhormat. Tersanjung rasanya, bisa mengenal Anda, Tuan."

Nikolai tidak bereaksi, hanya menatap dingin dan acuh tak acuh. Ia banyak mengenal laki-laki seperti Carla yang cenderung suka menjilat dan itu sama sekali tidak membuatnya senang.
.
.

.Di Karyakarsa sudah bab 47-50

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro