Bab 19b

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di pelaminan, Nikolai menatap istrinya yang bernyanyi dengan gembira. Suara Iris menggelegar, sangat cocok untuk bernyanyi lagu rock. Cukup merdu, dengan sedikit polesan bisa menjadi penyanyi professional. Tentu saja Nikolai tidak akan mengijinkan istrinya menjadi artis.

Rose dan Iris selesai berduet, mendapat tepuk tangan yang meriah. Kue pengantin yang besar dan tinggi dihadirkan ke tengah tenda. Nikolai menghampiri Iris dan keduanya bersama-sama memotong kue dilanjut dengan saling menyuap satu sama lain. Tak lama, souvenir pernikahan dibagikan kepada para tamu. Membuat takjub keluarga Iris karena isinya parfum mahal dan juga sebuah kalung permata merah. Nikolai sengaja memilihnya karena mengingatkannya akan rambut sang istri.

"Wah-wah, mewah sekali," gumam Carlo tanpa sadar. Saat menerima kotak dan membukanya langsung.

"Nilai satu kotak souvenir sangat mahal." Rose menahan decakan. "Tuan Nikolai, sangat berkelas."

Eric bahkan tidak tahan untuk tidak memekik. Sedari tadi ia sibuk makan dan menari bersama para sepupu Iris. Dalam keadaan bahagia, kenyang, dan mendapat hadiah mahal, tentu saja Eric merasa malam ini sangat sempurna.

Tidak hanya keluarga Rosewood yang merasa kalau souvenir itu sangat mahal, bahkan Norris dan yang lainnya pun mengakui. Mereka terbiasa memakai barang mawah, tapi souvenir yang diberikan Nikolai luar biasa berkesan.

"Batu permata merah, sulit sekali mendapatkannya." Dasha mengamati miliknya.

Norris mengangguk. "Nikolai memesan khusus. Parfumnya pun dari designer kenamaan."

"Satu kotak souvenir lebih dari sepuluh juga."

"Tidak masalah buat adikku. Dia ingin membuat pernikahannya berkesan."

Selesai membagikan souvenir, Nikolai mengakhiri pesta. Sebelum itu, para tamu berderet untuk menyampaikan ucapan selamat. Albert berdiri paling depan, memeluk anak bungsunya dengan penuh keharuan.

"Mulai sekarang, namamu bukan lagi Iris Rosewood tapi Iris Nikolai Danver. Apapun yang terjadi, suamimu adalah yang utam untukmu. Apa kamu mengerti Iris?"

Iris mengangguk. "Iya, Papa."

"Papa berharap, kamu bisa membawa diri. Kamu bukan lagi gadis remaja tapi seorang istri. Semoga kamu berbahagia anakku."

Mereka berpelukan dengan mata berkaca-kaca. Tentu saja berat bagi Albert melepas anak bungsunya tapi Iris sudah memilih jalannya sendiri. Sebagai orang tua, Albert hanya bisa mendukung, asalkan untuk kebaikan anaknya. Dari Iris, Albert berdiri di depan Nikolai.

"Tuan Nikolai, saya hanya memohon satu hal saja."

Nikolai mengangguk. "Silakan, Pak."

"Kalau kelak, Tuan Nikolai tidak lagi mencintai anak saya. Tolong jangan disakiti, cukup pulangkan kembali ke rumah saya. Hanya itu yang saya minta."

Nikolai menatap Albert yang berkaca-kaca, mengulurkan tangan untuk saling menjabat. "Pak, aku janji akan menjaga istriku."

Albert tersenyum. "Terima kasih."

Rose maju untuk memeluk Iris. "Kamu sudah jadi istri Tuan Nikolai. Ingat, jaga sikapmu."

Camelia mengatakan hal yang lain. "Semoga kamu betah di rumah ini. Mereka semua angkuh dan mengerikan."

Iris hanya bisa tercengang mendengar perkataan kedua kakaknya. Ia menerima ucapan selamat dari Carla, Arlo, dan kerabat jauh. Setelah itu mereka pulang diantar oleh sopir Nikolai. Arena pernikahan seketika menjadi sepi, tersisa hanya para pelayan yang membereskan sisa-sisa pesta. Nikolai dan Iris belum beranjak, mereka duduk berdampingan di bawah tenda. Dengan sebotol anggur di tangan, mereka minum berdua sambil menikmati udara malam yang hangat.

"Tuan, aku merasa sangat bahagia malam ini," bisik Iris dengan mata berkaca-kaca, meneguk anggur dan menelan dengan nikmat. "Pernikahan indah, dua keluarga menyatu dan terutama adalah kita."

Nikolai menatap istrinya. "Kenapa dengan kita?"

Iris terkikik. Anggur mulai menguasainya. "Seperti pasangan pada umumnya, Tuan. Rasanya masih tidak percaya aku adalah istri dari Nikolai Danver. Bukankah itu hebat?"

"Aku juga merasa hebat karena mempunyai istri yang hebat."

"Cheers kalau begitu!"

Keduanya kembali meneguk anggur, mencecap nikmat di lidah dan tenggorokan. Malam ini Iris merasa mampu merangkai 20 puisi kalau diinginkan. Untuk melukiskan kegembiraan hatinya.

"Iris, kamu nggak takut tinggal di rumah ini?"

Pertanyaan Nikolai membuat Iris terdiam, memikirkan perasaannya dan memilah jawaban terbaik. Angin menerpa wajah dan senyum merekah di bibirnya.

"Takut tentu saja. Bagaimana kalau suatu hari nanti Tuan Nikolai bosan denganku? Bagaimana kalau Tuan menyadari ternyata aku tidak sebaik yang diharapkan untuk menjadi istri? Bagaimana nasibku kelak?"

Nikolai tercengang mendengar perkataan Iris. Menatap istrinya dengan takjub. "Itu yang kamu takutkan saat tinggal di sini?"

Iris mengangguk. "Iya, memangnya ada yang lain? Aku tidak takut apa pun kecuali satu, suamiku tidak lagi menginginkanku."

Sebuah jawaban yang luar biasa, Nikolai terkesan mendengarnya. Ia meraih tangan Iris dan mengecupnya. Sangat berterima kasih untuk penerimaan tanpa syarat untuknya. Tadinya ia berpikir, Iris akan takut dengan keluarganya. Ternyata ia salah. Iris memilih yang terpenting untuk dijawab dan itu melegakan. Sedari dulu ia takut kalau keluarganya akan menghalanginya dalam memilih masa depan. Itulah kenapa tidak pernah tercetus niat untuk menikah. Sampai bertemu Iris dan hatinya tertambat.

Hidup sendiri selama 35 tahun, Nikolai selalu tahu apa yang diinginkannya. Membuat rencana demi rencana untuk setiap hari yang akan dilaluinya. Dunia dalam genggaman dengan kekayaan dan kekuasaan yang dimilikinya. Ia bahkan berpikir untuk menghabiskan waktunya sendiri sampai ajal menjemput. Ternyata, rencana manusia memang bukan sesuatu yang valid. Bertemu Iris, mengubah semua rencana hidupnya dan membuatnya harus mengatur ulang prioritas. Anehnya, Nikolai menyukai gelarnya yang baru. Seorang suami dari perempuan berambut merah.

"Iris, percayalah. Aku akan selalu menginginkanmu."

Iris memiringkan kepala, mencondongkan tubuh dan dengan berani mengecup pipi suaminya. "Terima kasih, Tuan. I love you."

Nikolai ingin membalas ucapan itu dengan kata-kata yang sama, sayangnya tertahan di tenggorokan. Ia mengusap pipi Iris dan tersenyum kecil.

"Terima kasih."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro