Bab 33

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nikolai menatap laki-laki muda yang duduk di depannya. Laki-laki dengan sikap tegas tapi sopan. Sedari awal mereka bicara, laki-laki itu tak hentinya menggumamkan maaf. Awal mulanya ia tidak mengerti kenapa anggota keluarga Haris ingin menemuinya. Ia sendiri sudah melayangkan tuntutan pada mereka dan berharap bertemu di pengadilan, tapi ternyata dugaannya salah.

"Tuan Nikolai, aku tahu kalau perbuatan kakakku salah. Tidak seharusnya melakukan itu semua pada istri Tuan. Aku sudah memarahinya, dan kami sepakat untuk meminta maaf."

Nikolai mengedip, menangkup jari jemari di depan tubuh. "Taylor, kamu melakukan ini karena menerima somasiku?"

Taylor mengangguk. "Sebagian, iya, tapi sebagian lagi bukan. Dari awal foto-foto itu beredar di media massa, aku sudah menegur kakakku. Memperingatkannya akan masalah yang mungkin terjadi. Tapi Maila tidak mengindahkan ucapanku. Seperti yang Anda tahu, kakakku terlalu mencintai Anda sampai nyaris buta mata hati. Mengira bisa melakukan apa pun untuk mendapatkan hati Tuan Nikolai."

"Aku sudah sering mengatakan pada kakakumu bagaimana perasaanku."

Taylor tersenyum pahit. "Kakakku mengabaikannya pasti."

"Memang. Mengira dengan memaksaku akan mendapatkan keinginannya. Kadang-kadang aku berpikir, kakakmu lupa siapa aku."

Taylor mendesah, wajahmya murah seketika. Kata-kata Nikolai sama persis dengan yang ada dalam pikirannya. Maila memang sangat menyukai Nikolai hingga bisa dikatakan sangat terobsesi. Saat tahu Nikolai menikah, Maila seolah menggila. Kakaknya itu selalu bertekad untuk mendapatkan Nikolai, entah bagaimana caranya.

"Tuan, aku sengaja datang untuk meminta maaf. Sekiranya bisa dipertimbangkan, untuk mencabut somasi."

Nikolai menuang teha dari poci dan mengulurkan satu cangkir pada Taylor. Mereka berdua minum secara bersamaan. Menikmati kehangatan yang mengalir di sela-sela tenggorokan. Pikiran Nikolai tertuju pada istrinya. Iris menyukai teh beraroma mawar dengan campuran bunga chamomile. Katanya, itu menenangkan. Selalu meminum sebelum tidur. Semenjak istrinya pergi, Nikolai melakukan hal yang sama dan sama sekali tidak merasa tenang. Mungkin memang hatinya yang salah.

"Taylor, asalkan kalian menarik semua foto yang beredar, termasuk majalah dan koran, aku akan menarik juga somasiku."

Taylor tersenyum. "Terima kasih untuk kebaikan hatinya, Tuan."

"Aku sedang tidak berbaik hati, jujur kalau menuruti amarah ingin menuntut kakakkmu. Tapi, aku melakukan semuanya demi istriku, tidak ingin dia menjadi bulan-bulanan masyarakat."

"Istri Tuan Nikolai pasti bahagia mendengar betapa sayangnya sang suami padanya."

Nikolai tidak menanggapi perkataan Taylor. Karena sampai detik ini, Iris sama sekali tidak menunjukkan keinginan untuk kembali ke rumahnya. Kalau begitu, mana mungkin istrinya tahu perasaannya? Tidak akan pernah tahu, selama Iris masih bersikap keras kepala.

**

Camelia menata dokumen di atas meja dengan cepat. Selesai semua, memasukkan dokumen yang tersisa dalam lemari penyimpanan. Ia sudah meminta ijin untuk bekerja setengah hari demi Iris dan tidak ingin terlambat pergi semenitpun.

Camelia mengangkat wajah saat terdengar kikik tawa dari ruang sebelah. Ia melihat beberapa pegawai perempuan sedang berbicara, ada kekasihnya di antara mereka. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi ia menduga ada hubungannya dengan keluarganya. Entah kenapa Camelia tidak merasa terkejut sedikitpun. Rasanya sudah biasa menerima sindiran, hujatan, ataupun celaan dari mereka dan itu tidak mengubah apa pun dari keadaannya.

Ia tetap fokus dengan pekerjaannya, tidak memedulikan tawa yang makin lama makin keras, sampai sebuah suara terdengar dari balik bahunya.

"Kami semua yang ada di sini sudah tahu."

Camelia menatap Arlo yang berdiri pondah di sampingnya. "Tahu soal apa?" tanyanya sambil lalu. Tangannya tetap sibuk merapikan dokumen.

"Tentang adikmu dan Tuan Kaya yang cacat itu!"

Tangan Camelia berhenti di udara. Sekarang tahu apa yang sedang diperbincangkan orang-orang di ruangan samping. Ia mendengkus keras.

"Menjadi pengacara ternyata kurang sibuk, sampai-sampai kalian ada waktu untuk menggunjing."

Arlo menyugar rambut, menatap bayangannya di kaca lemari. "Terserah apa katamu. Tapi, semua orang sudah tahu kalau adikmu akan bercerai dari Nikolai. Kenapa? Tidak tahan karena punya suami cacat?"

Camelia mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah. Selama setahun belakangan menjalin hubungan dengan Arlo, ia berpikir sudah mengenal laki-laki itu luar dalam. Tapi ternyata salah. Arlo menyembunyikan banyak sifat aslinya di balik kata-kata manis dan sikap merayu. Laki-laki itu tak ubahnya pembenci ulung saat merasa sakit hati.

"Sebaiknya kamu tutup mulut sebelum kata-katamu membawa bencana," ucap Camelia memperingatkan. "Kamu lupa bagaimana terakhir kali kelakuanmu membawa dampak buruk?"

Wajah Arlo mengeras seketika. Tentu saja ia tidak lupa bagaimana pekerjaannya nyaris terhenti karena Nikolai. Kalau saja ia tidak memohon, pasti sudah dipecat dari kantor ini. Semua karena Nikolai yang menggunakan kekusaannya dengan sewenang-wenang dan berhasil menekan atasannya. Sebuah peristiwa yang membuatnya membenci Nikolai. Bisa dikatakan ia adalah orang yang paling berbahagia saat tahu pernikahan laki-laki itu dengan Iris terjadi masalah. Memang itu yang sudah ditunggu-tunggunya.

"Jangan sombong Camila. Keluarga kalian akan kembali menjadi orang pinggiran yang bekerja di kebun kalau nanti adikmu bercerai."

Camelia mendongak, menatap Arlo tajam. Menghela napas panjang dan menyadari kalau selama ini ia sudah menyia-nyiakan waktu untuk bersama seorang pecundang. Yang dikatakan Iris benar, Arlo bukan laki-laki yang baik dan sama sekali tidak cocok untuknya. Ia mengayunkan tangan, memukul bahu Arlo dengan setumpuk dokumen dan berkata keras.

"Dasar laki-laki tulang lunak! Hanya bisa menghujat orang lain tapi tidak sadar diri. Mulai sekarang, kita putus! Jangan dekati aku lagi! Jijik!"

Arlo ternganga, lalu meringis saat merasa bahunya sakit. "Apa? Kamu memutuskan aku?"

Camelia meletakkan dokumen di meja hingga menimbulkan suara keras. "Iya, aku memutuskanmu! Kenapa? Nggak terima?" Ia berkacak pinggang di depan Arlo. "Ingin meminta cincinmu kembali? Ingat, souvenir dari Tuan Nikolai jauh lebih mahal dari itu!"

"Perempuan kurang ajar!" Arlo menggeram marah.

Camelia menyambar tas dan sebelum pergi, menatap Arlo tajam sambil mengacungkan telunjuk. "Aku ingatkan sekali lagi, kalau sampai muncul hinaan pada adikku dari mulut kotormu itu, aku akan menuntutmu!"

Camelia berderap pergi, meninggalkan Arlo yang berdiri ternganga. Sudah cukup puas melampiaskan sakit hati pada laki-laki itu. Selama ini ia selalu menyimpan sendiri semua luka dan malu akibat dari penghinaan Arlo. Sekarang bebannya lebih terangkat karena tidak lagi bersama laki-laki yang hanya memandang rendah dirinya. Camelia merasakan kepuasan yang aneh karena memutuskan kekasihnya. Mungkin memang selama ini ia yang buta akan cinta.

**

Keduanya berdiri di depan gedung berlantai tiga. Menatap map yang ada di ponsel dan memastikan alamatnya benar. Siang yang terik, tidak banyak orang berlalu lalang tapi keduanya justru berdiri di bawah siraman matahari.

"Kamu yakin ini kantornya?" tanya Rose.

Iris mengangguk. "Benar ini, kok."

"Kita masuk sekarang?"

"Eh, nggak nunggu Kak Camelia?"

Rose menolek ke belakang, menutup wajah dengan telapak tangan. "Panas di sini."

Iris menyadari hal yang sama. "Panas sekali memang. Kita cari tempat berteduh."

Keduanya bergegas ke arah lobi. Pintu kaca menggeser membuka, memberikan kesejukan ruangan berpendingin udara. Iris sekali lagi menatap ponsel di tangan dan membaca setiap kalimat yang tertera. Itu adalah nama-nama anggota keluarga Haris. Untuk berjaga-jaga kalau mereka bertemu salah satunya. Karena mereka tahu, Haris orang sibuk. Belum tentu ada di kantor.

Pintu kembali menggeser terbuka dan Camelia muncul. Yang pertama diucapkannya adalah kata-kata yang membuat Iris dan Rose ternganga.

"Aku baru saja memutuskan Arlo. Bajingan kurang ajar!"

Iris bertukar pandang dengan Rose. Merasa tidak benar-benar terkejut mendengar kabar berita dari Camelia. Entah kenapa mereka tahu, cepat atau lambat pasti Camelia dan Arlo akan putus.

"Are you okey, Sist?" tanya Iris.

Camelia mengangguk. "Yeah. Ayo, kita bertempur! Mumpung aku lagi pingin menghajar orang!"

Rose menepuk pundak kakaknya. "Tenang, Jagoan. Kita cari lawan dulu sebelum ingin memukul orang."

Mereka pergi ke resepsionis, berniat untuk menemui Haris. Mendapatkan informasi kalau laki-laki itu ternyata berada di tempat lain. Sang istri juga tidak ada di tempat, hanya ada dua anaknya. Dengan serempak mereka menjawab ingin bertemua Maila. Sedikit memaksa saat pihak resepsionis seakan enggan untuk memanggil Maila.

"Percayalah, kamu akan menyesal kalau tidak memanggil nonamu keluar!" ancam Rose pada resepsionis perempuan di balik meja. Membutuhkan waktu beberapa menit sampai akhirnya Maila mengatakan akan menemui mereka. Resepsionis membawa ketiganya ke ruang tamu yang berada di samping lift.

Mereka duduk berdampingan di sofa panjang, menunggu dengan tegang. Iris menghitung waktu dengan gugup. Dua puluh menit kemudian, Maila muncul dan ia bergegas bangkit dari sofa.

"Iris, ada apa kemari?" tanya Maila tanpa basa-basi. Menatap tiga kakak beradik di depannya. "Aku sedang sibuk. Kalau bukan hal penting, sebaiknya kita bicarakan lain waktu."

Iris tersenyum kecil. "Ini hal penting untukku, karena menyangkut harga diriku. Maila, apa yang kamu lakukan sama foto-fotoku?"

Maila mengernyit. "Apa maksudmu? Foto-foto yang mana?"

"Jangan bohong!" sergah Iris. "Malam itu kita duduk berdampingan dan aku sama sekali tidak menyentuhmu. Tapi kamu berbuat sesuatu dengan foto-fotoku, seolah aku menganiayamu. Untuk apa?"

"Jangan menuduhku sembarangan!"

"Aku tidak menuduh! Banyak bukti-bukti di media massa. Karena ulahmu jadi ada kesalahpahaman dengan suami dan keluargaku!"

"Apa buktinya aku pelaku?"

Camelia mengacungkan sebuah map dan memberikan pada Iris. "Semua bukti ada di situ."

Iris tersenyum, menepuk map di tangan. "Rekaman CCTV asli tanpa rekayasa. Kamu pikir, mudah mengelabuhi kamu? Merasa sudah menjadi Nona Kaya, jadi seenaknya saja menindas orang lain?"

Maila mengepalkan tangan di kedua sisi tubuh. Wajah cantiknya memucat. Menatap Iris yang berdiri pongah di hadapannya. Tidak menyangka kalau perbuatannya akan diketahui oleh Iris. Ia mengangkat dagu, menolak untuk menyerah.

"Kalau memang aku yang melakukan, memangnya kalian mau apa? Memintaku untuk menghapus dan meminta maaf. Jangan harap!"

"Apaa?" Iris terbelalak. "Kamu nggak akan mau melakukan itu?"

"Tidak sudi aku merendah di hadapan kalian!"

Iris mengepalkan tangan, siap melontarkan argument, kata-kata, maupun caci maki dan semua tertahan di tenggorokan saat pintu membuka. Seorang laki-laki muda berwajah tampan dengan rambut sedikit panjang muncul. Tidak menyadari Rose yang ternganga dan mundur beberapa langkah.

"Wah-wah, baru kali ini kantorku kedatangan para perempuan cantik. Apa kabar Nona Nona Rosewood?"

Pandangan Taylor tertuju pada Iris, Camelia, lalu Rose. Mengedip sesaat untuk menyembunyikan kekagetannya. Tidak menyangka kalau akan bertemu dengan perempuan cantik itu lagi.

"Siapa kamu?" tanya Iris.

"Namaku Taylor, adik dari Maila."

Jawaban Tylor membuat Rose memucat. Ingin rasanya menutup wajah dan menghilang. Bagaimana mungkin, laki-laki yang pernah bercinta dengannya begitu panas dan liar, ternyata anak dari keluarga terpandang. Adik dari musuh mereka. Sungguh, dunia sangat sempit.

"Tylor, sebaiknya kamu nggak usah ikut campur. Aku bisa selesaikan semuanya sendiri," tegur Maila pada adiknya.

Taylor tersenyum sambil mengangkat bahu. "Kamu salah, Sis. Masalah ini justru sudah selesai."

Semua mata kini tertuju pada Taylor saat ia membuka ponsel dan menunjukkan layar yang terang pada para perempuan di hadapannya.

"Tuan Nikolai mengajukan somasi pada kami, dan mengatakan akan berlanjut ke tuntutan kalau tidak ada permintaan maaf. Secara pribadi, atas nama keluarga, aku sudah meminta maaf pada Tuan Nikolai dan masalah selesai. Foto dan surat kabar apa pun itu, termasuk berita tentang kejadian di pesta, tidak akan beredar lagi. Itu janjiku pada Tuan Nikolai, dan sekarang untukmu Nyonya Iris."

Iris ternganga, sadar sudah kalah cepat dengan Nikolai. Ternyata, suaminya itu bukan tidak peduli dengan masalahnya. Menyelesaikan masalah secara diam-diam di luar sepengetahuannya, adalah cara Nikolai menunjukkan perhatian. Iris hanya bisa menduga tanpa berani berharap lebih.

"Kalau begitu, masalah ini selesai?" Camelia maju dan bertanya pada Taylor.

Taylor mengangguk. "Iya, masalah ini selesai. Kalau boleh tahu, siapa nama kedua nona ini? Saya sudah mengenal Nyonya Iris tentu saja."

"Aku Camelia dan ini adikku, Rose."

"Halo, aku Taylor."

Rose menjabat tangan Taylor yang terulur dengan kaku. Sedari tadi ia tidak bersuara karena terlalu tegang. Yang membuatnya lega adalah, Taylor bersikap seakan tidak mengenalnya. Ini mungkin yang terbaik untuk mereka.

"Kalau begini, kita nggak ada urusan lagi. Selamat tinggal dan terima kasih." Iris mengangguk ke arah Taylor, tersenyum pada Maila dan perempuan itu membuang muka. Iris memberi tanda pada dua saudaranya untuk pergi.

Camelia mengikuti langkah Iris disusul oleh Rose. Sebelum mencapai pintu, terdengar suara Taylor yang membuat Rose menoleh.

"Nona Rose, senang mengenalmu. Benar-benar senang."

Rose mengernyit tapi tidak mengatakan apa pun. Sedari awal ia sudah bertekad untuk tidak menjalin hubungan dengan laki-laki itu dan terlebih sekarang setelah tahu mereka bermusuhan. Makin besar tekat Rose untuk menghindari Tylor. Anggap saja malam itu hanya sebuah mimpi dari tidur panjang dan memabukkan.
.
.
.
Ini update terakhir di Wattpad, cerita lengkap bisa kalian dapatkan secara PO di olshop, playbook maupun Karyakarsa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro